Menemukan Arah Kehidupan, Dari Mana..? Untuk Apa..? Mau Kemana..?
Ahlussunnahwaljamaah
1. Sabda Rasulullah saw memang benar dan sunnah Allah telah menjadi kenyataan bagi
makhluk-Nya. Umat selalu terpecah belah sepeninggal rasul-Nya. Setelah datang ilmu
kepada mereka (namun mereka saling berlaku zalim) maka manusiapun berjalan mengikuti
hawa nafsunya. Mereka saling berbeda pendapat hingga timbullah berbagai mahdzab,
aliran, bid’ah dan berbagai pandangan. Mereka meninggalkan kitab Rabbnya dan sunnah
Nabi. Akibatnya mereka terlempar dalam jurang-jurang kesesatan, mereka lebih mengikuti
keinginannya daripada mengikuti petunjuk Allah dan Rasulullah.
Namun disela-sela itu semua, sebagai realisasi sunnah Allah seperti yang disabdakan Rasul-
Nya, ternyata bendera golongan yang selamat (Firqah an-Najiyah) tetap berkibar dengan
megahnya. Di bawah panji inilah bernaung orang-orang yang menginginkan keselamatan
dan perlindungan Allah dari segala ajaran sesat. Mereka inilah yang berpegang pada al-
jamaah, yaitu golongan yang senantiasa mengikuti jejak Rasul, para sahabat, dan generasi
setelah itu.
A. SEJARAH PENYIMPANGAN MANUSIA DARI JALAN YANG BENAR
1. Amanat Allah bagi manusia
Allah swt telah menciptakan manusia dalam kehidupan ini untuk tujuan dan
tugas tertentu. Dia telah menundukkan semua yang ada di muka bumi, berupa
lautan, sungai, angin, hujan, gunung, lembah, binatang, tumbuhan hingga makhluk
Allah lainnya, semata-mata untuk kepentingan manusia. Allah juga telah
memberikan ilham kepada manusia agar dapat menangkap sebagian hukum alam
dan berbagai peraturan hidup hingga manusia dengan mudah dapat mencapai
tujuan yang penting ini. Tujuannya besar, tugas dan amanatnya berat hingga langit,
bumi, dan gunung merasa takut serta tidak berani memikulnya. Sebagaimana Allah
berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat* kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung, tapi semuanya enggan memikulnua karena khawatir akan
mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zhalim dan bodoh” (Al Ahzab 33:72)
*Menurut Ibnu Abbas, amanat adalah ketaatan, sedangkan menurut Ibnu Katsir,
amanat adalah taklif(tugas), menerima perintah dan larangan dengan
bersyarat. Syaratnya adalah jika ia melakukan ketaatan, akan mendapat
pahala, dan jika meninggalkannya, ia akan mendapat siksa. (Tafsir Ibnu Katsir
6:477)
Sesungguhnya tujuan besar, tugas dan amanat berat yang dipikul manusia ini
tidak lain adalah sebagai khalifah Allah di bumi-Nya. Allah sebagai Rabb semua
makhluk, Raja segala raja, serta Penguasa langit dan bumi telah menciptakan
manusia sebagai khalifah di bumi dan menjadikannya agar bertanggung jawab
kepada-Nya sehubungan dengan tugas kekhalifahannya.
2. Allah memberitahu para malaikat tentang tugas penting yang dibebankan
kepada manusia, sebagaimana firman-Nya:
“Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al Baqarah 2:30)
Imam Ath Thabari menafsirkan ayat di atas dengan, “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi dari-Ku yang mewakili-Ku dalam
memutuskan hukum di antara makhluk-Ku. Khalifah itu adalah Adam dan orang yang
bersikap seperti dia dalam mentaati Allah serta memutuskan hukum dengan adil di
antara makhluk-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir 1:70)
Ibnu Katsir mengatakan, mereka memahami tentang khalifah, yakni orang yang
memutuskan perselisihan di antara manusia dan mencegah melakukan perbuatan
haram dan dosa. Demikian perkataan al-Qurthubi (Tafsir Ibnu Katsir 1:69).
Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan, dengan ayat ini Al-Qurthubi dan yang lainnya
menjadikan dalil atas wajibnya mengangkat seorang khalifah untuk memutuskan
perselisihan di antara manusia, menolong orang yang teraniaya, dan dianiaya oleh
orang zhalim, menegakkan hukum, mencegah perbuatan keji, melaksanakan perkara
penting lainnya yang hanya bisa ditegakkan oleh seorang Imam.
2. Kekhalifahan manusia di bumi dan syarat-syaratnya
Kekhalifahan manusia di bumi memiliki syarat tertentu, yakni selalu iltizam
dengan ketaatannya terhadap Rabb yang memiliki perintah dan larangan. Manusia
senantiasa dituntut melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya karena takut siksaan-Nya. Oleh karena itu, masalah khilafah manusia di
bumi ini tidak lain adalah masalah ibadah manusia kepada Allah. Seperti dalam
firman-Nya pada surat Adz Dzariyat ayat 56 “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan
manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
3. Perjanjian fithrah
Allah mengetahui betapa besar amanat dan berat beban taklif yang diemban
manusia, sehingga Allah tidak membebani seseorang kescuali dengan
kemampuannya. Allah telah menciptakan manusia dengan tabiat mengenal Rabbnya,
mentauhidkan-Nya, mentaati-Nya, serta beribadah hanya kepada-Nya dengan tidak
mempersekutukan-Nya. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ mereka menjawab: ‘Betul (Engkau
Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada
hari kiamat kelak kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.’ Atau agar kamu tidak
mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan
Rabb sejak dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang
3. (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami
karena perbuatan orang-orang sesat yang dahulu.’ Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Al A’raf
7:172-174)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, Nabi saw bersabda:
“dikatalan pada salah seorang penghuni neraka pada kari kiamat, ‘Bagaimanan
pendapatmu jika kamu mempunyai sesuatu di muka bumi ini, apakah kamu akan
menebus dirimu dengannya?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya.’ Allah berfirman, ‘Aku
telah menghendaki dirimu sesuatu yang lebih ringan daripada itu. Aku telah
menyuruhmu berjanji di punggung Adam untuk tidak menyekutukan sesuatu pun
dengan-Ku. Namun, kamu tetap mempersekutukan Aku’.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Allah mengambil janji dari
mereka agar beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-
Nya. Diriwayatkan pula oleh Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Ahmad dalam musnad
ayahnya, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Mardawih bahwa Allah berfirman
kepada mereka, “Aku jadikan ketujuh langit dan bumi serta bapak-bapakmu sebagai
saksi agar kamu pada hari kiamat nanti tidak mengatakan, ‘Kami tidak mengetahui
hal ini (eksistensi dan keesaan Allah).’ Ketahuilah bahwa tidak ada ilah selain Aku,
tidak ada Rabb selain Aku, dan janganlah mempersekutukan Aku. Sesungguhnya Aku
akan mengutur rasul kepadamu untuk mengingatkanmu akan janji-Ku dan Aku
turunkan kitab-kitab-Ku kepadamu.” Mereka menjawab, ‘Kami bersaksi bahwa
sesungguhnya Engkau adalah Rabb dan ilah kami, dan tiada Rabb bagi kami selain
Engkau.’ Maka pada saat itu mereka menyatakan taat kepada-Nya. (Ma’arijul Qabul
1:34 dan seterusnya).
4. Rahmat Allah : Allah tidak menyiksa seseorang, kecuali setelah ditegakkannya hujjah
risalah
Meskipun hujjah telah ditegakkan dan alasan telah dipathkan, namun sebagai
rahmat dan karunia-Nya, Allah jelas tidak akan menyiksa bani Adam karena adanya
perjanjian fithrah semata-mata. Dan Ia tidak akan meniksa seorangpun kecuali
setelah ditegakkannya hujjah berupa risalah, sebagaimana firman-Nya:
“...dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al
Isra’ 17:15)
Maka Allah mengutus rasul-Nya secara berkesinambungan untuk mengingatkan
manusia akan janji mereka dan amanat besar yang dibebankan-Nya kepada mereka
di bumi ini. Para rasul pun menyuruh manusia melaksanakan tugasnya sebagai
khalifah di bumi dan menanggalkan alasan lain untuk membantah Allah sebagai Rabb
mereka.
Allah berfirman:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah
4. sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.” (An Nisa’ 4:165)
Menurut Ibnu Qayyim, dalam akal manusia tidak ada sesuatu yang lebih jelas
dan terang kecuali mengenal kesempurnaan Sang Pencipta serta membersihkannya
dari kejelekan dan kekurangan. Para rasul pun diutus untuk mengingatkan dan
menjelaskannya. Begitu pula fithrah manusia, terdapat pengakuan akan kebahagiaan
dan kesengsaraan jiwa serta balasan yang akan diterima di akhirat nanti. Penjelasan
mengenai hal ini tidak dapat diketahui kecuali melalui para rasul. Karena itu, akal
yang tegas sesuai dengan naql (nash) yang shahih. Dan syariat sesuai dengan fithrah.
Keduanya tidak saling bertentangan (Syifa’ul ‘Alil 301-302)
Ibnu Taimiyah mengatakan hujjah tidak akan dijatuhkan kepada mereka yang
berbuat dosa karena kebodohannya sebelum mereka mengetahui bahwa hal
tersebut merupakan perbuatan dosa, sebelum diutusnya seorang rasul kepada
mereka, dan sebelum ditegakkannya hujjah atas mereka.
Allah tidak membiarkan manusia sendirian, mereka senantiasa dibimbing ajaran
nabi sejak nabi Adam as. Allah menjadikan risalah tersebut beserta akal dan
fithrahnya dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terbesar di alam semesta.
Namun, manusia ternyata berselisih pendapat mengenai rasul-rasul mereka.
Sebagaimana firman Allah:
“Tapi, kebanyakan manusia tidak mau, kecuali mengingkarinya.” (Al Isra’ 17:89)
Dan berimanlah prang yang mau beriman, tapi jumlahnya sangat sedikit. Itulah
sunnatullah yang berlaku pada makhluk-Nya.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah...” (Al An’am 6:116)
“...dan sekali-kali kamu tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.”
(Al Ahzab 33:62)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
“Manusia itu umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah
mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan,
dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi
keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Tidaklah berselisih mengenai Kitab itu, melainkan orang yang telah didatangkan
kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-
keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al Baqarah
2:213)
5. Kerusakan fithrah
5. Ketika fithrah manusia mulai rusak, dan ketika ‘manusia menjadi makhluk yang
paling banyak membantah’ (Al Kahfi 18:54), maka saat itulah setan menghiasi amal
buruk manusia sehingga tampak bagus dan indah. Setan mencampuradukkan antara
yang hak dan yang batil serta mengilhami manusia dengan berbagai perilaku buruk
hingga manusia bertahan dengan kebatilannya.
“Tetapi orang-orang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian itu
mereka dapat melenyapkan yang hak.” (Al Kahfi 18:56)
Lantas manusia akan melihat kebatilan sebagai kebenaran, dan sebaliknya
kebenaran menjadi kebatilan. Atau ia menyimpang sama sekali sehingga tak mampu
melihat mana yang hak dan mana yang batil. Seperti pada firman Allah:
“...maka Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Mahakuasa serta
Mahabijaksana.” (Ibrahim 14:4)
“...Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk, dan
barangsiapa disesatkan-nya maka kamu tak aakan mendapatkan seorang pemimpin
pun yang mampu memberi petunjuk kepadanya.” (Al Kahfi 18:17)
Kelompok-kelompok utama yang bertentangan dengan Dinul Islam ada enam,
yang masing-masing terpecah lagi menjadi beberapa golongan. Keenam golonagn
tersebut menurut tingkatannya, adalah:
a) Golongan yang mengingkari adanya hakikat alam semesta. Golongan ini
(oleh para mutakalimin) disebt kaum sofistis (sesat)
b) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam (dengan mengatakan
sesungguhnya alam ini tetap ada) tetapi mereka tidak mengakui adanya
pencipta dan pengaturnya.
c) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam dan berpendapat bahwa
alam dan pengaturnya tetap ada.
d) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam. Sebagian dari mereka
berpendapat bahwa sesungguhnya alam itu tetap ada, sebagian lain
berpendapat bahwa alam mempunyai pengatur yang tetap ada dan lebih
dari satu. Namun, mereka berselisih mengenai jumlahnya.
e) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam dan berpendapat bahwa
alam itu diciptakan oleh satu pencipta. Namun, mereka mengingkari
seluruh kenabian.
f) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam dan berpendapat bahwa
alam itu diciptakan oleh satu pencipta. Namun, mereka berbeda dalam
mengakui sebagian nabi-nabi dan mengingkari sebagiannya...(Al-Fashl Fil
Milal wal Ahwa’ wan-Nihal 1:3)
Adapun mengenai penganut Dinul Islam adalah mereka yang mengikuti ajaran
rasulnya. Sesungguhnya Allah mengutus seorang rasul pada setiap umat,
sebagaimana firman-Nya:
6. “Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat (untuk
menyerukan): beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah thaghut...” (An
Nahl 16:36)
Setiap rasul menyeru kaumnya pada Din Allah yaitu Al-Islam, yang berarti
menyerahkan diri secara total hanya kepada Allah. Firman-Nya:
“Sesungguhnya din (yang diridhai) Allah hanyalah Islam...” (Al Imran 3: 19)
“Barangsiapa mencari din selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(din tersebut) dan di akhirat kelak ia termasuk orang yang rugi.” (Al Imran 3: 85)
Menurut Ibnu Taimiyah “Adapun kitab-kitab samawi yang mutawatir dari para
nabi as semuanya memastikan bahwa Allah tidak menerima din dari seseorang,
kecuali Din yang benar (hanif), yaitu Al-Islam, yakni berarti beribadah hanya kepada
Allah Yang Esa dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain, beriman kepada
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.” (Al-Fatawa Al-Kubra 1:335)
Firman Allah:
“Katakanlah, ‘Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.’ Dan (katakanlah),
‘Luruskan muka (diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan
mengikhlaskan ketaatanmu pada-Nya...” (Al A’raf 7:29)
Yang dimaksud keadilan di sini adalah tauhid, yakni beribadah hanya kepada
Allah, yang tiada sekutu bagi-Nya. Inilah dasar ad-din, sedangkan kebalikannya
adalah dosa yang tak terampuni. Firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya...” (An Nisa’
4:48)
Ibnu Taimiyah mengatakan, Islam sebagai Din Allah dibangun atas dua landasan.
Pertama, mengabdi hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Kedua,
mengabdi kepada Allah dengan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan rasul-Nya.
Kedua landasan ini merrupakan hakikat syahadat. (Qa’idah Jalilah Fit Tawassul wal
Wasilah: 162).
Namun, setelah rasul meninggal dunia dan para sahabat berpencar-pencar,
generasi datang silih berganti. Maka syubhat pun mulai timbul, hati pun menjadi
keras, teladan mulai minim, sunnah mulai memudar, bid’ah makin merajalela, yang
hak bercampur dengan yang batil. Kitab suci dan atsar nabawiyah bercampur dengan
filsafat keberhalaan, dan keutamaan berpikir (bersih) terkalahkan oleh logika.
Sehingga, umat yang bersatu di atas kebenaran, menjadi berselisih dan berpecah,
sebagaimana firman Allah pada QS Yunus (10:19), QS Al Jatsiyah (45:17), QS Al
Mu’minun (23:53), dan QS Al Baqarah (2:176).
6. Penutup para Nabi dan Rasul saw
Setelah manusia berada dalam kesesatan dan larut dalam berbagai ikhtilaf, Allah
hendak memberi petunjuk dan menempatkan mereka atas kebenaran. Allah
menutup risalah-Nya kepada semua manusia dengan risalah nabi penutup,
7. Muhammad Ibnu Abdillah saw, maka diturunkan-Nya kepada beliau kitabullah, Al
Qur’anul Karim, yang berlaku untuk semua manusia hingga Allah mewariskan bumi
beserta isinya.
Allah berfirman:
“...Maka Allah memberi petunjuk orang-orang beriman kepada kebenaran
tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya...” (Al Baqarah
2:213)
Allah azza wa jalla berjanji akan memelihara din ini dengan menjaga kitab-kitab-
Nya hingga hari kiamat. Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an dan sungguh Kami benar-
benar akan memeliharanya.” (Al Hijr 15:9)
Allah memerintahkan rasul-Nya agar menjelaskan pada manusia –dengan
sunnahnya- tentang Al Qur’anul Karim ini, sebagaimana firman allah pada QS An
Nahl (16:44). Dan dengan risalah itu Allah membuka hati yang lupa dan telinga yang
tuli, sebagaimana firman Allah pada QS Al Maidah (5:67). Rasullullah tidak wafat
kecuali setelah kaumnya bersatu di atas jalan yang terang benderang. Malam
bagaikan siang, terutama setelah Allah menurunkan firman-Nya QS Al Maidah (5:3).
Rasulullah juga bersabda: “Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama
berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat. Dua perkara itu
adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR Malik)
7. Allah menyuruh kaum muslimin bersatu dan melarang berpecah-belah
Allah azza wa jalla menyuruh pengikut Dinul Islam ini agar bersatu di atas
kebenaran serta memperingatkan mereka agar tidak berpecah belah dan berselisih
seperti yang terjadi pada umat terdahulu. Sebagaimana firman Allah pada QS Al
Imran (3:103,105) dan Al An’am (6:159). Sedangkan apabila ada manusia yang
bergolong-golong atau berpecah mengikuti aliran-aliran dan hawa nafsu serta
kesesatan, maka allah telah membebaskan tanggungjawab Rasulullah dari apa yang
mereka perbuat (Mukhtashar Ibnu Katsir 2:637-638)
8. Perpecahan umat : semua masuk neraka, kecuali satu
Kebanyakan manusia tetap berselisih dan berpecah belah kecuali yang diberi
rahmat oleh Allah. mereka terpecah menjadi berbagai kelompok dan golongan,
mereka menjadikan Al Qur’an terpilah-pilah*. Setelah datang ilmu dan keterangan
yang jelas kepada mereka. Sebagaimana firman Allah pada QS Hud (11:118-119).
*Ibnu Katsir menafsirkan ayat alladzina ja’alul Qur’aana ‘idlin (15:91), mereka
memilah-milah semua kitab yang diturunkan kepada mereka. Maksudnya,
sebagian diimani dan sebagian dikufuri. Menurutnya, Imam Bukhari
meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat tersebut, katanya: “Mereka
adalah penganut Al-Kitab, tetapi mereka membagi-baginya dengan
8. mengimani sebagian dan mengkafiri sebagian.” (Mukhtashar Ibnu Katsir
2:319)
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya pengikut kedua kitab (Yahudi dan
Nashrani) dalam hal agama mereka- terpecah belah menjadi 72 aliran. Dan sungguh
umat (Islam) ini pun akan terpecah menjadi 73 aliran. Semuanya masuk neraka
kecuali satu, yaitu al-jama’ah.” (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam
catatan kakinya atas syarah Ath-Thahawiyah, hlm 578, Al-Maktabul Islami). Dalam
suatu riwayat disebutkan: “Para sahabat bertanya: ‘Siapakah golongan yang selamat
itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘yaitu orang yang mengikuti jalanku dan
para sahabatku.” (HR Turmudzi)
9. Bendera sunnah tampak berkibar pada setiap masa dan generasi
Ditengah-tengah perpecahan dan perselisihan, Allah menakdirkan ada orang-
orang yang memelihara dan melaksanakan sebaik-baiknya din ini, sepeninggal
Rasulullah saw. Dalam QS Al Ahzab (33:23) disebutkan bahwa mereka adalah ‘orang-
orang yang menepati janji kepada Allah’.
Rasulullah bersabda: “Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tampil
(membela kebenaran) hingga datang keputusan Allah kepada mereka, sedang
mereka dalam keadaan unggul.” (HR Bukhari)
Golongan yang selamat berbeda dengan golongan yang lain dalam hal aqidah
dan fiqih maupun dalam hal akhlak dan perilaku. Salah seorang ulama salaf
mengatakan, ‘Ahli Sunnah dalam Islam (jika dibandingkan dengan golongan lainnya)
bagaikan penganut Islam dengan penganut agama-agama lain.’
10. Keutamaan para sahabat Rasulullah saw.
Pensyarah kitab Durratul Mudli’ah mengatakan, “Tidak ada umat Muhammad
yang diunggulkan (karena keutamaannya) atas umat-umat lainnya, kecuali sahabat
yang mulia. Mereka beruntung karena menjadi sahabat manusia terbaik (yakni
Rasulullah saw). pendapat yang bisa dipertanggungjawabkan datangnya adri imam-
imam sunnah yang menyebutkan bahwa semua sahabat berperilaku adil.
Sebagaimana Allah berfirman pada QS Al Fath (48:29) “Muhammad adalah utusan
Allah, dan orang-orang yang bersama dengannya keras terhadap orang kafir tetapi
berkasih sayang sesama mereka.”
Mengenai keutamaan sahabat dibanding dengan umat Muhammad lainnya,
tersebut dalam dua hadits. Pertama, diriwayatkan dari Abi SA’id al-Khudri ra bahwa
Rasulullah saw bersabda “Janganlah kamu mencaci maki sahabat-sahabatku, demi
Allah yang diriku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kamu
menginfakkan sebesar gunung Uhud, nilainya tidak mencapai satu mud yang
diinfakkan mereka (para sahabat), bahkan setengahnya pun tidak.”. Kedua, hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dari Ibnu Mughaffal ra. katanya, “Saya
mendengar Rasulullah saw bersabda ‘Hendaklah yang hadir menyampaikan pada
9. yang tidak hadir. Takutlah pada Allah, takutlah pada Allah mengenai sahabat-
sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran sepeninggalku
nanti. Barangsiapa mencintai mereka, karena mencintai aku, maka aku mencintai
mereka. Barangsiapa membenci mereka karena membenci aku, maka aku
membenci mereka. Barangsiapa menyakiti mereka, ia menyakitiku, barangsiapa
menyakitiku, ia menyakiti Allah. Barangsiapa menyakiti Allah, ia akan mendapat
hukuman Allah. Dan barangsiapa dihukum Allah, ia tak akan lolos.’”.
Dalam hal ketaatan terhadap hukum Allah dan Sunnah Nabi, tidak ada umat
yang menyamai para sahabat. Merekalah yang paling konsekuen mengamalkan Al
Qur’an dan sunnah nabi. Hal ini ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad da’i Ibnu Mas’ud ra. “Barangsiapa hendak menjadikan teladan,
teladanilahh para sahabat Rasulullah saw. Sebab, mereka itu paling baik hatinya,
paling dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya (tidak suka mengada-ada), paling
lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih
Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan din-Nya. Karena itu, hendaklah
kalian mengenali keutamaan jasa-jasa mereka dan ikutlah jejak mereka, sebab
mereka senantiasa berada di atas jalan (Allah) yang lurus.”
11. Cara para sahabat menerima Al Qur’an dan As Sunnah
Ibnu Qayyim mengatakan bahwa cara Nabi saw menyampaikan Al Qur’an
kepada para sahabat adalah langsung dengan lafazh dan maknanya. Tidak ada
penyampaian lain, kecuali dengan cara tersebut. Firman Allah: “...Dan tiada lain
kewajiban Rasul itu kecuali menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (An Nur
24:54)
Ayat di atas mengandung maksud bahwa penyampaian makna merupakan
tingkat penjelasan tertinggi. Para ahli ilmu dan iman mengakui apa yang dinyatakan
Allah, para malaikat dan generasi terbaik (sahabat) bahwa nabi saw telah
menyampaikan secara jelas dan pasti mengenai makna-makna Al Qur’an dan Sunnah
berikut lafazh-lafazhnya. Bahkan, porsi penyampaian makna lebih besar daripada
penyampaian lafazh. Sebab, lafazh-lafazh Al Qur’an dan Sunnah hanya dihafal oleh
orang-orang tertentu, sedangkan makna disampaikan Nabi untuk umum dan khusus.
Hubaib bin Abdullah al-Bajali dan Abdullah bin Umar berkata, “Kami belajar
beriman, kemudian belajar Al Quran. Maka bertambahlah iman kami.”
Demikianlah para sahabat mengambil lafazh-lafazh Al Qur’an dan maknanya dari
Rasulullah saw, bahkan perhatian mereka lebih besar terhadap pengambilan makna
daripada lafazh. Mereka terlebih dahulu mengambil makna, baru lafaazh, agar
makna tersebut tetap terpelihara dan tidak lepas dari mereka.
Dalam hal menerima hadits juga demikian. Para sahabat langsung
mendengarnya dari nabi saw. Mereka telah banyak menyaksikan dan mengetahui
dengan hati mengenai tujuan dan dakwah rasulullah saw. Maka tidaklah sama orang
10. yang mendengar, mengetahui, dan melihat langsung keadaan Nabi dengan yang
hanya mendengar melalui perantara.
Sehubungan dengan itu Imam Ahmad mengatakan bahwa prinsip sunnah
berpegang pada apa yang dijalankan para sahabat Rasulullah saw dengan i’tikad
bahwa golongan yang selamat (ahli sinnah) adalah golongan yang mengikuti
Rasulullah dan para sahabatnya, sebagaiman Rasul bersabda: “Mereka adalah orang-
orang yang mengikuti jalanku dan para sahabatku.”
Maka jelaslah dalam menafsirkan Al Qur’an serta mentakwilkannya wajib
merujuk pada sahabat Nabi. Dan telah diketahui bahwa generasi sesudah mereka
mengikuti jejak mereka dengan baik, yaitu mengambil sesuatu (pengetahuan Al
Qur’an dan Sunnah) tanpa menyimpang seperti yang diajarkan Nabi pada mereka.”
(Mukhtashar ash-Shawa’iqul Mursilah 2:335 dst)
12. Hadits - hadits tentang perpecahan umat, golongan yang benar, dan kewajiban
mengikuti jama’ah
a. Riwayat dan alur hadits tentang perpecahan umat
i. Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Kaum Yahudi
terpecah belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan.
Kaum Nashrani terpecah belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh
dua golongan. Begitu pun umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan.” (HR. Abu Daud, Turmudzi, al-Hakim, Ahmad, dll)
ii. Dari Amir Abdullah bin Luhai. Ia berkata, “kami berangkat haji bersama
Mu’awiyah bin Abi Sufya. Ketika sampai di Makkah, Mu’awiyah berdiri –saat
akan menunaikan shalat dzuhur- dan berkata, sesungguhnya Rasulullah saw
telah bersabda: “Sesungguhnya pengikut dua kitab (Yahudi dan Nashrani)
terpecah mengenai agama mereka menjadi tujuh puluh dua aliran, dan umat
(Islam) ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran, yakni al-ahwa
(mnegikuti hawa nafsu). Semuanya masuk neraka, kecuali satu, yaitu al-
jama’ah. Sungguh akan muncul di kalangan umatku golongan-golongan
yang akan diikuti oleh hawa nafsu seperti anjing kejar-kejaran bersama
kawanannya. Tidak ada urat dan persendian yang tidak dimasukinya. Demi
Allah, wahai bangsa Arab! Jika kalian tidak menegakkan ajaran Nabi kalian,
maka bangsa lain lebih pantas untuk tidak menegakkannya.” (HR. Ahmad,
Abu Daud, al-Hakim, dll, hadits dishahihkan oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Al-
Iraqi, Ibnu Hajar, Ibnu taimiyah, dan Al-Albani).
iii. Dari Abdullah bin Amr. Ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabd: “ Sungguh
akan terjadi pada umatku apa yang pernah terjadi atas Bani Israil, bagaikan
sepasang sandal. Jika di antara mereka ada yang menggauli ibunya secara
terang-terangan, maka umatku pun akan ada orang yang berbuat demikian.
Sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh dua aliran.
Semuanga akan masuk neraka kecuali satu. Dan umatku pun akan terpecah
11. menjadi tujuh puluh tiga aliran, semuanya akan masuk neraka kecuali satu.
Para sahabat bertanya,’Siapakah golongan itu ya Rasulullah?’, Beliau
menjawab, ‘Yakni mereka yang mengikuti jalan hidupku dan para
sahabatku.’” (HR Turmudzi, Al-Ajuri, Al-Lalaka’i, dll). Hadits tsb hasan dengan
syahid-syahidnya. Tirmudzi menilai hasan, sedangakn Al-Iraqi dan Ibnu
Taimiyah menuki;nya dari Turmudzi serta menjadikannya hujjah.
iv. Dari Auf bin Malik. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Kaum
Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Yang satu akan masuk surga,
sedangkan yang 70 akan masuk neraka. Dan kaum Nashrani terpecah
menjadi 72 golongan. Yang 71 akan masuk neraka sedangkan yang satu
masuk surga. Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya,
sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang satu masuk
surga, sedangkan yang 72 masuk neraka. Para sahabat bertanya,’Wahai
Rasulullah, siapakah mereka yang masuk surga itu?’, Beliau menjawab, ‘Al-
Jama’ah.’” (HR Ibnu Majah, Al-Lalaka’i, dan Ibnu Abi ‘Ashim)
v. Dari Anas bin Malik. Ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya
Bani Israil terpecah menjadi 71 golongan, dan umatku akan terpecah
menjadi 72 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu yaitu al-
jama’ah.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, Al-Lalaka’i, dll)
vi. Dari Abi Umamah, ia berkata: “Bani Israil terpecah menjadi 71 atau 72
golongan, sedangkan umat (Islam) lebih satu golongan dari jum;ah ini
(menjadi 73 golongan). Semuanya masuk neraka kecuali golongan mayoritas
(as-sawadul a’zham). Lalu ada seorang laki-laki bertanya,’Wahai Abi
Umamah, apakah ini pendapatmu sendiri atau engkau mendengarnya dari
Rasulullah saw?’, dia menjawab,’Jika ini pendapatku sendiri, berarti aku
orang yang terlalu berani. Aku mendengarnya dari Rasulullah saw bukan
hanya satu, dua, atau tiga kali.’” (HR. Ibnu Abi Hashim, Al-Lalaka’i, dan
Thabrani)
b. Hadis tentang golongan yang membela kebenaran
i. Dari Mu’awiyah. Ia berkata, pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Akan
senantiasa ada segolongan dari umatku yang menjalankan perintah Allah.
mereka tak peduli akan orang-orang yang merendahkan dan menentang
mereka, hingga datang keputusan Allah. Dan mereka lebih unggul dari yang
lainnya.” (HR Muslim)
ii. “Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, ia pun akan difaqihkannya
dalam soal agama. Dan akan selalu ada segolongan dari kaum muslimin
yang membela kebenaran dan selalu unggul dalam menghadapi musuh-
musuhnya, hingga datang hari kiamat.” (HR Muslim)
iii. “Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, ia pun akan difaqihkannya
dalam soal agama. Sesungguhnya aku adalah pembagi, sedangkan Allah
12. pemberi. Urusan (agama) umat ini akan senantiasa lurus hingga datangnya
hari kiamat atau datangnya keputusan Allah.” (HR Bukhari)
iv. “Kemudian berdiri Malik bin Yukhamir as-Saksaki dan berkata,’Wahai Amirul
Mukminin, saya mendengar Mu’adz bin Jabal berkata, mereka adalah
penduduk Syam.’ Lalu Mu’awiyah berkata dengan suara nyaring,’Inilah Malik
yang mengaku bahwa ia mendengar Mu’adz berkata, mereka adalah
penduduk Syam.’” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud ath-Thayalisi, dan Al-
Lalaka’i)
v. Dari Mughirah bin Syu’bah, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Akan senantiasa
ada segolongan dari umatku yang tampil membela kebenaran sehingga
datang keputusan Allah kepada mereka dan mereka menang.” (HR Bukhari)
vi. “Akan senantiasa ada sekelompok manusia dari umatku yang berjuang
membela kebenaran dan mereka unggul sehingga datang keputusan Allah
Azza wa Jalla kepada mereka.” (HR Ahmad, Ad-Darimi, dan Al-Lalaka’i)
vii. Dari Jabir bin Abdullah ra. ia berkata, “Aku mendengar Nabi saw bersabda:
‘Akan selalu ada segolongan dari umatku yang membela kebenaran dengan
tegas hingga hari kiamat. Kemudian Isa putera Maryam ra turun. Lalu
pemimpin mereka berkata,’Marilah shalat untuk kami (mengimami kami).’
Isa menjawab,’Tidak. Sesungguhnya sebagian kamu adalah pemimpin
sebagian lainnya. Itulah penghargaan Allah atas umat ini.’”
viii. Dari Tsauban ra. ia mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Akan
senantiasa ada segolongan dari umatku yang tampil membela kebenaran.
Mereka tidak peduli terhadap orang-orang yang merendahkan mereka,
sehingga datang keputusan Allah, sedangkan mereka dalam keadaan seperti
itu.” (HR Muslim)
ix. Dalam satu lafazh disebutkan: “Sesungguhnya Allah mengerutkan
(menyempitkan) bumi untukku (atau beliau mengatakan: sesungguhnya
Rabbku mengerutkan bumi untukku). Lalu aku melihat bagian timur dan
baratnya dan kekuasaan umatku akan mencapai apa yang ditampakkan
kepadaku. Aku diberi dua perbendaharaan: yang merah dan yang putih. Dan
aku meminta kepada Rabbku –untuk umatku- agar Dia tidak membinasakan
mereka dengan bahaya kelaparan dan tidak menjadikan mereka dikuasai
musuh yang bukan dari kalangan mereka sendiri, yang merampas kekayaan
mereka. Sesungguhnya Rabbku Azza wa Jalla telah berfirman, ‘Wahai
Muhammad, sesungguhnya jika Aku sudah menetapkan suatu perkara, maka
ketetapan-Ku tak dapat ditolak (dan berkata Yunus: tidak bisa ditolak). Aku
berikan (janji) kepadamu –untuk umatmu- bahwa Aku tidak akan
membinasakan mereka dengan bahaya kelaparan. Aku tidak akan
menjadikan mereka dikuasai oleh musuh yang bukan dari kalangan mereka
sendiri, meskipun musuh-musuh itu telah mengepung mereka, sehingga
sebagian mereka menawan sebagian yang lain.’ Sesungguhnya yang aku
13. khawatirkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan. Jika
telah diletakkan pedang pada umatku, maka ia tidak dapat diangkat lagi
hingga hari kiamat. Dan tidaklah datang hari kiamat kecuali setelah ada
beberapa golongan umatku yang berhadapan dengan orang-orang musyrik
dan para penyembah berhala.”
Selanjutnya beliau bersabda: “Sesungguhnya akan muncul tiga puluh orang
pembohong di kalangan umatku yang masing-masing mendakwakan dirinya
sebagai nabi, padahal akulah nabi terakhir. Tidak ada nabi lagi sesudahku.
Dan akan senantiasa ada sekelompok umatku yang tampil membela
kebenaran dan mereka selalu unggul (mendapat pertolongan Allah). mereka
tak mempedulikan orang yang menentang mereka, hingga datang hari
kiamat dan mereka tetap demikian.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Al-
Hakim)
x. Dari Abdurrahman bin Syamasah al-Mahri. Ia berkata: “Aku sedang berada di
sampingg Muslin bin Maklad dan di sebelahnya ada Abdullah bin Amr bin
Ash. Lalu Abdullah berkata, ‘Tidak terjadi kiamat kecuali karena ulah jahat
manusia. Mereka lebih jahat daripada orang jahiliah. Tidaklah mereka
memohon sesuatu kepada Allah melainkan akan ditolaknya.’ (Ketika mereka
sedang bercakap-cakap), tiba-tiba datang Uqbah bin Amir. Kemudian
Maslamah berkata kepadanya, ‘Wahai Uqbah, dengarlah apa yang dikatakan
Abdullah!’, Uqbah pun menjawab, ‘Dia lebih mengerti tapi aku pernah
mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Akan senantiasa ada segolongan dari
umatku yang membela agama Allah dan mengalahkan musuh mereka.
Mereka tak mempedulikan orang yang menentang mereka, sehingga datang
hari kiamat, sedangkan mereka tetap dalam keadaan seperti itu.’ Lalu
Abdullah berkata, ‘Benar! Kemudian Allah mengirim angin yang wangi bagai
kesturi dan lembut bagaikan sutera. Maka Ia tak membiarkan jiwa seseorang
yang di hatinya terdapat iman sebesar biji, melainkan dicabutnya, dan di atas
mereka itulah terjadinya kiamat.’” (HR Muslim)
xi. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Akan selalu ada penduduk kawasan barat (ahlul-gharbi)yang tegak
membela kebenaran hingga datangnya hari kiamat.” (HR Muslim)
xii. Dari Qurrah al-Muzani ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika
penduduk Syam telah rusak, maka tiada lagi kebaikan pada kalian. Dan akan
senantiasa ada orang-orang dari umatku yang mendapat pertolongan.
Mereka tidak mempedulikan orang-orang yang mengecewakan mereka,
hingga datangnya kiamat.” (HR Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, dan Al-
Lalaka’i)
xiii. Dari Jabir bin samurah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ad-
Din (islam) ini akan senantiasa berdiri dan dibelaoleh segolongan dari kaum
muslimin sehingga datangnya hari kiamat.” (HR Muslim)
14. xiv. Dari Imran bin Hushai ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Akan
senantiasa ada segolongan dari umatku yang membela kebenaran dan
mereka unggul atas musuh mereka, hingga orang terakhir dari mereka
memerangi Al-masih Ad-Dajjal.” (HR Ahmad)
xv. Dari Salamah bin Nufail al-Kindi ra. ia berkata, “Aku sedang duduk di samping
Rasulullah saw. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah,
orang-orang telah menambatkan kuda dan meletakkan senjata, serta mereka
mengatakan bahwa kini tidak ada lagi jihad karena perang telah usai.’ Maka
Rasulullah saw. menoleh pada laki-laki itu seraya bersabda: ‘Mereka
berdusta. Sekarang, sekarang ini sedang terjadi peperangan. Dan senantiasa
ada segolongan dari umatku yang berjuang membela kebenaran serta Allah
menundukkan hati kaum untuk mereka, memberi rizki pada mereka, hingga
datang hari yang dijanjikan Allah (kiamat). Di punggung-punggung kuda
terdapat kebaikan-hingga kiamat. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi
aku akan wafat, dan kalian akan menyusul-ku sekelompok demi sekelompok.
Sebagian kamu akan membunuh sebagian lainnya. Adapun tempat kaum
mukmin adalah Syam.’” (HR Nasa’i)
c. Hadits yang mewajibkan umat agar komitmen (iltizam) dengan jama’ah dan
mengikuti sunnah
i. Dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Barangsiapa tidak
menyukai sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Karena
barangsiapa keluar sejengkal saja dari ketaatan pemimpinnya, maka ia pun
mati dalam keadaan jahiliah,” (HR Bukhari)
ii. Dalam satu lafazh disebutkan: “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak
menyenangkan dari pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar. Karena
barangsiapa meninggalkan jama’ah sejengkal saja, lantas ia mati, maka
matinya itu dalam keadaan jahiliah.” (HR Bukhari Muslim)
iii. Dari Abdullah bin Umar ra. Ia berkata bahwa Umar bin Khattan ra. pernah
berkhutbah di Al-Jabiyah. Kata beliau, “Rasulullah saw. pernah berdiri di
tempatku ini kemudian bersabda: ‘Perlakukanlah para sahabatku dengan
baik, kemudian orang-orang sesudah mereka, dan sesudahnya lagi. Kelak
akan tersiar kebohongan, hingga ada orang yang mulai memberi kesaksian
sebelum diminta. Maka barangsiapa di antara kamu menghendaki tengah-
tengah surga, hendaklah ia komitmen dengan jama’ah. Sesungguhnya setan
menyertai orang yang menyendiri dan lebih menjauhi dua orang...” (HR
Ahmad, Turmudzi, Hakim, dan Ibnu Abi ‘Ashim)
iv. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Shalat
fardhu hingga shalat fardhu berikutnya merupakan tebusan bagi dosa-dosa
di antara keudanya. Begitu pun shalat Jum’at hingga shalat Jum’at
berikutnya, bulan Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya merupakan
tebusan bagi dosa-dosa di antara keduanya.” Kemudian beliau bersabda,
15. “Kecuali tiga perkara. Tahukah kamu, apakah tiga perkara yang akan terjadi
tersebut? Ketiga perkara itu adalah: mempersekutukan Allah, mengingkari
jual beli, dan meninggalkan sunnah. Adapun mengingkari (meninggalkan)
jual beli adalah engkau berbaiat kepada seseorang lalu engkau mengingkari
dan memeranginya dengan pedangmu. Adapun meninggalkan Sunnah ialah
keluar dari al-jama’ah.” (HR Ahmad dan al-Hakim)
v. Dari Samurah bin Jundub ra. ia berkata: “Amma ba’du, sesungguhnya Nabi
saw. menamakan kuda-kuda kami sebagai kuda-kuda Allah jika kami merasa
takut. Dan jika kami merasa takut (dalam peperangan). Rasulullah saw.
menyuruh kami beriltizam pada jama’ah, bersabar, dan bersikap tenang
apabila kami berperang.” (HR Abu Daud)
vi. Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tangan
Allah bersama al-jama’ah.” (HR Turmudzi, Thabrani, Abi ‘Ashim)
vii. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata Rasulullah saw. bersabda: “Allah tidak
menyatukan umat ini –atau umatku- di atas kesesatan.” (HR Turmudzi, Al-
Hakim, Ibnu Abi ‘Ashim, At-Thabrani, dan Al-Lalaka’i)
viii. Dalam suatu lafazh dan sesudahnya disebutkan: “Dan ikutilah golongan
mayoritas, karena barangsiapa menyendiri, ia akan menyendiri pula dalam
neraka.” (HR Al-Hakim)
ix. Dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata Rasulullah saw. bersabda: “Tidak halal darah
seorang muslim yang bersyahadat bahwa tidak ada ilah selain Allah dan
bahwa aku Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara, yaitu:
jiwa dibalas dengan jiwa (membunuh), duda dan janda yang berzina, serta
orang yang meninggalkan din dan al-jama’ah.” (HR Bukhari)
x. Dari Al Irbadl bin Sariyah ra. ia berkata: “Pada suatu hari ketika usai
menunaikan shalat shubuh, Rasulullah saw menasihati kami dengan kata-
kata yang sangat dalam dan mengesankan hingga kami meneteskan air mata
serta hati kami merasa takut. Kemudian ada seorang lelaki berkata,
‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan berpisah. Maka apakah yang
engkau pesankan kepada kami, wahai Rasulullah?’, Beliau menjawab,
“Kupesankan kepadamu agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan
mentaati (pemimpinmu) sekalipun dari budak Habsyi. Karena barangsiapa
yang masih hidup di antara kamu, ia akan melihat banyak perselisihan.
Jauhkanlah dirimu dari perkara yang diada-adakan (bid’ah), karena yang
demikian itu adalah kesesatan. Barangsiapa di antara kamu mengalami
jaman seperti itu, maka hendaklah berpegang teguh pada Sunnahku dan
Sunnah para Khalifah ar-Rasyidin. Peganglah Sunnah itu erat-erat.’” (HR
Turmudzi, Abu Daud, dan Ahmad)
xi. Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: “Jika Rasulullah saw berkhutbah, kedua
matanya memerah, suaranya lantang, dan dengan nada penuh semangat,
seakan beliau memberi peringatan kepada prajurit: awas ada musuh datang
16. pada saat pagi dan petang. ‘Aku diutus, sedangkan jarak antara diutusnya
aku dengan hari kiamat seperti dua jari ini’, kata beliau sambil merapatkan
jari telunjuk dan jari tengahnya. Kemudia beliau bersabda: ‘Amma ba’du.
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad. Adapun sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan (bid’ah), dan bid’ah adalah kesesatan.’ Kemudian beliau
melanjutkan, ‘Aku lebih patut dicintai setiap mukmin daripada ia mencintai
dirinya sendiri. Barangsiapa meninggalkan harta, maka keluarganyalah
yang berhak memilikinya, dan barangsiapa meninggalkan hutang maka
akulah yang mengurusi serta menanggungnya.’” (HR Muslim)
d. Hadits Hudzaifah ra
Hudzaifah ra. berkata:
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan, sedangkan aku
bertanya tentang kejelekan karena khawatir hal ini akan menimpa diriku.
Pertanyaanku, ‘Wahai Rasulullah, kami dahulu hidup pada jaman jahiliah yang
penuh kejelekan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah sesudah
kebaikan ini akan ada kejelekan?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi,
‘Apakah sesudah kejelekan itu akan ada kebaikan lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ya
tapi di dalamnya terdapat kotoran.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah kotorannya itu?’
Beliau menjawab, ‘Kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjukku.
Engkau mengenali mereka tapi mengingkarinya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah
sesudah kebaikan (yang terkena kekotoran itu) akan ada kejelekan lagi?’ Beliau
menjawab, ‘Ya, yaitu orang-orang yang mengajak ke pintu Jahannam.
Barangsiapa mengikuti ajakan mereka, berarti ia telah dilemparkan ke neraka
Jahannam.’ Aku bertanya lagi, ‘Ya Rasulullah terangkanlah kepada kami ciri-ciri
mereka.’ Beliau menjawab, ‘Kulit mereka sama dengan kulit kita, bahasa mereka
sama dengan bahasa kita.’ Aku bertanya, ‘Apakah yang engkau perintahkan jika
aku mengalami jaman seperti itu?’ Beliau menjawab, ‘Beriltizamlah pada
jama’ah muslim dan para Imam mereka.’ Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana jika
mereka tidak mempunyai jama’ah dan imam?’ Beliau menjawab, ‘Jauhilah
semua golongan itu meskipun engkau harus mengigit akar pohon hingga engkau
mati dalam keadaan seperti itu.’” (HR Bukhari dan Muslim)
17. B. DEFINISI PENTING
1. Definisi Sunnah
As-sunnah, menurut bahasa Arab adalah ath-thariqah, berarti metode,
kebiasaan, perjalanan hidup, atau perilaku, baik terpuji maupun tercela. Dalam sebuah
hadits disebutkan: “Barangsiapa melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka
selain memperoleh pahala bagi dirinya, juga mendapat tambahan pahala dari orang
yang mengamalkan sesudahnya, dengan tanpa mengurangi sedikit pun pahala
mereka. Dan barangsiapa melakukan sunnah yang jelek dalam Islam, maka selain
memperoleh dosa bagi dirinya, juga mendapat tambahan dosa dari orang yang
melakukan sesudahnya, dengan tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka.” (HR
Muslim)
Sunnah dalam istilah syara’, menurut para ahli hadits, adalah segala sesuatu
yang diriwayatkan dari Nabi saw, yang berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
karakter, akhlak, ataupun perilaku, baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi
nabi. Dalam hal ini, pengertian sunnah menurut sebagian dari mereka, sama dengan
hadits (As Sunnah wa Makanatuha Fit-Tasyri’il Islami, Mushthafa as Siba’i, hlm 47)
Menurut ahli ushul, sunnah adalah sesuatu yang dinukil dari Nabi saw. secara
khusus. Ia tidak ada nashnya dalam Al Quran, tetapi dinyatakan oleh Nabi saw dan
sekaligus penjelasan awal dari isi Al Qur’an. (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat 4:47)
Menurut fuqaha, sunnah adalah ketetapan dari Nabi saw. yang bukan fardhu
dan bukan wajib. (Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hlm 31). Sunnah digunakan sebagai
lambang pembeda antara ahli sunnah dan ahli bid’ah. (al Muwafaqat 4:4)
Menurut ulama hadits muta’akhirin, sunnah ibarat ungkapan yang dapat
menyelamatkan dari keragu-raguan tentang aqidah, khususnya perkara iman kepada
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, takdir, dan
masalah keutamaan para shahabat. Istilah sunnah menurut ulama hadits muta’akhirin,
lebih ditekankan pada aspek aqidah, karena dianggap penting. Namun jika
diperhatikan dengan seksama, lafazh ini lebih mengacu pada pengertian jalan hidup
Nabi saw dan para sahabatnya ra., baik ilmu, amal, akhlak, ataupun segi kehidupan
lain.
2. Definisi Al-Jama’ah
3. Definisi Ahli Hadits
4. Definisi Salaf
5. Definisi Golongan yang Mendapat Pertolongan