2. Kredibilitas media digital rendah karena kerap
mengabaikan verifikasi, mengarah ke koran kuning
(yellow journalism), dan menjadi media
propaganda.
Dewan pers, lembaga independen pengawal
kebebasan pers di Indonesia, sering mendapat
pengaduan dari masyarakat terkait pelanggaran
oleh media atau wartawan.
3. Anggota Dewan Pers, Nezar Patria, mengatakan,
saking pesatnya perkembangan media digital,
Dewan Pers sering menerima pengaduan terkait
berita di media digital. Tiap tahun angkanya terus
naik. Pada 2012 angkanya mencapai 18 persen.
“Porsi terbesar soal pelanggaran kode etik. Ini terkait
dengan angka wartawan yang membaca kode etik,
yang baru 42 persen, sesuai survei Dewan Pers
tahun 2011,"
4. Anggota Dewan Pers lainnya, Agus Sudibyo,
mengungkapkan, ada enam jenis pelanggaran kode etik
jurnalistik yang dilakukan oleh media online (media siber,
cyber media):
1. Media online tidak menguji informasi atau melakukan
konfirmasi. Pelanggaran ini terjadi karena media siber
mengutamakan kecepatan tanpa dibarengi dengan
verifikasi. Dilema kecepatan menimbulkan kesalahan
pemberitaan.
2. Berita tidak akurat.
3. Mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi.
4. Tidak berimbang.
5. Tidak menyembunyikan identitas korban kejahatan
susila.
6. Tidak jelas narasumbernya.
5. Disiplin Verifikasi
Kita lihat pelanggaran media online no. 1 adalah "tidak
akurat". Ini pelanggaran berat karena verifikasi (klarifikasi,
konfirmasi, cek-ricek) merupakan roh jurnalistik. Pengabaian
terhadap prinsip utama jurnalistik ini akan menyebabkan
kredibilitas media online rendah.
Disiplin verifikasi adalah pembeda utama antara jurnalistik
dengan model komunikasi lain seperti propaganda, fiksi, dan
hiburan. Jadi, jika verifikasi terus diabaikan, yang berakibat
tersebarnya berita yang tidak akurat, maka media online pun
akan tidak kredibel, tidak punya integritas, tak bisa
dipercaya, dan akhirnya “mati” karena ditinggalkan
pembaca.
6. Tugas wartawan/media adalah menginformasikan
atau mengungkap kebenaran (truth). Kebenaran
dalam dunia jurnalistik adalah fakta (fact) yang
disajikan secara akurat (accuracy). Untuk mencapai
akurasi dan kebenaran itulah dibutuhkan verifikasi
(discipline of verification).
Verifikasi bukan saja menjadi pembeda antara
jurnalistik dengan propaganda, fiksi, dan
entertainment news /gosip, tapi juga adalah
pembeda antara jurnalis profesional dengan
wartawan "amatir".
7. Cepat vs Akurat
Mengapa insan media online sering mengabaikan atau
melanggar disiplin verifikasi? Mereka lebih memilih
kecepatan ketimbang akurasi. Lebih mengedepankan
kecepatan ketimbang akurasi; lebih cenderung menjadi yang
pertama" ketimbang "yang terakurat".
Karaniya Dharmasaputra (Via News) dalam "Jurnalisme
Online: Asal Seru dan Saru?" (Jurnal Dewan Pers Edisi No.
4, Januari 2011) menyatakan, berita online seperti identik
dengan berita asal cepat (berita dua paragraf yang tak jelas
juntrungannya), tak akurat (jangankan mendalam), atau
seperti yang tertera dalam judul ini: asal seru dan saru
(seronok, menjurus ke porno).
8. Karena itu, tak seperti berita di media cetak dan
televisi, berita online cenderung dianggap tak
punya pengaruh signifikan terhadap pengambilan
kebijakan.
Berita online juga seperti boleh dibuat tanpa
mengindahkan prinsip-prinsip dan kode etik
jurnalistik.
9. Rumor bisa langsung naik jadi berita, meski belum
dicek kebenarannya. Korban di bawah umur tak
mengapa disebut terang-terangan namanya,
bahkan dimuat fotonya. Gambar kekerasan yang
berdarah-darah dan begitu grafik, langsung saja
diunggah tanpa diedit atau dikaburkan terlebih
dahulu.
"Semua seperti jadi halal. Yang penting menarik,
membuat orang banyak meng-klik, dan trafik
pengunjung jadi tinggi yang diharapkan dapat
menarik lebih banyak pengiklan - Karaniya D.
10. Media online is the fastest channel untuk
menyebarkan informasi. Media online pun
berlomba untuk menjadi yang tercepat. Tidak
salah, tapi mengabaikan verifikasi sebagai jalan
terbaik untuk akurasi dan kebenaran berita adalah
dosa besar dalam perspektif "fikih jurnalistik”.
Mantan wartawan Tempo dan Gatra, Iwan Qodar
Himawan, dalam jurnalnya menulis, “Tugas
wartawan bukan sekadar menjadi corong,
Wartawan juga dibekali nalar dan kecerdasan
untuk melakukan verifikasi."
11. • Wartawan media online bahkan sering menulis
berita berdasarkan wawancara via telepon, SMS,
WA, status Facebook, dan kicauan Twitter-ini yang
disebut “Jurnalisme Twitter". Bukan langsung
terjun ke TKP untuk observasi dan verifikasi fakta.
• Insan media online tampaknya mengabaikan
verifikasi karena bisa dengan mudah, kapan dan di
mana saja, mengedit, update, atau bahkan men-
delete (menghapus) berita yang dibuatnya. Selain
itu, toh berita online juga dengan mudah dikoreksi
dan dikomentari oleh pembaca (audience control).
12. • Sebuah media online "ternama" pernah mengubah
judul berita dalam hitungan menit, ketika judul itu
diprotes; mengubah kesalahan penulisan nama
dubes ketika nama itu ternyata salah; menghapus
berita karena ternyata berita itu hoax (cerita
bohong); dan masih banyak lagi.
• Seorang wartawan situs ternama pernah bercerita,
ia menulis berita hanya berdasarkan telepon
kepada saksi mata sebuah kerusuhan. Tanpa
verifikasi! Akibatnya? Pembaca menghujatnya
habis-habisan via kolom komentar dan share
media sosial! Ini... menurunkan kredibilitas!
13. • Sering pula media online memuat berita hanya
berdasarkan siaran pers. Tanpa verifikasi.
Akibatnya, berita yang dimuatnya "sepihak” dan
fatalnya. ada dusta di antara kata-kata dalam rilis
itu!
• Sering juga, media online hanya mengutip alias
COPAS berita dari media online lainnya, lalu
diklaim sebagai berita yang dibuat sendiri, tanpa
menyebutkan sumber, apalagi verifikasi sendiri
ke TKP!
14. Verifikasi adalah roh jurnalisme. Wartawan atau
media online tidak boleh mengabaikan verifikasi
jika ingin "bertahan hidup" kredibilitas dan trust
menjadi taruhan masa depan sebuah media online,
bahkan masa depan jurnalistik secara umum
15. Jadi koran Kuning?
Koran Kuning adalah sebutan bagi media yang berisi
berita atau informasi seputar "dunia hitam"—
kriminalitas dan seks. "Ideologi" jurnalistik koran
kuning adalah sex and crime dikenal juga dengan
sebutan Yellow Journalism, Yellow Papers, dan Gutter
Journalism (Jurnalisme Got).
Bukan hanya doyan memuat berita asusila, skandal,
cabul dan kriminalitas, koran kuning juga identik
dengan jadul-judul berita yang sensasional,
bombastis, dan dramatis” Kadang isinya tidak sesuai
dengan judul.
16. Kamus Bahasa Indonesia mengartikan koran
kuning sebagai surat kabar yang sering kali
membuat berita sensasi.
Menurut Ensiklopedia Pers Indonesia (EPI), Yellow
Papers (Koran Kuning) adalah surat kabar yang
isinya lebih banyak sensasi, rumor, dan hal-hal
yang tidak berkaitan dengan upaya pencerdasan
manusia dan merupakan sebuah paradigma yang
lahir pada zaman industri modern di mana telah
ditemukan mesin cetak super canggih yang
kemudian diikuti oleh tumbuhnya dunia hiburan.
17. Menurut Shirley Biagi dalam Media Impact: An
Introduction to Mass Media (2011), istilah yellow
journalism (koran kuning) dewasa ini digunakan
untuk menggambarkan jurnalisme atau media yang
memperlakukan berita secara tidak profesional dan
tidak etis.
"By extension, the term yellow journalism is used
today as a pejorative to decry any journalism that
treats news in an unprofessional or unethical
fashion."
18. Dalam buku Kamus Jurnalistik (Simbiosa, Bandung,
2009), mendefinisikan Gutter Journalism sebagai
“gaya jurnalistik yang lebih menonjolkan pemberitaan
tentang dunia hitam atau dunia kotor, yakni seks dan
kejahatan (sex and crime journalism). Jurnalisme
demikian menghasilkan Yellow Papers (koran kuning).
Koran Kuning (Yellowpapers) didefinisikan dengan
"suratkabar yang mementingkan sensasionalisme
dengan eksploitasi masalah seks dan kriminalitas. Ia
menganut paham "Jurnalisme Got" (Gutter Journalism)
yang menonjolkan pemberitaan tentang dunia hitam
atau dunia kotor, yakni seks dan kejahatan (sex and
crime journalism)."
19. Tentu istilah koran kuning tidak tepat digunakan
untuk media online karena beda format. Yang
tepat adalah istilah Yellow Journalism atau Gutter
Journalism (aspek “ideologi").
Yang dimaksud media online di sini adalah situs-
situs berita atau portal yang memenuhi
karakteristik media massa, antara lain bersifat
melembaga-organisasi media berbadan hukum;
meluas dan serempak; dan bersifat terbuka dapat
diakses siapa saja.
20. Sejumlah media cetak (surat kabar) memiliki
kredibilitas tinggi di mata publik karena menghindari
Yellow Journalism. Namun, edisi online media-
media tersebut ternyata kadang bahkan sering
"terbawa arus” berburu traffic, pageviews, atau
visitors.
Saat muncul kasus asusila, hampir semua media
online memberitakannya, termasuk media-media
online yang versi cetaknya (koran) dikenal "kredibel"
dan "bukan koran kuning”, baik berita asli
tulisan/liputan wartawannya maupun "copy paste”
dari berita sebelumnya dengan beberapa bagian
diproses "editing"
21. Persaingan ketat merebut perhatian user internet
rupanya menjadi penyebab banyak media online,
secara sadar ataupun tidak, menjadi koran kuning"
demi trafic. In the sake of trafic!
Media-media online mungkin lupa, berita yang
dipublikasikan bisa dikonsumsi segala kalangan
dan usia. Media online juga mungkin banyak yang
lupa, ada Pedoman Pemberitaan Media Siber
(PPMS) dari Dewan Pers yang menyatakan:
"Media Siber Tidak memuat isi bohong, fitnah,
sadis dan cabul".
22. Kode etik memang menjadi “masalah klasik” di
kalangan wartawan atau media. Sayangnya,
pelanggaran kode etik "hanya" dikenai sanksi oleh
internal redaksi media, kecuali pelanggaran kode
etik jurnalistik yang sudah masuk wilayah Delik
Pers (pidana) seperti pencemaran nama baik dan
Delik di UU ITE.
23. Media Propaganda vs Media Jurnalistik
Selain soal disiplin verifikasi, salah satu fenomena
yang berkembang di dunia internet adalah
bermunculannya media propaganda atau media
jurnalistik yang ternyata mengarah ke media
propaganda
Saat ini banyak sekali media online atau situs berita
baru. Media-media siber baru yang lebih pas
disebut "blog berita" ini dipopulerkan (share) di
media sosial, khususnya oleh mereka yang sejalan"
atau "sepemahaman" dengan isi berita/tulisan atau
kebijakan redaksi” (editorial policy)-nya.
24. Umumnya, konten media-media baru ini
kebanyakan copy paste berita dari media siber
mainstream, lalu "diedit" sedemikian rupa demi
misi tertentu. Jadilah mereka media propaganda,
yaitu media yang "hanya" bertujuan
mempengaruhi pendapat dan sikap publik.
Sebagaimana layaknya propaganda, pemberitaan
media tersebut "tidak obyektif", tetapi
memberikan informasi yang dirancang dan
diseting sedemikan rupa untuk mempengaruhi,
kadang "ngompori” (memanas-manasi) publik
agar benci atau suka kepada seseorang atau
sesuatu.
25. Sebagaimana layaknya propaganda pula, konten
media-media tersebut "hanya" menyampaikan
fakta-fakta pilihan yang dapat menghasilkan
pengaruh tertentu dan lebih bertujuan
menghasilkan reaksi emosional dari pada reaksi
rasional.
Propaganda adalah sebuah upaya disengaja dan
sistematis untuk membentuk persepsi,
memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan
mempengaruhi langsung perilaku agar
memberikan respon sesuai yang dikehendaki
pelaku propaganda.
26. Media-media propaganda itu mulai bermunculan sejak
menjelang Pemilihan Presiden 2014, pemilu presiden
"terpanas” dalam sejarah politik Indonesia.
Jurnalisme dan propaganda memang tidak jauh alias
"dekat". Propaganda bisa menggunakan teknik
jurnalistik dan jurnalistik bisa berbelok" arah menjadi
propaganda.
Dalam konteks jurnalisme, propaganda berkonotasi
negatif . Propaganda tidak mengemban misi media
jurnalistik yang menurut UU No 40/1999 tentang Pers
berperan sebagai penyampai informasi, hiburan,
pendidikan, dan pengawasan sosial (social control).
27. Dalam jurnalistik ada kode etik, seperti asas
berimbang (balance) atau covering both side,
akurasi (accuracy), verifikasi dan konfirmasi alias
tabayyun, cek dan ricek, tidak mencampurkan fakta
dan opini, dan sebagainya.
Propaganda tidak mengenal akurasi dan
kebenaran (fakta). Yang penting sampaikan
informasi untuk memengaruhi publik. Prinsip
propaganda adalah sebarkan informasi yang
sekiranya bisa membuat publik suka atau benci
kepada kelompok atau seseorang!