Dokumen ini membahas upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga negara melalui pengembangan instrumen akuntabilitas nasional. Saat ini akuntabilitas diatur secara terpisah untuk tingkat pusat dan daerah, serta lebih menekankan akuntabilitas administratif. Diperlukan sistem akuntabilitas nasional yang komprehensif untuk memastikan seluruh lembaga negara melaporkan kinerja dan keuangan secara periodik kep
2024.03.27_Konsep dan Potret Inflasi Indonesia _Workshop RCE_Badan Pusat Stat...
Akuntabilitas Nasional
1. - 1 -
IDENTIFIKASI INSTRUMEN PELAKSANAAN AKUNTABILITAS NASIONAL
DI LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA*
Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara
Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia
Abstrak
Akuntabilitas merupakan salah satu prinsip utama tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance) yang mengisyaratkan adanya perwujudan kewajiban seseorang
atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian
sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara
periodik. Disamping sebagai sebuah prinsip, akuntabilitas juga telah dijadikan oleh
Pemerintah sebagai suatu kebijakan nasional yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat pusat maupun daerah. Diharapkan
Pedoman Akuntabilitas Nasional ini dapat memberikan kejelasan bagi para pengambil
kebijakan dalam upaya meningkatkan akuntabilitas para penyelenggara negara dalam
rangka kesadaran hukum dan penegakan hukum di Indonesia.
Kata Kunci : Akuntabilitas Nasional, Pemerintahan Yang baik, Penyelenggaraan
Negara/Pemerintahan.
*
Disarikan dari hasil kajian Pengembangan Instrumen Akuntabilitas Nasional, Pusat Kajian Hukum Administrasi
Negara, Tahun 2011.
2. PENDAHULUAN
Reformasi di Indonesia telah
berjalan satu dekade lebih, namun hasil
yang ditorehkan melalui semboyan
reformasi tersebut belum menunjukkan
adanya perubahan yang berarti
khususnya dalam tubuh birokrasi di
negara ini. Semangat reformasi yang
menginginkan tercapainya
penyelenggaraan pemerintahan yang
terbebas dari unsur-unsur Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) sama sekali belum
dapat terwujudkan karena lemahnya
pengawasan dan minimnya peraturan
yang mengatur tentang akuntabilitas
lembaga negara. Fenomena seputar
pemerintahan yang mencerminkan betapa
buruknya negeri ini tentunya menjadi
agenda besar dan fokus dari reformasi
selanjutnya.
Penyelenggaraan negara yang
bebas dari praktek-praktek KKN belum
dapat terlaksana dengan baik yang dapat
kita saksikan setiap hari di televisi
maupun di koran yang memberitakan
kasus korupsi pejabat di negara ini
setidaknya dapat membuka mata hati kita
bahwa ternyata negara kita ini belum
sepenuhnya bebas dari jeratan KKN.
Permasalahan ini sebenarnya sudah ada
sejak lama dan sudah mendarah daging
ditubuh birokrasi negeri ini. Banyak
pejabat di instansi pemerintah maupun
BUMN yang dengan bangga dan dengan
santainya melakukan KKN. Hal ini salah
satunya disebabkan karena belum adanya
aturan/pedoman pertanggungjawaban
yang mendorong setiap pejabat instansi
pemerintah maupun lembaganya dalam
melaporkan setiap kegiatan maupun
dalam penggunaan anggaran negara.
Kondisi ini merupakan salah satu faktor
yang utama dari buruknya birokrasi di
Indonesia. Oleh karena itu, fokus
mengenai akuntabilitas penyelenggaraan
negara atau yang nantinya disebut sebagai
akuntabilitas nasional menjadi kajian yang
wajib diperdalam sehingga akan tercipta
penyelenggaran negara yang bebas dari
unsur-unsur KKN.
Di Indonesia, prinsip akuntabilitas
nasional ini secara eksplisit sudah
dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Bahkan dalam Undang-Undang tersebut
juga dinyatakan bahwa sebagai asas
umum penyelenggaraan negara,
akuntabilitas nasional adalah merupakan
asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tinggi negara.
3. Penyelenggara negara yang
dimaksud di atas, meliputi pejabat negara
yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, yudisial, serta Direksi dan
Komisaris pada BUMN dan BUMD, Bank
Indonesia, Perguruan Tinggi Negeri, TNI
dan POLRI, lembaga auditif, lembaga
moneter, serta lembaga negara non
struktural.
Dari uraian tersebut di atas,
terdapat 2 (dua) hal yang positif dan
penting untuk dipahami, yakni:
(1) akuntabilitas nasional dapat
ditetapkan secara formal, sebagai asas
penyelenggara negara dan dimaknai
sebagai upaya mempertanggung
jawabkan hasil pelaksanaan dari
program dan kegiatan yang telah
ditetapkan oleh setiap
instansi/lembaga pemerintah kepada
masyarakat/rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi, dan
(2) akuntabilitas nasional sedikitnya
harus menyebutkan pelaku atau siapa
dari setiap lnstansi/lembaga yang
harus ber-
akuntabel/mempertanggungjawabkan
atau menjalankan fungsi
pemerintahan, baik eksekutif, legislatif,
dan yudisial, serta Direksi, dan
komisaris pada BUMN dan BUMD,
Bank Indonesia, Perguruan Tinggi
Negeri, TNI dan POLRI, dan pimpinan
dari instansi/lembaga: auditif,
moneter, lembaga negara non
struktural.
Dengan demikian akuntabilitas
nasional ini nantinya dapat dijadikan
sebagai instrumen untuk mewujudkan
good governance. Undang-undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Undang-undang ini, ditunjang dengan
peraturan yang mengatur tentang
akuntabilitas nasional, dapat dijadikan
sebagai instrumen yang mengatur lebih
detail tentang bentuk akuntabilitas
penyelenggara lembaga/instasi negara
yang lain baik secara eksplisit dalam
konteks yang lebih luas (tidak hanya
dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan negara yang bersih dan
bebas dari KKN) dan mengatur tentang
mekanisme akuntabilitas publik oleh
semua lembaga/instansi tersebut.
Selama ini, implementasi
akuntabilitas di Indonesia diatur dalam
Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(AKIP) yang secara detail dalam
opersionalnya diatur dalam keputusan
kepala LAN Nomor 589/IX/6/Y/1999
tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan
AKIP sebagaimana telah dicabut dengan
Keputusan Kepala LAN Nomor
4. 239/IX/6/Y/ 2003 tentang Pedoman
Penyusunan Pelaporan AKIP.
Ditinjau dari aspek kelembagaan
sistem akuntabilitas ini, memang sudah
ditetapkan dalam Inpres Nomor 7 Tahun
1999, yang selanjutnya didukung oleh
Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang
memiliki tugas dalam pengembangan
sistem AKIP, sedangkan Badan Pengawas
Keuangan Pengembangan (BPKP)
memiliki tugas untuk mengevaluasi
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP) tersebut.
Dalam perkembangannya, Inpres
Nomor 7 Tahun 1999 tersebut pada tahun
2004 ditindaklanjuti oleh Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara
(MenPAN) dengan membentuk Deputi
Bidang Akuntabilitas sehingga LAKIP ini
selanjutnya disampaikan dan
dievaluasikan oleh Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara
(MenPAN) tersebut.
Dari uraian tersebut di atas,
tampak bahwa adanya perbedaan yang
mencolok dengan apa yang diatur oleh PP
Nomor 8 Tahun 2006 tentang Laporan
Keuangan Kinerja Instansi Pemerintah,
yang lebih menekankan pada kinerja
pada kerangka keuangan† dengan unit
†
Kinerja dalam kerangka penggunaan dan
pertanggungjawaban anggaran sebagaimana
diamanahkan dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara Pasal 55. Tinjauan lebih detail
analisis pada kegiatan dan atau program,
akuntabilitas kinerja yang diatur dalam
Keputusan Kepala LAN Nomor
239/IX/6/8/2003 tentang pedoman
penyusunan pelaporan AKIP merupakan
pedoman yang diarahkan kedalam
perspektif pada kerangka/ perspektif
manajemen dan dengan menggunakan
unit analisis yang pada tingkat organisasi
secara utuh atau menyeluruh.
Sedangkan ditinjau dari sudut
pandang yang lain, sistem AKIP
sebagaimana diatur dalam Keputusan
Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003
masih relatif belum menekankan pada
akuntabilitas publik, melainkan lebih lebih
merupakan akuntabilitas administratif
atau vertikal. Sehingga aturan yang telah
ada tersebut hanya mengatur tentang
akuntabilitas administrative atau vertical
saja, hal ini dapat diketahui melalui aturan
yang diatur dalam inpres Nomor 7 Tahun
1999. Namun sayangnya terkait dengan
akuntabilitas publik mengenai pada
aspek: siapa yang harus menyajikan
akuntabilitas tersebut, meliputi instansi
pemerintah mencakup Kementrian, LPDN,
Propinsi, Kabupaten/ Kota, Markas Besar
TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga
tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan
mengenai hal ini disajikan pada Bab II khususnya dalam
Tinjauan Kebijakan.
5. lain-lain), masih belum disampaikan
secara jelas.
Sehubungan dengan adanya
komitmen terhadap akuntabilitas publik
yang diberikan oleh instansi pemerintah,
dalam perkembangan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah ada salah satu
kebijakan yang cukup mengembirakan,
yakni dengan berlakunya PP Nomor 3
Tahun 2007 tentang Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(LPPD) kepada DPRD, dan Informasi
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (LPPD) Kepada Masyarakat,
sebagai pengganti PP Nomor 56 Tahun
2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Walaupun demikian kebijakan
tersebut, merupakan kebijakan yang
hanya mengatur tentang
pertanggungjawaban dalam konteks
pemerintahan daerah, namun jika dilihat
dari aspek substansinya, maka
penyampaian informasi kepada
masyarakat masih jauh dari harapan
terkait dengan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah tersebut. Oleh
karena itu, Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (LPPD) secara
implisit harus menekankan pada
keharusan melaporkan kinerjanya
tersebut, walaupun demikian dalam
konteks Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (LPPD) kinerja yang
dimaksud disini adalah hanya lebih
ditekankan pada tingkat pencapaian
Standar Pelayanan Minimal (SPM), bukan
tingkat kinerja yang sesungguhnya.
Dewasa ini, adanya tuntutan dan
harapan dari semua pihak terus
berkembang menginginkan agar
akuntabilitas nasional dapat segera
diwujudkan, supaya semua instansi
pemerintah yang meliputi: Kementrian,
LPDN, Propinsi, Kabupaten /Kota, Markas
Besar TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga
tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan
lain-lain), dan Kementrian, LPDN,
Propinsi, Kabupaten /Kota, Markas Besar
TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga
tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan
lain-lain), dapat memberikan
kewajibannya untuk
mempertanggungjawabkan keuangan dan
kinerjanya, selain kepada atasan (yang
memiliki hak untuk meminta
pertanggungjawaban), juga kepada rakyat
(yang memiliki manadat). Dengan
demikian akuntabilitas nasional ini
nantinya dapat memberikan kewajiban
mempertanggung-jawabkan keuangannya
dan kinerjanya, pada semua instansi
pemerintah yang lainnya seperti: -
eksekutif, (- legislatif (DPR dan DPD); -
yudisial (MK dan MA); - auditif (BPK); -
moneter (BI); - lembaga negara non
6. struktural (KY, KPK, KPPU, Komnas Ham,
Ombusdman, KPI), dan Kementrian, LPDN,
Propinsi, Kabupaten /Kota, Markas Besar
TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga
tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan
lain-lain) serta kewajiban
mempertanggung-jawabkan kepada
publik terkait dengan program kegiatan
yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Dari berbagai uraian di atas, yang
menjelaskan mengenai konsep, kebijakan,
dan implementasi praktek yang
menyangkut akuntabilitas di Indonesia
mulai dari tingkat pusat, sampai daerah
serta lembaga/ instansi pemerintah yang
lainnya, ditinjau dari aspek pihak pelaku
(individu), kelompok/organisasi,
instansi/lembaga pemerintah yang
bertindak sebagai penerima akuntabilitas
tersebut, baik dari substansi, mekanisme,
maupun kelembagaan maka perlu
dikembangkan suatu sistem akuntabilitas
yang lebih komprehensif, yang berupa
akuntabilitas nasional.
Hasil kajian yang disusun ini
dimaksudkan untuk memberikan
gambaran mengenai apa, mengapa,
bagaimana, dan kepada siapa
akuntabilitas itu dilaksanakan baik oleh
setiap lembaga negara, individu (pejabat
negara), lembaga Non Departemen,
Komisi, maupun BUMN yang memiliki
mandat untuk melaksanakan tugas dan
fungsi penyelenggaraan negara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum akuntabilitas sangat
erat kaitannya dengan instansi/lembaga
pemerintah, dan kaintannya dengan
mempertanggungjawabkan kinerjanya.
Namun demikian belum ada satu definisi
tentang akuntabilitas yang bisa diterima
oleh semua pakar/ahli.
Di Indonesia, klarifikasi konseptual
mengenai definisi makna akuntabilitas
adalah penting dan mendesak karena
penyelenggaraan pemerintahan
khususnya di masa lalu yang sangat
membatasi berkembangnya akuntabilitas
publik. Pandangan lama tentang makna
akuntabilitas dan penerapannya yang
telah mengakar tentunya tidak begitu
mudah untuk dihilangkan. Oleh karena itu
definisi baru tentang akuntabilitas perlu
ditetapkan, disebarluaskan serta
dilakukan berbagai upaya untuk
penerapannya.
Selain itu, mendesaknya klarifikasi
konseptual untuk dilakukan adalah fakta
adanya berbagai pendapat mengenai
definisi akuntabilitas dalam sistem
pemerintahan demokratis. Masalah
klarifikasi konseptual harus dipandang
7. sebagai suatu masalah akademik dan
merupakan dasar dari langkah-langkah
penyusunan dan implementasi
mekanisme akuntabilitas (Turner, 2000).
Akuntabilitas (accountability)
merupakan istilah yang diterapkan untuk
mengukur apakah dana publik telah
digunakan secara tepat untuk tujuan di
mana dana publik tadi ditetapkan dan
tidak digunakan secara ilegal (Hatry,
1980). Selanjutnya dalam
perkembangannya, akuntabilitas
digunakan oleh pemerintah untuk melihat
akuntabilitas efisisensi ekonomi program
melalui usaha untuk mencari dan
menemukan apakah ada penyimpangan
staf atau inefisiensi penggunaan atau ada
prosedur yang tidak diperlukan.
Akuntabilitas dan responsibilitas
hakekatnya merupakan standar
profesional yang harus dilaksanakan oleh
aparat pemerintah dalam memberikan
pelayananan kepada masyarakat.
Akuntabilitas dan responsibilitas publik
dapat juga dipergunakan sebagai
alat/sarana untuk menilai kualitas kinerja
aparat pemerintah sehingga mereka dapat
mengenali dengan benar kekuatan dan
kelemahannya (Islamy, 1998). Dengan
demikian, Akuntabilitas publik
merupakan landasan bagi proses
penyelenggaraan pemerintahan dan
keberadaannya diperlukan karena
aparatur pemerintah harus
mempertanggungjawabkan tindakannya.
Selanjutnya, Finner dalam Darwin
(1993) menjelaskan akuntabilitas
merupakan konsep yang berkenaan
dengan standar eksternal yang
menentukan kebenaran suatu tindakan
oleh administrasi negara (birokrasi
publik). Akuntabilitas ini yang menilai
adalah orang atau institusi yang berada di
luar birokrasi publik.
Akuntabilitas sering disebut
sebagai tanggungjawab yang bersifat
obyektif (objective responsibility).
Responsibilitas obyektif bersumber
kepada adanya pengendalian dari luar
(external control) yang mendorong atau
memotivasi aparat pemerintah untuk
bekerja keras sehingga tujuan three E’s
(economy, efficiency and effectiveness) dari
organisasi dapat tercapai (Denhardt,
1991).
Membahas konsep tanggungjawab
birokrasi pemerintah terhadap publik,
tidak dapat dilepaskan dari konsep
responsibilitas (responsibility),
sebagaimana dikemukakan oleh Carl J.
Friedrich (dalam darwin, 1993). Konsep
tersebut berkenaan dengan standar
profesional dan kompetensi teknis yang
harus dimiliki oleh aparat birokrasi
pemerintah dalam menjalankan tugas-
tugasnya. Aparat birokrasi pemerintah
8. dikatakan responsibel jika pelakunya
memiliki standar profesional atau
kompetensi teknis yang tinggi, dan
karenanya diperlukan standar penilaian
tersendiri yang sifatnya administratif atau
teknis, bukan politis.
Konsep pertanggungjawaban
aparat birokrasi pemerintah tersebut,
karena tuntutan ini disebut juga
administrative responsibility atau menurut
istilah Denhardt (1991) disebut subjective
responsibility yaitu pertanggungjawaban
yang bersumber pada sifat subyektif
individu aparat (internal control), yang
lebih mengedepankan nilai-nilai etis dan
kemanusiaan yang terangkum dalam EEF
(equity, equality and fairness) dalam
memberikan pelayanan kepada
masyarakat dan tugas-tugas administratif
lainnya.
Selanjutnya, Etzioni (1975)
menyatakan perlunya melihat
administrative accountability sebagai
sarana untuk menarik perhatian terhadap
adanya real politics of administrative life
dan ia menekankan perlunya dua macam
pendekatan terhadap akuntabilitas, yakni
pertama: pendekatan moral yang melihat
akuntabilitas sebagai seruan dan
pendidikan bagi orang-orang yang
memiliki kesadaran akan tanggungjawab
moralnya; dan kedua: pendekatan hukum
yang lebih memfokuskan perhatiannya
pada mekanisme checks and balances dan
persyaratan-persyaratan pelaporan
formal, baik di dalam maupun di luar
organisasi administrasi.
Sementara itu, J.B Ghartey dalam
Salleh dan Iqbal (1995) menyebutkan
bahwa akuntabilitas ditujukan untuk
mencari jawaban atas pertanyaan yang
berhubungan dengan pelayanan apa, oleh
siapa, kepada siapa, milik siapa, yang
mana dan bagaimana. Pertanyaan
tersebut membutuhkan jawaban meliputi
apa yang harus dipertanggungjawabkan,
mengapa pertanggungjawaban tersebut
harus diberikan, siapa yang harus
bertanggungjawab atas berbagai kegiatan
tersebut, apakah pertanggungjawaban
tersebut berjalan sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki. Sehingga
akuntabilitas dapat dipergunakan sebagai
instrumen untuk mengontrol berbagai
kegiatan dalam mencapai hasil yang
ditentukan dalam bidang pelayanan
publik.
Dari berbagai uraian di atas yang
menyebutkan definisi akuntabilitas
publik, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi sekaligus sebagai
pemilik dari seluruh sumber-sumber
kekayaan, kewenangan, dan kekuasaan.
Oleh karena itu, sangat wajar apabila
pemegang kekuasaan yang telah
9. menggunakan sumber-sumber kekayaan
yang berasal dari rakyat tersebut harus
mempertanggung-jawabkan kepada
rakyat.
Dengan perkataan lain, setiap
aparatur pemerintah harus dapat
mempertanggungjawabkan segala sikap,
perilaku, dan kebijakan yang telah diambil
kepada publik selama mereka
menjalankan tugas, wewenang, dan
tanggungjawab, yang telah diberikan
kepadannya. Konsep pertanggungjawaban
demikian, dalam studi administrasi negara
disebut dengan akuntabilitas publik.
Hal ini senada, dengan yang
disampaikan oleh Hughes (1992) bahwa:
“government organization are created
by the public, for the public and need to
be accountable to it”. (Organisasi
pemerintah dibuat oleh publik dan
untuk publik, karenannya perlu
mempertanggungjawabkannya kepada
publik.)
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, tentang berbagai definisi atau
pengertian akuntabilitas publik maka
dapat ditarik suatu kesimpulan, ada empat
dimensi dari akuntabilitas, yaitu: (1) siapa
yang harus melaksanakan akuntabilitas
(ada pihak yang melaksanakan
akuntabilitas); (2) kepada siapa mereka
harus berakuntabilitas (akuntabilitas
dilaksanakan kepada siapa); (3) apa
standar atau ukuran yang harus
digunakan untuk penilaian akuntabilitas
(ada mekanisme akuntabilitas) ini; dan
(4) ada nilai yang terkandung dalam
akuntabilitas itu sendiri.
Dalam perkembangannya,
pengertian akuntabilitas ini sering
dikaitkan dengan good governance, dalam
kaitannya dengan mencapai efisiensi,
dalam penyelenggaraan
pemerintahan/negara oleh stakeholder
yang terlibat. Ide dasar dari akuntabilitas
ini, adalah kemampuan seseorang atau
organisasi atau penerima amanat untuk
memberikan jawaban kepada pihak yang
memberikan amanat atau mandat
tersebut. Semua unit organisasi, apakah
dipilih atau ditunjuk, dapat dikatakan
akuntabel ketika organisasi atau penerima
amanat untuk memberikan jawaban
kepada pihak yang memberikan amanat
atau mandat tersebut mampu
menjelaskan dan mempertanggung-
jawabkannya atas semua
tindakan/kegiatan yang telah mereka
lakukan, dan sanggup menerima sanksi
atas tindakan yang tidak layak atau
dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkannya.
Terkait dengan konsep dan aplikasi
akuntabilitas ini, sebenarnya sudah ada
selama ini, namun seiring dengan adanya
perubahan dari lingkungan terkait dengan
tuntutan akuntabilitas nasional ini
10. semakin hari semakin menjadi
besar/kuat. Tuntutan akuntabilitas
nasional ini, juga semakin besar seiring
dengan semakin sedikitnya/lemahnya
fungsi kontrol yang dilakukan oleh local
democratic control (kelompok-kelompok
yang dipilih oleh masyarakat) baik yang
berupa Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
atau lembaga swadaya masyarakat yang
lainnya.
Tujuan yang mendasari munculnya
local democratic control yakni untuk
mengarahkan instansi/lembaga
penyelenggaraan pemerintahan/Negara
menggunakan bentuk akuntabilitas
langsung kepada publik. Namun
sayangnya, organisasi baru ini belum
memiliki publik, organisasi baru ini juga
masih belum memiliki bentuk
akuntabilitas yang sesuai dengan
keberadaannya.
Dengan demikian organisasi baru
yang masuk dalam kelompok local
democratic control ini direkrut biasanya
berdasarkan profesionalisme oleh
eksekutif yang memberikan dana dalam
operasionalnya. Jelas bahwa organisasi
baru ini membutuhkan mekanisme
akuntabilitas yang berbeda mengingat
perbedaan rekrutmen antara keduanya.
Secara tradisional, konsep
akuntabilitas ini diberlakukan sebagai
subordinate dari sebuah konsep
pertanggungjawaban. Kata accountability
dalam konsep ini pada dasarnya
mengandung arti, penerima tanggung
jawab yang harus selalu siap untuk ‘calling
to account’ atau menjelaskan
pertanggung-jawaban (explanation of
responsibility).
…dalam suatu sistem organisasi,
pegawai bertanggung jawab pada
organisasi atau pada orang lain
(kelompok orang, atasan) untuk
melaksanakan tanggung jawab
yang diserahkan padanya. Hal ini
berarti orang ini harus bertindak
dalam konteks hubungan dengan
organisasi/orang lain/kelompok/
atasan yang dapat memaksa
mereka untuk meminta penjelasan
dari pegawai ini tentang apa yang
sudah dilakukan dan mana yang
belum dilakukan. Sehingga dalam
kontek pertanggungjawaban orang
ini harus bertanggung jawab akan
kinerjanya, dan juga merupakan
subyek atau penilaian, pengarahan,
permintaan, informasi atas
tindakan mereka (Thynne and
Goldring, 1987, 8)
Akuntabilitas dapat juga diartikan
sebagai “suatu cara melalui mana individu
dan organisasi melaporkan kepada pihak
yang dianggap memiliki wewenang dan
dituntut bertanggung jawab atas segala
tindakannya (Edward and Hulme 1996,8).
Pada dasarnya, definisi
akuntabilitas ini selalu dikaitkan dengan
tuntutan agar seseorang atau
lembaga/instansi akuntabel. Seperti yang
11. dikatakan oleh Leat sebagaimana dikutip
oleh McDonald (1997, 53).
“Accountabilityis defined as ’the right to
require an account’ and also ‘the right
to impose sanctions if the account or
the actions accounted for are
inadequate”.
Pengertian akuntabilitas ini akan
cenderung memiliki arti yang lebih
kompleks dalam suatu organisasi sektor
publik daripada dalam organisasi sektor
swasta. Perbedaan ini nampak bahwa,
dalam sektor swasta, manajer dan pekerja
dituntut untuk akuntabel terhadap
stakeholder yang mudah diidentifikasi,
misalnya pelanggan atau pemilik saham,
terkait dengan: keuntungan, kerugian dan
perhatian terhadap pengurangan biaya
produksi mendominasi, dan secara rutin
dapat disampaikan dalam setiap laporan
yang dibuatnya. Sementara seorang
pimpinan yang mempunyai kewenangan
penuh dalam menentukan nasib
karyawannya merupakan sumber utama
terhadap mekanisme penguatan
akuntabilitas tersebut.
Sebagai gambaran awal tentang
karakteristik proses akuntabilitas di
sektor swasta yang dapat dikatakan
lebih/sangat sederhana ini, dapat
dandingkan dengan keadaan disektor
publik. Pada sektor publik, akuntabilitas
harus berhadapan dengan stakeholder
yang beragam dengan kepentingan yang
berbeda, dan masing-masing sangat sulit
di identifikasi, dan bisa-jadi terdapat
beberapa kepentingan, bahkan
bertentangan satu sama lain.
Akuntabilitas dalam sektor publik
dapat digambarkan sebagai sistem
elektoral, yang jarang sekali memberikan
mandat yang jelas untuk isu-isu yang
spesifik. Selain itu, seringkali sistem check
and balances diantara cabang-cabang
kekuasaan negara yang berperan
memperkuat mekanisme akuntabilitas
justru malah menciptakan konflik
kewenangan, dengan adanya kebijakan
yang justru melemahkan akuntabilitas
pemerintah itu sendiri.
Permasalahan lain yang timbul
terkait dengan akuntabilitas ini adalah
kenyataan bahwa organisasi publik yang
ada saat ini ada, justru banyak yang
mengadopsi konsep dari organisasi
swasta. Sehingga berbagai konsep swasta
yang diadopsi tersebut, pada dasarnya
malah mementingkan hasil sebagai
indikator utama dari keberhasilan
organisasi, Dengan demikian dapat
menyebabkan munculnya isu
akuntabilitas pada sektor publik yang
mengedepankan hasil (improved
performance matters) dari pada proses
yang harus dijalani. Keadaan yang
demikian ini akan menimbulkan
tantangan baru bagi sektor untuk
12. melakukan akuntabilitas terhadap hasil
(performance) yang dicapai oleh suatu
organisasi.
Dari berbagai uraian tersebut di
atas, nampak bahwa organisasi publik
yang memiliki mandat ini sangat berbeda
dengan sektor swasta kaitannya dengan
persoalan akuntabilitas tersebut. Dari sisi
pendanaan, berbagai tugas yang
dilaksanakan oleh suatu organisasi yang
masuk dalam kategori organisasi publik
ini, sebagian besar dibiayai dari sektor
pajak, dimana penentuan biayanya sering
kali lebih banyak meng-cover aspek sosial,
serta melaksanakan fungsi memberikan
pelayanan pada masyarakat yang tidak
mampu, untuk mendapatkan akses
terhadap barang dan jasa. Dari
pertanggungjawaban mandat yang
diberikan ini akan memberikan kontribusi
terhadap kompleksitas dari cakupan
akuntabilitas dalam sektor publik
tersebut, contohnya: mempertimbangkan
kriteria efisiensi, efektivitas dan keadilan.
Beberapa uraian di atas,
mengambarkan kompleksitas masalah
yang terjadi, dan dapat dipergunakan
untuk melakukan pengkajian lebih
mendalam mengenai karakteristik,
sekaligus cara kerja dari akuntabilitas
yang ada di sektor publik. Dengan
demikian akuntabilitas sebagai konsep
dalam administrasi publik tersebut
dianggap sebagai sarana yang mutlak
diperlukan untuk mencegah praktek KKN,
dan pada gilirannya dapat dipergunakan
untuk menegakkan pemerintahan yang
demokratis di Indonesia.
Selain pengertian akuntabilitas di
atas, menurut The Public Administration
Dictionary: ”accountability” diartikan
sebagai kondisi dimana suatu individu
yang menjalankan kewenangan dibatasi
oleh sarana eksternal dan norma internal
(“a condition in which individuals who
exercise power are constrained by
eksternal mean and by internal norms”)
(Chandler and Plano 1988). Namun dari
definisi akuntabilitas tersebut juga
memberikan pengertian secara eksternal,
yang dapt diartikan sebagai masyarakat
warganegara, anggota Parlemen, pejabat
politik dan pejabat pemerintah, peradilan
dan sebagainya. Hukum, peraturan dan
prinsip moral yang diatur dalam
masyarakat bisa menjadi rambu
pembatas. Sedangkan pengertian ”public”
dalam public accountability mengandung
makna, yaitu berkaitan dengan
keterbukaan (openness) dan dalam
konteks publik domain.
Penjelasan yang lebih detail
mengenai kedua makna antara
akuntabilitas (accountability) dan publik
(public), tersebut dapat diketahui sebagai
berikut (Bovens, 2005):
13. In the first place, used in this context,
‘public’ should be understood to mean
‘openness’. Account is not rendered
discretely, behind closed doors, but is in
principle open to the general public.
The information provided about the
actor’s conduct is widely accessible,
hearings and debates are open to the
public and forum broadcasts its
judgement to the general public. In the
second place, ‘public’ refers to the
object of the account to be rendered.
Public accountability mainly regards
matters in public domain, such as the
spending of public funds, the exercise of
public authorities, or the conduct of
public institutions. It is not necessarily
limited to public organisations, but can
extend to private bodies that exercise
public privileges or receive public
funding.
Secara umum terkait dengan jenis
akuntabilitas ini, ada beberapa pakar/ahli
yang memberikan pemisahan/
pengelompokan secara tegas tentang jenis
akuntabilitas tersebut, yang salah
satunnya disampaikan oleh Day Klien
(dalam Ferlie et als, 1996) yang
membedakan akuntabilitas dalam 2 (dua)
kategori yaitu political accountability dan
Managerial accountability.
Pertama, political accountability
ini diartikan sebagai proses dimana
delegated authority atau sebagai
penerima/pemegang mandat dari publik,
harus bertanggungjawab atau menjawab
pertanyaan atas tindakan yang mereka
lakukan kepada publik, secara langsung
dalam kelompok masyarakat yang lebih
kecil atau sederhana, maupun dalam
kelompok masyarakat yang lebih luas atau
kompleks.
Salah satu bentuk akuntabilitas
yang dianggap sangat ideal untuk
menggambarkan political accountability
ini, adalah ministerial accountability,
dimana pucuk pimpinan organisasi publik
memberikan akuntabilitas kepada
lembaga perwakilan. Namun seiring
dengan kompleksitas pekerjaan dan
besarnya jumlah departemen atau
organisasi pemerintah
pemerintahan/negara, proses ini menjadi
semakin tidak efektif walaupun
mekanisme akuntabilitas ini dilakukan
melalui komisi. Apalagi konsep ini juga
sering sekali mendapatkan banyak
pertanyaan tentang makna direct public
accountability atau lebih dikenal dengan
akuntabilitas langsung kepada publik atau
rakyat.
Kedua, managerial accountability
sebagai salah satu dari kategori
akuntabilitas publik yang diartikan
sebagai proses dimana delegated authority
atau penerima/ pemegang mandat dari
publik tersebut, harus mempertanggung
jawabkan atau dengan menjawab
pertanyaan atas pelaksanaan dari tugas
yang sudah disepakati sebelumnya sesuai
dengan/ berdasarkan kriteria dan standar
yang sudah disepakati atau ditetapkan
14. dari awal. Sebagai contoh cara untuk
melakukan akuntabilitas manajerial ini
adalah: (-) fiscal audit; (-) managemen by
objectives techniques, dan (-) individual
appraisal system.
Dalam konteks Managerial
Accountability ini, pengembangan format
akuntabilitas sangat memungkinkan
untuk dilakukan, hal ini disebabkan oleh
karena pada dasarnya dalam akuntabilitas
ini hanya terdapat 3 (tiga) komponen
penting yakni: (a) adanya
indikator/standar yang disepakati; (b)
prinsip bukti yang akurat, relevan dan
cukup; serta (c) proses penilaian yang
akurat dan baik. Dari beberapa penjelasan
diatas, nampak bahwa managerial
accountability memiliki batasan atau
cakupan yang lebih sempit dan secara
alamiah memang sudah ada, dan dibangun
dalam organisasi (bounded in nature)
tersebut.
Dari proses sampai dengan
mekanisme dari akuntabilitas ini memang
relatif lebih sederhana untuk dibangun
serta kontrol, namun akuntabilitas itu
sendiri, ada kecendeungan lebih bersifat
manajerial atau administratif jika
dikaitkan dalam struktur organisasi yang
riil, dan penerapan kontrol sosial ini
dirasakan masih rendah. Hal ini sangat
berbeda dengan political accountability
yang hampir sama memiliki kesamaan
standar untuk menilai akuntabilitasnya
dengan memiliki kontrol manajerial atau
administratif yang rendah, namun juga
memiliki kontrol sosial yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Managerial
Accountability.
Dengan melihat perbedaan dari
derajat kontrol sosial dan manajerial ini,
yang selanjutnya digunakan oleh Moiz
(dalam Ferlie et als, 1996) untuk
pengembangan suatu model akuntabilitas
yang disesuaikan dengan pembagian
kekuasaan dan keberadaan suatu
organisasi tertentu. Penggunaan suatu
model ini sangat penting untuk dilakukan,
dengan tujuan untuk menjelaskan
pertanyaan-pertanyaan mengenai: siapa
yang harus melakukan akuntabilitas dan
kepada siapa akuntabilitas tersebut harus
diberikan.
Cakupan atau batasan mengenai
siapa saja yang harus melakukan
akuntabilitas ini, menjadi sangat penting
untuk dipergunakan dalam
mengidentifikasikan aktor (pihak) yang
harus berakuntabilitas atau memberikan
akuntabilitas tersebut. Apabila aktor yang
harus memberikan akuntabilitas ini
dikaitkan dengan publik, maka aktor
(pihak) yang wajib berakuntabilitas atau
memberikan akuntabilitas tersebut yaitu
organisasi publik dan atau mereka yang
15. menerima anggaran dari negara yang
bersumber pada APBN maupun APBD.
Konsekuensi yang melekat dari
pembiayaan atau anggaran dari negara
yang bersumber pada APBN maupun
APBD yang diberikan kepada organisasi
penerima untuk menyelenggarakan
pemerintahan/Negara tersebut, harus
memberikan pertanggung jawaban dan
transparansi terkait dengan penggunaan
anggaran tersebut.
Sebagai ilustrasi yang sederhana
untuk memberikan gambaran tentang
bentuk
pertanggungjawaban/akuntabilitas ini
adalah ketika seseorang atau organisasi
(instansi/lembaga) menerima anggaran
yang bersumber dari APBN/APBD, maka
seseorang atau organisasi (instansi/
lembaga) tersebut memiliki tanggung
jawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi
publik sesuai dengan tugas pokok, dan
fungsinya secara efisien, ekonomis, efektif,
beretika, dan adil. Kondisi yang demikian
ini dapat diartikan sebagai upaya untuk
mencapai tujuan atau sasaran dari
program kegiatan yang telah
direncanakan atau ditetapkan
sebelumnya. Gambaran tersebut
merupakan gambaran awal tentang
konsep utama dari akuntabilitas untuk
menjawab siapa yang harus akuntabel
atau siapa yang harus memberikan
pertanggungjawaban tersebut.
Dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan di negara kesatuan
Indonesia, pihak yang menerima anggaran
dari negara baik berupa APBN/APBD ini
adalah Penyelenggara Negara baik
berupa:
- eksekutif (pemerintah pusat dan
pemerintah daerah);
- legislatif (DPR dan DPD);
- yudisial (MK dan MA);
- auditif (BPK, BPKP);
- moneter (BI);
- lembaga negara non struktural (KY,
KPK, KPPU, Komnas Ham,
Ombusdman, KPI dan seluruh
Komisi yang ada);
- Kementrian, LPDN, Propinsi,
Kabupaten /Kota;
- Markas Besar TNI;
- POLRI; dan
- Sekretariat lembaga tertinggi
negara (DPR/MPR, MA, BPK, dll).
Pihak-pihak tersebut selama ini,
menerima anggaran dari APBN dan APBD,
serta direkrut secara berbeda-beda untuk
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
dalam penyelenggaraan pemerintahan/
negara.
Adanya perbedaan dalam tatacara
rekrutmen/penerimaan ini, menyebabkan
16. pola hubungan yang berbeda antara
instansi/lembaga pemerintah yang satu
dengan yang lainnya. Apabila rekrutmen/
penerimaan ini, dikaitkan dengan sisi atau
aspek manajerial dan politik, akan
nampak adanya perbedaan yang
menonjol. Contohnya: bagi penyelenggara
negara yang dipilih langsung oleh publik,
maka jelas akan memiliki hubungan
politik yang tinggi dengan konstituennya,
dan sebaliknya dari aspek manajerial
menjadi lebih rendah dalam memberikan
akuntabilitasnya, sedangkan untuk
institusi/lembaga yang di pilih oleh
pimpinan eksekutif, maka akan memiliki
hubungan manajerial yang tinggi dengan
yang memilih, dan sebaliknya dari aspek
politik kepada publik akan lebih rendah
dalam memberikan akuntabilitasnya.
Dari uraian tersebut, nampak
bahwa ada perbedaan yang sangat penting
untuk menentukan kepada siapa mereka
berakuntabilitas dan seberapa luas
cakupan dari akuntabilitasnya tersebut.
Selain adanya pembagian yang jelas
antara 2 (dua) kategori yakni:
akuntabilitas dalam managerial and
political accountability tersebut,
selanjutnya kita harus juga mengenal
model akuntabilitas yang dikembangkan
mulai dari classical public administration
doctrine dan perkembangan dari model
itu sendiri.
Ditinjau dari awal mula
pengembangan dari model akuntabilitas
yang berupa, clasissical public
accountability doctrine ini, akuntabilitas
yang dikembangkan cenderung lebih
bersifat political accountability dengan
berbentuk upward accountability atau
ministerial accountability. Adapun minister
atau eksekutif ini, bertanggung jawab
pada lembaga perwakilan atau parlemen,
terkait dengan tugas-tugas publik, dan
harus mengundurkan diri jika terjadi
kesalahan. Dengan diketahuinya
gambaran dan perkembangan classical
public accountability tersebut, maka
selanjutnya dapat diketahui tahapan
perkembangan dari model tersebut,
sebagai berikut:
a. Model tradisional Westminster/
accountability upward
Dalam model ini disebutkan,
bahwa adanya garis
pertanggungjawaban/ akuntabilitas
dari bawah ke atas atau hierakhi,
dan garis kewenagan atau komando
yang menunjukkan otoritas dari atas
kebawah, atau lebih dikenal dengan
model akuntabilitas
ministerial/simply upward. Pada
model akuntabilitas ini, sangat
sesuai dengan konsep birokrasi yang
digagas oleh Weber, sehingga
17. lazimnya disebut dengan
administrative accountability. Dalam
model ini setiap individu wajib
memberikan pertanggungjawaban
terhadap suatu tugas spesifik yang
diberikan kepadanya/kepada
atasannya secara hierakhis. Kondisi
yang demikian ini dilakukan sebagai
bentuk kontrol atasan terhadap
kinerja yang dilakukan oleh
bawahannya.
b. Model tradisional yang
dikembangkan upward, inward dan
outward
Selanjutnya dalam model ini,
kelihatan jelas merupakan
pengembangan dari Model
Tradisional Westminster yang juga
dianggap memiliki banyak
kelemahan meliputi:
1) Ide pertanggungjawaban yang
menekankan pada penjelasan
dan pembenaran atas suatu
tindakan dianggap tidak cukup
digunakan untuk melihat kinerja
suatu tindakan.
2) Hubungan dalam pertanggung
jawaban yang bersifat
interpersonal.
3) Kontrol yang bersifat Top-Down.
Selanjutnya dari beberapa
kelemahan tersebut, dan ditambah
dengan adanya tuntutan global yang
menuntut adanya trasparasi dan
kejujuran dari suatu organisasi
pemerintah, maka model tersebut
dikembangkan menjadi konsep
pertanggungjawaban/akuntabilitas
yang tidak hanya dari bawah ke atas
(akuntabilitas internal), yang juga
ditambahkan dengan memberikan
pertanggungjawaban/ akuntabilitas
yang bersifat lebih kedalam lagi, yakni
ditujukan pada perorangan.
Sedangkan untuk akuntabilitas yang
bersifat keluar ini, ditujukan pada
memberikan pertanggungjawaban/
akuntabilitas kepada masyarakat
(akuntabilitas eksternal). Adapun
untuk mendukung akuntabilitas
internal dan eksternal tersebut,
pendukung konsep/teori akuntabilitas
ini menyarankan diciptakannya
beberapa mekanisme dan sistem
akuntabilitas misalnya: (-) adanya
pengembangan jaminan kebebasan
mendapat infornmasi dan
pembentukan berbagai lembaga
independen yang bertujuan untuk
mengontrol kinerja dari sektor publik,
sebagai contoh: ombudsman dan
peradilan yang kuat.
18. c. Model Stone
Dalam model stone ini,
pertanggungjawban/ akuntabilitas
dibagi dalam 5 (lima) kategori,
yakni:
1) Kontrol dari Parlemen (DPR);
2) Managerialism;
3) Peradilan/Lembaga semi
peradilan;
4) Perwakilan Masyarakat;
5) Pasar (konsumen-pengusaha).
Untuk memudahkan dalam
memahami hubungan dalam sistem
akuntabilitas model ini dapat ditampilkan
dalam bentuk tabel 1, sebagai berikut:
Tabel 1
Hubungan dalam Sistem Akuntabilitas
Model Stone
Kategori
Dasar
hubungan
Bentuk
Hubungan
Parlemen
(DPR)
Supervisi/
komando
Atasan-
bawahan
Managerial
Kontrak Principal-
agent
Pengadilan
/ Lembaga
Semi
Peradilan
Hak
individu/
kewajiban
secara
procedural
Komplain
dari
responden
Perwakilan
Masyarakat
Perwakilan
/responsif
Pemilih –
perwakilan
Pasar
Kompetisi/
pemenuha
n
kebutuhan
konsumen
Konsumen
– sektor
swasta
Sumber: Romzek and Dupnik dalam Stone,
1995.
d. Model jaringan kerja /jaringan yang
kompleks,
Perlu adanya jaringan yang
dibentuk oleh para pihak, yakni
kesepakan antara pihak yang satu
dengan yang lain untuk membentuk
suatu jaringan kerja yang komplek
dan saling memberikan kontribusi
dan informasi. Dengan demikian
model ini, nantinya akan dapat
menekankan pada pola hubungan
yang terjalin secara baik pada suatu
kerjasama yang terstruktur.
Selanjutnya dalam suatu system
tersebut terbina suatu kerjasama,
oleh semua pihak yang terkait untuk
saling berkomunikasi, dalam
kaitanya dengan saling memberikan
inforrmasi serta menjalin hubungan
kerja yang saling melengkapi untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan
oleh para pihak dalam jaringan kerja
tersebut.
Secara singkat jenis-jenis akuntabilitas
dapat dikemukakan dalam matriks
berikut:
Tabel 2
Matriks Tipe Akuntabilitas
No Sumber
Tipe-Tipe
Akuntabilitas
19. No Sumber
Tipe-Tipe
Akuntabilitas
1. Jabra dan
Dwivedi
(1989)
(1) Administrative /
Organization
Accountability;
(2) Legal
Accountability;
(3) Political
Accountability;
(4) Professional
Accountability; dan
(5) Moral
Accountability.
2. Paul
(1991)
dalam
Salleh dan
Iqbal
(1995)
(1) Democratic
accountability;
(2) Professional
accountability; dan
(3) Legal
accountability.
3. Yango
(1991)
dalam
Salleh dan
Iqbal
(1995)
(1) Traditional or
regularity
accountability;
(2).Managerial
accountability;
(3) Program
accountability dan
(4) Process
accountability.
4. Greenwood
dan Wilson
(1989)
dalam
Fernanda
(2002)
(1) Akuntabilitas
hukum dan
Perundang-
undangan; (2)
Akuntabilitas politik
dan kelembagaan.
5. J.D Stewart
(1984)
dalam
Fernanda
(2002)
(1) Akuntabilitas
kebijakan;
(2) Akuntabilitas
program;
(3) Akuntabilitas
kinerja;
(4) Akuntabilitas
proses;
(5) Akuntabilitas
hukum dan
No Sumber
Tipe-Tipe
Akuntabilitas
Perundang-
undangan.
6. Mc Kenney
dan
Howard
(1979)
dalam
Fernanda
(2002)
(1) Akuntabilitas
fiskal; (2)
Akuntabilitas legal;
(3) Akuntabilitas
program;
(4) Akuntabilitas
proses;
(5) Akuntabilitas
hasil.
7. Schacter
(2000)
(1) Informasi
(information);
(2) tindakan
(action); (3)
tanggapan
(response).
Dari beberapa konsep/teori
akuntabilitas tersebut pada Tabel 2, dapat
disimpulkan bahwa konsep/teori
akuntabilitas oleh Jabra dan Dwivedi,
mendapat dukungan oleh konsep yang
disampaikan Paul, Yanggo, Greenwood
dan Wilson, J.D Stewart serta Mc Kenney
dan Howard. Sedangkan Schacter tidak
menentang konsep/teori akuntabilitas
Jabra dan Dwivedi akan tetapi justru
memberi warna tersendiri dalam
konsep/teori akuntabilitas publik
tersebut.
A. Akuntabilitas Lembaga Legislatif
Akuntabilitas lembaga legislatif
diperlukan dengan adanya kekuasaan
yang berupa amanah yang diberikan oleh
rakyat kepada anggota legislatif terpilih
20. agar mereka mampu menjalankan
tugasnya dalam rangka mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada.
Setelah amanah tersebut dijalankan, maka
harus ada laporan atas pelaksanaan tugas-
tugas yang telah dipercayakan tadi.
Tujuan penyusunan dan
penyampaian laporan akuntabilitas
lembaga legislatif adalah untuk
mewujudkan akuntabiltas lembaga
tersebut terutama kepada rakyat/publik
selaku pemberi amanah. Bagi lembaga
legislatif sendiri, pelaporan akuntabilitas
kinerjanya merupakan sarana untuk
mengkomunikasikan dan menjawab
tentang apa yang sudah dicapai dan
bagaimana proses pencapaiannya,
tentunya terkait dengan mandat yang
diberikan oleh rakyat kepadanya.
Adapun maksud dan tujuan
penyusunan dan penyampaian laporan
akuntabilitas lembaga legislatif ini adalah:
1. Pertanggungjawaban dari lembaga
representasi rakyat kepada rakyat
selaku pemberi mandat demokratisasi
yang lebih baik.
2. Pengambilan keputusan dan
pelaksanaan perubahan-perubahan ke
arah perbaikan, dalam mencapai
kehematan, efisiensi dan efektivitas
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi,
serta ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Perbaikan penyelenggaraan
demokrasi negara Indonesia menuju
proses demokratisasi yang
bertanggung jawab, responsif, efektif
dan efisien.
Laporan pertanggung jawaban
lembaga Legislatif (DPR dan DPD) pada
prinsipnya harus memuat laporan yang
berisikan mengenai laporan kegiatan dan
laporan keuangan. Ringkasan eksekutif
merupakan salah satu bentuk
akuntabilitas bagi lembaga yang
mengambarkan secara umum untuk
kinerja lembaga dilihat dari dimensi
kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan
kegiatan disusun berdasarkan
perencanaan strategis yang di susun oleh
lembaga legislative. Sementara laporan
keuangan disusun berdasarkan mata
anggaran yang telah dialokasikan ke
dalam program-program yang terangkum
dalam perencanaan strategis.
Substansi akuntabilitas Lembaga
Legislatif dikelompokkan dalam 2 (dua)
kategori, yaitu: Akuntabilitas Organisasi
dan Akuntabilitas Individual.
Akuntabilitas organisasi terdiri dari 3
(tiga) substansi akuntabilitas, yaitu:
politik, legal, dan professional, sedangkan
akuntabilitas individu terdiri dari 2 (dua)
21. substansi akuntabilitas, yaitu: politik dan
moral.
Seluruh indikator yang ada di
masing-masing substansi akuntabilitas di
atas selanjutnya harus disusun dalam
format yang sistematis dan melalui
mekanisme penyampaian laporan
akuntabilitas berikut ini.
1. Disclosure of statement
Laporan akuntabilitas yang tersaji
dalam disclosure of statement
disajikan dalam bentuk documentary
accountability, yakni pelaporan
akuntabilitas yang terstandarisasi
secara bentuk, format, dan isinya.
Untuk selanjutnya laporan tersebut
dipublikasikan atau dikirimkan
kepada pihak-pihak yang
berkepentingan atas laporan
akuntabilitas lembaga legislatif
(stakeholders).
2. Social Auditing
Mekanisme social auditing lembaga
legislatif dapat dijalankan dalam
bentuk:
- Public hearings,
- Publikasi,
- Kunjungan kerja, dan
- Konsultasi publik.
B. Akuntabilitas Lembaga Yudikatif
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, pasal 3 dinyatakan bahwa
Asas-asas umum Penyelenggaraan
Negara meliputi Asas Kepastian
Hukum, Asas Keterbukaan, Asas
Proporsionalitas, Asas Profesionalitas dan
Asas Akuntabilitas. Sesuai dengan asas-
asas tersebut lembaga yudisial wajib
leaporkan setiap kegiatannya sesuai
dengan undang-undang yang
mengaturnya.
Dalam melaksanakan asas
akuntabilitas lembaga yudisial yang dalam
hal ini diwakili oleh Mahkamah Agung
memiliki kewajiban untuk menyusun dan
menyampaikan laporan pertanggung
jawaban kinerjanya kepada pihak yang
memerlukan terutama pada seluruh
masyarakat Indonesia.
Sedangkan untuk menciptakan good
governance diperlukan prinsip-prinsip
partisipasi, penegakan hukum,
transparansi, kesetaraan, daya tanggap,
wawasan ke depan, akuntabilitas,
pengawasan, efisensi dan efektivitas, serta
profesionalisme. Kemudian prinsip
akuntabilitas ditegaskan lagi dalam visi,
misi dan program membangun Indonesia
yang aman, adil dan sejahtera melalui
program meningkatkan pengawasan
untuk menjamin akuntabilitas,
22. transparansi, dan perbaikan kinerja
aparatur Negara/pemerintah.
Tujuan dari pelaksanaan
akuntabilitas lembaga yudisial dalam hal
ini diwakili oleh Mahkamah Agung adalah
sebagai berikut:
1. Mewujudkan lembaga peradilan yang
bersih dan akuntabel yang dapat
memberikan keadilan bagi
masyarakat;
2. Meningkatkan efektifitas lembaga
peradilan melalui koreksi terhadap
pelaksanaan program/kegiatan yang
telah direncanakan oleh lembaga;
3. Memberikan keterbukaan informasi
bagi seluruh masyarakat indonesia
mengenai lembaga peradilan serta
kinerja yang telah dilaksanakannya;
4. Mengevaluasi pelaksanaan tugas dan
fungsi yang dimiliki oleh lembaga
yudisial, sehingga kedepannya dapat
menjadi dasar untuk perbaikan dalam
kinerjanya sebagai lembaga peradilan.
Laporan pertanggung jawaban
lembaga Yudisial pada prinsipnya harus
memuat laporan yang berisikan mengenai
laporan kegiatan dan laporan keuangan.
Ringkasan eksekutif merupakan salah satu
bentuk akuntabilitas bagi lembaga yang
mengambarkan secara umum untuk
kinerja lembaga dilihat dari dimensi
kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan
kegiatan disusun berdasarkan
perencanaan strategis yang di susun oleh
lembaga yudisial. Sementara laporan
keuangan disusun berdasarkan mata
anggaran yang telah dialokasikan ke
dalam program-program yang terangkum
dalam perencanaan strategis.
Substansi akuntabilitas Lembaga
Legislatif dikelompokkan dalam 2 (dua)
kategori, yaitu: Akuntabilitas Organisasi
dan Akuntabilitas Individual.
Laporan pertanggungjawaban
lembaga yudisial (dalam hal ini adalah
MA) dilakukan melalui mekanisme
Reporting. Yaitu dalam melaporkan setiap
program/kegiatan harus disusun kedalam
bentuk laporan baik tertulis maupun tidak
tertulis. Dalam pelaporan akuntabilitas
secara individu bagi hakim dapat
dilakukan melalui mekanisme reporting
yaitu dengan membuat laporan dalam
bentuk tertulis yang disampaikan kepada
Komisi Yudisial, Presiden, dan DPR serta
masyarakat umum.
C. Akuntabilitas Lembaga Keuangan
Pada dasarnya, akuntabilitas
adalah pemberian informasi dan
pengungkapan (disclosure) atas aktivitas
dan kinerja finansial kepada pihak-pihak
yang berkepentingan (Schiavo-Campo and
Tomasi, 1999). Governmental Accounting
Standards Board (GASB, 1999) dalam
23. Concepts Statement No. 1 tentang
Objectives of Financial Reporting
menyatakan bahwa akuntabilitas
merupakan dasar pelaporan keuangan di
pemerintahan yang didasari oleh adanya
hak masyarakat untuk mengetahui dan
menerima penjelasan atas pengumpulan
sumber daya dan penggunaannya. Sebuah
kewajiban bagi instansi pemerintah untuk
melakukan akuntabilitas, agar instansi
tersebut dapat dinyatakan kredibel. Bank
Indonesia sebagai bagian dari instansi
pemerintah wajib untuk melakukan
akuntabilitas.
Tujuan akhir dari proses
akuntabilitas adalah prinsip akuntabilitas
itu sendiri yakni pertanggungjawaban
yang mensyaratkan hal utama yang
dilaporkan berkenaan dengan sukses atau
gagalnya suatu rencana. Baik buruknya
pencapaian suatu instansi turut
mempengaruhi kepercayaan publik
terhadap instansi tersebut, diaharapkan
dengan akuntabilitas yang baik maka akan
terbangun suatu kepercayaan publik yang
tinggi.
Laporan pertanggung jawaban
Lembaga Keuangan pada prinsipnya harus
memuat laporan yang berisikan mengenai
laporan kegiatan dan laporan keuangan.
Ringkasan eksekutif merupakan salah satu
bentuk akuntabilitas bagi lembaga yang
mengambarkan secara umum untuk
kinerja lembaga dilihat dari dimensi
kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan
kegiatan disusun berdasarkan
perencanaan strategis yang di susun oleh
BI. Sementara laporan keuangan disusun
berdasarkan mata anggaran yang telah
dialokasikan ke dalam program-program
yang terangkum dalam perencanaan
strategis.
Untuk dapat melaksanakan tujuan
dari Bank Indonesia, maka Bank Indonesia
menyusun Sistem Perencanaan, Anggaran
dan Manajemen Kinerja atau disingkat
SPAMK. Sistem ini disusun untuk dapat
menrencanakan anggaran serta
bagaimana kinerja dari Bank Indonesia,
satuan kerja serta individu dapat
diapantau, diawasi, serta diukur. Bank
Indonesia telah menerapkan Indikator
Kinerja Individu (IKI). IKI merupakan
salah satu instrument yang digunakan
oleh Bank Indonesia untuk
mempertahankan, meningkatkan dan
mengevaluasi kinerja dari para
pegawainya, IKI sendiri diterapkan pada
semua level tingkatan pegawai.
Mekanisme akuntabilitas oleh Bank
Indonesia dominan berupa pelaporan
(reporting), dimana Bank Indonesia secara
berkala mempublikasikan perkembanga
moneter kepada masyarakat melalui
berbagai media, baik cetak maupun
elektronik. Bank Indonesia telah
24. membuka informasi melalui website yang
dimiliki oleh Bank Indonesia. Dari website
tersebut dapat dilihat perkembangan dari
inflasi, informasi pembayaran samapi
informasi mengenai produk peraturan
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
D. Akuntabilitas Lembaga Pemeriksa
Laporan pertanggung jawaban
lembaga pemeriksa keuangan pada
prinsipnya harus memuat laporan yang
berisikan mengenai laporan kegiatan dan
laporan keuangan. Ringkasan eksekutif
merupakan salah satu bentuk
akuntabilitas bagi lembaga yang
mengambarkan secara umum untuk
kinerja lembaga dilihat dari dimensi
kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan
kegiatan disusun berdasarkan
perencanaan strategis yang di susun oleh
lembaga Pemeriksa. Sementara laporan
keuangan disusun berdasarkan mata
anggaran yang telah dialokasikan ke
dalam program-program yang terangkum
dalam perencanaan strategis.
Dengan melakukan
operasionalisasi dari visi, misi, nilai dasar
serta tujuan strategis di atas, maka dalam
membuat suatu format laporan
pertanggungjawaban kinerja, BPK dapat
menggunakan beberapa indikator untuk
menggambarkan sampai sejauh mana
kinerja yang telah BPK capai. Adapun
indikator-indikator tersebut dapat
didasarkan pada beberapa bidang, yaitu
kepegawaian, publik, hasil, kualitas,
ketepatan waktu, dan biaya sebagaimana
yang telah ditetapkan dalam “Indikator
Sukses BPK”.
Instrumen yang dipakai oleh BPK
dalam melaporkan hasil pemeriksaannya
antara lain:
a. Pidato Makalah
b. Siaran Pers
c. The Audit Forum
d. Warta BPK
e. Naskah Memorandum (Dalam dan
Luar Negeri)
f. Hasil Pemeriksaan KAP
g. Hasil Peer Review
h. Publikasi Lain (situs
http/www.bpk.go.id)
Media yang selama ini dipakai oleh
BPK dalam proses akuntabilitasnya cukup
baik artinya informasi yang dibagi atau
dilaporkan oleh BPK dapat dilihat oleh
siapapun yang ingin mendapatkannya.
BPK sekiranya perlu juga membagi
hasil laporannya kepada pihak akademis,
selain sebagai bahan pembelajaran bagi
masyarakat akademis hal ini juga dapat
dimanfaatkan oleh BPK untuk
mendapatkan masukan, ide serta saran-
saran yang sekiranya berkaitan dengan
laporan BPK. Tentu saja masukan yang
25. diharapkan adalah masukan yang bersifat
membangun.
E. Akuntabilitas Lembaga Pertahanan
dan Keamanan
Melalui Inpres Nomor 5 Tahun
2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi, Presiden Republik Indonesia
menginstruksikan tentang penyusunan
penetapan kinerja kepada menteri, jaksa
agung, panglima TNI, kepala Polri, kepala
LPND, gubernur, bupati, dan walikota,
sebagaimana tercantum pada butir ketiga
Inpres tersebut, yaitu sebagai berikut :
”Membuat penetapan kinerja dengan
Pejabat dibawahnya secara berjenjang,
yang bertujuan untuk mewujudkan suatu
capaian kinerja tertentu dengan sumber
daya tertentu, melalui penetapan target
kinerja serta indikator kinerja yang
menggambarkan keberhasilan
pencapaiannya baik berupa hasil maupun
manfaat.” Melalui inpres tersebut maka
TNI/Polri wajib melakukan perencanaan
kinerja yang tujuannya adalah untuk
mengukur sejauh mana keberhasilan
dalam pencapaian kinerja yang telah
ditetapkan.
Akuntabilitas sangat penting bagi
lembaga pertahanan dan keamanan
mengingat lembaga ini sangat penting
peranannya dalam menjaga persatuan dan
kesatuan NKRI. Pada prinsipnya kondisi
lembaga ini sangat rawan dan retan
terhadap adanya praktek-praktek KKN
yang sudah membudaya di negara kita.
Maka dari itu menjadi sangat urgen bagi
TNI/Polri untuk melakukan akuntabilitas
yang terstruktur dan terstandar sehingga
kinerja lembaga ini menjadi transparan
dan akuntabel. Agar pelaksanaan sistem
akuntabilitas kinerja instansi Hankam
lebih efektif, sangat diperlukan komitmen
yang kuat dari organisasi yang
mempunyai wewenang dan bertanggung
jawab di bidang pengawasan dan
penilaian terhadap akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah. Maka dari itu seluruh
jajaran aparat maupun pejabat wajib
melaporkan semua kegiatannya sekaligus
sebagai bentuk tanggung jawab yang
diembannya.
Laporan pertanggung jawaban
lembaga Pertahanan pada prinsipnya
harus memuat laporan yang berisikan
mengenai laporan kegiatan dan laporan
keuangan. Ringkasan eksekutif
merupakan salah satu bentuk
akuntabilitas bagi lembaga yang
mengambarkan secara umum untuk
kinerja lembaga dilihat dari dimensi
kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan
kegiatan disusun berdasarkan
perencanaan strategis yang di susun oleh
lembaga pertahanan dan keamanan
Sementara laporan keuangan disusun
26. berdasarkan mata anggaran yang telah
dialokasikan ke dalam program-program
yang terangkum dalam perencanaan
strategis.
Sebagai lembaga negara yang
diberi mandat untuk melaksanakan
kegitan dalam pertahanan dan keamanan
TNI wajib membuat laporan
pertanggungjawaban sesuai dengan apa
yang diamanahkan oleh undang-undang.
Dalam hal ini akuntabilitas/
pertanggungjawaban TNI didasarkan pada
perencanaan strategis TNI yang
merupakan penjabaran dari visi dan misi.
Perencanaan stratejik merupakan proses
sistematis yang berkelanjutan dari
pembuatan keputusan yang berisiko,
dengan memanfaatkan sebanyak-
banyaknya pengetahuan antisipatif,
mengorganisasi secara sistematis usaha-
usaha melaksanakan keputusan tersebut,
dan mengukur hasilnya melalui umpan
balik yang terorganisasi dan sistematis.
Mekanisme akuntabilitas lembaga
pertahanan dilakukan melaui reporting
(pelaporan) dalam hal ini yang digunakan
sebagai dasar pelaporan adalah Rencana
strategis (renstra) dan tugas pokok dan
fungsi. Uraian yang dijelaskan dalam
mekanisme pelaporan secara secara rinci
harus mengungkapkan tentang kinerja
dan capaian kinerja yang sudah
ditetapkan melalui perencanaan strategis.
Hasil dari laporan ini kemudian menjadi
tolak ukur keberhasilan dari pelaksanaan
kinerja TNI dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya. Selanjutnya laporan yang
sudah dibuat harus disampaikan secara
utuh kepada Kementerian Pertahanan
selaku lembaga induk yang membawahi
TNI.
F. Akuntabilitas Lembaga Komisional
Maksud disusunnya pedoman ini
adalah untuk memberikan arah dan
pedoman bagi setiap satuan kerja dan unit
lembaga komisional dalam menyusun dan
menyiapkan laporan akuntabilitasnya.
Tujuan disusunnya pedoman ini
adalah agar segala bentuk pelaksanaan
program kerja komisi dapat
dipertanggungjawabkan kepada
stakeholder yang terkait dan penyajian
laporannya dapat tersusun dengan
sistematis agar mudah dipahami guna
perbaikan dan peningkatan kinerja komisi
di kemudian hari.
Laporan pertanggung jawaban
komisional pada prinsipnya harus
memuat laporan yang berisikan mengenai
laporan kegiatan dan laporan keuangan.
Ringkasan eksekutif merupakan salah satu
bentuk akuntabilitas bagi lembaga yang
mengambarkan secara umum untuk
kinerja lembaga dilihat dari dimensi
kegiatan dan alokasi anggaran. Laporan
27. kegiatan disusun berdasarkan
perencanaan strategis yang di susun oleh
komisional. Sementara laporan keuangan
disusun berdasarkan mata anggaran yang
telah dialokasikan ke dalam program-
program yang terangkum dalam
perencanaan strategis.
Komisi berdiri atas tanggung
jawabnya melindungi kenyamanan publik
dalam mendapatkan informasi. Sebagai
basis dalam penyusunan laporan
akuntabilitas, Komisi dapat menggunakan
Program Kerja komisi yang telah
ditetapkan.
Mekanisme dan bentuk
akuntabilitas komisional yaitu:
1. Laporan
2. Konferensi Pers
3. Konsultasi/Dialog Publik baik di Pusat
Maupun Daerah
4. Publikasi
G. Akuntabilitas Lembaga Eksekutif
Penyelenggaraan Negara Negara
yang bersih dan bebas dari unsur KKN
merupakan kewajiban setiap lembaga
Negara dalam hal pelayanan kepada
masyarakat maupun sebagai bentuk
pertanggung jawaban dalam
menggunakan anggaran. Laporan
akuntabilitas memiliki peran dalam
mewujudkan hal tersebut serta dapan
menjadi pedoman dalam mengukur
kinerja organisasi dalam mencapai tujuan
dan sasaran. Adapun maksud dan tujuan
dari penyusunan Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah adalah:
1. Dapat diketahuinya kegiatan yang
telah dilaksanakan;
2. Dapat diketahuinya perkembangan
kegiatan yang telah dilaksanakan
berikut hasil pengolahan dan evaluasi;
3. Sebagai dasar untuk pelaksanaan
kegiatan tahun berikutnya;
4. Tertibnya pengadministrasian hasil
kegiatan;
5. Sebagai bukti laporan program dan
hasil kegiatan kepada publik.
Akuntabilitas lembaga eksekutif
yang saat ini telah dilaksanakan secara
periodik dan berlangsung lama serta telah
mengalami beberapa kali penyempurnaan
dan penyeragaman format laporan. Pada
prinsipnya laporan akuntabilitas lembaga
eksekutif yang saat ini telah di jadikan
sebagai salah satu dasar untuk
mengevaluasi kinerja lembaga eksekutif.
Laporan akuntabilitas disamping memuat
laporan tentang kinerja organisasi yang
didasarkan pada pencapaian tujuan dan
sasaran kegiatan organisasi, disertakan
juga akuntabilitas keuangan organisasi.
Uraian mengenai akuntabilitas keuangan
yaitu dengan menyajikan laporan
penggunaan anggaran secara detail untuk
28. masing-masing kegiatan organisasi yang
diharapkan dapat menjadi pedoman
untuk penetapan anggaran tahun
berikutnya
Mekanisme akuntabilitas lembaga
eksekutif yang paling tepat adalah melalui
mekanisme reporting (pelaporan).
Mekanisme reporting pada prinsipnya
lembaga harus membuat/menyusun
laporan yang memuat laporan mengenai
pelaksanaan kegiatan serta laporan
mengenai alokasi anggaran sesuai dengan
perencanaan. Lembaga eksekutif secara
umum sudah melaksankan laporan
akuntabilitas yang dilaksanakan setiap
tahun yang dikenal dengan LAKIP. Lakip
merupakan salah satu bentuk
akuntabilitas yang dilaksankan setiap
lembaga/institusi pemerintah termasuk
lembaga eksekutif. Laporan yang
berisikan informasi mengenai kondisi dan
keadaan serta realisasi dari seluruh
kegiatan serta gambaran singkat
mengenai jalannya organisasi merupakan
mekanisme yang sudah dilaksanakan
sejak lama. Mekanisme ini dikategorikan
sebagai laporan yang memberikan
informasi kepada pihak-pihak yang
membutuhkan informasi terutama
masyarakat secara keseluruhan.
PENUTUP
Laporan Akuntabilitas
merupakan wujud transparansi dan
akuntabilitas setiap lembaga dalam
melaksanakan berbagai kewajiban
pembangunannya. Sangat disadari
bahwa laporan akuntabilitas saat ini
disadari jauh dari sempurna dalam
memberikan informasi. Laporan ini
setidaknya dapat melaksanakan prinsip
transparansi dan akuntabilitas seperti
yang diharapkan, namun setidaknya
masyarakat dan berbagai pihak yang
berkepentingan dapat memperoleh
gambaran tentang hasil pembangunan
yang telah dilakukan oleh jajaran
pemerintah.
Berbagai upaya telah dilakukan
dalam rangka mewujudkan reformasi
birokrasi di negara kita. Lembaga
eksekutif sebagai salah satu penyangga
utama birokrasi telah berusaha dengan
berbagai upaya agar terwujud birokrasi
yang efektif, efisien, bersih serta
berorientasi kepada kebutuhan rakyat.
Belum seluruh upaya tersebut mencapai
hasil sesuai dengan harapan, namun
setidaknya berbagai upaya tersebut
telah berjalan pada jalur yang benar.
Upaya berkelanjutan tetap akan
dilakukan oleh seluruh jajaran unit-unit
dalam mewujudkan reformasi birokrasi
ini melalui penyusunan kelembagaan
yang efektif, ketatalaksanaan yang
efisien, ketersediaan SDM aparatur yang
29. profesional, peningkatan akuntabilitas,
penerapan sistem pengawasan yang
integral, penerapan budaya kerja dan
pada akhirnya mampu mewujudkan
pelayanan publik yang sesuai dengan
harapan masyarakat.
REFERENSI
Buku
Agus Dwiyanto, 2005. Mewujudkan Good
Governance Melalui Pelayanan Publik,
Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Barker, R.S. 2000.”Government
Accountability and Its Limits”,
Electronic Journals of Departement of
State, Volume 5 Number 2.
Carino, L.V. 1991. “Accountability,
Corruption and Democracy :A
Clarification of Concept” The Asian
Review Of Public Administration,
Volume 3 Number 2.
------, 1993. Administrative Accountability :
A Review Of The Evolution, Meaning
and Operationalization Of Key
Concept In Public Administration,
dalam Brautista (editor),
Introduction To Public Administration
In The Philippines : Reader,
University Of The Philipines Press
and The College Of Public
Administration University Of The
Philipines, Quezon City.
Denhardt, R.B. 1991. Public
Administration, Pasific Grove :
Brooks/Cole Publishing Company.
De Vrye, C. 1998. Good Service is Good
Business : 7 Simple Strategies for
Success, Prentice Hall, New York.
Dror. Y. 1971. Strategies for Administrative
Reform, Development and Change,
The Hauge, Netherlands.
Esman, J.M. 1995. Management of
Development : Perspective and
Strategies, Kumairan Press, Inc.
Etzioni, S. 1975. “Administrative
Accountability” dalam Public
Administration Review (PAR),
Number 35, May/June.
Fernada, D. 2002. “Sistem Perencanaan
dan Akuntabilitas Kinerja
Pemerintah Daerah” Journal
Desentralisasi Volume 1 Nomor 1,
Pusat Kajian Kinerja Otonomi
Daerah, LAN, Jakarta.
Heady, F. 1995. Public Administration : A
Comparative Perspective, 5 th, ed.
New York : Marcel Decker Inc.
Jabbra, J. G. dan Dwidevi, O. P. 1989. Public
Service Accountability, Connecticut :
Kumairan Press, Inc.
Lembaga Administrasi Negara RI. 2000.
Akuntabilitas dan Good Governance,
Modul Sosialisasi Sistem AKIP,
Jakarta.
------------------------------------------, 2003.
Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan
Negara, Perum Percetakan Negara
RI, Jakarta.
------------------------------------------, 2003.
Penyusunan Standar Pelayanan
Publik, Deputi Kajian Manajemen
Kebijakan dan Pelayanan LAN,
Jakarta.
Mardiasmo, 2002. Otonomi dan
30. Manajemen Keuangan Daerah, Andi,
Yogyakarta.
Mertins, Jr., H. (ed.). 1979. Professional
Standars and Ethics. Washington, D.C.
: ASPA Publisher.
Mustopadidjaja, A.R. 2003. Sistem
Administrasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, LAN RI, Jakarta.
Nico Andrianto, 2007. Good e-Government:
Transparansi dan Akuntabilitas
Publik Melalui e-Government,
Bayumedia Publishing, Malang.
Rose, W. dan Menfield, C.E. 1997,
“Governmental Reform : What Are
The Alternatives”, Policy Studies
Journal, Volume 25, number 4.
Saleh, S.H. dan Iqbal, A. 1995.
Accountability : The Endless Prophecy,
The Asian and Pacific Development
Centre, Kuala Lumpur, Malaysia.
Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan
Stratejik Untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Non Profit, PT. Gasindo,
Jakarta.
Suwandi, M. 2001. LPJ Kepala Daerah
Dalam Perspektif Administrasi dan
Akuntabilitas Publik, Depdagri,
Jakarta.
--------------, 2001. Akuntabilitas dan
Transparansi Pelayanan Pemerintah
Daerah, Makalah Seminar
Akuntabilitas Publik, Depdagri,
Jakarta.
Suhadak dan Trilaksono Nugroho, 2007.
Paradigma Baru Pengelolaan
Keuangan Daerah Dalam Penyusunan
APBD di Era Otonomi Daerah,
Bayumedia Publishing, Malang.
Taylor, L.K. 1993. Quality : Total Costumer
Service, Century Business, London.
Thoha, M.1999. Menyoal Birokrasi Publik,
Balai Pustaka, Jakarta.
-------------, 2002. Reformasi Birokrasi
Pemerintah, Makalah Dalam Seminar
Good Governance di Bappenas,
Jakarta.
-------------, 2003. Birokrasi dan Politik di
indonesia. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Turner, M. 2000. Menerapkan
Akuntabilitas di Daerah Otonom,
Makalah Diskusi Nomor 18, CB-
SDAS.
UNDP. 1997. Reconceptualising
Governance, Discussion Paper 2, New
York.
Whittaker, J.B. 1995.The Government
Performance and Result Act of 1993, :
A Mandate For Strategic Planning
And Performance Measurement,
Educational service institute,
Arlington, Virginia.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003,
Tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
-----------------, Nomor 10 Tahun 2009,
Tentang Majelis Permusyaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
------------------, Nomor 4 Tahun 2004 jo
31. Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009, Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
------------------, Nomor 5 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009, Tentang Mahkamah Agung.
------------------, Nomor 24 Tahun 2003:
Mengatur Secara Khusus Mengenai
Kelembagaan Mahkamah Konstitusi.
------------------, Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Perubahan atas UU No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
------------------, Nomor 19 Tahun 2003
Tentang Badan Usaha Milik Negara.
------------------, Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Penyelenggara Negara yang
bersih dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN).
------------------, Nomor 22 Tahun 1999,
Tentang Pemerintahan Daerah
------------------, Nomor 32 Tahun 2004,
Tentang Pemerintahan Daerah.
------------------, Nomor 12 Tahun 2008,
Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
------------------, Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaraan Negara.
------------------, Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Perrtanggungjawaban Keuangan
Negara.
------------------, Nomor 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara.
------------------, Nomor 15 Tahun 2006
Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Negara.
------------------, Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggungjawab Keuangan
Negara.
------------------, Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun
2000, Tentang Tata Cara
Pertanggungjawaban dan
Pengelolaan Keuangan Daerah.
-----------------------------, Nomor 108 Tahun
2000, Tentang Tata Cara
Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
-----------------------------, Nomor 3 Tahun
2007, Tentang Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (LPPD) kepada Pemerintah,
Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala
Daerah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan Informasi LPPD
kepada Masyarakat.
-----------------------------, Nomor 8 Tahun
2004, Tentang Laporan Keuangan
dan Kinerja Instansi Pemerintah.
-----------------------------, Nomor 56 Tahun
2005, Tentang Sistem Informasi
Keuangan Daerah.
-----------------------------, Nomor 58 Tahun
2005, Tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah.
-----------------------------, Nomor 73 Tahun
2005, Tentang Kelurahan.
-----------------------------, Nomor 52 Tahun
2001 Tentang Penyelenggaraan
Tugas Pembantuan.
-----------------------------, Nomor 30 Tahun
32. 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi.
-----------------------------, Nomor 34 Tahun
2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (AKIP).
-----------------------------, Nomor 5 Tahun
2004 Tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 26 Tahun
2004 Tentang Petunjuk Teknis
Transparansi dan akuntabilitas
dalam Penyelenggaraan Pelayanan
Publik.
Keputusan Kepala LAN No.
239/IX/6/Y/2003 Tentang Pedoman
Penyusunan Pelaporan AKIP.
Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat
Nomor XI/MPR/1998 Tentang
Penyelenggara Negara Yang Bebas
Dari Korupsi.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
19 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja Komisi
Penyiaran Indonesia.