Kritikan terhadap kinerja Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dalam menangani banjir menerima tanggapan dari sosiolog Musni Umar. Ia menilai kritikan dari beberapa politisi tidak objektif dan hanya bertujuan menjatuhkan popularitas Jokowi. Umar menegaskan perlu adil dengan mengakui prestasi Jokowi selama setahun berkuasa dan membandingkannya dengan masa jabatan lebih lama pemimpin sebelumn
2. Banjir di DKI Jakarta Jokowi
Ditembaki Partai Politik
Oleh Musni Umar
Sociologist and Researcher
3. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo
Purwo Nugroho, di Jakarta, Senin (13/1/2014)
menjelaskan bahwa sebanyak 5.152 warga
mengungsi akibat banjir yang merendam tempat
tinggal mereka setelah hujan yang terus mengguyur
wilayah Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya.
“Hingga Senin pukul 07.00 WIB banjir sudah
merendam 276 RT, 75 RW di 31 kelurahan di 18
kecamatan,” Data sementara dampak banjir di
Jakarta yang dihimpun BPBD DKI Jakarta
menyebutkan sebanyak 7.367 rumah (24.269 jiwa)
terendam banjir. Pengungsi 5.152 jiwa tersebar di
35 titik pengungsian (Kompas.com, 13/1/2014).
4. Banjir di awal tahun 2014 yang menerjang DKI
Jakarta, dijadikan momentum bagi para politisi dari
berbagai partai politik untuk “menghajar” dan
“menembaki” Gubernur Joko Widodo yang populer
dengan sapaan “Jokowi” untuk meningkatkan
elektabilitas parati politik yang menaungi mereka pada
pemilu Legislatif 9 April 2014 dan bakal calon Presiden
yang digadang-gadang pada pemilu Presiden dan Wakil
Presiden 9 Juli 2014.
Pasalnya, semua survei yang dilakukan berbagai
lembaga independen atau yang dibiayai partai politik
ataupun mungkin yang dibiayai bakal calon Presiden RI
mengunggulkan Jokowi. Popularitas dan elektabilitas
Jokowi yang tinggi itu, tidak disukai para elit dari
berbagai partai politik karena ketua umun partai politik
mereka sudah digadang-gadang untuk menjadi calon
Presiden RI dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden
9 Juli 2014.
5. Jokowi dijelekkan
Banjir yang menerjang berbagai kawasan di DKI Jakarta, bagi
para elit partai politik yang sedang bersaing untuk
memenangi pemilu Legislatif 9 April 2014 dan pemilu
Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 bagaikan durian
runtuh, karena mereka mendapatkan momentum untuk
merusak citra Jokowi sebagai Gubernur yang sering blusukan
dan dianggap sukses menata DKI Jakarta walaupun baru satu
tahun menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Ruhut Sitompul, politikus Partai Demokrat, menggunakan
momentum banjir untuk kembali menjelekkan Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo. Ia menilai kerja blusukan yang dilakukan
Jokowi selama ini tidak berpengaruh apapun terhadap upaya
pencegahan banjir. Hari ini sebagian wilayah Jakarta
terendam banjir akibat hujan deras yang mengguyur Ibu Kota
dan sekitarnya.
6. Terbukti blusukan-nya percuma, satu tahun, gimana mau
mengurus Indonesia kalau mengurus Jakarta saja tidak bisa?” kata
Ruhut sebagaimana dikutip Warta Kota, Senin (13/1/2014).
Menurut Ruhut, menjadi lucu jika banjir masih terus terjadi di
Jakarta karena Jokowi telah menyatakan punya solusi atas
permasalahan itu. “Dia mengasih janji, bahkan enggak mau polisi
mengawal ternyata tetap dikawal,” kata Ruhut.
Kritikan serupa dikemukakan Drajat Wibowo, Wakil Ketua DPP
Partai Amanat Nasional. Dia mengemukakan “Baru hujan dua
hari, yang itu pun belum paling lebat, kita sudah melihat banjir
dan macet di Jakarta hari ini. Tak beda dengan zaman Foke (Fauzi
Bowo), mungkin malah memburuk”. (Kompas.com, 13/1/2014)
Jokowi, kata Dradjad, adalah tokoh politik yang cemerlang.
Menurut dia, Jokowi punya kesempatan emas menjadi Gubernur
DKI Jakarta yang sukses, bahkan pemimpin nasional pada saatnya
kelak. “Sayangnya, Jokowi ‘tersandera’ oleh wacana pencapresan
yang terlalu awal. Dia disandera pendukung-pendukungnya sendiri
yang tak sabaran ingin ‘ngatur negara’,” papar dia.
7. DKI Kota paling kacau di dunia?
Drajat Wibowo mengemukakan bahwa implikasi dari wacana
yang terus bergulir bak bola salju tentang pencapresan
Jokowi, menempatkan Jokowi pada posisi terjepit. Tak hanya
dia, banyak tokoh nasional pun yang menjadi canggung untuk
turun tangan membantu Jokowi menangani masalah Jakarta.
“Jokowi tidak lagi mendapatkan dukungan penuh tokohtokoh nasional yang dulu ‘membawa’ Jokowi dari Solo ke
Jakarta,” kata Dradjad. Prabowo dan Jusuf Kalla, misalnya,
menurut Dradjad, tidak akan nyaman sekarang ketika melihat
orang yang mereka orbitkan justru “menelan” mereka.
“Mereka (para pejabat) ingin memastikan bahwa rakyat tahu
program itu dari pemerintah pusat, bukan dari pemerintah
daerah DKI Jakarta, apalagi Jokowi,” papar Dradjad. Padahal,
persoalan Jakarta tak akan bisa diselesaikan sendirian oleh
Jokowi. “Jakarta butuh usaha bersama kita semua. All out,”
tegas dia.
8. Kritikan Drajat Wibowo yang tidak masuk akal bahwa
Jakarta, adalah salah satu kota paling kacau di dunia.
Sutiyoso, sebut dia, sudah melakukan banyak
terobosan, mulai dari membongkar kekumuhan Monas
dan Stadion Menteng, hingga memunculkan bus
transjakarta.
Fauzi Bowo, lanjut Dradjad, bagaimanapun adalah
pembangun jalan layang Antasari dan bahkan
Casablanca. “Namun, dengan 12 juta penduduk pada
siang hari, beban Jakarta jauh lebih berat daripada
Singapura bahkan London sekalipun.”
Melepaskan kepentingan pragmatis partai politik
terkait pemilu, Dradjad berharap, banjir yang sudah
datang lagi di Jakarta, meski hujan belum lebatlebatnya di Jabodetabek, menjadi “wake up call” bagi
para pendukung Jokowi untuk tak buru-buru
mengusung Jokowi ke pemilu presiden. “Berpolitik itu
perlu proses, tidak bisa instan,” ujar dia.
9. Kritikan tajam lainnya, datang dari Partai Hati Nurani Rakyat
(hanura). Saleh Husin, Ketua DPP Hanura bahwa banjir Jakarta
di tahun kedua kepemimpinan eks wali kota Solo itu
disebabkan karena kerja yang tak fokus.
“Harusnya Gubernur DKI sejak awal lebih fokus bekerja untuk
masalah banjir ini dan dicari solusi utamanya, bukan lagi
sekadar berwacana” ujarnya kepada detikcom, Senin
(12/1/2014).
Saleh yang merupakan anggota Komisi V DPR yang
membidangi infrastruktur ini meminta Jokowi bekerja all out
mengatasi banjir ibu kota. Sebab, jika banjir sudah bisa
diatasi, dia yakin perekonomian nasional juga akan terbantu.
“Kalau masalah banjir, kemacetan, sudah teratasi, maka tentu
produktivitas kerja di semua sektor akan meningkat pula,”
ujarnya.
Untuk jangka pendek, Saleh meminta Jokowi menyiapkan
posko-posko kesehatan bagi korban banjir.
“Untuk saat ini yang harus disiapkan adalah posko-posko
kesehatan dan dapur umum,” tutur pria yang juga Sekretaris
Fraksi Hanura DPR ini.
10. Kritikan yang tendensius
Sebagai sosiolog saya prihatin membaca kritikan, Ruhut Sitompul,
Drajat Wibowo dan Saleh Husin terhadap Jokowi. Pertama kritikan
yang disampaikan tidak melihat realitas. Saya telah menyaksikan
langsung hasil penataan PKL (Pedagang Kaki Lima) di Tanah Abang
yang ditempatkan di Blok G. Juga penataan Waduk Pluit yang
kemudian dijadikan Taman Kota Waduk Pluit yang indah. Kedua hal
itu, menurut saya merupakan bukti dan menjadi success story
bahwa Gubernur Jokowi dan Wagub Ahok telah bekerja dengan
baik.
Kedua, Ruhut Sitompul dan Drajat Wibowo membandingkan
Jokowi dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso yang
memimpin DKI selama 10 (sepuluh) tahun dan Fauzi Bowo yang
memimpin DKI selama 5 (lima) tahun ditambah 5 (lima tahun
menjadi wakil Gubernur DKI Jakarta,.Menurut saya kedua mantan
pemimpin DKI itu telah berprestasi , tetapi Gubernur Jokowi dan
Wakil Gubernur Ahok lebih berprestasi dan karena telah
membuat “success story” dalam satu tahun masa kepemimpinn
mereka di DKI Jakarta.
11. Ketiga, supaya adil dan mencerdaskan masyarakat, tunjukkan
juga success story yang dilakukan Presiden SBY yang bisa
dilihat dan dirasakan selama hampir 10 (sepuluh) tahun
memimpin Indonesia.. Begitu juga Hatta Rajasa, Menko
Perekonomian RI, yang selama hampir 5 (lima) tahun menjadi
Menko Perekonomian.
Saya mendukung berbagai kritikan terhadap Gubernur Jokowi
dan Wagub Ahok, tetapi kritikan sebaiknya yang
mencerahkan, menyadarkan dan mencerdaskan masyarakat.
Jangan menafikan kerja dan prestasi orang.
Masyarakat DKI Jakarta cerdas, kritis dan terbuka. Tidak
mungkin gandrung dan jatuh hati kepada Jokowi kalau tidak
ada bukti nyata yang dilakukannya selama satu tahun
memimpin DKI Jakarta.
Jangan menyalahkan masyarakat. Masyarakat DKI Jakarta dan
masyarakat Indonesia melihat realitas apa yang dilakukan
para pemimpin. Masyarakat tidak buta dan tidak membabi
buta dalam mendukung Jokowi.
12. Para pendukung Jokowi, hanya melihat realitas di
masyarakat yang menginginkan perubahan. Mereka
menangkap fenomena tersebut bahwa rakyat ingin
perubahan. Figur pemimpin yang diinginkan
masyarakat luas adalah antitesa dari kepemimpinan
sekarang yaitu yang sederhana, pekerja keras,
inovatif, dedikatif dan dekat dengan rakyat. Jokowi
adalah figur pemimpin yang ditunggu dan
diharapkan rakyat.
Mari kita mengeritik secara obyektif, mengeritik
yang mencerahkan, menyadarkan dan
mencerdaskan masyarakat untuk membangun
optimsime, kebersamaan, persatuan dan kesatuan.
Jakarta, 13 Januari 2014