2. • Prolog buku Paolo Coelho (2003), the alchemist, ibarat sebuah
cermin. Didalamnya dikisahkan seorang yang bernama Narcissus,
yang gemar mengagumi dirinya pada permukaan air danau yang
tenang dan jernih. Setiap hari ia selalu pergi ke tepi danau, kemudian
memandangi dan mematut-matut bayangan wajahnya disana.
Berjam-jam setiap hari, dan tidak bosan-bosannya, Ia memuja
wajahnya yang Ia yakini sangat tampan. Alkisah, pada suatu hari
Narcissus meninggal, lalu danau kehilangan pengunjung tetapnya.
Seekor ikan yang hidup di danau itu heran melihat sang danau
bersedih dan menangis setiap harinya hingga mengubah air di danau
menjadi asin (salty waters), lalu bertanya apakah kamu menangisi
kepergian Narcissus. Danau menjawab, aku sama sekali tidak
menangisi kepergiannya. Aku merasa sangat kehilangan karena setiap
kali dia datang memandangi wajahnya pada diriku, aku menyaksikan
keindahanku sendiri pada bola matanya.
3. • Sepenggal kisah di atas, merupakan tragedi, sekaligus realita
kehidupan yang sering kita temui di masyarakat. Bagaimana
kita memandang diri kita sendiri dan bagaimana kita
memandang orang lain. Dengan menggunakan metafora
dalam mengabstraksikan realita kehidupan manusia, kita
seringkali menempatkan diri kita lebih di depan daripada
orang lain. Diri kita lebih berarti daripada orang lain.
Pemahaman kita yang lebih baik dari pada pemahaman
orang lain, bahwa saya selalu benar, dan kamu kurang tepat
dalam memahaminya. Saya menang, dan kamu kalah. Saya
lebih dari kamu dan kamu tidak melebihi dari saya. Saya
penting dan kamu tidak penting. dan lain sebagainya.
4. • Ini potret dari masyarakat kita yang membangun kotak-kotak, sekat-sekat,
ruang dan struktur dalam kehidupan sosial budaya kita, memandang segala
sesuatu dari perspektif kita. Ibarat mengulang lagi sebuah cerita antar
adam – tuhan dan iblis bahwa superioritas diri sebuah entitas ternyata
memang lebih tua dari umur manusia itu sendiri. Hal ini lambat laun
mengotak membuat batas-batas sosial yang semakin jelas, membuat
penegasan antara kita dan yang bukan kita. Pe-label-an Islam dan yang
lebih islam, Indonesia – dan yang lebih Indonesia, jawa – lebih jawa, batak
– lebih batak, murni-lebih murni – tidak murni - mempertegas garis
persamaan dan perbedaan antar kita, membuat lebih banyak prasangka
daripada ikhtiar perbuatan baik, saling percaya dan gotong royong. Saya
dapat memaklumi jika ini terjadi di negeri yang langka sumber daya –
seperti non tropis, memandang manusia sebagai serigala bagi manusia
yang lain (homo homini lupus), namun ini terjadi di negeri yang
berkelimpahan seperti indonesia. Kondisi ini yg menjadikan potensi konflik
– pergesekan lebih mudah tersulut api.
5. •Pada akhirnya, di era yang
terinterkoneksi - terhubung melalui
berbagai sarana - saling terhubung
menjadi satu kesatuan dengan
batasnya masing-masing
(masyarakat lintas batas).
6. •Harmoni ibarat simfoni, mengalir tidak terlalu
jauh namun juga tidak terlalu dekat. Atas,
namun juga kadang di tempat yang tidak terlalu
atas, ataupun jika tidak dikanan, bisa di kiri, atau
bisa juga di tengah. Dimana saja namun pada
saat yang bersamaan tidak dimanapun. Yang
lebih dan yang kurang hanya dari mana kita
memandangnya, yang tetap dan absolut hanya
milik yang kuasa.