Teks tersebut membahas tentang berbagai gaya dan pendekatan belajar serta kecerdasan. Terdapat tujuh gaya belajar yang diidentifikasi yaitu visual, auditori, kinestetik, intelektual, aktivis, pragmatis, dan reflektif. Jenis kecerdasan meliputi verbal-linguistik, matematis-logis, visual-spasial, dan kinestetik-jasmani. Pemahaman gaya belajar pribadi penting agar pembelajaran menjadi lebih efektif.
1. La Ode Supardi, S.Pd., M.Pd./Belajar dan Pembelajaran
1
GAYA DAN PENDEKATAN BELAJAR = KECERDASAN
1. MENGENALI GAYA BELAJAR
Orang suka bicara soal life style, gaya atau cara hidup, tetapi sangat jarang
membicarakan gaya atau cara belajar, learning style. Dalam perspektif pembelajaran,
karena hidup adalah belajar, maka gaya hidup yang dominan dalam sebuah masyarakat
kiranya dapat dipahami sebagai pencerminan gaya belajar masyarakat tersebut.
Masyarakat Indonesia, misalnya. Pragmatisme, materialisme, dan konsumerisme yang
begitu kasat mata telah membuat sebagian besar anggota masyarakat hanya belajar kalau
akan dapat "hadiah" atau karena "dipaksa" oleh kenyataan hidup. Belajar untuk dapat
"hadiah" adalah gaya belajar "sarimin", si topeng monyet yang mau disuruh menari ke
sana kemari agar diberi kacang kesukaannya; atau gaya belajar lumba-lumba, yang
bersedia menyundul bola dan menerobos lingkaran api agar diberi makanan oleh
pelatihnya seperti di Taman-Taman pusat kota; atau gaya belajar kekanakkanakan, yang
harus dibujuk dengan permen atau mainan supaya mau mengerjakan PR sekolahnya.
Celakanya, gaya belajar model "sarimin", "lumba-lumba", dan "kekanak-kanakan" itu
masih dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat usia dewasa, bahkan kaum elite
yang bercokol di pumcak-puncak kekuasaan negeri ini. Kalau tidak diiming-imingi sesuatu,
entah itu uang, jabatan, atau popularitas, banyak orang tidak mau helajar sungguh-
sungguh, tidak terus-menerus menambah pengetahuan, tidak meningkatkan keterampilan
secara berkesinambungan, tidak berusaha menarik sebanyak mungkin pelajaran dari
pengalaman hidup sehari-hari, dan tidak berupaya mempurbaiki kinerja-prestasi atau pe
ytotnmicc-nya secara serius.
Di samping gaya belajar "sarimin" dan "lumba-lumba", gaya belajar kedua yang do-
minan dalam masyarakat pragmatis dan materialistis adalah gaya belajar "kepepet" atau
"terpaksa". Kalau sudah dipaksa oleh keadaan, orang baru mulai belajar. Paksaan itu bisa
datang dari orangtua, pengajar atau atasan, tetahi juga bisa dari peristiwa yang tidak
menyenangkan seperti di-PHK atau dipensiundinikan secara tiba-tiba, dirampok karena
terlalu sering memamerkan kekavaan secara mencolok ketika masyarakat sedang susah,
ditinggal mati oleh penopang hidup keluarga, dilanda musibah kebakaran atau banjir yang
menelan hasil kerja bertahun-tahun dalam sekejap mata, clan sebogainya. Singkatnva,
banvak orang baru sadar bahwa ia masih perlu banyak belajar kalau ia sudah kepepet oleh
keadaan, kalau sudah dipaksa untuk berubah, kalau pilihannya sudah ekstrem seperti
"belajar/berubah atau mati".
Gaya belajar "sarimin" atau gava belajar kepepet" di atas lebih merupakan
dramatisasi dari kenyataan vang menunjukkan bahwa masyarakat kita didominasi oleh
orang-orang yang "susah belajar" (kata lain dari "antibelajar"). Ibarat orang yang masih
dalam taraf "susah hidup" tidak sempat memikirkan "gaya hidup", maka demikianlah orang
2. La Ode Supardi, S.Pd., M.Pd./Belajar dan Pembelajaran
2
yang "susah belajar" tidak sempat memikirkan soal gaya belajarnya. Belajar saja susah,
apalagi memikirkan soal gaya".
Umumnya dapat dikatakan bahwa orang yang tidak tahu gaya belajarnya adalah
mereka yang masih sangat bergantung kepada "orang lain" dalam soal belajar. Mereka
menanti dicekoki, diberi tahu, dilatih, entah oleh orangtua, atasan, pengajar, atau
pelatihnya. Tidak ada pengetahuan diri yang cukup memadai dan kurang sekali inisiatif
unhtk belajar secara mandiri, tanpa disuruh-suruh, tanpa ditunggui, tanpa diawasi, tanpa
diiming-imingi "hadiah". Kalau orang yang belum mampu belajar secara mandiri ini menjadi
pejabat/manajer, maka ia akan menjadi pejabat/manajer yang selalu menunggu petunjuk
dari bos/atasannya, atau yang sekadar Asal Bapak Senang (ABS).
Hemat saya, soal gaya belajar ini perlu dikenali oleh setiap orang yang ingin menjadi
pembelajar mandiri (independent learner), yang ingin menjadi "manusia bebas" dalam arti
terbebas dari lingkungan pengajar clan pelatili formalnya (entah di sekolah, universitas,
ataupun di perusahaan dan dunia kerja lainnva). Sebab dengan mengetahui gaya
belajarnya, seseorang dapat mengambil inisiatif mempelajari sesuatu yang sesuai dengan
minat, bakat, potensi, dan talentanya. Dengan demikian, ia dapat mengembangkan dirinya
terus-menerus, baik ketika masih duduk di bangku sekolah formal, terutama dalam
kehidupan sehari-hari di luar lembaga-lembaga pengajaran dan pelatihan itu. Singkatnya,
mengenali gaya belajar pribadi merupakan sesuatu yang perlu, meski belum mencukupi
untuk dapat memanusiawikan diri sendiri secara terus menerus.
kita dapat mengenali sedikitnya ada tiga gaya belajar, yakni:
(1) gaya visual, yakni pembelajar yang dapat belajar secara lebih efektif jika
mempergunakan penglihatan fisiknya, misalnya dengan membaca, mengamati,
menonton video/film, dan segala cara yang melibatkan indra penglihatannva;
(2) gaya auditori, yakni pembelajar yang lebih cepat belajar dengan cara berbicara dan
mendengarkan (termasuk membaca dengan bersuara keras), atau berdialog dengan
orang lain (termasuk wawancara), dan cara lain yang intinya melibatkan telinga secara
aktif;
(3) gaya kinestetik, yakni pembelajar yang belajar dengan cara menggerakkan tubuhnya,
mengalami secara langsung, aktif secara fisik, terjun ke lapangan, mencicipi dan
merasakan, dsb.
(4) gaya belajar intelektual, belajar dengan berpikir dan membayangkan, menciptakan
model mental, merenung, dan sebagainya.
Honey dan Mumford dalam The Manual of Learning Style (1986) menawarkan
empat gaya belajar yang patut diduga dikaitkan dengan empat bentuk dasar kepribadian
manusia (sanguin, flegmatik, kolerik, dan melankolik), yakni:
(1) gaya belajar aktivis yang ditandai dengan keterbukaan pikiran dan antusiasme yang tinggi;
(2) gaya belajar pragmatis yang mengutamakan pemecahan masalah secara "membumi";
3. La Ode Supardi, S.Pd., M.Pd./Belajar dan Pembelajaran
3
(3) gaya belajar teoretis yang mengutamakan logika dan analisis; serta
(4) gaya belajar reflektif, suka memerhatikan, menyimak, dan mengamati untuk direnung-
renungkan.
Untuk lebih memantapkan efektifnya gaya belajar maka seharus para pembelajar juga
harus memilih atau mencari waktu yang tepat dan tempat yang menyenangkan untuk menerapkan
gaya belajar yang menjadi favorit.
SmartorKids mengidentifikasi tujuh gaya atau pendekatan belajar yang berguna bagi
orangtua maupun pengajar sckolah, yakni:
(1) pendekatan dengan sentuhan fisik. Pada intinya gaya belajar model ini sangat
mengandalkan gerak tubuh. Orang atau anak-anak yang suka bermain sambil belajar,
menggerakkan anggota tubuhnya, tak bisa duduk diam adalah mereka memiliki gaya
belajar ini. Kelak mereka mungkin lebih baik memilih karier yang dalam praktiknya
memerlukan gerak tubuh seperti penari, olahragawan/wati, dan dunia seni rupa.
(2) pendekatan intrapersonal. Orang atau anak-anak yang memiliki kecenderungan belajar
intrapersonal umumnya lebih suka menyendiri, meski mereka tidak antisosial. Mereka bisa
berhubungan dengan orang lain, hanya saja dalam soal belajar mereka lebih suka
menyendiri. Mereka cenderung memecahkan persoalamya secara mandiri, tanpa
melibatkan orang lain.
(3) pendekatan interpersonal. Orang atau anak-anak yang suka berkelompok, memecahkan
masalah temannva bersamasama, adalah mereka yang belajar dengan cara ini.
Pendekatan belajarnya adalah kooperatif. Kelak anak-anak yang senang belajar dengan
cara interpersonal ini dimungkinkan untuk berhasil dalam karier sebagai konsultan,
pengajar, politisi, pelatih, pengelola bisnis, dan entertainer.
(4) pendekatan bahasa. Orang atau anakanak yang sangat menyukai kegiatan membaca buku
dan menulis menunjukkan gaya belajar. Dongeng, cerita, penjelasan verbal sangat mereka
sukai. Kelak mereka mungkin akan sangat berhasil dalam karier sebagai jurnalis,
penyunting, dosen, atau penulis naskah.
(5) pendekatan matematis. Orang atau anak-anak yang menyukai segala sesuatu yang
memerlukan perhitungan, angka, garis, dan logika, adalah mereka yang belajar dengan
cara ini.
(6) pendekatan musik. Orang atau anak anak yang belajar dengan cara ini menunjukkan
respons spontan bila mendengarki, suara musik atau iwanvian. Mereka menyukai suasana
riang.
(7) pendekatan visual. Orang atau anakanak vang belajar dengan cara ini menyukai tampilan
dalam bentuk gambar, tontonan, yang tampak secara visual.
Pemahaman mengenai gaya belajar secara langsung dihubungkan dengan potensi
pembelajar itu sendiri. Karena itu gaya belajar jangan dipaksakan, tetapi harus dikenali agar dapat
dikembangkan secara baik. Dari penjelasan mengenai bermacam-macam gaya belajar di atas,
4. La Ode Supardi, S.Pd., M.Pd./Belajar dan Pembelajaran
4
secara umum dapat dikatakan bahwa gaya belajar seseorang sangit dipengaruhi oleh kepekaan
indranva (rnata, telinga, kulit, lidah, hidung), corak kepribadian yang mencakup minat dan
bakatnya, juga aspirasi atau cita-cita hidupnya, serta persepsinya tentang makna belajar.
Sementara dalam konteks masyarakat, gaya belajar "kolektif" yang dominan boleh jadi sangat
ditentukan oleh kebudayaan, sistem sosial politik, serta struktur sosial ekonomi yang ada (model
"sarimin" dan "kepepet" adalah contohnya yang negatif).
Saya kira setiap orang bisa belajar dengan berbagai macam gaya tersebut, namun salah
satu atau beberapa gaya akan lebih dominan ketimbang lainnya. Orang lain atau teman, misalnya,
lebih mudah belajar dengan pendekatan auditorikinestetik atau gaya pragmatis, sementara
sebagian orang lebih suka visual-auditori dan aktivis-reflektif. Atau adik kita, lebih awal menun-
jukkan kecenderungan untuk belajar dengan pendekatan sentuhan fisik-musik-interpersonal;
sementara adiknya lebih cenderung intrapersonal-matematis-bahasa. Pada titik ini mungkin perlu
ditegaskan pula bahwa tidak ada gaya yang lebih baik di antara semua gaya itu. Semua gaya
belajar itu pada dasarnya baik. Yang penting, si pembelajar memahami gaya belajarnya masing-
masing sehingga dapat belajar secara lebih efektif dan lebih sesuai dengan keunikan dirinya
sebagai anak.
2. Kecerdasan
Sama seperti "belajar" memiliki begitu banyak pengertian dan definisi yang ditawarkan,
demikian juga halnya dengan kecerdasan atau intelligence. Di antaranya adalah:
Cerdas berarti sempurna perkembangan akal budinya (pandai, tajam pikiran, dsb.); sempurna
pertumbuhan tubuhnya (seperti sehat, kuat, dsb.).WJS Poerwadnrmintn
Kecerdasan adalah kualitas bawaan sejak lahir, sebagai hal yang berbeda dari kemampuan
yang diperoleh melalui pengalaman individual. Encyclopedia Britannica
Kecerdasan adalah kekuatan dari persepsi, pembelajaran (learning), pengertian, dan
pengetahuan; suatu kemampuan mental. -A.S. Hornby
Kecerdasan adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan yang sudah ada untuk
memecahkan masalah-masalah baru; tingkat kecerdasan diukur berdasarkan. Donald Stcrncr
Kecerdasan adalah kemampuan untuk melakukan pemikiran abstrak. Lewis M. errnnn
Kecerdasan adalah kualitas bawaan sejak lahir, sebagai hal yang berbeda dari kemampuan
yang diperoleh melalui proses belajar. -Herbert Spencor
Kecerdasan adalah kecakapan untuk bertindak secara sengaja, berpikir secara rasional, dan
berhubungan secara efektif dengan lingkungan. -D. Weclvsler
Kecerdasan adalah kemampuan untuk menghadapi masalah dengan sikap yang tak
terprogram (kreatif). -Stephen J. Gould
Kecerdasan adalah kemampuan untuk mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi
situasi lingkungan.-Robert Franklin
5. La Ode Supardi, S.Pd., M.Pd./Belajar dan Pembelajaran
5
Tujuh jenis kecerdasan, dalam buku Intelligence Refrntrud (1999) :
(1) kecerdasan verbal-linguistik, terutama berhubungan dengan bahasa, aktivitas membaca
dan menulis. Kita menyaksikan jenis kecerdasan ini pada penulis, penyair, dramawan, ahli
pidato, dsb;
(2) kecerdasan matematis-logis, terutama diasosiasikan dengan kemampuan berpikir "ilmiah",
logis, dan runtut, sebagaimana didemonstrasikan antara lain oleh mereka yang menekuni
profesi sebagai ilmuwan, akuntan, bankir, ahli hukum, ahli matematika, dsb;
(3) kecerdasan visual-spasial, terutama berhubungan dengan seni-seni visual seperti melukis,
menggambar, memahat, membuat peta, merancang desain interior, arsitektur, dsb;
(4) kecerdasan kinestetik-jasmani, terutama ditunjukkan lewat kemampuan olah tubuh/otot
dan ketangkasan fisik seperti yang didemonstrasikan oleh para penari, atlet renang, lari,
bela diri, sepeda, dsb;
(5) kecerdasan musikal-ritmik, terutama ditandai oleh kepekaan terhadap bunvibunyian, pola
nada dan irama, yang antara lain dimiliki oleh musisi, penyany_ i, dan pekerja musik
lainnya;
(6) kecerdasan intrapersonal, terutama berhubungan dengan pengetahuan diri, intuisi,
kesadaran diri, refleksi, sebagaimana patut diduga dimiliki oleh ahli filsafat, rohaniwan,
psikiater, dsb;
(7) kecerdasan interpersonal atau "sosial", terutama berhubungan dengan kemampuan
bergaul dengan banyak orang, memahami dan berempati atau berkomunikasi dengan
orang lain, seperti yang mungkin dimiliki oleh politisi, pemasar/ penjual, dsb;
(8) kecerdasan naturalis, yakni kemampuan membedakan atau mengelompokkan jenis-jenis
flora dan fauna serta bangunbangun alam dan awan, seperti yang dimilik ahli biologi,
zoology dan pawang
Sedangkan menurut Goleman kecerdasan atau kecakapan terbagi dari dua yakni kecapan pribadi
dan kecakapan sosial.
Kecakapan pribadi terdiri dari tiga unsur:
Pertama, kesadaran diri-mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya, dan
intuisi. Orang yang memiliki kesadaran diri tinggi adalah mereka yang memiliki (a) kesadaran
emosi, mengenal emosi diri sendiri dan efeknya; (b) penilaian diri secara teliti, mengetahui
kekuatan dan batas-batas diri sendiri; (c) percaya diri, memiliki keyakinan tentang harga diri dan
kemampuan sendiri;
Kedua, pengaturan diri-mengelola kondisi, impuls, dan sumber daya diri sendiri.
Kemampuan mengatur diri ini terutama ditandai oleh (a) pengendalian diri, mengelola emosi-
emosi dan desakandesakan hati yang merusak; (b) sifat dapat dipercaya, memelihara norma
kejujuran dan integritas; (c) kewaspadaan, bertanggung jawab atas kinerja pribadi;
6. La Ode Supardi, S.Pd., M.Pd./Belajar dan Pembelajaran
6
(d) adaptabilitas, keluwesan dalam menghadapi perubahan; dan (e) inovasi, mudah
menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasiinformasi baru;
Ketiga, motivasi-kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan proses
pencapaian sasaran. Motivasi mencakup (a) dorongan prestasi, yakni dorongan untuk menjadi
lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan; (b) komitmen, menvesuaikan diri dengan
sasaran kelompok atau perusahaan; (c) inisiatif, yakni kesiapan untuk memanfaatkan
kesempatan/peluang; dan (d) optimisme, kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati
ada halangan dan kegagalan.
Sementara apa yang disebut Goleman sebagai kecakapan sosial terdiri dari dua unsur
lainnya, yakni:
Pertama, empati-kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.
Empati mencakup (a) memahami orang lain, mengindra perasaan dan perspektif orang
lain, dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka; (b) orientasi pelayanan,
mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan; (c)
mengembangkan orang lain, merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan
berusaha menumbuhkan kemampuan mereka; (d) mengatasi keragaman, menumbuhkan
peluang melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang; dan (e) kesadaran politis,
mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan
kekuasaan.
Kedua, keterampilan sosial-kepintaran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki
pada orang lain. Keterampilan sosial ini mencakup (a) pengaruh, taktiktaktik untuk
meyakWkan orang; (b) komunikasi, mengirimkan pesan yang jelas dan meyakinkan; (c)
kepemimpinan, membangkitkan inspirasi clan memandu kelompok dan orang lain; (d)
katalisator perubahan, memulai clan mengelola perubahan; (e) manajemen konflik,
negosiasi dan pemecahan silang pendapat; (f) kolaborasi dan kooperasi, kerja sama dengan
orang lain demi tujuan bersama; dan (g) kemampuan tim, menciptakan sinergi keiompok
dalam memperjuangkan tujuan bersama.