Teks tersebut membahas hubungan antara Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, khususnya mengenai upaya penyelarasan kedua sistem hukum tersebut dengan menggunakan konsep maslahah dalam hukum Islam dan teori margin apresiasi dalam Hukum HAM internasional agar kedua sistem hukum tidak bertentangan."
1. HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM) DAN
HUKUM ISLAM
Abstrak
Perdebatan antara Hukum Internasional Hak Asasi Manusia
(HAM) dan Hukum Islam telah membuat kesenjangan yang
jelas dan kentara antara keduanya, hal tersebut
mengakibatkan adanya usaha untuk menyelaraskan keduanya
dengan pendekatan yaitu dengan konsep maslahah dalam
ushul fiqh dan teori margin apresiasi. Dengan kedua
pendekatan tersebut diharapkan bisa memahami HAM
internasional dan Hukum Islam menjadi selaras dan tidak ada
pertentangan yang mengakibat tuduhan-tuduhan miring
hubungan antara keduanya.
Kata kunci: Hukum internasional HAM, Hukum Islam, konsep
Maslahah, Margin Apresiasi.
A. Prawacana
Hubungan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional dan Hukum
Islam akhir-akhir ini mengalami perdebatan yang panjang, seolah HAM
yang selama ini dipahami tidak sejalan dengan hukum Islam, bahkan sama
sekali, sekaligus anti HAM. Kemudian beberapa prasangka pun
dilancarkan bahwa HAM adalah produk barat. Di sisi yang lain, barat juga
melancarkan serangan bahwa hukum Islam senyatanya tidak sesuai
dengan HAM Internasional.
Serangkaian tindakan yang saling membela diri dan tertutup
tersebut, menjadikan hubungan antara HAM dan Hukum Islam menjadi
saling bermusuhan dan tidak ada usaha untuk saling mendialogkan antara
keduanya dengan saling membuka diri dan tidak saling menjatuhkan satu
dengan yang lain.
Tentu hal tersebut tidak mudah, sebab tanggapan yang berbeda dari
umat muslim tentang HAM Internasioanl. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Halliday, bahwa setidaknya ada empat golongan dari masyarakat
1
2. muslim menanggapi persoalan isu tentang HAM internasional dan hukum
Islam. Pertama, Islam selaras dengan HAM Internasional. Kedua, Hak
Asasi Manusia secara sejati hanya bisa sepenuhnya diwujudkan di bawah
Hukum Islam. Ketiga, tujuan HAM internasional adalah agenda imperialis
yang seharusnya ditentang. Keempat, Islam tidak selaras dengan HAM
internasional.1
Mashood Baderin menambahkan golongan yang kelima,
yaitu golongan yang mengatakan bahwa tujuan dari HAM internasional
adalah adanya agenda besar anti-agama yang tersembunyi.2
Menurut Baderin, dari kelima golongan tersebut, yang paling bisa
dipertahankan adalah golongan yang pertama bahwa Islam selaras dengan
hak asasi manusia.3
tentu hal ini juga tidak semata-mata terbukti dengan
melakukan pembacaan secara samar, parsial atau bahkan terkesan
apologetic atas gagasan HAM di Barat dalam konsep hukum Islam.
Namun, oleh karena yang menjadi landasan berpikir dan bertingkah laku
dalam dunia Islam adalah al-Qur’an dan hadits, yang berkembang menjadi
hukum syariat, fiqh, ushul fiqh, dst. Maka secara jelas di dalam al-Qur’an
terdapat nilai-nilai universal seperti nilai keadilan, kesejahteraan
masyarakat, sekaligus secara praktis partikular, seperti qishas, hudud, dst.
Dari hal tersebut, maka dalam catatan ini akan mencoba
menghubungkan antara HAM internasional dan Hukum islam secara
dialogis, sebagaimana yang diinginkan oleh Mashood Baderin. Bagaimana
hubungan antara keduanya agar tidak adanya saling menuutup diri dan
saling berpraduga buruk tanpa dialog untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih baik antara keduanya?, yaitu perkembangan hukum islam untuk
menanggapi isu-isu global.
B. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Islam
1 Mashood Baderin, International Human Right and Islamic Law, penj. Musa Kazhim,
dkk. (Komisi Nasional HAM), cet. II, hlm. 11-12
2 Baderin, hlm. 12
3 Baderin, hlm. 12
2
3. Adalah benar bahwa yang memunculkan kali pertama istilah HAM
adalah negara-negara Eropa, yaitu bisa diartikan sebagai hak-hak
perseorangan yang tumbuh dari pemikiran eropa modern tentang hukum
alam. Hak-hak ini diangkat menjadi standar hukum-institusional di Barat.
Dengan adanya Deklarasi Universal HAM oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) tahun 1948, sekarang hak-hak ini menjadi sebuah hukum
internasional.4
Alasan kenapa hak-hak tersebut bisa menjadi sebuah produk
hukum internasional, dikarenakan HAM dipercaya memiliki nilai
universal. Nilai universal di sini menurut sebagaian pendapat, tidak
mengenal batas ruang dan waktu.5
Nilai universalitas yang kemudian
diejawantahkan dalam berbagai produk hukum di berbagai negara untuk
dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan nilai
unversal ini dikukuhkan dalam instrument internasional. Termasuk
perjanjian internasional di bidang HAM, seperti: International Covenant
on Civil and Political Rights; Internastional Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights; International Convention on the Elimination
of All Forms of Diskrimination Against Women; Convention Against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment; Convention on the Rights of the Child; dan Convention
Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of
the Worst Forms of Child Labour.6
4 Bassam Tibi, Syari’at dan Hak Asasi Manusia: Hukum Internasional dan Hubungan
Internasional, Pen. Anwar Masduki Azzam, Jurnal Mlangi, Volume I, No. 3, November 2013 –
February 2014
5 Banyak yang menyatakan HAM otomatis berlaku universal. Namun, sebaliknya ada
pandangan yang menyatakan bahwa HAM bersifat partikular. Dalam dataran teori, wacana tentang
hal ini menghasilkan pendapat-pendapat yang berbeda dengan alasan masing-masing. Namun,
pada umumnya mengakui bahwa HAM berlaku universal, sebagaimana terdapat di dalam
instrumen HAM internasional. Lihat. A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi
Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (Hakham),
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm.78-79.
6 Hikmahanto Juwana, “Pemberdayaan Budaya Hukum dalam Perlindungan HAM di
Indonesia: HAM dalam Perspektif Sistem Hukum Internasional”, dalam Muladi (ed.), Hak Asasi
Manusia: Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Persepektif Hukum dan Masyarakat,
(Bandung: PT Rafika Aditama, 2009), p. 70-71
3
4. Paradoks Universalitas HAM dan Relativisme Budaya
Sampai di sini, sebelumnya harus ada pembedaan yang jelas antara
universalitas HAM dan universalisme HAM, meskipun keduanya sangat
berhubungan erat, namun kedua istilah tersebut sering mengacaukan
dalam wacana HAM internasional. Sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh Mashood Baderin bahwa:
“Universalitas hak asasi manusia mengacu pada sifat penerimaan
yang universal atau mendunia atas ide hak asasi manusia…
sedangkan universalisme hak asasi manusia berkaitan dengan
penafsiran dan penerapan ide hak asasi manusia.”7
Melalui pendapat di atas, maka universalisme HAM sangat rentan
apabila dipertentangkan dengan latar belakang dari berbagai negara di
dunia yang sangat plural, meliputi agama, kebudayaan, adat, dsb. yang
akhirnya akan menafikan pluralitas negara-negara non-barat.
Pendukung ide tersebut biasanya disinyalir dari sarjana-sarjana non
barat yang berpendapat bahwa HAM tidak sepenuhnya eksklusif berakar
dari Barat, namun inheren dalam watak manusia secara primordial yang
berpijak pada moralitas.8
Jadi, relativitas sosial-budaya dari universalisme
HAM merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dinafikan begitu
saja dalam kompleksitas wacana HAM tersebut.
Oleh sebab itu, perlu adanya penyesuaian-penyesuaian
Universalitas HAM internasional untuk menanggapi perbedaan
kebudayaan yang ada di dunia ini, atau bila tidak, kebudayaan-kebudayaan
7 Baderin, hlm. 22. Secara bahasa, sufiks (imbuhan akhiran) –itas menerangkan kualitas,
keadaan atau tingkat suatu fenomena, sementara sufiks –isme menerangkan sistem, prinsip, hasil,
atau praktik fenomena tersebut.
8 Baderin, hlm. 26
4
5. yang plural tersebut harus dimaknai dan ditafsirkan ulang untuk
menanggapi universal HAM yang sekarang sudah menjadi wacana global.
Hal ini menunjukkan kemustahilan untuk mengadopsi secara copy-paste
tentang HAM internasional atas keragaman budaya yang mempunyai nilai
tersendiri sesuai dengan tempatnya.
Relevansi Hukum Islam dalam Hukum HAM internasional
Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas bahwa mustahil
mengaplikasikan nilai universalitas HAM internasional di semua negara-
negara di dunia disebabkan adanya keberberdaan budaya yang sangat luas,
maka selanjutnya akan dibahas bagaimana relevansi hukum islam dalam
hukum HAM internasional. Namun, sebelumnya harus dijelaskan terlebih
dahulu perihal tentang ruang lingkup hukum Islam.
Baderin menjelaskan tentang hukum Islam dengan cukup
memuaskan yang secara ringkas bisa dilihat sebagaimana berikut:
1. Hukum Islam merupakan keragaman yang tidak bisa
dikonsepsikan hanya dengan satu produk hukum, namun
dengan satu kesatuan sumber, yaitu al-Qur’an dan hadits.
Hukum islam adalah produk dari berbagai sumber dan
metodenya. Baderin membedakan bahwa syariat adalah sumber
yang darinya hukum ditetapkan, sedangkan fiqih sebagai
metode yang dengannya hukum diturunkan sekaligus
diaplikasikan.9
2. Mengembangkan metode-metode hukum islam seperti ijma’,
qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, maslahah, dsb. Hal ini untuk
menghindari taklid buta dengan salah satu madzhab dan
menghentikan proses perkembangan hukum Islam yang secara
9 Baderin, 31-33
5
6. historis berfungsi untuk menjawab ruang lingkup realitas
kehidupan manusia yang beragam, dan temporal.10
3. Kemaslahatan (al-Maslahah) merupakan konsep yang
dikukuhkan bagi penerapan hukum Islam dan merupakan
sarana yang paling bisa berjalan untuk mewujudkan cita-cita
islam untuk semua tempat dan waktu.11
Dalam hal ini, konsep
maqasyid as-Syari’ah juga telah diidentifikasi sebagai
peningkatan kemaslahatan manusia.
4. Prinsip justifikasi dalam hukum islam seharusnya
mempertimbangkan argumen-argumen moral dan kebutuhan
akan keadilan substantif dalam hubungan-hubungan manusia.
dalam hal ini akan membutuhkan kajian komparatif atas
penafsiran ulang teks untuk pergeseran paradigma hukum
Islam yang kaku agar lebih humanis, sekaligus menafsirkan
eksklusionis hukum HAM internasional yang sama sekali tidak
mempertimbangkan nilai-nilai normatif hukum Islam.12
Dari empat poin di atas, yang menjadi pertimbangan paling
dominan menurut Baderin adalah konsep maslahah. Hal ini dikarenakan
konsep maslahah merupakan pendekatan holistis yang penting untuk
mewujudkan ruang lingkup yang tepat dan luhur dari hukum islam.13
Inilah sebuah doktrin yang ingin dijelajahi oleh Baderin dengan
menghadapkan doktrin HAM secara vis a vis yang berasal dari Eropa
10 Baderin, 36-39
11 Baderin, 41-43
12 Baderin, 45-46
13 Baderin, 39. Dalam hal ini Baderin secara jelas mengikuti logika al-Ghazali dan as-
Syatibi yang mengklasifikasikan kebutuhan sebagai pertimbangan hukum menjadi tiga yang
secara hirarkis yaitu pertama, kebutuhan primer (dlaruriyah) yang dibagi menjadi lima yaitu
melindungi hidup, agama, akal, keluarga dan kepemilikan, inilah yang disebut sebagai Maqashid
as-Syariah, kedua adalah kebutuhan sekunder (hajjiyat), dan yang ketiga adalah kebutuhan tersier
(tahsiniyah). Lihat: Baderin, 42-43
6
7. tentang margin apresiasi (margin of appreciation).14
Sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh Baderin bahwa:
“…perlunya mengambil doktri marjin apresiasi oleh badan-badan
perjanjian HAM PBB dalam menafsirkan perjanjian-perjanjian
internasional HAM. Doktrin marjin apresiasi berkembang dalam
tatanan HAM di Eropa, dan sudah didefinisikan sebagai garis
batas di mana pengawasan Internasional harus mengalah pada
pertimbangan Negera Pihak dalam merancang atau menegakkan
hukumnya.”15
Dengan menggunakan kedua doktrin tersebut, akan membantu
untuk menghadapi realitas sosial kehidupan yang global dan plural, yang
kemudian diharapkan bisa membuat produk hukum yang mengakomodir
semua kepentingan dari semua latar belakang kehidupan manusia itu
sendiri.
HAM Internasional dalam Sorotan Hukum Islam
Dalam pembahasan ini, terdapat banyak sekali konvenan
Internasional tentang hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Namun dikarenakan keterbatasan ruang, dalam catatan ini hanya
membahas satu pasal saja, yaitu tentang “Hukuman Pidana Islam dan
Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”.
Pasal 7 dalam hukum Intenasional HAM menyebutkan bahwa:
“Tidak seorangpun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau
hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat. Khususnya, tidak seorangpun dapat dijadikan objek
eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuannya.”
14 Menurut McDonald, margin apresiasi merupakan prinsip pembenaran di bawah aturan
hak asasi manusia Eropa. Lihat footnote nomor 26 dalam Baderin, hlm. 5
15 Baderin, hlm. 239-240
7
8. Bertolak dari sifat mulia manusia dalam syariat, sejatinya tidak ada
pertentangan antara hukum internasional di atas dengan hukum islam
terkait dengan penganiayaan dan penyiksaan kepada individu. Namun,
ternyata sebagian hukuman pidana dalam hukum Islam telah dipersoalkan
dalam wacana HAM internasional. Hudud dan Qishash misalnya,
dianggap sebagai tidak manusiawi dan tidak bermartabat. Lalu bagaimana
menyikapi hal tersebut?.
Dalam hal ini, pertama yang harus dilihat adalah tidak ada
kesepakatan secara universal perihal kategori hukuman kejam, tidak
manusiawi, dan tidak bermartabat. Ini sangat mustahil dilakukan sebab
faktor geografis dan sosiologis sangat menyusahkan dicapainya standar
universal bagi hukuman pidana.16
Kedua, hukuman potong tangan bagi pencuri (sariq) yang termuat
dalam QS. al-Maidah: 38 masih membutuhkan interpretasi yang sangat
luas, sebab misalnya tidak ada batasan berapa banyak harta yang dicuri
ketika seseorang wajib untuk dihadd.
Dari kedua hal di atas, menurut penulis menunjukkan masih
adanya kesamaran dalam menentukan persoalan, oleh sebab itu
dibutuhkan proses ijtihad yang matang untuk menjembatani antara
keduanya.
Untuk menanggapi hal tersebut, menurut Baderin, yang harus
diperketat adalah proses prosedural atas hukuman hudud, hal ini akan
menjadi sebuah bahan pertimbangan agar hukum Islam yang sesuai
dengan perintah al-Qur’an tidak dihilangkan atau dianggap sebagai
hukuman yang tidak manusiawi, tidak bermartabat, dan tidak kejam.17
C. Pendekatan Komplementer dan Sarana Mewujudkan HAM
Internasional
16 Baderin, 78-79
17 Baderin 84-84
8
9. Dari pembahasan di atas sebagai upaya untuk mendialogkan
keberbedaan yang dimiliki oleh HAM internasional dan Hukum Islam,
yang selanjutnya dijembatani oleh ide margin apresiasi dan konsep
maslahah dalam Islam merupakan sebuah upaya untuk menemukan ide-ide
universal tentang HAM yang masih membutuhkan penyesuaian demi
penyesuaian.
Oleh sebab itu, dibutuhkan pendekatan dan metode yang inklusif,
evolusioner dan konstruktif untuk bisa memberikan yang terbaik atas
kedua hukum tersebut, demi memperkaya HAM secara universal dan
terutama di dunia Muslim. Lingkup HAM internasional dapat secara lebih
positif ditingkatkan di dunia Muslim melalui penafsiran syariat secara
moderat, terbuka, dinamis dan konstruktif.18
Adapun sarana untuk mewujudkan HAM internasional menurut
Baderin yang pertama adalah pada ranah pendidikan, menurutnya
keterbelakangan tentang prinsip-prinsip HAM kontemporer dan
kemiskinan pendidikan HAM merupakan faktor utama pengendur
penegakan HAM di banyak negara muslim.19
Kedua, pelatihan yudisial dalam HAM. Sebagaimana diketahui
bahwa peranan hakim adalah sangat penting di dalam proses pelaksanakan
hukum, oleh karena itu untuk menceriminkan pendekatan HAM dan
keadilan dalam dunia muslim, pengadilan dan para hakim harus sadar akan
wacana HAM.
Ketiga, Komisi Nasional HAM. PBB mendorong negara-negara
anggotanya untuk membentuk komisi nasional HAM yang mandiri untuk
meningkatkan pelaksanakan HAM di negara yang bersangkutan.
Dengan demikian, dari berbagai pendekatan dan pembaharuan
tafsir dari kalangan dunia Muslim tentang ide HAM internasional dan
18 Baderin, hlm. 227
19 Baderin, 231
9
10. kemudian ditransformasikan pada posisi yang strategis dalam sebuah
negara akan membuat wacana HAM internasional dan hukum Islam
menjadi lebih baik dan membumi.
D. Catatan Kecil Untuk Baderin
Usaha Baderin dalam mendialogkan HAM Internasional dengan
Hukum Islam merupakan usaha yang sangat baik, hal ini disebabkan
banyaknya anggapan yang menuduh bahwa hukum islam tidak sesuai
dengan HAM, dan sebaliknya. Praduga seperti demikian tidak lain
disebabkan tidak ada proses dialog antara keduanya, di sinilah letak
Baderin yang ingin menjadi wasith di tengah kedua arus tersebut. Untuk
menjembatani keduanya, ia memilih mempertimbangkan aspek maslahah
dalam islam dengan margin apresiasi sebagai alat untuk mengembangkan
Hukum islam dan HAM internasional. Namun terdapat catatan penting
dalam menanggapi wacana Baderin di atas:
Pertama, dalam sejarah ilmu fiqih, perbedaan pendapat antar
madzhab merupakan hal yang sangat wajar terjadi, namun di antara
perbedaan pendapat tersebut masih berada dalam satu koridor al-Qur’an
dan hadits. Dari landasan ini, Baderin berangkat untuk mendialogkan
produk hukum Islam dengan isu kontemporer HAM internasional. Jadi
pengkultusan turats klasik tidak dibenarkan menurut Baderin, sebab semua
pemikiran selalu terbatasi oleh ruang dan waktu yang melingkupinya.
Kedua, teori Maslahah dan Margin Apresiasi yang menjadi titik
tekannya dan juga sering disebut-sebut menurut penulis belum diulas
secara lebih mendalam, yang mengakibatkan wacana yang dikemukakan
terkesan hanya mengungkapkan contoh-contoh kasus yang sedang terjadi
di berbagai negara dengan penyelesaian yang tidak memuaskan. Teori
maslahah yang dikemukakan pun terkesan hanya copy-paste atas teori
yang diungkapkan oleh al-Ghazali dan as-Syatibi.
10
11. Ketiga, salah satu sarana pendidikan yang telah ditawarkan oleh
Baderin sebagai perwujudan stimulus wacana HAM internasional dan
Hukum Islam sangat menarik untuk dijadikan catatan pada kesempatan
ini. Mengingat di negara Indonesia wacana HAM ini hanya lebih
dieksplorasi pada tingkatan pendidikan perguruan tinggi, sedangkan pada
tingkatan SMP dan SMA belum dijadikan objek wacana HAM tersebut.
Belum lagi lembaga-lembaga keagamaan yang bersifat non-formal, tentu
asing dengan wacana tersebut.
Oleh sebab itu, seharusnya wacana HAM sudah diperkenalkan
terlebih dahulu ke jenjang pendidikan sebelum perguruan tinggi, terutama
lembaga-lembaga agama Islam, seperti madrasah-madrasah, pondok
pesantren. Galibnya, lembaga keagamaan tersebut hanya memberikan
materi fiqih yang cenderung legal-formal dan sedikit menyinggung
persoalan kemanusiaan dalam al-Qur’an dan hadits, atau konsep-konsep
kesetaraan hak dan kewajiban dalam al-Qur’an, dsb.
Hal ini akan lebih dapat meminimalisir anggapan peserta didik
ketika ia duduk di perguruan tinggi bahwa HAM dan hukum Islam tidak
ada hubungannya sama sekali, dan bahkan wajib ditentang.
E. Kesimpulan dan Penutup
Dari beberapa penjelasan singkat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kesenjangan yang ada di antara HAM internasional dan Hukum
islam, menurut Baderin bisa dijembatani dengan konsep maslahah dalam
ilmu ushul fiqh dan margin apresiasi.
Selanjutnya HAM internasional dan Hukum Islam harus didekati
dengan mempertimbangkan aspek hukum regional dan perbedaan budaya
agar dapat mewujudkan pengembangan HAM internasional yang universal
tanpa diskriminasi negara tertentu.
11
12. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk membangun
pemahaman yang lebih baik.
12