Publicidad

Pengelolaan Keuangan Desa

Pengacara(pengangguran banyak acara)
4 de Feb de 2016
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Publicidad
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Publicidad
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Publicidad
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Publicidad
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Publicidad
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Publicidad
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Publicidad
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Publicidad
Pengelolaan Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan Desa
Próximo SlideShare
Paparan bimtek pengelolaan dana desa 2015Paparan bimtek pengelolaan dana desa 2015
Cargando en ... 3
1 de 41
Publicidad

Más contenido relacionado

Publicidad

Pengelolaan Keuangan Desa

  1. i |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 POLICY PAPER PENGELOLAAN KEUANGAN DESA PASCA UU NO. 6 TAHUN 2014 Diterbitkan oleh : Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Deputi Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran Nomor 10, Jakarta Pusat Telp. (021) 3868201-05 ext. 149 Cetakan Pertama, Agustus 2015 Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Diperbolehkan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam rangka pembelajaran dan advokasi. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) POLICY PAPER PENGELOLAAN KEUANGAN DESA PASCA UU NO. 6 TAHUN 2014 Oleh : Abdul Muis, et al CETAKAN 1 – JAKARTA : PUSAT INTAN LAN, 2015 xii, 28 hlm, 21 x 15 cm ISBN : 978-602-71859-7-5
  2. ii |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 POLICY PAPER PENGELOLAAN KEUANGAN DESA PASCA UU NO. 6 TAHUN 2014 Tim Peneliti: Abdul Muis Antonius Galih Prasetyo Suripto Dewi Oktaviani Dedi Cahyadi Selfy Andreany Nugroho Ario Setiawan Yulvikar Dwirendro Ariawan Tim Penyunting: Basseng Tri Widodo Wahyu Utomo
  3. iii |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 KATA PENGANTAR Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN merupakan sebuah unit yang dibentuk dengan tugas salah satunya untuk melaksanakan penelaahan, pengkajian, dan pengembangan inovasi tata pemerintahan. Dalam pada itu, kami senantiasa berhadapan dengan berbagai isu strategis nasional yang terkait erat dengan inovasi tata pemerintahan yang harus mendapatkan perhatian secara saksama. Salah satu isu strategis tersebut antara lain ihwal pengelolaan keuangan desa. Isu ini timbul seiring dengan lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana seiring dengan diberikannya pengakuan dan kedaulatan yang lebih luas kepada desa maka sumber daya keuangan yang diberikan kepada desa juga meningkat. Kewaspadaan muncul karena selama ini desa tidak pernah memperoleh kucuran dana dalam jumlah yang besar. Pengelolaan dana desa juga menimbulkan kekhawatiran karena dana tersebut harus dikelola secara benar berdasarkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi sebagian besar pemerintah desa yang tidak pernah mengelola keuangan dalam jumlah besar. Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN tergerak untuk memberikan sumbangan yang berarti untuk mengurai kekusutan perdebatan di sekitar pengelolaan keuangan desa. Untuk itulah policy paper ini disusun. Kandungan analisis dan kesimpulan yang terkandung di dalamnya menawarkan pendekatan dan dimensi inovatif atas isu pengelolaan keuangan desa. Atas selesainya karya ini, kami mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang turut berkontribusi, di antaranya seluruh jajaran pimpinan dan staf di lingkungan Kedeputian Inovasi Administrasi Negara, para narasumber diskusi terbatas, dan seluruh
  4. iv |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 peserta diskusi terbatas. Atas kontribusi dan dukungan merekalah karya ini bisa terwujud. Semoga karya ini dapat bermanfaat tidak saja bagi pemerintah sebagai masukan untuk menyempurnakan kebijakan dan pendekatan yang telah diadopsinya sejauh ini terkait dengan isu dana desa dan pengelolaan keuangan desa, namun juga bagi semua kalangan yang menaruh perhatian pada isu kebijakan dan pembangunan desa, termasuk di antaranya aparatur pemerintah, akademisi, aktivis, partai politik, dan masyarakat sipil. Kami juga menyadari bahwa karya ini jauh dari sempurna karena dibuat dalam berbagai keterbatasan. Untuk itu, berbagai kritik, saran, dan masukan yang konstruktif dari berbagai pihak kami terima dengan tangan terbuka demi pengembangan diskusi dan penyempurnaan tulisan ke depan. Muara dari dialektika wacana yang terjadi, kami berharap, akan semakin mengarah pada terwujudnya desa yang semakin sejahtera, berdaya, dan berdaulat. Semoga! Jakarta, Desember 2015 Kepala Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN Basseng
  5. v |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 SAMBUTAN Era baru yang ditandai dengan pergantian rezim pemerintahan membawa serta dengannya tantangan-tantangan baru. Oleh konstelasi wacana di media massa dan kalangan pemangku kepentingan, tantangan-tantangan tersebut dipadatkan dan dikemas dalam isu-isu strategis. Berbagai isu strategis disuarakan oleh berbagai kelompok kepentingan yang berebut untuk mendapatkan perhatian pemerintah. Salah satu isu strategis tersebut mewujud kedalam tuntutan untuk membuat desa menjadi lebih mandiri dan berdaya. Tuntutan tersebut dilatari oleh keprihatinan mengenai nasib desa yang selalu tertinggal sejak negara ini diproklamasikan. Syukurlah bahwa desa sebagai unit pemerintahan terkecil mulai diakui hak-haknya yang selama ini terabaikan melalui pemberlakuan Undang- undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Melalui asas rekognisi, hak asal-usul desa sebagai self governing community dan self local government direstitusi. Sementara melalui asas subsidiaritas, desa diberi keleluasaan untuk menyelenggarakan urusannya tanpa perlu intervensi dari entitas supradesa. Sejalan dengan pengakuan yang lebih besar dari negara, maka pendanaan untuk desa pun meningkat. Dana desa menjadi representasi dari pengakuan negara dari sisi budgeter. Melalui dana desa, desa memperoleh pendapatan berlipat dari yang biasanya diterima selama ini. Pasal 72 ayat (2) UU Desa mengamanahkan bahwa besaran dana desa tersebut sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah secara bertahap. Persentase 10 persen ini baru akan diberikan pada tahun 2017. Dari latar ini, isu mengenai bagaimana desa mampu mengelola dana yang diperolehnya secara baik dan bertanggungjawab menjadi pertanyaan yang mengemuka. Tuntutan akan pengelolaan yang benar ini menjadi semakin nyaring jika kita
  6. vi |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 mengingat adagium bahwa pada kewenangan yang besar diikuti dengan bobot tanggung jawab yang meningkat. Pro dan kontra mewarnai berbagai pemberitaan di media massa maupun perdebatan dalam diskusi yang diikuti oleh para pemerhati dan praktisi. Sudahkah desa siap mengelola dana tersebut? Bagaimana dan sejauh mana persiapan yang dilakukan pemerintah? Itulah sebagian dari pertanyaan-pertanyaan besar yang diajukan berbagai kalangan. Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai knowledge-based institution yang berniat untuk secara proaktif merumuskan berbagai solusi atas isu-isu administrasi negara terpanggil untuk berkontribusi dalam menjernihkan segala perdebatan tersebut. Policy paper ini merupakan sebuah ikhtiar untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas. LAN melalui Pusat Inovasi Tata Pemerintahan telah mengonstruksikan framework untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa. Tiap-tiap faktor tersebut kemudian dinilai dan dianalisis kondisinya untuk mengetahui sejauh mana tingkat prospektivitas dari pengelolaan keuangan desa yang berlandas pada nilai-nilai tata pemerintahan yang baik (good governance). Dirumuskan pula rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dengan mengacu pada kondisi empiris yang terjadi. Semoga analisis, temuan, dan rekomendasi yang ada dalam policy paper ini dapat menjadi masukan berharga bagi pembuat kebijakan dan seluruh pemangku kepentingan. Jakarta, Desember 2015 Deputi Inovasi Administrasi Negara LAN Tri Widodo Wahyu Utomo
  7. vii |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 RINGKASAN EKSEKUTIF Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengalokasikan dana desa kepada setiap desa administratif di Indonesia dengan besaran setidaknya 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah yang diberikan secara bertahap. Pada tahun ini, pemerintah mengalokasikan Rp 20, 7 triliun untuk dana desa di mana setiap desa yang berjumlah 74.000 rata-rata menerima 280 juta yang dibagi dalam tiga tahap pencairan. Selain dana desa, desa juga menerima pendapatan dari pos lain berupa alokasi dana desa, bagi hasil pajak dan retribusi daerah, bantuan keuangan dari APBD provinsi dan kabupaten/kota, pendapatan asli daerah, dan pendapatan lain- lain. Desa ditantang untuk mengelola pendapatan yang diperolehnya tersebut dengan bertanggungjawab. Bentuk pertanggungjawaban tersebut dilakukan dengan cara mengelola dana tersebut dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) seperti akuntabilitas, transparan, partisipatif, efektif, efisien, responsif, terbuka, dan sebagainya. Ini merupakan tuntutan yang patut diseriusi mengingat berbagai kajian menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan desa diendapi berbagai risiko dan kerawanan, baik dari sisi regulasi, kelembagaan, tata laksana, pengawasan, dan SDM. Setidaknya, ada empat faktor yang memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa secara baik, yakni berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Keempat faktor tersebut dibagi ke dalam dua dimensi, antara lain dimensi sistem yang terdiri atas 1) regulasi yang lengkap dan jelas dan 2) pengawasan yang efektif dan menyeluruh, dan dimensi SDM yang terdiri atas 3) kompetensi kepala desa beserta perangkat desa dan 4) kompetensi pendamping desa.
  8. viii |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 Tinjauan atas keempat faktor tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat berbagai kelemahan mendasar pada setiap faktornya. Dari sisi regulasi, berbagai revisi peraturan yang dihasilkan ternyata masih kurang lengkap dan dirasa kurang berkeadilan. Dari sisi pengawasan, belum ditemukan model pengawasan yang efektif sehingga semua desa bisa tercakup secara menyeluruh dan saksama. Dari sisi kompetensi kepala desa, ditemui fakta bahwa masih banyak kepala desa yang tidak kompeten dari sisi manajerial-teknis, salah satunya ihwal pengelolaan keuangan. Adapun dari sisi pendamping desa, keterlambatan penerjunan di lapangan dan sistem perekrutan yang terburu-buru juga membawa potensi permasalahan. Karena berbagai prasyarat untuk menjamin terkelolanya keuangan desa secara baik sebagaimana tercermin pada empat faktor di atas masih belum berada pada kondisi yang ideal, maka kebijakan pencairan dana desa hendaknya direkonsolidasi. Setidaknya ada dua langkah dan pilihan kebijakan yang dapat direkomendasikan untuk mencegah agar kebijakan dana desa tidak mengalami distorsi yang merugikan berbagai pihak di lapangan. Pertama, tetap melanjutkan kebijakan dana desa dengan melakukan perbaikan inkremental atas empat faktor yang memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa, dengan memberikan berbagai kelonggaran yang memudahkan pemerintah desa dalam mengelolanya. Kedua, pemerintah melakukan moratorium kebijakan dana desa dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau kebijakan lain yang menyatakan bahwa dana desa baru dicairkan setelah empat faktor yang memengaruhi keberhasilan pengelolaannya berhasil diamankan kualitas dan kesiapannya.
  9. ix |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................ ii KATA PENGANTAR......................................................................... iii SAMBUTAN ....................................................................................... v RINGKASAN EKSEKUTIF................................................................. vii DAFTAR ISI.......................................................................................... ix Pengantar............................................................................................ 1 Regulasi Keuangan Desa dan Pengelolaannya ...................... 6 Risiko Pengelolaan Keuangan Desa ............................................... 12 Kompetensi Kepala Desa ............................................................... 14 Pendamping Desa sebagai Fasilitator Pengelolaan Keuangan Desa ................................................................................. 17 Penutup ............................................................................................... 20 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... x
  10. 1 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 PENGELOLAAN KEUANGAN DESA PASCA UU NO. 6 TAHUN 2014 Pengantar Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa) adalah kebijakan bersejarah karena melaluinya, desa sebagai satuan pemerintah terkecil dan entitas masyarakat kolektif mendapatkan pengakuan dan keberpihakan yang lebih besar dalam rancang bangun pembangunan dan rezim distribusi fiskal. Ini merupakan arah balik dari pendekatan selama ini yang memperlakukan desa laiknya wilayah pinggiran. Di antara berbagai hal yang diatur dalam UU Desa, dana desa merupakan isu yang paling banyak mendapatkan perhatian. Dahulu pada saat pembahasan RUU Desa dan masa-masa awal setelah pemberlakuannya, santer terdengar isu bahwa setiap desa akan mendapatkan setidaknya Rp 1,4 miliar. Pada masa pemilihan presiden (pilpres) 2014, masing-masing calon presiden juga berlomba-lomba untuk mengapitalisasi isu ini demi menggaet massa pemilih di pedesaan. Ketertarikan terhadap iming-iming dana desa inilah yang ditengarai menyebabkan terjadinya lonjakan usulan pemekaran desa, dari 72.944 pada awal 2013 menjadi 74.093 pada awal 2015 (http://www.koransindo.com/read/964858 /149/dana-desa- picu-tingginya-pemekaran-1424055604, diakses 9 Juli 2014). Berapa sesungguhnya dana yang diterima desa? Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa menyebutkan bahwa “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana
  11. 2 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 Transfer Daerah (on top) secara bertahap.” Pada APBN Perubahan (APBN-P) 2015, total dana desa sebesar Rp 20,766 triliun atau 3,1 persen dari jumlah APBN-P sekitar Rp 2.000 triliun (naik dari APBN 2015 yang hanya mengalokasikan Rp 9,1 triliun) yang disalurkan selama tiga kali pada bulan April, Agustus, dan Oktober. Pada tahun ini, setiap desa rata-rata mendapatkan dana desa sebesar Rp 280 juta.1 Baru pada tahun 2017 persentase 10 persen tersebut akan dipenuhi. Dalam Pasal 30A ayat (1) PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, dinyatakan bahwa pengalokasian dana desa untuk tahun anggaran 2015 paling sedikit sebesar 3 persen, pada tahun anggaran 2016 paling sedikit sebesar 6 persen, dan baru pada tahun 2017 dan seterusnya sebesar 10 persen dari anggaran transfer ke daerah. Dana desa sejatinya hanyalah sebagian dari total pendapatan yang diterima desa untuk dikelola dalam Anggaran 1 Formula pembagian dana desa sesungguhnya berubah seiring dengan hadirnya PP No. 22 Tahun 2015 menggantikan PP No. 60 Tahun 2014. Formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten/kota pada PP No. 22 Tahun 2015 lebih condong didasarkan pada pertimbangan pemerataan, dengan alokasi dasar sebesar 90 persen dibagi secara merata kepada setiap desa (rata-rata Rp 280 juta) dan hanya 10 persen sisanya yang memperhitungkan variabel jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan indeks kesulitan geografis (IKG). Namun, sesungguhnya alokasi dasar sebesar 90 persen yang dibagi secara merata tersebut hanya berlaku untuk tahun 2015 saja (lihat Pasal 29 PP No. 22 tahun 2015). Menurut keterangan Eko Prasetyanto, hal tersebut dilakukan demi pertimbangan kepraktisan karena dikejar waktu. Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan kementerian terkait tidak sanggup untuk menghitung dana desa untuk lebih dari 74 ribu desa sesuai formula yang ditetapkan PP No. 60 tahun 2014 sebelum pencairan tahap pertama dilakukan. Data yang paling susah adalah data yang menyangkut IKG.
  12. 3 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Dana desa adalah salah satu jenis dari kelompok pendapatan desa yang digolongkan sebagai transfer bersama dengan alokasi dana desa (ADD), bagian dari hasil pajak daerah kabupaten/kota dan retribusi daerah (PDRB), dan bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, masih ada juga pos pendapatan pendapatan asli desa (PAD) dan pendapatan lain-lain. Salah satu jenis pendapatan dari kelompok transfer yang besar, bahkan lebih besar dari dana desa, adalah ADD yang dalam APBN-P dialokasikan sebesar Rp 33,2 triliun. Sementara dari PDRB tahun ini sebesar Rp 2,1 triliun sehingga total dana yang akan masuk ke desa tahun ini di luar PAD dan pendapatan lain-lain sebesar Rp 53,6 triliun (Kompas, 27 Februari 2015). Jumlah pendapatan yang diterima desa, baik pada tahun ini dan terlebih di tahun-tahun mendatang, dengan demikian dapat dikatakan cukup besar. Jumlah ini diperkirakan akan semakin bertambah setiap tahunnya. Dari pos dana desa saja, diperkirakan bahwa pada tahun 2016 jumlah dana meningkat menjadi sekitar Rp 47 triliun dan tahun 2017 sekitar Rp 81 triliun.2 Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kesiapan desa dalam menggunakan dana tersebut secara bertanggungjawab dan berkeadilan. Banyak kalangan yang skeptis dan meremehkan kemampuan desa. Didik J. Rachbini misalnya, mengatakan bahwa kebijakan dana desa bak memberi uang dari langit ke kerumunan massa di mana masyarakat akan saling berebut dan bertengkar untuk 2 Informasi disampaikan oleh Direktur Bina Pemerintahan Desa Eko Prasetyanto pada diskusi terbatas yang dilakukan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara di Jakarta, 26 Juni 2015.
  13. 4 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 mendapatkan uang itu. Birokrasi desa menurutnya tak punya tradisi akuntabilitas (http://www.koran-sindo.com/read/ 964587/149/salah-kelola-dana-desa-bisa-jadi-sumber- konflik-1423968895, diakses 9 Juli 2015). Karena khawatir bahwa dana desa dapat menjadi jebakan yang menjerat kepala desa untuk korupsi, baik secara sengaja maupun tidak sengaja akibat ketidaktahuan akan mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran, maka berbagai pihak pun menyerukan solusi, misalnya dengan usulan agar pada masa transisi (tahun pertama dan kedua) pemerintah dan penegak hukum jangan terlalu kaku dalam menerapkan pengawasan dan penegakan hukum, harus ada langkah persuasif jika pelanggaran sifatnya administratif (Muhammad, 2015: 6). Ada juga usulan untuk mempertanggungjawabkan dana desa cukup dengan bukti yang menunjukkan dana telah masuk ke rekening kas desa (RKD) dengan memperlakukan dana itu sebagai anggaran dalam kelompok mata anggaran kegiatan (MAK) bantuan sosial. Selanjutnya, urusan selesai begitu dana diterima desa (Pandjung, 2015: 7). Namun, ada juga kalangan yang meyakini bahwa desa telah siap menerima dan mengelola dana desa. Menurut Padjung, pengelolaan uang dalam jumlah yang relatif besar sesungguhnya bukan barang yang sama sekali baru bagi desa. Kelompok masyarakat, melalui Badan Keswadayaan Masyarakat dan Unit Pengelola Kegiatan sudah biasa mengelola bantuan langsung masyarakat. Selama ini juga telah ada ADD yang disalurkan langsung ke kas desa. Pengalaman melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang telah menyentuh 67.108 desa juga telah memberikan pembelajaran kepada
  14. 5 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 masyarakat desa mengenai arti penting akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana, termasuk tentang pentingnya menempelkan fotokopi rekening dan rincian penggunaan dana di papan informasi (Padjung, 2015: 7). Policy paper ini menyoroti isu pengelolaan keuangan desa pasca-UU Desa berlaku. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman secara komprehensif mengenai pengelolaan keuangan desa, substansi peraturan yang mengaturnya, potensi permasalahan, dan solusi untuk menghindari problem yang mungkin muncul. Untuk itu, maka policy paper ini diskemakan ke dalam kerangka pikir berikut: Bagan 1. Kerangka Pikir Policy Paper Dari bagan 1 di atas, terlihat bahwa tujuan untuk mencapai pengelolaan keuangan desa yang baik hanya akan tercapai apabila pengelolaan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Hal tersebut hanya mungkin tercapai jika terdapat beberapa faktor pendukung. Faktor-faktor pendukung tersebut dibedakan ke dalam dua dimensi. Pertama, dimensi sistem yang terdiri atas regulasi dan sistem pengawasan. Kedua, dimensi SDM yang
  15. 6 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 terdiri atas dua aktor, yakni kepala desa (beserta perangkat desa) dan pendamping desa. Kerangka pikir di atas sekaligus menjadi panduan dalam menentukan sistematika penulisan dalam policy paper sebagai berikut. Pertama, dipaparkan mengenai sistem pengelolaan keuangan desa yang mencakup alur atau tahapan pengelolaan, mulai dari perencanaan sampai pengawasan. Keterangan mengenai sistem pengelolaan tersebut didapatkan dari berbagai kebijakan dan peraturan yang mengatur mengenai keuangan desa. Selanjutnya, dipaparkan mengenai risiko pengelolaan keuangan desa. Bagian ini akan banyak memanfaatkan hasil kajian yang dibuat oleh berbagai lembaga dan pendapat para pakar. Kemudian, dari segi atau dimensi SDM, dibahas secara berturut-turut mengenai urgensi adanya kepala desa dan pendamping desa yang kompeten dalam mengelola keuangan desa (bagi kepala desa) dan mendampingi atau membimbing teknis pengelolaan keuangan desa (bagi pendamping desa). Terakhir, dirumuskan bagian penutup yang berisi rekomendasi atas permasalahan yang diuraikan. Regulasi Keuangan Desa dan Pengelolaannya Ihwal keuangan desa diatur dalam Pasal 71-75 UU Desa. Dalam Pasal 71 ayat (1), dinyatakan bahwa “Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.” Selanjutnya, pengaturan mengenai keuangan desa dan hal lain yang terkait dengannya dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai peraturan, di antaranya; (1) PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa;
  16. 7 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 (2) PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 60 Tahun 2014; (3) PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 43 Tahun 2014; (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa; (5) Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa; (6) Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa; (7) Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa; dan (8) Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT) No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Seturut Permendagri No. 113 Tahun 2014 Bab IV Bagian Kesatu (Pasal 9-11), pendapatan desa terdiri atas tiga elemen, yakni 1) PAD (yang terdiri atas hasil usaha; hasil aset; swadaya, partisipasi, dan gotong-royong; dan lain-lain PAD); 2) transfer (terdiri atas dana desa; PDRB; ADD; bantuan keuangan APBD provinsi; dan bantuan keuangan APBD kabupaten/kota); dan 3) pendapatan lain-lain (terdiri atas hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat dan lain-lain pendapatan desa yang sah). Terkait dengan nomenklatur jenis-jenis pendapatan desa di atas, perlu dicatat bahwa Permendagri No. 113 Tahun 2014 membedakan antara dana desa dengan ADD. Dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan
  17. 8 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 bagi desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, dinyatakan bahwa ADD adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Pembedaan ini sesungguhnya tidak dikenal dalam UU Desa sehingga berpotensi menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman meskipun istilah ADD sebenarnya pernah muncul dan diatur dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Agusta membaca bahwa pembedaan kedua jenis dana tersebut bermotif politik, yakni sebagai upaya Kemendagri mengamankan dana desa sesuai peruntukannya, yakni untuk pemerintahan, pembangunan, pembinaan, dan pemberdayaan. Dengan demikian, Kemendagri yang menangani urusan pemerintahan masih mempunyai ruang yang luas untuk bekerja karena dana desa tidak melulu dititikberatkan pada urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sesuai ketentuan Permendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa (Agusta, 2015a: 7). Argumen ini, bagaimanapun, terlalu tipis kekuatannya mengingat Pasal 19 ayat (2) PP No. 60 tahun 2014 sudah mengunci bahwa dana desa memang harus diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Terlepas dari masalah tersebut, dana desa dalam pengertian keseluruhan rupa-rupa pendapatan desa yang dikelola dalam APBDes harus dikelola secara transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran (Pasal 2 Permendagri No. 113 tahun 2014). Karena bersumber dari negara, maka penggelolaannya harus mengikuti aturan main yang berlaku terkait pengelolaan dana
  18. 9 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 publik. Dalam Permendagri No. 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, ihwal pengelolaan dan desa telah diatur dalam Bab V. Di dalamnya, diatur bahwa pengelolaan dana desa terdiri atas lima hal, yakni perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggung jawaban. Jika ditilik mulai dari hulu, pengelolaan keuangan desa dimulai dari perencanaan. Pertama kali diadakan musyawarah desa yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk membahas hal-hal yang sifatnya strategis (lihat Pasal 54 UU Desa). Kemudian, hasil musyawarah desa berupa perencanaan pembangunan desa ditindaklanjuti dengan musyawarah pembangunan perencanaan desa (musrenbangdes) yang diselenggarakan kepala desa dan perangkatnya. Musrenbangdes inilah yang membahas mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) tiap enam tahun sekali dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) serta APBdes tiap setahun sekali. Setelah Raperdes tentang APBDes disepakati bersama oleh kepala desa dan BPD paling lambat bulan Oktober dan hasil evaluasi dari bupati/walikota atau camat (yang mendapat delegasi untuk mengevaluasi Raperdes APBDes) menyatakan bahwa Raperdes APBDes tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, APBDes dapat ditetapkan. Sebelum desa dapat menerima pencairan dana desa, terlebih dahulu kabupaten/kota harus mengesahkan APBD kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran dana desa (Pasal 17 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2014 dan Pasal 16 ayat (2) Permenkeu No. 93/PMK.07/2015). Sebelum peraturan bupati/walikota itu
  19. 10 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 dibuat, desa menyelesaikan terlebih dahulu APBDes-nya. Keharusan adanya peraturan kepala daerah tersebut sebagai indikasi bahwa kabupaten telah siap untuk menyalurkan dana sesuai peraturan. Per 1 Juli 2015, masih ada 16 kabupaten/kota yang belum menerima pencairan dana desa tahap pertama senilai Rp 8,306 triliun karena belum menyerahkan persyaratan tersebut, di antaranya Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Merauke, Kabupaten Paniai, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Supiori, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Puncak, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Majalengka, Kota Batu, Kabupaten Kepahiang, dan Kabupaten Konawe (Kompas, 2 Juli 2015).3 Penggunaan dana desa dikelola oleh pemerintah desa melalui kuasa kepala desa dan digunakan sesuai RPJMDes, RKPDes, dan APBDes. Adapun laporan realisasi pelaksanaan APBDes disampaikan kepala desa kepada bupati/walikota berupa laporan semester pertama yang harus disampaikan paling lambat akhir bulan Juli dan laporan semester akhir tahun 3 Menurut Eko Prasetyanto, keterlambatan penyerahan dokumen tersebut disebabkan karena beberapa hal, di antaranya terlambatnya revisi PP No. 60 tahun 2014 yang memuat pengubahan formula pembagian dana desa sehingga membuat daerah harus menghitung ulang alokasi dana desa untuk daerahnya, sebagian daerah adalah daerah otonom baru, dan bupati atau kepala desanya digantikan oleh pejabat sementara sehingga masih memerlukan waktu untuk memahami peraturan. Sementara itu, Beni Yusnandar dari BPMPD Kabupaten Bekasi mengatakan bahwa daerahnya sengaja tidak mengeluarkan perbup karena menunggu keluarnya Permenkeu No. 93/PMK.07/2015 agar penghitungan yang dilakukan dalam perbup mempunyai landasan hukum yang kokoh dan jelas. Sejak 8 Juli 2015, dana desa sudah masuk ke rekening kabupaten.
  20. 11 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya (Pasal 37 Permendagri No. 113 Tahun 2014). Selain pelaporan, kepala desa juga harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDes dalam bentuk peraturan desa kepada bupati/walikota setiap akhir tahun anggaran (Pasal 38 Permendagri No. 113 Tahun 2014). Lalu, siapa yang mengawasi pengelolaan keuangan desa? Pengawasan memegang peranan penting dalam memastikan agar pengelolaan dana desa berjalan dengan akuntabel, transparan, dan partisipatif demi kemaslahatan umum masyarakat desa. Pengawasan yang ketat, terkontrol, profesional, dan berintegritas menjadi prasyarat penting. Pengelolaan keuangan desa sesungguhnya diawasi secara berlapis oleh banyak pihak. Pada Pasal 44 Permendagri No. 113 Tahun 2014 disebutkan bahwa “Pemerintah Kabupaten/Kota membina dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.” Dalam hal ini, Inspektorat Daerah akan berperan penting sebagai leading institution ihwal pengawasan pengelolaan keuangan desa. Sementara di tingkat pusat, Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga akan mengawasi pengelolaan keuangan desa secara sampling. Dana desa menjadi ranah pengawasan mereka karena dana desa adalah uang negara yang bersumber dari APBN sehingga pengelolaannya harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Untuk memantau pelaksanaan pembinaan dan pengawasan dana desa, pemerintah pusat juga telah membentuk tim pengendali dana desa yang beranggotakan pejabat lintas kementerian (http://www.koran- sindo.com/read/1005329/ 149/ penyerapan-dana-desa-baru- rp3-8-t-riliun-1432609180, diakses 10 Juli 2014).
  21. 12 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 Risiko Pengelolaan Keuangan Desa Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, para pengamat terbelah dalam penilaiannya atas pembagian dana desa, yakni mereka yang percaya bahwa dana desa dalam jumlah yang besar belum tepat diberikan kepada desa saat ini dan mereka yang percaya bahwa desa telah mampu mengelola dana desa dengan baik dan benar. Bagaimanapun pendapat yang dipegang, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa pengelolaan dana desa rentan disalahgunakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kajiannya menemukan 14 persoalan dana desa yang berpotensi menjadi korupsi yang terbagi dalam empat aspek, yakni regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan, dan sumber daya manusia (http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2731-kpk temukan-14-potensi-persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7 Juli 2015). Pada aspek regulasi dan kelembagaan, persoalan tersebut antara lain: 1) belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa; 2) potensi tumpang tindih kewenangan antara Kemendes PDTT dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri; 3) formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 Tahun 2015 yang tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas pemerataan; 4) pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD dalam PP No. 43 Tahun 2014 yang kurang adil; dan 5) kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih. Pada aspek tata laksana, terdapat lima persoalan, antara lain: 1) kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit
  22. 13 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 dipatuhi oleh desa; 2) satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDes belum tersedia; 3) transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDes masih rendah; 4) laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi, salah satunya disebabkan karena ketidakjelasan sistem akuntansi yang akan dipakai; serta 5) APBDes yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa karena penyusunan tidak dilakukan secara partisipatif. Sementara pada aspek pengawasan, terdapat tiga potensi persoalan, yakni 1) efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah; 2) saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah dan mekanisme pengaduannya tidak jelas; dan 3) ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas. Sedangkan pada aspek sumber daya manusia, terdapat potensi persoalan berupa tenaga pendamping yang berpotensi melakukan korupsi dengan memanfaatkan lemahnya pengetahuan aparat desa. Hal ini berkaca pada program sejenis sebelumnya, PNPM Perdesaan, di mana tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparat desa justru melakukan korupsi dan kecurangan. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), juga melakukan kajian yang serupa dengan KPK. Dalam kajian FITRA, terdapat enam potensi penyimpangan dana desa, di antaranya: 1) adanya mafia anggaran dari pusat dan kabupaten; 2) dana desa
  23. 14 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 dipakai untuk anggaran pilkada serentak yang tidak teralokasi di APBD; 3) penggunaan dana desa tidak sesuai peruntukan di desa; 4) aset desa tidak terinventarisir dengan baik; 5) ketidakmampuan administrasi dan rumitnya pertanggungjawaban yang berdampak pada potensi penyalahgunaan wewenang dan melanggar hukum; dan 6) minimnya pengawasan dari masyarakat dan pendamping (Kompas, 3 Juli 2015). Kompetensi Kepala Desa Kepala desa memegang peranan penting dalam pengelolaan keuangan desa karena dia merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa (Pasal 3 ayat (1) Permendagri No. 113 Tahun 2014). Dengan posisinya tersebut, dia memiliki kewenangan yang luas, antara lain: menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDes; menetapkan Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) yang terdiri atas sekretaris desa, kepala seksi, dan bendahara; menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa; menyetujui pengeluaran atas kegiatan yang ditetapkan dalam APBDes; dan melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDes (Pasal 3 ayat (2) Permendagri No. 113 Tahun 2014). Jelaslah di sini bahwa kepala desa menjadi tumpuan utama untuk memastikan apakah pengelolaan keuangan desa sudah dijalankan sesuai dengan asas-asas dan prinsip-prinsip yang ditentukan. Apakah kepala desa sanggup menanggung tanggungjawabnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa saja beragam mengingat kualitas kepala desa berbeda di desa satu dengan yang lain. Dalam diskusi terbatas yang diadakan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN pada tanggal 26 Juni
  24. 15 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 2015, salah satu narasumber yaitu Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD Kabupaten Tangerang Tifna Purnama memberikan kesaksian bahwa banyak kepala desa di Kabupaten Tangerang yang kualitasnya di bawah standar. Ada kepala desa yang korup (menggunakan ADD untuk menutup hutang kampanye pemilihan kepala desa), berkonflik terus dengan BPD sehingga telat atau gagal menghasilkan APBDes dan perdes lainnya, tidak paham perencanaan, bahkan ada yang buta huruf. Salah satu hal yang ditengarai menjadi muara dari banyaknya kepala daerah yang tidak kompeten adalah ketentuan yang termaktub dalam Permendagri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Peraturan tersebut tidak memberikan persyaratan kompetensi bagi calon kepala desa menyangkut hal-hal substantif seperti memahami (setidaknya secara teoretis) manajemen kepemimpinan desa, manajemen pengelolaan keuangan, perencanaan pembangunan desa, dan sebagainya. Pasal 21 hanya memuat persyaratan yang sifatnya normatif dan administratif, di antaranya: 1) warga negara Republik Indonesia; 2) bertakwa kepada tuhan yang maha esa; 3) memegang teguh dan mengamalkan pancasila, melaksanakan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan negara kesatuan republik indonesia dan bhinneka tunggal ika; 4) berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat; 5) berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar; 6) bersedia dicalonkan menjadi kepala desa;
  25. 16 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 7) terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; 8) tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara; 9) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang; 10) tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 11) berbadan sehat; 12) tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan 13) syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah. Dengan persyaratan seperti di atas, tentu tidak ada jaminan bahwa calon-calon kepala desa yang lulus seleksi merupakan orang-orang dengan kualitas dan kapasitas mumpuni.4 4 Terkait dengan syarat pencalonan kepala desa yang cukup berpendidikan SMP diakui menjadi masalah di Kabupaten Bekasi. Salah satu narasumber dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015 menyatakan bahwa lebih dari 30 persen kepala desa di Bekasi merupakan lulusan SMP, dan keterbatasan pendidikan tersebut membuat mereka tidak dapat memahami manajemen penyelenggaraan pemerintahan desa dengan baik. Pihaknya pernah ingin membuat peraturan daerah yang mensyaratkan pendidikan minimal kepala desa adalah SMA, namun hal itu terbentur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi, yakni Permendagri No. 112 tahun 2014.
  26. 17 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 Seharusnya, kepala desa dituntut dan dipersyaratkan untuk memiliki kompetensi dalam hal teknis dan manajerial terkait penyelenggaraan pemerintahan desa agar dana desa dapat dioptimalkan sebaik mungkin untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tanpa mengorbankan kualitas pengelolaannya. Seiring dengan titik berat pembangunan yang semakin bertumpu kepada desa, seharusnyalah persyaratan untuk pencalonan kepala desa juga ditingkatkan kualifikasinya. Pendamping Desa Sebagai Fasilitator Pengelolaan Keuangan Desa Pendampingan desa merupakan aspek lain yang berperan krusial dalam menentukan terjaminnya pengelolaan keuangan desa secara transparan, akuntabel, dan partisipatif. Pasal 128 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pendampingan masyarakat desa dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) kabupaten/kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat desa, dan/atau pihak ketiga. Sementara itu, ayat 3 pasal yang sama menyebutkan bahwa camat atau sebutan lain melakukan koordinasi pendampingan masyarakat desa di wilayahnya. Ini artinya, pendampingan dapat dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, dan bahkan swasta. Pendampingan oleh jajaran pemerintah dikoordinasikan oleh Kemendagri dan pendampingan oleh masyarakat dikoordinasikan Kemendes PDTT. Menarik untuk disoroti di sini adalah tugas pendampingan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Pendamping desa merupakan aktor di tingkat masyarakat yang berperan penting
  27. 18 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 dalam mengawal pengelolaan keuangan desa. Mereka melakukan fasilitasi untuk pemerintah dan masyarakat desa agar kegiatan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan kemasyarakatan dapat berjalan dengan efektif demi percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Permendes PDTT No. 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa telah mengatur dengan rinci mengenai pendamping desa ini, di antaranya tujuan pendampingan desa, ruang lingkup pendampingan desa, tugas pendamping desa, manajemen pendampingan desa, dan pendanaannya. Di dalamnya disebutkan bahwa tujuan pendampingan desa meliputi: 1) meningkatkan kapasitas, efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan desa; 2) meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa yang partisipatif; 3) meningkatkan sinergi program pembangunan desa antarsektor; dan 4) mengoptimalkan aset lokal DESA secara emansipatoris (Pasal 2 Permendes PDTT No. 3 Tahun 2015). Ada pun pendamping desa terdiri atas tenaga pendamping profesional (yang terdiri atas pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan, pendamping teknis yang berkedudukan di kabupaten, dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat yang berkedudukan di pusat dan provinsi), kader pemberdayaan masyarakat desa yang berkedudukan di desa dan diperoleh melalui mekanisme musyawarah desa, dan pihak ketiga (terdiri dari LSM, perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan perusahaan). Pendamping desa profesional memiliki tugas dalam ruang lingkup yang luas, di mana fasilitasi dan bimbingan pengelolaan keuangan hanya salah satu di antaranya, meskipun hal itu tak disebutkan secara ekplisit di dalam
  28. 19 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.5 Rekrutmen pendamping profesional dilakukan secara terbuka. Mengingat tugas dan tanggungjawabnya yang luas, maka wajar bila ditetapkan bahwa mereka harus memiliki kualifikasi yang tinggi. Untuk pendamping desa misalnya, disebutkan bahwa mereka harus memiliki kompetensi yang sekurang-kurangnya memenuhi unsur kualifikasi antara lain: memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pemberdayaan masyarakat; memiliki pengalaman dalam pengorganisasian masyarakat desa; mampu melakukan pendampingan usaha ekonomi masyarakat desa; mampu melakukan teknik fasilitasi kelompok-kelompok masyarakat desa dalam musyawarah desa; dan/atau memiliki kepekaan terhadap kebiasaan, adat- istiadat, dan nilai-nilai budaya masyarakat desa (Pasal 24 Permendes PDTT No. 3 tahun 2015). Khusus untuk tenaga pendamping profesional, mereka bahkan harus memiliki sertifikasi kompetensi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi (Pasal 27 ayat (1)). Sebelum terjun ke lapangan, tenaga pendamping profesional juga diberikan pembekalan peningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan (Pasal 28 ayat (1)). Dalam catatan Kemendes PDTT, dibutuhkan lebih dari 44.030 pendamping desa di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Dari jumlah tersebut, 12.442 orang merupakan eks fasilitator PNPM dan 31.558 sisanya merupakan tenaga baru lulusan sarjana dan pendamping lokal desa yang direkrut dari kalangan masyarakat desa sendiri.6 5 Tugas pendamping desa profesional secara rinci dapat dilihat dalam Bab II (Pasal 11-17) Permendes PDTT No. 3 tahun 2015. 6 Informasi disampaikan Bito Wikantosa dari Kemendes PDTT dalam diskusi terbatas, 9 Juli 2015.
  29. 20 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 Meskipun telah diatur dalam suatu instrumen kebijakan yang cukup ideal secara normatif, namun bukan berarti isu pendamping desa bebas dari masalah dan risiko. Syarat kualifikasi yang tinggi bisa jadi terpaksa dikompromikan mengingat kebutuhan akan pendamping desa dalam jumlah yang banyak perlu segera dilakukan, padahal jumlah calon pendamping yang benar-benar kompeten dan berpengalaman terbatas. Salah satu poin dalam kajian KPK mengenai risiko pengelolaan dana desa juga menyoroti mengenai peluang korupsi yang dilakukan oleh pendamping desa. Dengan otoritas pengetahuan dan pengalamannya, mereka dapat memanipulasi aparatur desa sehingga penggunaan dana desa disetir sedemikian rupa untuk kepentingan pribadinya. Ada juga kekhawatiran bahwa pendamping desa menjadi lahan profesi yang dijatahkan untuk kader partai politik atau sukarelawan pendukung calon presiden pemenang pemilu, dengan demikian mengorbankan tuntutan profesionalitas. Potensi-potensi risiko tersebut harus dieliminir dan dimitigasi agar pendampingan tidak berbalik arah menjadi hal yang kontraproduktif. Penutup Dana desa menjadi tema yang paling hangat sejak UU Desa disahkan. Wajar saja, melalui dana desa, desa akan mendapatkan dana dalam jumlah yang besar tanpa preseden. Berbagai kekhawatiran pun mencuat di kalangan publik pada umumnya dan pemerhati desa pada khusunya. Uang dalam jumlah yang besar adalah gula-gula, dan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan pun bisa diprediksi akan tertarik untuk masuk ke desa mendesakkan kepentingannya. Untuk itu, pengelolaan keuangan desa secara baik perlu dipastikan
  30. 21 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait. Jika dana desa dapat dioptimalisasi dengan maksimal, maka hal itu dapat mendorong pertumbuhan di desa sekaligus mengurangi kesenjangan desa-kota (Sudjatmiko, 2015: 7). Sebelum merumuskan rekomendasi untuk memastikan hal tersebut, kita akan me-review state of the art dari faktor-faktor yang memengaruhinya, baik dari sisi sistem maupun SDM. Pertama, dari sisi regulasi, telah diterbitkan berbagai peraturan yang mengatur mengenai dana desa, baik dalam tataran UU, PP, maupun Permen. Peraturan tersebut berkembang secara dinamis, yang ditandai dengan revisi untuk mengakomodasi keberatan yang muncul pada peraturan versi awal, di antaranya PP No. 22 tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 60 tahun 2014 dan PP No. 47 tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 43 tahun 2014.7 Namun demikian, dengan adanya berbagai perbaikan itu pun, masih ada celah ketidakadilan yang dirasakan, terutama berkaitan dengan formula pembagian dana desa tidak adil. KPK menilai bahwa pembagian dana desa tidak adil karena lebih condong didasarkan pada pertimbangan pemerataan dengan alokasi dasar sebesar 90 persen dibagi secara merata kepada setiap desa (rata-rata Rp 280 juta) dan 10 persen 7 Revisi atas kedua PP tersebut memperbaiki beberapa hal yang sebelumnya diprotes oleh pemerintah desa. Misalnya, PP No. 47 tahun 2015 telah memperbaiki formula pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang sebelumnya dirasa kurang adil (lihat Pasal 81 ayat (2)). Juga mengatur bahwa hasil pengelolaan tanah bengkok dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala desa dan perangkat desa selain penghasilan tetap dan tunjangan dari maksimal 30 persen APBDes (lihat Pasal 100). Dengan demikian, pendapatan kepala desa tidak akan berkurang.
  31. 22 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 sisanya yang memperhitungkan variabel jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan indeks IKG, maka jumlah dana yang diterima setiap desa dalam satu kabupaten tidak jauh berbeda. Padahal kondisi demografis, geografis, dan sosiologis antara desa satu dengan yang lain bisa jadi sangat berbeda. Meskipun memang hal ini hanya berlaku pada tahun 2015, namun bukan berarti formula untuk tahun 2016 dan selanjutnya dapat dipastikan keadilannya (lihat Bab II tentang Pengalokasian pada Permenkeu No. 93 tahun 2015) karena pemerintah tidak menjelaskan secara rinci rasionalitas di balik persentase variabel yang ditetapkan. Formula yang berlaku juga belum dapat mengatasi problem pemerataan antarpulau. Dari Rp 20,766 triliun dana desa yang didistribusikan tahun ini, 61,49 persennya alias lebih dari separuh berada di Pulau Jawa dan Sumatra. Sisanya berada di Pulau Kalimantan (8,73 persen), Sulawesi (11,44 persen), Bali dan Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku dan Papua (12,08 persen). Ini terjadi karena dana desa setiap kabupaten/kota dihitung berdasarkan jumlah desa (Pasal 11 ayat (1) PP No. 22 tahun 2015), dan jumlah desa tidak berbanding lurus dengan luas pulau. Di Jawa ada 22.400 desa dan di Sumatra 20.910 desa. Artinya, dua per tiga jumlah desa berada di kedua pulau tersebut.8 Padahal, sesungguhnya desa yang tertinggal lebih banyak berada di luar kedua pulau ini sehingga dana desa seharusnya lebih banyak terdistribusi di luar keduanya (Sjaf, 2015: 7). 8 Informasi dari Eko Prasetyanto dalam diskusi terbatas 26 Juni 2015.
  32. 23 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 Kedua, dari sisi pengawasan, jumlah desa yang banyak dan tersebat membersitkan keraguan mengenai mungkinnya pelaksanaan pengawasan yang menyeluruh. BPK dan BPKP tidak mempunyai kaki sampai ke seluruh desa dan hanya dapat melakukan audit secara sampling. Demikian pula dengan Inspektorat Daerah yang memiliki keterbatasan kapasitas dan daya jangkau, apalagi bila di daerah tersebut jumlah desanya cukup banyak. Sementara itu, kecamatan selaku entitas supradesa yang paling dekat dengan desa dan diharapkan mampu melakukan pengawasan, sebagaimana tilikan KPK, ruang lingkup pengawasan dan evaluasinya belum jelas. Kecamatan sendiri juga tidak memiliki tenaga fungsional yang dapat membimbing pengelolaan keuangan desa karena lebih banyak diisi tenaga administratif. Jika kemudian ihwal pengawasan lebih diandalkan kepada masyarakat desa itu sendiri, keraguan muncul terkait dengan kapasitas dan kekuatan tawarnya di hadapan pemerintah desa. Mekanisme pengawasan dari masyarakat ini bahkan tidak diatur secara jelas dalam peraturan yang ada. Dari serangkaian masalah tersebut, singkatnya dapat dikatakan bahwa model pengawasan yang efektif untuk menjamin terkelolanya keuangan desa dengan baik masih belum dikonstruksikan dan dilembagakan. Ketiga, dari sisi kompetensi kepala desa dan perangkatnya, sejumlah masalah juga masih ditemui. Kementerian yang mengurusi desa sesungguhnya telah merancang berbagai kegiatan untuk mencegah dana desa disalahgunakan. Dalam pernyataannya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa pihaknya berkoordinasi dengan Kemendes PDTT telah melatih para aparat desa secara terpadu mengenai tata kelola dan sistematika dalam membuat laporan penggunaan keangan desa secara benar. Kemendagri juga
  33. 24 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 akan memberikan pelatihan kepada kepala desa dan aparat desa untuk peningkatan kapasitas dalam penyusunan anggaran dan pengelolaan anggaran. Satu desa minimal mengirimkan tiga perwakilan sehingga seluruhnya ada 273.000 orang yang akan ditingkatkan kapasitasnya. Selain itu, Mendagri juga telah meminta BPK selaku pihak yang akan mengaudit dana desa secara langsung agar mengizinkan penyederhanaan pelaporan keuangan bagi desa sehingga dalam membuat laporan tidak perlu tebal-tebal, cukup satu lembar saja (http://www.koran-sindo.com/read/1012635/ 149/bpk-akan-audit-anggaran-desa-1434331148, diakses 10 Juli 2015). Di sisi lain, Kemendes PDTT menjalin kerjasama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pendampingan audit dan pelaporan serta pelatihan administrasi kepada aparat desa agar dana desa terkelola secara akuntabel dan transparan(http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838-pena nggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa, diakses 9 Juli 2015), selain juga menyiapkan perekrutan untuk pendamping desa yang dapat membantu pemerintah desa mengelola keuangannya. Namun, semua rencana tersebut tidak menjamin bahwa lantas kepala desa dan perangkatnya akan mampu untuk mengelola keuangan desa dengan baik. Selain masa pelatihan diadakan terlalu dekat dengan pencairan dana desa sehingga terkesan terburu-buru, pelatihan juga dilakukan dalam masa yang terlalu singkat sehingga diragukan efektivitas dan kedalamannya. Manuver semacam ini tidak dapat mengikis kondisi eksisting yang ada selama ini dengan cepat sebagaimana teridentifikasi dalam kesempatan diskusi terbatas, yakni suatu kondisi di mana kepala desa dan perangkatnya tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam manajemen kepemimpinan dan pemerintahan pada umumnya
  34. 25 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 dan pengelolaan keuangan pada khususnya. Alih-alih melihat munculnya gerak penguatan kapasitas yang otentik, hal yang muncul secara laten justru profil ekonomi politik dana desa yang melibatkan pola koalisi kepala desa-pengusaha dalam rangka memburu rente. Beberapa desa di Jawa Timur misalnya, sebelum menerima dana desa sudah melakukan pengadaan laptop yang dananya ditalangi pengusaha setempat. Sementara di Sulawesi Selatan ada pengusaha menyumbang dana kampanye pada pemilihan kepala desa agar mendapat proyek pengadaan dari dana desa (Kompas, 3 Juli 2015) dan di Bekasi ada desa yang menerima sumbangan dua mobil ambulans dari perusahaan sebelum dana desa turun.9 Melalui pola semacam ini, pemilihan kepala desa juga diperkirakan akan diwarnai dengan politik uang dengan dukungan dari pengusaha yang memiliki pamrih. Dengan cara atau proses menjadi kepala desa yang buruk, maka tentunya sulit diharapkan akan muncul output yang berkualitas, salah satunya terkelolanya keuangan desa dengan transparan dan akuntabel. Kepala desa akan lebih berpikir untuk mengembalikan modalnya dan membayar hutangnya kepada pendukung. Keempat, dari sisi pendamping desa, masalah muncul dari sisi momentum pendampingan yang terlambat. Pendamping eks PNPM-Mandiri baru diterjunkan pada bulan Juli dan pendamping desa dari luar PNPM-Mandiri (rekrutmen baru) diturunkan bulan September. Padahal, dana desa tahap pertama sudah cair pada bulan April. Keterlambatan ini akan berpengaruh besar pada pengelolaan keuangan desa. Di 9 Informasi disampaikan Beni Yusnandar (BPMPD Kab. Bekasi) dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015.
  35. 26 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 Kabupaten Bekasi misalnya, banyak kepala desa yang mengaku tidak berani menggunakan dana desa karena masih menunggu fasilitasi dari pendamping desa.10 Kemudian, pendamping desa yang berasal dari rekrutmen baru juga belum tentu memiliki kompetensi yang diharapkan. Kemendes PDTT membuka pendamping desa untuk lulusan sarjana yang baru lulus (fresh graduate). Rekrutmen dilakukan pada bulan Agustus dan mobilisasi dilakukan pada bulan September.11 Dengan pengalaman yang masih terbatas dan waktu pelatihan yang sangat singkat, terlebih dengan kemungkinan proses seleksi yang lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas mengingat dibutuhkannya jumlah pendamping yang banyak (setara dengan banyaknya jumlah desa di Indonesia), maka kompetensi sebagian dari mereka dalam mendampingi teknis pengelolaan keuangan desa bisa jadi belum berstandar prima. Dengan memperhatikan berbagai kondisi riil dari empat faktor yang memengaruhi terlaksananya pengelolaan keuangan desa yang baik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya dana desa belum siap diberikan pada saat ini. Ini karena faktor-faktor tersebut belum mencapai kondisi dan tingkat kualitas yang diharapkan sebagai prakondisi dari terselenggaranya pengelolaan keuangan desa yang baik. Sisa waktu anggaran yang ada mengancam penyerapan dana, penyusutan target, dan penghilangan manfaat pembangunan desa sehingga prioritas desa harus disusun ulang dengan melakukan penyesuaian yang diperlukan (Agusta, 2015b: 6). Untuk itu, demi tujuan memastikan terkelolanya keuangan 10 Informasi disampaikan Beni Yusnandar (BPMPD Kab. Bekasi) dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015. 11 Informasi Biko Wikantosa (Kemendes PDTT), 9 Juli 2015.
  36. 27 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 desa sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, kami merekomendasikan dua alternatif kebijakan sebagai berikut. Pertama, kebijakan dana desa tetap diteruskan sambil menerapkan perbaikan inkremental terhadap faktor-faktor yang perlu dibenahi. Sembari mempersilakan desa untuk mengelola dana yang telah diterimanya, pemerintah melakukan koreksi kebijakan, ujicoba model pengawasan, pelatihan bagi kepala desa dan perangkatnya, dan pengadaan serta mobilisasi pendamping desa yang berkompeten. Data yang berpengaruh terhadap penentuan besaran dana desa (jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, IKG) harus dipastikan akurasinya di lapangan oleh BPS dan instansi lain yang mengurusi. Namun demikian, mengingat sistem dan SDM yang ada belum terbangun dengan baik, berbagai kelonggaran terhadap desa dalam mengelola keuangannya perlu diterapkan dalam skema-skema tertentu, misalnya penyederhanaan laporan keuangan. Selain itu, pihak pengawas juga harus cermat dalam membedakan antara pelanggaran administratif dengan pelanggaran pidana (korupsi) sehingga tidak setiap anomali dalam pengelolaan keuangan desa dibawa ke ranah hukum. Kedua, pemerintah melakukan moratorium kebijakan dana desa. Dana desa baru dicairkan setelah empat faktor yang memengaruhi keberhasilan pengelolaannya (regulasi yang lengkap dan berkeadilan, pengawasan yang efektif dan menyeluruh, kompetensi kepala desa, kompetensi pendamping desa) berhasil diamankan kualitas dan kesiapannya. Dalam skenario ini, pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau kebijakan lain yang sejenis yang intinya menyatakan bahwa pencairan dana desa ditunda sampai keseluruhan hal yang dirasa penting telah
  37. 28 |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 disiapkan. Dalam hal ini, pemerintah juga perlu merancang strategi sosialisasi secara terarah dan sistematis agar semua pemangku kepentingan memiliki kesamaan persepsi terhadap kebijakan dana desa. Demikian pula jadwal peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan desa dengan jumlah yang tepat (setidaknya satu desa diwakili tiga orang yang terdiri atas kepala desa, sekretaris desa, dan kepala urusan keuangan) dan waktu yang memadai juga harus direncanakan dengan baik sehingga seluruh desa dapat tercakup sebelum nantinya kebijakan dana desa dimulai secara sungguh-sungguh. Demikianlah rekomendasi atas uraian permasalahan dari kebijakan dana desa sesuai amanat UU Desa. Pemerintah diharapkan berdialog dengan pemangku kepentingan, khususnya masyarakat desa selaku subyek kebijakan yang utama, untuk menentukan manakah pilihan yang terbaik saat ini. Bagaimanapun arah kebijakan yang nantinya akan diambil, satu hal yang harus menjadi titik berangkat adalah menjadikan desa sebagai subyek pembangunan yang mandiri merupakan aksioma yang tak dapat ditawar. Aransemen dan instrumentasi kebijakan yang berkeadilan akan mempercepat terwujudnya masyarakat desa yang sejahtera, berdaulat, dan demokratis.
  38. x |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 DAFTAR PUSTAKA Agusta, Ivanovich, 2015a, “Memandirikan Keuangan Desa”, Kompas, 4 April, hal. 7. _________________, 2015b, “Desa Tahun Pertama”, Kompas, 13 Juli, hal. 6. Muhammad, Farouk, 2015, “Menjaga Momentum UU Desa”, Kompas, 3 Juli, hal. 6. Padjung, Rusnadi, 2015, “Khawatir Dana Desa Dikorupsi”, Kompas, 6 Juli, hal. 7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
  39. xi |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sjaf, Sofyan, 2015, “Menjawab Kekhawatiran Dana Desa”, Kompas, 25 Juni, hal. 7. Sudjatmiko, Budiman, 2015, “Revolusi Desa”, Kompas, 10 Juli, hal. 7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berita “Dana Besar Akan Banjiri Desa”, Kompas, 27 Februari 2015, hal. 5. “Persyaratan Hambat Pencairan”, Kompas, 2 Juli 2015, hal. 5. “Tantangan di Balik Janji Manis”, Kompas, 3 Juli 2015, hal. 5. Laman Website http://www.koran-sindo.com/read/964587/149/salah- kelola-dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-1423968895, diakses 9 Juli 2015
  40. xii |Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU no 6 tahun 2014 http://www.koran-sindo.com/read/964858/149/dana-desa- picu-tingginya-pemekaran-1424055604, diakses 9 Juli 2015 http://www.koran- sindo.com/read/1005329/149/penyerapan-dana-desa- baru-rp3-8-t-riliun-1432609180, diakses 10 Juli 2015 http://www.koran-sindo.com/read/1012635/149/bpk-akan- audit-anggaran-desa-1434331148, diakses 10 Juli 2015 http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2731-kpk- temukan-14-potensi-persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7 Juli 2015 http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838-penanggulangan- kemiskinan-iai-dana-desa, diakses 9 Juli 2015.
Publicidad