Ki Hajar Dewantara memandang bahwa pendidikan harus mendidik sisi lahir dan batin manusia secara seimbang. Pendidikan tidak boleh hanya berfokus pada pengajaran intelektual semata, tetapi juga harus mendidik nilai-nilai kebudayaan dan nasional. Kritik Ki Hajar terhadap sistem pendidikan Belanda dan Barat adalah kurangnya penekanan pada pendidikan sosial dan budaya. Pendidikan pasca-kemerdekaan juga per
2. Alur Presentasi
• Pengantar
• Visualisasi filosofi Ki Hajar Dewantara
• Kerangka Utama filosofi Ki Hajar Dewantara
• Kebudayaan, Pendidikan, dan Pengajaran
• Kritik Ki Hajar Dewantara terhadap Sistem Pendidikan Barat dan SIstem
Pendidikan Indonesia
• Pentingnya Ilmu Pendidikan dan Pengajaran (dan Kebudayaan)
• Pentingnya Politilk dalam Pendidikan dan Kebudayaan
3. Cara pandang dalam memaknai
filosofi Ki Hajar Dewantara
• Saya seorang guru, bukan filsuf
• Mencoba memanusiakan
Ki Hajar Dewantara
• Membaca primary multimodal texts
• Mencari benang merah beragam tema
di dalam tulisan Ki Hajar Dewantara
4. Tri-tunggal Perjuangan Ki Hajar Dewantara
Perjuangan kemerdekaan
(wartawan, politikus)
Perjuangan pendidikan
(pendidik)
Perjuangan kebudayaan
(budayawan)
7. Kerangka Utama (1)
Yang Tetap dan Yang Berubah: Kodrat Keadaan
Kodrat Keadaan
• Kodrat Alam (Sifat, Bentuk)
- Sifat pokok tiap-tiap kebudayaan adalah universal (perikemanusiaan)
- Bentuk kebudayaan berbeda-beda sesuai kodrat alam
• Kodrat Zaman (Isi, Irama)
- Isi kebudayaan timbul karena pengaruh zaman yang ditempati masyarakat
- Irama kebudayaan adalah cara menggunakan segala unsur kebudayaan
Bentuk, Isi, dan Irama bisa, dan perlu, berubah.
8. Kerangka Utama (2)
Prinsip Melakukan Perubahan:
Asas Tri-Kon
1. Kontinuiteit
Pertukaran satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya harus
kontinuiteit dengan alam kebudayaannya sendiri.
2. Konvergensi
Pertukaran kebudayaan mengarah pada kesatuan dengan alam universal.
3. Konsentris
Sebuah kebudayaan memiliki satu titik pusat dengan alam-alam
kebudayaan sedunia, tetapi masih memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri.
9. Kerangka Utama (3)
Hal Yang Berubah: Budi Pekerti
• BUDI —> Batin —> Tri-Sakti —> Pikiran + Rasa + Kemauan [Cipta + Rasa + Karsa]
PEKERTI —> Lahir —> Tenaga
• BUDI PEKERTI = Bulatnya Jiwa manusia —> hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan
kemauan (budi) sehingga menimbulkan tenaga (pekerti).
• Pikiran mempunyai tugas memisah-misahkan, membanding-bandingkan,
dan menetapkan benar atau tidaknya sesuatu.
Rasa mempunyai tugas menetapkan baik atau buruknya sesuatu.
Kemauan adalah keinginan yang sudah tetap dan pasti, tinggal melaksanakan saja.
• Tidak ada dua budi pekerti yang sama sehingga kita dapat membedakan orang yang satu dengan
lainnya.
• Kebersihan budi = bersatunya cipta-rasa-karsa = tajamnya pikiran, halusnya rasa, kuatnya kemauan
—> Hal ini akan membawa kepada kebijaksanaan.
• Budi manusia itu menginginkan segala sesuatu yang baik (luhur, etika) dan indah (halus, estetika)
yang berdasar pada ketertiban (orde).
11. Kebudayaan • Kebudayaan adalah buah budi manusia (lahir dan batin),
hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat,
yakni alam dan zaman.
• Kebudayaan memelihara dan memajukan hidup manusia ke arah
keadaban.
• Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan
menyesuaikan kebudayaan dengan tiap-tiap pergantian alam dan
zaman.
• !!! Kegiatan memuja-muja kerapkali menyebabkan bekunya
kebudayaan.
• !!! Isolasi kebudayaan menyebabkan kemunduran dan matinya
kebudayaan.
• Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari
kebudayaan sendiri (kontinuitet) menuju ke arah kesatuan kebudayaan
dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di
dalam lingkungan kemanusiaan dunia (konsentrisitet).
13. Pendidikan • Pendidikan: tempat persemaian benih-benih kebudayaan
yang hidup dalam masyarakat kebangsaan, dengan maksud
agar segala unsur peradaban dan kebudayaan dapat tumbuh
dengan sebaik-baiknya dan dapat kita teruskan kepada anak
cucu kita yang akan datang.
• Pendidikan: daya upaya untuk memajukan perkembangan
budi pekerti (kekuatan batin), fikiran (intelek) dan jasmani
anak-anak, dengan maksud supaya kita dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan
anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.
• Pendidikan nasional: pendidikan yang berdasarkan garis-
garis bangsanya (kultural-nasional) dan ditujukan untuk
keperluan perikehidupan, yang dapat mengangkat derajat
negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan
pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan
segenap manusia di seluruh dunia.
14. Perspektif Ekologis: Nature + Nurture
Pendidikan itu hanya bisa menuntun.
Namun faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak sangat besar.
Pendidik ibarat petani.
“Seorang petani yang menanam padi hanya dapat menuntun tumbuhnya
padi. Ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi,
memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang
mengganggu hidup tanaman padi, dan lain sebagainya. Meskipun
pertumbuhan tanaman padi dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat
mengganti kodrat iradatnya padi. Misalnya, ia tak akan dapat
menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia
juga tak dapat memelihara tanaman padi tersebut seperti halnya cara
memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya. Memang benar, ia
dapat memperbaiki keadaan tanaman padi yang ditanam, bahkan ia dapat
juga menghasilkan tanaman padi itu lebih besar daripada tanaman padi
yang tidak diperlihara, tetapi mengganti kodratnya padi itu tetap mustahil.”
15. Perspektif Ekologis: Nature + Nurture
Perlu tidaknya pendidikan/tuntunan ibarat perlu tidaknya
pemeliharaan tanaman.
“Kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang
baik, banyak airnya, dan mendapat sinar matahari yang cukup,
maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya
keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan
keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu
tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung
itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena
pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik
dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-
baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik
daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.”
16. Pendidikan • Convergentic-theorie. Anak lahir diumpamakan
sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh tapi semua
tulisan itu suram. Pendidikan berkewajiban dan
berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan
berisi baik agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang
baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat
hendaknya dibiarkan agar jangan menjadi tebal, bahkan
jika bisa dibikin lebih suram.
• Pendidikan hanya ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya
anak-anak. Hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di
luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik.
Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda
hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut
kodratnya sendiri. Kita kaum pendidik hanya dapat
menuntun agar dapat memperbaiki lakunya (bukan
dasarnya) hidup dan tumbuhnya anak-anak.
17. Pendidikan • Keluarga memberi dasar-dasar sosial yang suci, murni, dan
penuh cinta kasih.
• Metode Among Siswa.
Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa,
Ing Ngarsa Sung Tulodo
• Asas Taman Siswa
“Bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak,
tidak untuk meminta sesuatu hak, namun untuk berhamba
kepada sang anak.”
• “Berikan kemerdekaan dan kebebasan kepada anak-anak kita;
bukan kemerdekaan yang leluasa, namun yang terbatas oleh
tuntutan kodrat alam menuju ke arah kebudayaan….perlulah
dipakai dasar kebangsaan, akan tetapi jangan sekali-sekali dasar
ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas,
yaitu dasar kemanusiaan.”
18. Frobel
(romantik, sahabat
anak-anak, keutuhan
jiwa)
—> panca indra
sebagai konsentrasi,
tapi yang diutamakan
permainan anak-anak
(kodrat anak: bergerak
dan berfantasi),
kegembiraan anak-
anak, tapi dalam proses
pembelajarannya anak
masih terperintah
Montessori
(rasionalistis, ahli anak-anak, sebagian
dari jiwa)
—> mementingkan pelajaran panca
indra, anak diberi kemerdekaan yang
luas (ini sesuai dg tuntutan zaman kala
itu, merdeka), tapi permainan tidak
dipentingkan. Perintah atau paksaan
pendidik mungkin bertentangan dengan
tuntutan jiwa dan jasmani anak sehingga
menghambat pertumbuhan. Anak-anak
jangan diberi pengajaran, tapi tuntunan.
Guru adalah penuntun yang mengamati
anak secara individual dan tidak boleh
melarang perbuatan spontan anak, yang
adalah kodratnya
Taman Siswa
memakai kedua metode ini (Frobel
dan Montessori) dengan
menyatukan pelajaran panca indra
dan permainan anak (Metode
Kodrat Iradat, Metode Among
Siswa). Taman Siswa percaya
bahwa segala tingkah laku dan
kehidupan anak sudah diisi oleh
Sang Maha Among (Pemelihara)
dengan segala alat-alat yang
bersifat mendidik si anak.
20. Pengajaran
Pengajaran adalah bagian dari pendidikan
dengan cara memberi ilmu yang berfaedah buat
hidup anak-anak, baik lahir dan batin.
Pengajaran pengetahuan adalah sebagian dari
pendidikan, yang terutama dipergunakan untuk
mendidik pikiran; dan ini perlu sekali, tidak saja
untuk memajukan kecerdasan batin, namun pula
untuk melancarkan hidup pada umumnya.
Seyogyanyalah pendidikan pikiran ini dibangun
setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya, dan
selebar-lebarnya, agar anak-anak kelak dapat
membangun perikehidupannya lahir dan batin
dengan sebaik-baiknya.
22. Kritik Ki Hajar Dewantara
terhadap Sistem Pendidikan Belanda dan Barat
• Sistem pendidikan Barat hanya bersifat tempat pendidikan pikiran,
balai wiyata, menyiarkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan saja.
Di situ kita tidak dapat melakukan pendidikan sosial.
• Intelektualisme acapkali menentang kesosialan.
• Disamping pendidikan kecerdasan harus ada pendidikan kultural.
Jangan sampai kita hanya meniru sistem pendidikan dan pengajaran
yang sepi pengaruh kebudayaan, seperti yang kita alami di zaman
Belanda dengan pendidikannya yang intelektualistis, materialistis,
dan kolonial itu.
• Pendidikan dan pengajaran yang dilakukan dengan sistem Barat
tidak mengapa, asalkan anak-anak kita diberi pendidikan kultural dan
nasional, yang semua-semuanya kita tujukan ke arah keluhuran
manusia, nusa, dan bangsa, tidak dengan memisahkan diri dari
kesatuan perikemanusiaan.
23. Kritik terhadap pendidikan era kemerdekaan
•
• Putus naluri, tradisi, kontinuitas dengan zaman
lampau
• “Bentuk, isi, dan irama yang kita dapati di zaman
sekarang ini, baik yang menjadi milik badan-
badan perguruan partikelir maupun yang
diperlihara oleh Kementrian P.P. dan K, pada
umumnya masih doordruk (sekalipun doordruk
yang sudah dikoreksi sana sini) dari sekolah-
sekolah yang terpakai dalam sistem Belanda.
Malah kadang-kadang masih nampak juga,
sekalipun suram-suram, tendens-tendes yang
materialistis itu dan kolonial.” (h. 205)
• “Kita lihat di zaman sekarang masih terpakainya
bentuk-bentuk rumah sekolah, daftar-daftar
pelajaran yang tidak memberi cukup semangat
mencari ilmu pengetahuan sendiri, karena tiap-
tiap hari, tiap-tiap tri wulan, tiap-tiap tahun,
pelajar-pelajar kita terus menerus terancam oleh
sistem penilaian dan penghargaan yang
intelektualis. Anak-anak dan pemuda-pemuda
kita sukar dapat belajar dengan tentram, karena
dikejar-kejar oleh ujian-ujian yang sangat keras
dalam tuntutan-tuntutannya. Mereka belajar tidak
untuk perkembangan hidup kejiwaannya;
sebaliknya, mereka belajar untuk dapat nilai-nilai
yang tinggi dalam school raport-nya atau untuk
dapat ijazah. Dalam soal ini sebaiknyalah kita
para pemimpin perguruan, bersama-sama
dengan Kementerian P.P. dan K. mencari
bagaimana caranya kita dapat memberantas
penyakit examen cultus dan diploma jacht itu.”
24. Pemikiran untuk Sistem Pendidikan Indonesia
• Kesatuan pendidikan
- sifat-sifat pokok (core curriculum)
- kesamaan hak-hak kesempatan menuntut pelajaran sesuai
keinginan dan bakat masing-masing
• Diferensiasi
- Diferensiasi untuk memperbesar efisiensi bagi kemanfaaatan
anak didik, masyarakat dan negara
- Kebebasan memilih apa yang sesuai pikiran dan perasaannya
- mengakomodasi bakat dan keadaan hidup anak didik
25. Ilmu Pendidikan, Pengajaran
dan Kebudayaan
• Ilmu pendidikan dan pengajaran yang “kontinu” dengan
zaman lampau. Masing-masing zaman mempunyai ruh
yang berbeda yang menjelma dalam ilmu pendidikan.
• Insting (naluri) mendidik saja tidak cukup. Praktik
pendidikan hanya dengan intuisi tak dapat berlaku
dengan baik.
• Pendidikan yang baik harus dipandu oleh teori atau
pengetahuan tentang pendidikan, sehingga tidak
berdasar subyektif atau rabaan saja.
• Kebudayaan salah satu kurikulum inti di sekolah
keguruan.
26. Politik, Pendidikan, dan Kebudayaan
“Untuk dapat bekerja dengan tentram dan
seksama (yakni tugas para pendidik dan
pejuang kebudayaan), sangat kita perlukan
adanya pagar yang kokoh dan kuat, untuk
menolak segala bahaya yang mengancam
dari segala kekuasaan dan kekuatan yang
mungkin dapat merusak sawah, ladang,
serta tanaman-tanamannya yang kita
pelihara. “Pagar” tadi tak bukan dan tak lain
ialah pergerakan politik rakyat kita.”
(h. 202)