Pentingnya pendekatan lembut (soft power approach) dalam membangun hubungan Indonesia-Malaysia, karena pendekatan keras hanya akan memperburuk masalah. Soft power approach mencakup kerja sama di berbagai bidang serta penyelesaian masalah-masalah lama seperti kasus Sipadan dan Ligitan secara dialog.
Musni Umar: Tugas Pemimpin dan Pentingnya Membangun Masyarakat Madani
Indonesia-Malaysia
1. SOFT POWER APPROACH
INDONESIA-MALAYSIA
Oleh Dr. Musni Umar
Anggota Eminent Persons Group Indonesia-Malaysia/
Direktur Pusat Studi Indonesia-Malaysia
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 28 Februari 2011
2. Dalam beberapa tahun terakhir ini, masyarakat
Indonesia sangat sering berselisih dengan Malaysia.
Pemicu perselisihan bermacam-macam dan silih
berganti. Setidak-tidaknya yang masih diingat, setelah
konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1963-1965, ialah
masalah pulau Sipadan dan Ligitan. Masalah tersebut
banyak menyita perhatian masyarakat di kedua
negara, karena kasus ini dibawa ke Mahkamah
Internasional di Den Haag Belanda, dan dimenangkan
oleh Malaysia. Sampai sekarang, sebagian
masyarakat Indonesia masih menganggap kedua pulau
itu adalah milik Indonesia yang dirampas oleh Malaysia
melalui konspirasi internasional.
Masalah lain yang memicu terjadinya perselisihan yang
tidak ada habis-habisnya ialah penyiksaan terhadap
tenaga kerja Indonesia (TKI), insiden perairan Ambalat,
klaim budaya, dan masalah paling terakhir ialah
insiden Tanjung Berikat.
3.
4. Setiap muncul persoalan antara Indonesia-Malaysia,
media memberitakannya secara berulang-ulang dan
cenderung provokatif karena menayangkan kembali
peristiwa lama yang penuh heroik seperti konfrontasi
Indonesia-Malaysia tahun 1963-1965, penyiksaan para
TKI yang terus berulang yang amat menyangkitkan hati
bangsa Indonesia, masalah pulau Sipadan dan Ligitan
seperti dikemukakan diatas, masalah klaim budaya dan
lain sebagainya. Dampaknya amat negatif, karena
perasaan benci (tidak suka) terhadap Malaysia,
semakin tertanam dalam memori kolektif sebagian
besar masyarakat Indonesia yang menganggap
Malaysia sebagai saudara serumpun yang
memandang enteng, remeh, dan sombong terhadap
Indonesia. Ini persepsi masyarakat yang harus diteliti,
dikaji, dan dipelajari kebenarannya, kemudian
diberikan solusi apa yang harus dilakukan untuk
menghilangkan persepsi negatif dan prasangka buruk
tersebut.
5.
6. Manifestasi dari persepsi negatif dan prasangka buruk
terhadap Malaysia, dapat dilihat dari reaksi masyarakat
Indonesia ketika merespon setiap persoalan yang
terjadi dalam hubungan Indonesia-Malaysia, yang
tercermin dalam berbagai demonstrasi di Kedutaan
Malaysia di Jakarta, yang mengusung jargon
“Ganyang Malaysia”, sehingga menyegarkan kembali
ingatan masa lalu dan membakar semangat seluruh
bangsa Indonesia seperti ketika berkonfrontasi
melawan Malaysia tahun 19963-1965.
TV Indonesia berperan besar dalam membakar
semangat dan patriotisme heroik bangsa Indonesia,
karena menampilkan kembali gambar-gambar Bung
Karno ketika berpidato berapi-api yang menyerukan
kepada seluruh bangsa Indonesia untuk bersatu
mengganyang Malaysia sebagai antek neo kolonialisme
dan neo imperialisme.
7.
8. Bara konfrontasi
Mohammad Natsir pernah berkata: Biar membara di
hati, tetap dingin di kepala. Hubungan Indonesia dan
Malaysia, yang sering membara harus dikelola dengan
hati-hati dan kepala dingin. Oleh karena, masyarakat
Indonesia dalam menghadapi Malaysia sudah tak
obahnya rumput ilalang yang kering, jika disulut sedikit
dengan korek api akan segera membakar.
Begitulah perasaan masyarakat Indonesia, yang
mungkin kurang dipahami Malaysia, sehingga setiap
kejadian negatif dalam hubungan kedua negara, segera
mendapat publikasi dari media dan respon keras dari
publik Indonesia. Ini disebabkan karena persepsi
negatif masyarakat Indonesia terhadap Malaysia
dibiarkan terus tertanam dalam memori kolektif
masyarakat, sehingga sesuatu yang belum tentu benar
tetapi dibiarkan terus tanpa ada usaha untuk
menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya,
masyarakat akhirnya menganggap benar.
9.
10. Pidato Presiden SBY 02 September 2010 di
Markas Besar TNI Republik Indonesia di
Cilangkap Jakarta, yang mengemukakan tiga
pilar dalam hubungan bilateral dengan
Malaysia, dapat sedikit memberi gambaran
tentang sikap masyarakat Indonesia terhadap
Malaysia.
Adapun pilar-pilar hubungan Indonesia-
Malaysia yang pernah dikemukakan Presiden
SBY yaitu: Pertama, Indonesia dan Malaysia
memiliki hubungan sejarah, budaya, dan
kekerabatan yang sangat erat dan mungkin
yang paling erat dibanding negara-negara lain
dan sudah terjalin selama ratusan tahun. “Kita
mempunyai tanggung jawab sejarah untuk
memelihara dan melanjutkan tali persaudaraan
ini.”
11.
12. Kedua, hubungan Indonesia dan Malaysia
adalah pilar penting dalam keluarga besar
ASEAN. “ASEAN bisa tumbuh pesat selama
empat dekade terakhir ini, antara lain karena
kokohnya fondasi hubungan bilateral Indonesia
dan Malaysia.”
Ketiga, ada sekitar dua juta orang Indonesia
yang bekerja di Malaysia baik di perusahaan, di
bidang pertanian, maupun di berbagai lapangan
pekerjaan. Ini adalah jumlah tenaga kerja
Indonesia yang terbesar di luar negeri. “Tentu
saja keberadaan tenaga kerja Indonesia di
Malaysia membawa keuntungan bersama bagi
Indonesia maupun bagi Malaysia.”
13. Presiden SBY juga mengemukakan, ada sekitar 13.000
pelajar dan mahasiswa asal Indonesia yang belajar di
Malaysia dan sekitar 6.000 mahasiswa Malaysia di
Indonesia. “Ini merupakan aset bangsa yang harus
dibina bersama dan menjadi modal kemitraan.”
Disamping itu, kerjasama ekonomi antara Indonesia
dan Malaysia menjadi alasan penting hubungan kedua
negara harus dipertahankan. Wisatawan Malaysia yang
berkunjung ke Indonesia merupakan ketiga tebesar
dengan 1,18 juta orang dari total 6,3 juta wisatawan
macanegara. Investasi Malaysia di Indonesia dalam
lima tahun terakhir pada 2005-2009 berupa 285 proyek
dengan nilai investasi berjumlah 1,2 miliar dollar AS.
Sementara investasi Indonesia di Malaysia mencapai
534 juta dollar AS. Jumlah perdagangan kedua negara
selama tahun 2009 mencapai 11,4 miliar dollar AS.
14. Pidato Presiden SBY itu sangat komprehensif. Akan
tetapi, banyak menuai kritik dan tanggapan miring dari
masyarakat Indonesia. Media memberitakan berbagai
tanggapan masyarakat misalnya Abdul Rais Abin,
Direktur C-Prodies Forum mengemukakan kekecewaan,
karena pidato Presiden SBY dianggap terlalu “lunak”
khusunya pada kasus tertangkapnya 3 pegawai kelautan
dan perikanan oleh Polis Marin Diraja Malaysia di wilayah
perairan Indoensia. Pidato tersebut dinilai terlalu lemah
dan banyak menunjukkan pertimbangan-pertimbangan
pragmatis ketimbang kepentingan nasional dalam
kaitannya dengan harkat dan martabat sebagai sebuah
bangsa besar yang Merdeka (05/9/2010).
Dra Awani Irawati, MA., Kepala Bidang
Perkembangan Politik Internasional LIPI, mengemukakan
Malaysia, menurutnya, membutuhkan terapi kejut
ketegasan Indonesia atas pelanggaran yang
dilakukannya. Kalau perlu mempersona non grata-kan
(mengusir) dan menarik Duta Besar Indonesia di Kuala
Lumpur.
Oleh karena, Indonesia pernah menarik Dubesnya di
Australia. Menurut Irawati, Malaysia perlu diberi therapy
shock. Kita selama ini kesannya dipermainkan oleh
15. Para aktivis NGO mengemukakan bahwa "pidato SBY
jauh panggang dari Api," kata Rieke Diah Pitaloka
dalam keterangan tertulis bersama sejumlah aktivis
buruh migran. Menurut Rieke, SBY tidak menyinggung
substansi dasar hubungan kerjasama Indonesia-
Malaysia, yaitu penghargaan terhadap Hak Asasi
Manusia. Pidato Presiden juga dinilai tidak secara tegas
memperlihatkan keberpihakan terhadap nasib
rakyatnya, terutama para TKI yang sedang
menghadapi persoalan hukum.
Berdasarkan respon publik terhadap pidato Presiden
SBY dapat ditarik kesimpulan bahwa politik pemerintah
yang ingin terus memelihara hubungan baik dengan
Malaysia, tidak sepenuhnya mendapat dukungan yang
luas dari masyarakat. Ini bisa menimbulkan masalah di
masa depan, jika terus dibiarkan dan tidak ada usaha
nyata untuk mengurangi dan menghilangkan ketidak-
sukaan masyarakat Indonesia terhadap Malaysia.
16. Dikemukakan masalah tersebut karena Indonesia adalah
negara demokrasi, di mana pemimpin dipilih dan
mengikuti maunya rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Dalam demokrasi, sangat mungkin lahir pemimpin
Indonesia di masa depan seperti Bung Karno. Kalau ini
terjadi, maka hubungan Indonesia-Malaysia tidak
tertutup kemungkinan berkembang seperti Korea Selatan
dan Korea Utara dan negara-negara lain yang
penduduknya serumpun dan bertetangga tetapi tidak
pernah hidup rukun dan damai.
Oleh karena itu, saya mengemukakan pandangan selaku
anggota dan juru bicara Eminent Person Group
Indonesia-Malaysia sebagaimana diberitakan Antara
News 28 Agustus 2010, bahwa hubungan Indonesia-
Malaysia di masa depan dapat meletus menjadi
konfrontasi jilid II apabila tidak dikelola dengan hati-hati.
Saya mengemukakan hal itu, karena media sebagai
salah satu pilar demokrasi di Indonesia, sangat
mempengaruhi masyarakat dalam pemberitaan masalah
Malaysia pada khususnya, karena maunya mereka hanya
dua yaitu pemutusan hubungan diplomatik dan
konfrontasi.
17.
18. Pentingnya Soft Power Approach
Keputusan politik Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono terhadap Malaysia, sebaiknya diberi
apreasi dan dukungan positif dengan
mendorong hubungan Indonesia-Malaysia
dibangun berdasarkan kemitraan sejati, yang
diimplementasikan dengan duduk sama rendah
dan berdiri sama tinggi. Sebagai cendekiawan
yang pernah bermukim lama di Malaysia untuk
belajar, saya merasa Malaysia adalah kampung
saya yang kedua. Maka saya mempunyai
tanggung jawab untuk ikut mengupayakan
supaya kedua negara bertetangga ini, selalu
hidup rukun dan damai, silih asuh, silih asah
dan silih asih.
19. Untuk mewujudkan hal itu, maka hubungan
kedua negara harus dibangun dan
dikembangkan berdasarkan soft power
approach, yaitu suatu pendekatan dengan cara-
cara yang lembut, damai, halus dan tidak
menyinggung perasaan apalagi menyakiti hati,
karena kita satu serumpun, satu saudara dan
satu agama (mayoritas penduduk kedua negara
Muslim). Sudah tentu, pendekatan semacam
itu harus bersifat timbal balik. Indonesia dan
Malaysia harus sama-sama melakukan soft
power approach yang dimulai dari kepala
pemerintahan, yang diikuti para menteri
terutama kementerian luar negeri, dan duta
besar sebagai ujung tombak, para diplomat,
berbagai kekuatan sosial politik di parlemen
Indonesia dan Malaysia, akademisi, media,
NGO, masyarakat dan lain sebagainya.
20.
21. Pentingnya pendekatan soft power, sekurang-
kurangnya dilandasi oleh lima alasan. Pertama,
cara-cara kekerasan (hard power) tidak akan
menyelesaikan masalah, bahkan bisa menambah
masalah. Presiden SBY mengatakan bahwa “kekerasan
sering memicu terjadinya kekerasan lain.”
Kedua, pendekatan soft power untuk menyelesaikan
berbagai masalah Indonesia-Malaysia, lebih mudah
dilakukan karena tidak ada yang tersinggung, tidak ada
yang disakiti dan merasa dikalahkan.
Ketiga, pendekatan soft power, akan melahirkan
persaudaraan sejati, yang sama-sama menenggang
perasaan, dan tidak saling menyakiti antara satu
dengan yang lain. Dampak positifnya, Indonesia-
Malaysia untuk jangka panjang akan menjadi “tak
obahnya satu tubuh, jika salah satu bagian ada yang
sakit, maka seluruh tubuh akan merasa sakit.” Kalau
hal semacam ini terbangun, maka persatuan dan
kesatuan kedua negara akan menjadi pilar untuk
menopang kebangkitan rumpun Melayu di Asia
Tenggara, dan pasti diperhitungan dalam percaturan
politik internasional.
22. Keempat, pendekatan soft power pasti
memberi manfaat yang lebih besar daripada
pendekatan hard power. Oleh karena, akan
terwujud kerjasama dalam segala bidang, dan
tolong-menolong akan lebih mudah
diwujudkan antara masyarakat dan kedua
bangsa serumpun.
Kelima, pendekatan hard power sebagai lawan
daripada soft power apalagi pendekatan
konfrontasi yang diinginkan sebagian
masyarakat untuk memberi pelajaran kepada
Malaysia, tidak ada yang untung sebab yang
menang menjadi arang dan yang kalah menjadi
abu. Kedua pihak yang berseteru sama-sama
rugi dan tidak ada yang untung.
23. Penyelesaian Kasus Lama
Tidak mudah mewujudkan soft power approach
dalam hubungan Indonesia-Malaysia, karena
berbagai permasalahan lama yang
dikemukakan, dibiarkan menumpuk dan tidak
ada upaya penyelesaian satu-persatu.
Pertama, Kasus Sipadan dan Ligitan, yang
sudah dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah
Internasional, walaupun secara hukum sudah
selesai dan kedua pulau itu telah dimiliki oleh
Malaysia. Namun, perlu ada kampanye di media
televisi Indonesia untuk menjelaskan bahwa
kedua pulau itu sebelum dipersengketakan oleh
kedua negara, tidak ada yang memiliki (pulau
tidak bertuan), baik Indonesia maupun
Malaysia. Prof. Dr. Hasyim Djalal (2010),
pakar hukum kelautan internasional, dalam
Roundtable Discussion di Jakarta, menegaskan
bahwa “Pulau Sipadan dan Ligitan” bukan milik
24.
25. Cara menyelesaikan ialah menampilkan pakar hukum
laut internasional dan tokoh masyarakat yang
berintegritas tinggi dan berpengaruh untuk menjelaskan
kepada masyarakat bahwa kedua pulau itu bukan milik
Indonesia berdasarkan fakta sejarah.
Kedua, masalah sengketa budaya seperti “Reog
Ponorogo” yang disebut di Malaysia “Tari Barongan,”
merupakah salah satu persoalan yang mengguncang
hubungan Indonesia-Malaysia. Sengketa budaya ini,
sangat serius karena telah menyebabkan sebagian
masyarakat Indonesia menyebut Malaysia sebagai
“Malingsia” sebagaimana dimuat dalam media online.
Seharusnya setelah demonstrasi reda dan suasana
kondusif tercipta seperti sekarang, diadakan kampanye
untuk mencerahkan masyarakat yang salah paham dan
terprovokasi oleh pemberitaan media, bahwa Malaysia
tidak mencuri budaya Indonesia, karena nenek moyang
mereka pada umumnya berasal dari Nusantara samada
dari Jawa, Bugis, Padang, Mandailing, Aceh, Sunda dan
lain sebagainya. Oleh karena itu, tidak tepat kalau
Malaysia dikatakan mengklaim budaya indonesia apalagi
menuduh mencuri budaya Indonesia, sebab budaya
Indonesia pada umumnya adalah budaya mereka juga.
26.
27. Ketiga, masalah penyiksaan TKI.. Akan tetapi, harus
dikemukakan dan dipublikasikan bahwa sangat banyak TKI yang
sukses di Malaysia, dan berjaya merubah nasib keluarga yang
sebelumnya tidak punya apa-apa karena miskin dan kurang
pendidikan.
Keempat, masalah perbatasan dua negara. Ada ungkapan, kita
bisa memilih teman sesuai kemauan, tetapi tidak bisa memilih kita
berbatasan dengan negara mana. Kita mengakui banyak masalah
dalam hidup bertetangga, dari masalah pelintas batas tanpa
dokumen imigrasi, penyelundupan, perdagangan manusia, illegal
lodging, pencurian ikan dan hasil kekayaan laut, pencurian hasil
hutan, pelanggaran batas wilayah dan lain sebagainya.
Walaupun banyak masalah yang dihadapi dalam hidup
bertetangga, tetapi kita tidak mempunyai pilihan kecuali
menyelesaikan satu-persatu dari berbagai persoalan yang ada
dengan soft power approach. Kekurangan kita selama ini bahwa
persoalan-persoalan yang muncul terus dibiarkan, sampai muncul
persoalan baru dan menutup persoalan lama. Oleh karena setiap
persoalan tidak pernah diselesaikan, maka ketika muncul kembali,
masyarakat semakin marah karena terkesan ada pembiaran,
tidak peduli dan bahkan terselip perasaan angkuh. Pada hal
dalam kenyataan tidak seperti itu.
28.
29. Aplikasi Soft Power Approah
Sebagaimana dikemukakan bahwa tidak mudah
mengamalkan soft power approach. Walaupun
begitu, bukan berarti tidak bisa diamalkan. Pertama,
harus dimulai dengan niat atau nawaitu. Ini sangat
penting, karena dengan nawaitu yang benar, akan
melahirkan ketulusan dan kerendahan hati. Menurut
saya, kedua pemimpin pemerintahan Indonesia-
Malaysia telah menunjukkan nawaitu, ketulusan dan
kerendahan hati untuk mempertahankan persahabatan
abadi kedua negara, yang diwujudkan dengan saling
menghormati, saling menghargai dan saling mencintai.
Kedua, melakukan pencerahan. Untuk mewujudkan
soft power approach mutlak dilakukan pencerahan
(enlightenment) kepada masyarakat untuk
menjelaskan maslahat dan mudaratnya membangun
hubungan yang damai kedua negara serumpun.
30. Ketiga, memilih diplomat dan duta besar yang tepat
dan berkemampuan sebagai ujung tombak untuk
menjabarkan dan melaksanakan konsep soft power
approach. Ini penting karena dalam pelaksanaan soft
power approach lebih mengutamakan silaturrahim
diplomacy, lobby, pendekatan dialogis, diskusi dan
komunikasi.
Keempat, menyelesaikan setiap permasalahan secara
damai melalui jalan diplomasi. Tidak mungkin
hubungan dekat dua negara ini tidak terjadi masalah,
karena dalam kehidupan rumah tangga saja, seringkali
terjadi cekcok dan salah paham. Akan tetapi, setiap
muncul masalah, harus dikedepankan penyelesaian
secara damai. Presiden SBY pernah mengungkapkan
bahwa semakin dekat dan erat hubungan dua negara,
semakin banyak masalah yang dihadapi.”
Kelima, sabar dan konsisten memelihara, menjaga dan
merawat hubungan kedua negara. Setiap muncul
masalah, hendaknya diselesaikan dengan “soft power
approach.” Jangan membiarkan karena nila setitik
dapat merusak susu sebelanga.
31. Penutup
Hubungan Indonesia-Malaysia sebenarnya
adalah hubungan yang sangat istimewa. Dilihat
dari aspek sejarah, sosial budaya, ekonomi,
kewilayahan dan agama, kedua negara
merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Traktat London tahun 1824 antara
Inggris dan Belanda, telah memecah wilayah
“Nusantara” yang disebut di Malaysia “Alam
Melayau.”
Untuk menjaga, merawat, memelihara,
mempertahankan dan terus meningkatkan
hubungan istiemwa itu sehingga menjadi energi
positif yang melahirkan kerjasama yang
semakin produkif dan membawa kemajuan dan
kejayaan kedua bangsa serumpun, sesaudara
dan seagama, maka soft power approach
merupakan pilihan satu-satunya dalam menjalin
hubungan kedua negara.
32. Soft power approach, harus diimplementasikan ke dalam tataran
operasioanl, dengan melakukan diplomasi yang bersifat “multi channel
dan multi purpose” di pemerintahan (government) pusat dan daerah,
masyarakat (NGO), parlemen, media, dunia usaha, universitas, dan lain-
lain. Selain itu, sebaiknya juga bisa memberikan pencerahan yang
terus-menerus kepada masyarakat tentang pentingnya membangun
hubungan Indonesia-Malaysia. Ini bisa dilakukan, jika ada kerendahan
hati, ketulusan, kemauan, dan lain sebagainya.
Dalam hubungan itu, maka pada masa mendatang sebaiknya dalam
rangka soft power approach ditindak-lanjuti dengan melantik duta besar
yang mempunyai latar belakang (back ground) dari kalangan akademik
(universitas), yang memahami kondisi sosial budaya masyarakat di kedua
negara, mampu melakukan silaturrahim diplomacy yang “multi channel
multi purpose”, bisa melakukan lobby, dialog, diskusi dengan berbagai
kalangan, serta mempunyai jaringan luas di pemerintahan, dan
masyarakat di kedua negara.
Terima kasih.
Jakarta, 28 Februari 2011
++ Dr. Musni Umar adalah Direktur Pusat Studi Indonesia-Malaysia,
Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik (FISIP) Univ. Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta, serta Anggota Eminent Persons Group Indonesia-
Malaysia.
+ Kertas kerja ini disampaikan dalam Seminar Antarabangsa yang
bertajuk “Membangun Trace Baru Dalam hubungan Indonesia-
Malaysia,”dan peluncuran buku “Membangkitkan Memori Kolektif
Kesejarahan Indonesia-Malaysia,” yang dilaksanakan pada 28
Februari 2011 di Ruang GBHN Gedung MPR/DPR RI, Jakarta.