SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 32
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Tetanus”, yang mana makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas Akademi Keperawatan Pemerintah
Kabupaten Muna.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan memberikan saran.
Penulis menyadari bahwa, dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya
penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan Mahasiswa
/Mahasiswi Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Muna pada umumnya.
Raha, 19 Juli 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ................................................................................. 2
1.3 Manfaat Penulisan ............................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi .............................................................................................. 3
2.2 Etiologi .............................................................................................. 3
2.3 Patofisiologi ....................................................................................... 4
2.4 Klasifikasi .......................................................................................... 7
2.5 Stadium Tetanus ................................................................................ 8
2.6 Manifestasi Klinis .............................................................................. 9
2.7 Komplikasi Tetanus ........................................................................... 10
2.8 Penatalaksanaan ................................................................................. 10
2.9 Pemeriksaan penunjang ..................................................................... 13
2.10 Pencegahan ...................................................................................... 13
2.11 Asuhan Keperawatan ....................................................................... 14
2.12 Diagnosa Keperawatan .................................................................... 21
2.13 Rencana Asuhan Keperawatan ........................................................ 21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................ 27
3.2 Saran-saran ........................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman
clostridium tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot,
tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium
tetani
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan
cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah
yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah
peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat
bertebaran di mana-mana.
Kuman.C. tetani tersebar luas ditanah, terutama tanah garapan, dan dijumpai pula
pada tinja manusia dan hewan. Perawatan luka yang kurang baik di samping
penggunaan jarum suntik yang tidak steril (misalnya pada pecandu
narkotik).merupakan beberapa faktor yang sering dijumpai sebagai pencetus
tirribulnya tetanus. Tetanus dapat menyerang semua golongan umur, mulai dari
bayi (tetanus neonatorum), dewasa muda (biasanya pecandu narkotik) sampai
orang-orang tua. Dari Program Nasional Surveillance Tetanus di Amerika serikat
diketahui rata-rata usia pasien tetanus dewasa berkisar antara 50-57 tahun.
Berdasar tingkat kejadian ( epidemiologi ) tersebut maka kelompok tertarik untuk
membahas tentang ASKEP pada tetanus.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengetahui Pengertian dari Tetanus
2. Mengetahui Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus
3. Mengetahui Patofisiologi dari Tetanus
4. Mengetahui Mengetahui Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus
5. Mengetahui Pemeriksaan Diagnostik pada Tetanus
6. Mengetahui proses pada pasien dengan Tetanus
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah untuk menambah wawasan bagi
pembaca tentang penyakit tetanus.
Dapat menambah pengetahuan kepada mahasiswa keperawatan tentang
penatalaksanaan klien dengan penyakit tetanus.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan oleh
basil Clostridium tetani yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin. Biasanya
masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti oleh jarum
logam, splinter kayu, atau gigitan serangga) (Dorland, 2002).
Tetanus adalah salah satu penyakit yang paling beresiko menyebabkan kematian
bayi baru lahir. Infeksi tetanus disebabkan oleh sejenis bakteri yang menghasilkan
toksin yang mematikan bakteri tersebut tumbuh dalam keadaan yang kotor.
Kuman penyebab tetanus adalah Clostridium tetani (Depkes, 2003).
Tetanus adalah gangguang neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus
otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani (Aru W, 2007).
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah penyakit infeksi
yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang menginfeksi atau
mengkontaminasi pada luka tusuk/ traumatik yang ditandai dengan gejala
kekauan dan kejang otot. Tetanus yang sering terjadi adalah tetanus neonatorum.
2.2 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini
berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan
juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Clostridium
tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2–5 x 0,4–0,5
milimikron yang berspora termasuk golongan gram positif dan hidupnya anaerob.
Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil
tetanus mensekresi dua macam toksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
multiplikasi bakteri. Tetanospasmin akan menyebabkan kejang otot dan saraf
perifer setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65°C dan akan hancur
dalam lima menit. (Ritarwan, 2004)
2.3 Patofisiologi
1. Faktor Resiko
a. Lesi kulit kronik (ulkus, abses, gangren) berhubungan dengan diabetes
mellitus maupun cedera akut
b. Penyalahgunaan narkotika parenteral
c. Usia lanjut juga merupakan faktor resiko tetanus karena imunitas
menurun seiring bertambahnya umur. Sekitar 50% dewasa tua lebih
dari 50 tahun tidak kebal tetanus karena mereka belum
divaksinasi atau tidak mendapatkan booster tetanus.
d. Pencemaran lingkungan fisik dan biologik
e. Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan menyebabkan
Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita
dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan
yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan adalah amat penting
bukan sahaja dapat mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit lain.
f. Faktor alat pemotongan tali pusat
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat bayi
meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini
masih lagi berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang
melakukan pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan seperti
pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir
(WHO, 2008).
g. Faktor cara perawatan tali pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih
menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan
abu dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan
menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual
untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang
tidak benar ini akan meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus
neonatorum (Chin, 2000).
h. Faktor kebersihan tempat pelayanan kesehatan
Tempat pelayanan kesehatan yang tidak bersih bukan saja berisiko untuk
menimbulkan penyakit. Tempat pelayanan kesehatan yang ideal sebaiknya
dalam keadaan bersih dan steril.
i. Faktor kekebalan ibu hamil
Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat
membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir.
Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi
melalui darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani.
Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari
ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi TT (Chin, 2000).
2. Faktor Pencetus
a. Alergen:
• Debu rumah, tungau debu rumah, spora jamur, serpihan kulit binatang
seperti kucing, anjing, dan hewan berbulu lainnya
• Air liur dan air kencing binatang peliharaan
• Debu rumah terdiri dari bermacam alergen, seperti sisa makanan,
potongan rambut, kulit binatang, kecoa dan serangga lainnya
b. Luka tusuk, gigitan binatang maupun manusia, luka bakar, luka operasi
yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
c. Otitis media purulenta, karies gigi
3. Patogenesis
Toksin kuman C. tetani berbentuk spora. Bentuk spora dalam suasana
anaerob dapat berubah menjadi kuman vegetatif yang menghasilkan
eksotoksin. Toksin ini menjalar intrakasonal sampai ganglin/ simpul saraf dan
menyebabkan hilangnya keseimbanngan tonus otot sehingga terjadi kekakuan
otot baik lokal maupun menyeluruh. Bila toksin banyak, selain otot bergaris,
otot polos dan saraf otak juga terpengaruh. Toksin ini menyebabkan jaringan
mati, ditambah dengan adanya benda asing menyebabkan infeksi aktif.
Clostridium tetani tidak mencetuskan peradangan (port de entry terabaikan).
Toksin terikat terminal neuromotorik perifer menyebabkan masuknya akson
menuju sel body batang otak sampai pada medulla spinalis. Toksin melintasi
sinaps menuju terminal presinaps, memblok pelepasan neurotransmitter
inhibitor Glisin & Gama Aminobutyric Acid (GABA). Terhambatnya inhibisi
menyebabkan rigiditas sehingga refleknya terhambat dan spasme meningkat.
Bila neuron preganglionik simpatik terkena dapat menyebabkan hiperaktivitas
simpatik. (Aru W, 2004)
Cara kerja toksin
Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu limbik masuk
ke sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak
antigen, sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat
tidak dapat lagi dinetralkan oleh toksin spesifik. Toksin yang bebas dalam
darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin spesifik.
4. Prognosis
Prognosis tetanus diklassikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih
pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada
lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa
makin jelek.
Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
1. Umur bayi kurang dari 7 hari
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4. Dijumpai muscular spasm.
Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus
neonatorum > 60%.
2.4 Klasifikasi
1. Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk paling umum dari tetanus yang
ditandai dengan kontraksi otot tetanik dan hiperrefleksi, yang
mengakibatkan trismus (rahang terkunci), spasme glotis, spasme otot umum,
opistotonus, spasme respiratoris, serangan kejang dan paralisis. (Dorland,
2002). Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling sering terjadi
(sekitar 80%). Penyakit ini biasanya muncul dalam bentuk descending. Gejala
pertama yang muncul adalah trismus dan lockjaw, kemudian diikuti dengan
kekakuan leher, kesulitan menelan, dan rigiditas abdomen. Gejala lain berupa
Risus sardonicus (Sardonic grin), yakni spasme otot-otot muka, opistotonus
(kekakuan otot punggung), kejang dinding punggung. Spasme dari laring dan
otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose
asfiksia. Gejala lainnya adalah suhu tubuh yang meningkat 2º-4º C di atas
suhu normal, berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan denyut jantung
yang cepat secara episodik. Spasme dapat terjadi secara berkala selama
beberapa menit. Spasme dapat berkelanjutan selama 3-4 minggu.
Penyembuhan secara komplit dapat memakan waktu selama beberapa bulan.
2. Tetanus Lokal
Tetanus lokal termasuk jenis tetanus yang ringan dengan kedutan
(twitching) otot lokal dan spasme kelompok otot didekat lokasi cidera, atau
dapat memburuk menjadi bentuk umum (generalisata).
(Dorland,2002)
3. Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal,
yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga seperti otitis
media, di mana C. tetani ditemukan sebagai flora pada telinga
tengah. Masa inkubasinya 1 – 2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi
satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf VII (fasialis).
Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.
(Aru W, 2004)
4. Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum adalah suatu bentuk tetanus infeksius yang berat
dan terjadi selama beberapa hari pertama setelah lahir, disebabkan oleh
faktor-faktor seperti tindakan perawatan sisa tali pusat yang
tidak higienis atau pada sirkulasi bayi laki-laki dan kekurangan
imunisasi maternal. (Dorland, 2002)
2.5 Stadium Tetanus Berdasarkan Tingkat Keparahannya (Ablett)
1. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan
pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
2. Derajat II (Sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai
sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari
30 - 35 kali/ menit, disfagia ringan.
3. Derajat IIIa (Berat)
Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan,
frekuensi pernapasan lebih dari 40 kali/ menit, serangan apnea, disfagia berat
dan takikardia lebih dari 120 kali/ menit. Terdapat peningkatan aktivitas saraf
otonom yang moderat dan menetap.
4. Derajat IV (Sangat Berat)
Derajat IV merupakan derajat IIIb dengan gangguan otonomik berat
melibatkan sistem kardiovaskular. Hipertensi berat takikardia terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, atau hipertensi diastolik
yang berat dan menetap (tekanan diastolik > 110 mmHg) atau
hipotensi sistolik yang menetap (tekanan sistolik < 90 mmHg)
Dikenal juga dengan autonomic storm. (Aru W,2007)
2.6 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3atau
beberapa minggu ).Karakteristik tetanus :
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5-7 hari.
Setelah 10 hari frekuensi kejang akan mulai berkurang dan menghilang
setelah 2 minggu.
2. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian, timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena
spasme otot masetter.
3. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus (badan melengkung ke
depan), nuchal rigidity). Kejang ini dicirikan dengan kejang tiba-tiba, tangan
mengepal, fleksi dan adduksi lengan, serta hiperekstensi tungkai.
4. Risus sardonicus karena spasme otot wajah dengan gambaran
alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan
kuat .
5. Spasme otot laringeal dan otot respirasi dapat menyebabkan obstruksi jalan
nafas dan asfiksia.
6. Karena toksin tetanus tidak mempengaruhi saraf sensoris atau fungsi kortikal,
pasien pada umumnya berada pada compos mentis, dan pada keadaan lanjut,
klien akan mengalami penurunan kesadaran pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Dan bila sudah tahap koma, maka penilaian GCS penting
untuk dilakukan. (Arif Muttaqin)
2.7 Komplikasi Tetanus
1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air didalam rongga
mulut dan keadaan ini memungkinkan terjadinya aspirasi serta dapat
menyebabkan pneumonia aspirasi.
2. Asfiksia
3. Atelektasis karena obstruksi secret.
4. Fraktur Kompresi
2.8 Penatalaksanaan
1. Nonfarmakologi
• Penderita tetanus harus segera dirujuk ke rumah sakit karena ia harus
selalu dalam pengawasan dan perawatan. Sebelum dirujuk lakukanlah hal-
hal tersebut di bawah ini. Selanjutnya bila anak yang menderita tetanus
selesai dirawat, berikan tetanus toksoid 3 kali dengan jarak waktu 1 bulan.
• Pertahankan jalan napas dan jaga keseimbangan cairan.
• Segera berikan human tetanus immunoglobulin 5000 IU i.m untuk
menawarkan racun yang belum bersenyawa dengan otot.
• Bila yang ada hanya ATS suntikkan i.m atau i.v 20.000 – 40.000 IU/hari
selama 3 hari atau 20.000 IU/ hari untuk anak-anak selama 2 hari.
• Berikan penisilin prokain 2 juta IU i.m pada orang dewasa atau 50.000 IU/
kgBB/ hari selama 10 hari pada anak untuk eradikasi kuman.
• Berikan diazepam untuk mengendalikan kejang dengan titrasi dosis : 5 –
10 mg i.v. untuk anak dan 40 – 120 mg/ hari untuk dewasa.
• Cegah penyebaran racun lebih lanjut dengan eksplorasi luka dan
membersihkannya dengan H202 3%. Port d'entre lain seperti OMSK atau
gangren gigi juga harus dibersihkan dahulu.
• Untuk menetralisir racun, diberikan immunoglobulin tetanus. Antibiotik
tetrasiklin dan penisilin diberikan untuk mencegah pembentukan racun
lebih lanjut. Obat lainnya bisa diberikan untuk menenangkan penderita,
mengendalikan kejang dan mengendurkan otot-otot. Penderita biasanya
dirawat di rumah sakit dan ditempatkan dalam ruangan yang tenang.
Pasien dianjurkan dirawat di unit perawatan khusus jika :
a. Kejang-kejang yang sukar diatasi dngan obat-obatan antikonvulsan biasa.
b. Spasme laring.
c. Komplikasi yang memerlukan perawatan khusus seperti sumbatan jalan
napas, kegagalan pernapasan, hipertensi dan sebagainya.
2. Farmakologi
a. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari i.m.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000
Unit/ kgBB/ 12 jam secara i.m. diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif
terhadap Peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/ kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2
gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Bila tersedia Peniciline
intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit/ kgBB/ 24 jam,
dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh
bentuk vegetatif dari C. tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya.
Bila dijumpai adanya komplikasi, pemberian antibiotika broad spektrum
dapat dilakukan.
b. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG)
dengan dosis 3000-6000 unit, satu kali pemberian saja, secara i.m. tidak
boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti
complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi alergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan
untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan
dosis 40.000 unit, dengan cara pemberiannya adalah 20.000 unit dari
antitoksin dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan
diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam
waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 unit) diberikan
secara i.m. pada daerah pada sebelah luar.
c. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara i.m. Pemberian TT
harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Tabel
4 berikut ini memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada
keadaan luka.
Tabel 4 : Petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka.
___________________________________________________________
RIWAYAT IMUNISASI Luka Bersih, Kecil, Luka Lainnya
___________________________________________________________
(dosis) Tet. Toksoid (TT) Antitoksin Tet.Toksoid (TT) Antitoksin
___________________________________________________________________
Tidak diketahui ya tidak ya ya
0 – 1 ya tidak ya ya
2 ya tidak ya tidak*
3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak
_________________________________________________________________
__
* : Kecuali luka > 24 jam
** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun
*** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun
d. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang
kronik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta
komplikasinya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/ muscle
relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.
Tabel 5 : Jenis Antikonvulsan
_______
Jenis Obat Dosis Efek Samping
__________________________________________________________
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/ kgBB/ 4 jam (IM) Stupor, Koma
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi
pernafasan
2.9 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus meliputi:
1. Darah
• Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
• BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
• Elektrolit (K, Na): ketidakseimbangan elektroit merupakan predisposisi
kejang kalium (normal 3,80-5,00 meq/dl).
2. Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.
3. EEG: teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui fokus aktifitas kejang, hasil biasanya normal.
2.10 Pencegahan
Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada
mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari
vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus). Dewasa sebaiknya menerima booster
pada seseorang yang memiliki luka, jika:
1. Telah menerima booster tetanus dalam waktu 5 tahun terakhir, tidak perlu
vaksinasi lebih lanjut.
2. Belum pernah menerima booster dalam waktu 5 tahun terakhir, segera
diberikan vaksinasi.
3. Belum pernah menjalani vaksinasi atau vaksinasinya tidak lengkap, diberikan
suntikan immunoglobulin tetanus dan suntikan pertama dari vaksinasi 3
bulanan.
Setiap luka (terutama luka tusukan yang dalam) harus dibersihkan secara
seksama karena kotoran dan jaringan mati akan mempermudah pertumbuhan
bakteri Clostridium tetani.
2.11 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
1) Biodata/Identitas
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan
untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada
tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan,
yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan
diagnosis keperawatan (Marilynn E. Doenges et al, 1998).
Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, diagnosa medis.
2) Keluhan utama
Biasaya didapatkan suhu badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat
kesadaran (Muttaqin, Arif. 2011)
3) Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit yang diderita sekarang:
Faktor riwayat penyakit sangat penting untuk diketahui untuk
mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Gejala yang timbul,
mulainya serangan, bertambah baik atau bertambah buruk, tindakan
apa saja yang sudah dilakukan, adanya penurunan atau perubahan
pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan toksin tetanus yang
menginflamasi jaringan otak, perubahan perilaku, dan semakin
berkembangnya penyakit dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan
koma.
Ada beberapa tahap dari serangan tetanus, yaitu:
Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh
tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru
terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan
menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus
masih berlangsung.
Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot
pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku
di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan
mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke
otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai
(Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut. Selain
itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa
nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala
penderita akan tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat
terjadi 48 jam setelah mengalami luka. Pada tahap ini, gejala lain yang
sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak,
termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami
tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut
atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut
menjadi terbatas.
Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka
terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah
adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa
rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar.
Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada
awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama
akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus
dapat menyebabkansulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah,
bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot
hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini,
sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan
saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk
tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.
(selekta,kapita. 2010)
Riwayat penyakit sekarang yang menyertai:
• System pernafasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi
otot pernafasan.
• System cardiovascular : disritmia, takicardi, hipertensi dan
perdarahan, suhu tubuh awalnya 38 - 40°Catau febris sampai ke
terminal 43 - 44°C.
• System neurologis : irritability (awal), kelemahan, konvulsi
(akhir), kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
• System perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan
urine output tidak ada/oliguria)
• System pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
• System integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada
tempat luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului
trismus, spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis
mata, risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan.
• Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi
dan kejang umum. ( Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993)
Riwayat Penyakit Dahulu
- Adanya riwayat trauma kepala, luka tusuk, luka kotor, adanya
benda asing dalam luka yang menyembuh, luka yang tertutup
debu, luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah, gigi
berlubang dengan benda yang kotor, dan caries gigi, menunjang
berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin atau
OMP yang dibersihkan dengan kain yang kotor.
- Adanya imunisasi yang tidak adekuat.
Riwayat kesehatan keluarga
- Kebiasaan perawatan luka dengan menggunakan bahan yang
kurang aseptik.
Riwayat sosial
- Hubungan interaksi dengan keluarga dan pekrjaannya.
Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
- Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana.
Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
• Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
• Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan
tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap
perawatan dan tindakan medis
• Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita,
pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada
anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan
pertolongan pertama.
• Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi ditanyakan
bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang
dikonsumsi oleh klien.
• Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak? Bagaimana
selera makan anak? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya
per hari?
• Pola Eliminasi:
BAK: ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara
makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah
terdapat darah? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat
kencing.
BAB: ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak?
Bagaimana konsistensinya lunak, keras, cair atau berlendir?
• Pola aktivitas dan latihan
• Pola tidur/istirahat
• Berapa jam sehari tidur? Berangkat tidur jam berapa? Bangun
tidur jam berapa? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan
tidur siang?
b. Data Objektif
1. Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36)
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital: tingkat kesadaran,
tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana
akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan
kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.
2. Pemeriksaan Khusus
- Sistem pernafasan: dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi
otot pernafasan.
- Sistem kardiovascular: disritmia, takicardi, hipertensi dan
perdarahan, suhu tubuh awalnya 38 - 40°C atau febris sampai ke
terminal 43 - 44°C.
- Sistem neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir),
kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
- Sistem perkemihan: retensi urin (distensi kandung kemih dan urin
output tidak ada/oliguria)
- Sistem pencernaan: konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
- Sistem integumen dan muskuloskletal: nyeri kesemutan pada
tempat luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului
trismus, spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis
mata, risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan.
Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan
kejang umum. (Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993)
3. Pemeriksaan Fisik
Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih
dari normal 38-40 C berhubungan dengan proses inflamasi dan toksin
tetanus yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Bila
disertai peningkatan frekuensi pernapasan sering berhubungan dengan
peningkatan laju metabolisme umum. Tekanan darah biasanya normal.
B1 (Breathing)
Inspeksi bila klien batuk, terdapat produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu, dan peningkatan frekuensi pernapasan, disertai
dengan adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi toraks
terdapat adanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi
bunyi napas tambahan ditandai dengan ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun.
B2 (Blood)
Pada sistem kardiovaskular terdapat renjatan (syok hipovolemik),
tekanan darah biasanya normal, peningkatan denyut jantung, adanya
anemis karena hancurnya eritrosit
B3 (Brain)
- Tingkat kesadaran: compos mentis, pada tingkat lanjut kesadaran
mulai mengalami penurunan pada tingkat letargi, stuor, dan
semikomatosa. Jika klien mengalami koma maka penilaian GCS
sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran dan pemantauan
pemberian asuhan.
- Fungsi Serebri (status mental): observasi penampilan dan tingkah
laku, gaya bicara, observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
pada tahap lanjut akan mengalami perubahan
Sistem Motorik
Kekuatan otak menurun, kontrol keseimbangan, dan koordinasi pada
tahap lanjut mengalami perubahan.
Pemeriksaan Refleks
Pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks
pada respon normal
Sistem Sensorik
Adanya perasaan raba dan nyeri normal, suhu normal, tidak ada
perasaan abnormal di permukaan tubuh.
B4 (Bladder)
Penurunan volume keluaran urine berhubungan dengan penurunan
perfusi dan curah jantung ke ginjal, adanya retensi urine karena kejang
dan sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
B5 (Bowel)
Mual, muntah berhubungan dengan peningkatan produksi asam
lambung, pemenuhan nutrisi karena anoreksia dan adanya kejang,
kaku dinding perut, dan spasme otot yang menyebabkan sulitnya BAB
B6 (Bone)
Adanya kejang sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan
aktivitas sehari-hari, kejang memberikan resiko pada fraktur vertebra
pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen (opistotonus).
(Muttaqin, Arif. 2011)
c. Data Penunjang
1. Darah
- Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N < 200 mq/dl)
- BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang
dan merupakan indikasi nepro toksik akibat
dari pemberian obat.
- Serum Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang
dan adanya lesi
3. EEG : Elektro Enselografi, teknik untuk menekan aktivitas
listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya
normal.
4. Albumin kurang dari 3,5 mg%
5. Pemeriksaan Gula Darah: Kuman tetanus tidak dapat
mengfermentasikan glukosa sehingga kadar glukosa darah meningkat.
6. Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia (gangguan irama
jantung) ventrikuler
7. WBC Count: Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/l
2.12 Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya sekret
dalam trachea, kemampuan batuk menurun, ditandai dengan sesak napas, RR
meningkat, retraksi ICS, ronkhi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif
disertai dengan sputum, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan: AGD
abnormal (asidosis respiratorik)
2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) yang berhubungan dengan proses
inflamasi dan efek toksin (bakterimia) di jaringan otak ditandai dengan
demam, suhu tubuh meningkat menjadi 38-40 C, hiperhidrasi, sel darah
putih lebih dari 10.000/mm3
3. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan (trismus) ditandai dengan intake kurang, makan
dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung,
dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau albumin
kurang dari 3,5 mg%
4. Resiko cedera yang berhubungan dengan adanya kejang,
5. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit ditandai dengan klien
merasa cemas
2.13 Rencana Asuhan Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret dalam
trakhea dan kemampuan batuk menurun ditandai dengan sesak napas,RR
meningkat, retraksi ICS, ronkhi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif
disertai dengan sputum, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan: AGD
abnormal (asidosis respiratorik)
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan bersihan jalan
nafas kembali efektif.
Kriteria hasil: secara subjektif sesak nafas (-), RR 16-20x/mnt. Tidak
menggunakan otot bantu nafas, retraksi ICS (-), ronkhi (-/-),
sianosis (-), dyspnea (-), AGD normal (pH=7.35-7,45;
PCO2=35-45 mmHg, PO2=80-100 mmHg)
Intervensi Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi nafas
tambahan, perubahan irama, dan
kedalaman, penggunaan otot-otot
tambahan, warna, dan kekentalan
sputum
Memantau dan mengatasi komplikasi
potensial. Penh=gkajian fungsi pernafasan
dengan interval yang teratur adalah penting
karena pernafasan yang tidak efektif dan
adanya kegagalan, karena adanya
kelemahan/paralisis pada otot=otot
intercostal dan diafragma yang berkembang
dengan cepat
Bebaskan jalan nafas dengan
mengatur posisi kepala ekstensi atau
semi fowler.
Peninggian kepala tempat tidur (semi
fowler) memudahkan pernafasan,
meingkatkan ekspansi dada, dan
meningkatan batuk lebih efektif, dan secara
anatomi posisi kepala ekstensi merupakan
cara untuk meluruskan rongga pernafasan
sehingga proses respirasi tetap berjalan
lancar dengan menyingkirkan pembuntuan
jalan nafas.
Pemeriksaan fisik:
-Auskultasi mendengar suara nafas
(adakah ronchi, dyspnea, sianosis)
tiap 2 – 4 jam sekali. .
-Ronchi menunjukan adanya gangguan
pernafasan akibat atas cairan atau secret
yang menutupi sebagian dari saluran
pernafasan sehingga perlu dikeluarkan
untuk mengoptimalkan jalan nafas.
-Dyspnea, sianosis merupakan tanda
terjadinya gangguan nafas disertai dengan
kerja jantung yang menurun timbul
tacikardi dan capillary reffil time yang
memanjang/lama.
-Ajarkan cara batuk efektif .
-Lakukan fisioterapi dada; fibrasi
dada.
-Klien berada pada resiko tinggi bila tidak
dapat batuk efektif untuk membersihkan
jalan nafas dan mengalami kesulitan dalam
menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi
saliva, dan mencetuskan gagal nafas akut.
-Terapi fisik dada membant meningkatkan
batuk lebih efektif
Penuhi hidrasi cairan via oral seperti
minum air putih dan pertahankan
intake cairan 2500ml/hari
Pemenuhan cairan dapat mengencerkan
mukus yang kental dan dapat membantu
pemenuhan cairan yang dapat banyak keluar
dari tubuh.
Lakukan penghisapan lendir dijalan
nafas
Pengisapan mungkin diperlukan untuk
mempertahankan kepatenan jalan nafas
menjadi bersih
Berikan oksigen sesuai klinis Pemenuhan oksigen terutama pada klien
tetanus dengan laju metabolisme yang tinggi
Kolaborasi dalam pemberian obat
pengencer secret (mukolotik).
Rasional : obat mukolitik dapat
mengencerkan secret yang kental
sehingga mudah mengeluarkan dan
mencegah kekentalan.
Obat mukolitik dapat mengencerkan secret
yang kental sehingga mudah mengeluarkan
dan mencegah kekentalan
2. Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek
toksin di jaringan otak ditandai dengan demam, suhu tubuh meningkat menjadi
38-40 C, hiperhidrasi sel darah putih lebih dari 10.000/m3
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam perawatan suhu tubuh menurun
Kriteria hasil : suhu tubuh normal 36-37 C, hasil laboratorium sel darah putih⁰
(leukosit) antara 5000-10.000/mm3
Intervensi Rasional
Monitor suhu tubuh klien. Peningkatan suhu tubuh menjadi stimulus
rangsang kejang pada klien tetanus.
Berikan hidrasi atau minum yang
adekuat.
Cairan-cairan membantu menyegarkan
badan dan merupakan kompresi badan dari
demam.
Lakukan tindakan teknik aseptic dan
antiseptic pada perawatan luka.
Rasional: perawatan luka mengeleminasi
kemungkinan toksin yang masih berada
disekitar luka.
Beri kompres dingin di kepala dan
aksila bila tidak terjadi eksternal
rangsangan kejang
Memberikan respons dingin pada pusat
pengtur panas dan pada pembuluh darah
besar dan salah satu cara untuk menurunkan
suhu tubuh dengan cara proses konduksi
Pertahankan bedrest total selama fase
akut
Mengurangi peningkatan proses
metabolisme umum yang terjadi pada klien
tetanus.
Kolaborasi
-Pemberian obat antibiotik,
antipiretik, antibacterial, ATS
Obat-obatan antibacterial dapat mempunyai
spectrum untuk mengobati bakteri gram
positif, atau bakteri gram negative,
antipiretik bekerja sebagai proses
termoregulasi untuk mengantisipasi panas
dan ATS dapat mengurangi dampak toksin
terutama jaringan otak dan anti mikroba
-Pemeriksaan laboratorium leukosit.
dapat mengurangi inflamasi sekunder dari
toksin.
- Hasil pemeriksaan leukosit yang
meningkat lebih dari 100.000/mm3
mengidentifikasikan adanya infeksi dan
atau untuk mengikuti perkembangan
pengobatan yang diprogramkan.
3. Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
yang berhubungan dengan ketidakmampuan menelan,
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : Tidak adanya tanda malnutrisi, BB normal, intake adekuat,
hasil pemeriksaan albumin 3,5-5mg%
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan klien dalam
menelan,batuk, dan adanya sekret.
Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan
dari otot pengunyah sehingga klien mengalami
kesuliatan menelan dan kadang timbul reflex
balik atau teresedak.
Berikan pengertian tentang pentingnya
nutrisi bagi tubuh.
Agar termotivasi untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi.
Auskultasi bowel sound, amati
penurunan atau hiperteaktivitas suara
bowel.
Fungsi gastrointestinaltergantung pula pada
kerusakn otak, bowel sound menentukan
respons feeding atau terjadinya komplikasi
misalnya illeus.
Timbang berat badan sesuai indikasi. Untuk mengevaluasi efektivitas dari asupan
maknan.
Beri makan dengan cara meninggikan
kepala.
Menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi.
Kolaboratif :
a. Pemberian diit TKTP cair, lunak
atau bubur kasar.
b. Pemberian carian per IV line
Makanan cair, lunak, atau bubur kasar dapat
menurunkan resiko tersedak.
Bila klien sering kejang berikan
makanan lewat NGT.
Pemenuhan nutrisi dengan langsung
memasukkan ke lambung akan menurunkan
risiko regurgitasi atau aspirasi.
Pertahankan lingkungan yang tenang dan
anjurkan keluarga atau orang terdekat
untuk memberikan makanan pada klien.
Membuat klien merasa amn sehingga asupan
dapat dipertahankan.
4. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan serangan kejang
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam perawatan klien bebas dari cedera
yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadran.
Kriteria hasil : klien tidak mengalami cidera apabila kejang berulang ada.
Intervensi Rasionalisasi
Monitor kejang pada tangan, kaki,
mulut (trismus), kuduk (epistotonus),
dinding perut, tulang belakang
Gambaran tribalitas sistem saraf pusat
memerlukan evaluasi yang sesuai dengan
intervensi yang tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi.
Persiapan lingkungan yang aman
seperti batasan ranjang, papan
pengaman, dan alat suction selalu
berada dekat klien dan lindungi klien
dari cedera dengan menggunakan
bantalan pada pagar tempat tidur
Pagar tempat tidur melindungi klien terjatuh
dari tempat tidur bila kejang terjadi dan
adanya bantalanpada pagar tempat tidur
dapat menurunkan resiko cedera saat klien
kejang.
Pertahankan bedrest total selama fase
akut.
Mengurangi resiko jatuh/terluka jika vertigo,
sincope, dan ataksia terjadi.
Kolaborasi pemberian terapi;
diazepam, phenobarbital.
Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
Catatan: phenobarbital dapat menyebabkan
respiratorius depresi dan sedasi.
Pada saat terjadi kejang:
Intervensi Rasionalisasi
- Selama serangan kejang, jaga
privasi klien
- Lindungi kepala dengan bantalan,
singkirkan semua parabot yang
dapat mencederai klien
- Masukkan spatel lidah yang diberi
bantalan (kapas dibungkus dengan
kassa) diletakkan di antara gigi-gigi
- Jangan memaksa membuka rahang
yang terkatup pada keadaan spasme
untuk memasukkan sesuatu
- Pada saat serangan kejang,
miringkan klien dengan kepala
fleksi ke depan
- Pada saat terjadi kejang, pakaian klien
dapat tersingkap, sehingga perlu dijaga
privasinya
- pada saat kejang barang-barang yang ada di
sekitar klien yang mengalami serangan
kejang, dapat mencederai klien
- Pada saat kejang lidah dapat tergigit.
Memasukkan spatel akan mencegah lidah
dapat tergigit.
- Tindakan ini dapat menyebabkan fraktur
pada rahang
- Tindakan ini memungkinkan lidah jatuh ke
depan, dan memudahkan pengeluaran
saliva dan mukus. Jika disediakan
pengisap, gunakan ( jika perlu untuk
membersihkan sekret)
5. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang
berulang.
Tujuan : Kecemasan hilang atau berkurang
Kriteria hasil : Mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasin penyebab
atau faktor yang memengaruhinya, dan menyatakan ansietas
berkurang/hilang.
BAB III
Intervensi Rasionalisasi
Kaji tanda verbal dan nonverbal
kecemasan, dampingi klien dan
lakukan tindakan bila
menunjukan perilaku merusak.
Reksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa
agitasi, marah, dan gelisah.
Jelaskan sebab terjadinya
kejang.
Memberikan dasar konsep agar klien kooperatif
terhadap tindakan untuk mengurangi kejang.
Hindari konfrontasi. Konfrontasi dapat meningkat rasa marah,
menurunkan kerja sama dan mungkin
memperlambat penyembuhan.
Mulai melakukan tindakan
untuk mengurangi kecemasan.
Beri lingkungan yang tenang
dan suasana penuh istirahat.
Mengurangi ransangan eksternal yang tidak perlu.
Tingkat kontrol sensasi klien. Kontrol sensai klien (dan dalam menurunkan
ketakutan) dengan cara memberikan informasi
tentang keadaan klien, menekankan pada
penghargaan terhadap sumber-sumber koping
(pertahanan diri), yang positif, membantu latihan
relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan
memberikan respons balik yang positif.
Orientasi klien terhadap
prosedur rutin dan aktivitas yang
diharapkan.
Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
Berikan kesempatan kepada
klien untuk mengungkapan
asietasnya.
Dapat menghilangkan ketegangan terhadap
kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
Berikan privasi untuk klien dan
orang terdekat.
Memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan,
menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi.
Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih
klien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya
membaca) akan menurukan perasaan terisolasi.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf
pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh
melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan
pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan
menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum
menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan yaitu :
1. Persiapan diri sebaik mungkin sebelum melaksanakan tindakan asuhan
keperawatan
2. Bagi mahasiswa diharapkan bisa melaksakan tindakan asuhan keperawatan
sesuai prosedur yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Adams. R.D,dkk : Tetanus in : Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205 -
1207.
Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. Diphteria–Pertusis–Tetanus Vaccine Teactogenicity
of Cimmercial Products. Pediatricas 1979; 63:256–260.
Behrman.E.Richard : Tetanus, chapter 193, edition 15 th, Nelson, W.B.Saunders
Company, 1996, 815 -817.
Dorland. 2002. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta : EGC.
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam , Jakarta Universitas Indonesia Press, 1990
Thedore.R, Ilmu Bedah, Jakarta, EGC, 1993
Maryln Doengoes, Nursing Care Plan, Edisi III, Philadelpia, 1993
Selekta, Kapita. 2010. Edisi 3. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993
KMB : 1
DOSEN : Ns. MUSRIANI, S.Kep. M.Kes
TUGAS : MAKALAH
“TETANUS”
OLEH :
NAMA : ROMIATUN
NIM : 909.695
TINGKAT : III B
AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAH KABUPATEN MUNA
TAHUN
2014

Más contenido relacionado

Similar a TETANUS

Makalah penyakit menular
Makalah penyakit menularMakalah penyakit menular
Makalah penyakit menularAdi Putra
 
Asuhan myometritis
Asuhan myometritisAsuhan myometritis
Asuhan myometritisanitasintia
 
Laporan praktikukum parasitologi
Laporan praktikukum parasitologiLaporan praktikukum parasitologi
Laporan praktikukum parasitologiGoogle
 
Askep Mastoiditis
Askep MastoiditisAskep Mastoiditis
Askep MastoiditisSri Nala
 
Lapkas Tetanus-W1.pptx
Lapkas Tetanus-W1.pptxLapkas Tetanus-W1.pptx
Lapkas Tetanus-W1.pptx19088samuel
 
ASUHAN KEBIDANAN PATOLOGIS TOXOPLASMOSIS
ASUHAN KEBIDANAN PATOLOGIS TOXOPLASMOSISASUHAN KEBIDANAN PATOLOGIS TOXOPLASMOSIS
ASUHAN KEBIDANAN PATOLOGIS TOXOPLASMOSISDuik Agustini
 
Tugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologiTugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologiWarnet Raha
 
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...winaldy21
 
Makalah tb paru
Makalah tb paruMakalah tb paru
Makalah tb paruKANDA IZUL
 
BAB 7 Epidemiologi Penyakit Menular Diftheria, Pertusis dan Tetanus
BAB 7 Epidemiologi Penyakit Menular Diftheria, Pertusis dan TetanusBAB 7 Epidemiologi Penyakit Menular Diftheria, Pertusis dan Tetanus
BAB 7 Epidemiologi Penyakit Menular Diftheria, Pertusis dan TetanusNajMah Usman
 
tetanus 2 (1).pdf
tetanus 2 (1).pdftetanus 2 (1).pdf
tetanus 2 (1).pdfalyardh30
 
Sosialisasi tentang HIV/AIDS
Sosialisasi tentang HIV/AIDS Sosialisasi tentang HIV/AIDS
Sosialisasi tentang HIV/AIDS Febi_valentina30
 
Makalah parasitologi
Makalah parasitologiMakalah parasitologi
Makalah parasitologiJihansKitchen
 
Makalah Penyakit Menular Morbus Hansen
Makalah Penyakit Menular Morbus HansenMakalah Penyakit Menular Morbus Hansen
Makalah Penyakit Menular Morbus HansenNoveldy Pitna
 

Similar a TETANUS (20)

BUKU AJAR PENYAKIT TB.pdf
BUKU AJAR PENYAKIT TB.pdfBUKU AJAR PENYAKIT TB.pdf
BUKU AJAR PENYAKIT TB.pdf
 
Makalah penyakit menular
Makalah penyakit menularMakalah penyakit menular
Makalah penyakit menular
 
Asuhan myometritis
Asuhan myometritisAsuhan myometritis
Asuhan myometritis
 
Laporan praktikukum parasitologi
Laporan praktikukum parasitologiLaporan praktikukum parasitologi
Laporan praktikukum parasitologi
 
Askep Mastoiditis
Askep MastoiditisAskep Mastoiditis
Askep Mastoiditis
 
Lapkas Tetanus-W1.pptx
Lapkas Tetanus-W1.pptxLapkas Tetanus-W1.pptx
Lapkas Tetanus-W1.pptx
 
ASUHAN KEBIDANAN PATOLOGIS TOXOPLASMOSIS
ASUHAN KEBIDANAN PATOLOGIS TOXOPLASMOSISASUHAN KEBIDANAN PATOLOGIS TOXOPLASMOSIS
ASUHAN KEBIDANAN PATOLOGIS TOXOPLASMOSIS
 
Tugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologiTugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologi
 
Tugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologiTugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologi
 
vedro
vedrovedro
vedro
 
REFERAT TORCH
REFERAT TORCHREFERAT TORCH
REFERAT TORCH
 
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
 
Makalah tb paru
Makalah tb paruMakalah tb paru
Makalah tb paru
 
Makalah imunisasi
Makalah imunisasiMakalah imunisasi
Makalah imunisasi
 
BAB 7 Epidemiologi Penyakit Menular Diftheria, Pertusis dan Tetanus
BAB 7 Epidemiologi Penyakit Menular Diftheria, Pertusis dan TetanusBAB 7 Epidemiologi Penyakit Menular Diftheria, Pertusis dan Tetanus
BAB 7 Epidemiologi Penyakit Menular Diftheria, Pertusis dan Tetanus
 
tetanus 2 (1).pdf
tetanus 2 (1).pdftetanus 2 (1).pdf
tetanus 2 (1).pdf
 
Sosialisasi tentang HIV/AIDS
Sosialisasi tentang HIV/AIDS Sosialisasi tentang HIV/AIDS
Sosialisasi tentang HIV/AIDS
 
Makalah parasitologi
Makalah parasitologiMakalah parasitologi
Makalah parasitologi
 
Makalah Penyakit Menular Morbus Hansen
Makalah Penyakit Menular Morbus HansenMakalah Penyakit Menular Morbus Hansen
Makalah Penyakit Menular Morbus Hansen
 
Makalah oma
Makalah omaMakalah oma
Makalah oma
 

Más de Operator Warnet Vast Raha

Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiOperator Warnet Vast Raha
 

Más de Operator Warnet Vast Raha (20)

Stiker kk bondan
Stiker kk bondanStiker kk bondan
Stiker kk bondan
 
Proposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bolaProposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bola
 
Surat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehatSurat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehat
 
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajarSurat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
 
Halaman sampul target
Halaman sampul targetHalaman sampul target
Halaman sampul target
 
Makalah seni kriya korea
Makalah seni kriya koreaMakalah seni kriya korea
Makalah seni kriya korea
 
Makalah makromolekul
Makalah makromolekulMakalah makromolekul
Makalah makromolekul
 
126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul
 
Kafer akbid paramata
Kafer akbid paramataKafer akbid paramata
Kafer akbid paramata
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Mata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budayaMata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budaya
 
Lingkungan hidup
Lingkungan hidupLingkungan hidup
Lingkungan hidup
 
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
 
Odher scout community
Odher scout communityOdher scout community
Odher scout community
 
Surat izin keramaian
Surat izin keramaianSurat izin keramaian
Surat izin keramaian
 
Makalah keganasan
Makalah keganasanMakalah keganasan
Makalah keganasan
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Makalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetikaMakalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetika
 
Undangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepaUndangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepa
 
Bukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajakBukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajak
 

TETANUS

  • 1. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Tetanus”, yang mana makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Muna. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan saran. Penulis menyadari bahwa, dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan Mahasiswa /Mahasiswi Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Muna pada umumnya. Raha, 19 Juli 2014 Penulis
  • 2. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penulisan ................................................................................. 2 1.3 Manfaat Penulisan ............................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi .............................................................................................. 3 2.2 Etiologi .............................................................................................. 3 2.3 Patofisiologi ....................................................................................... 4 2.4 Klasifikasi .......................................................................................... 7 2.5 Stadium Tetanus ................................................................................ 8 2.6 Manifestasi Klinis .............................................................................. 9 2.7 Komplikasi Tetanus ........................................................................... 10 2.8 Penatalaksanaan ................................................................................. 10 2.9 Pemeriksaan penunjang ..................................................................... 13 2.10 Pencegahan ...................................................................................... 13 2.11 Asuhan Keperawatan ....................................................................... 14 2.12 Diagnosa Keperawatan .................................................................... 21 2.13 Rencana Asuhan Keperawatan ........................................................ 21
  • 3. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ........................................................................................ 27 3.2 Saran-saran ........................................................................................ 27 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 28
  • 4. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman. Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana. Kuman.C. tetani tersebar luas ditanah, terutama tanah garapan, dan dijumpai pula pada tinja manusia dan hewan. Perawatan luka yang kurang baik di samping penggunaan jarum suntik yang tidak steril (misalnya pada pecandu narkotik).merupakan beberapa faktor yang sering dijumpai sebagai pencetus tirribulnya tetanus. Tetanus dapat menyerang semua golongan umur, mulai dari bayi (tetanus neonatorum), dewasa muda (biasanya pecandu narkotik) sampai orang-orang tua. Dari Program Nasional Surveillance Tetanus di Amerika serikat diketahui rata-rata usia pasien tetanus dewasa berkisar antara 50-57 tahun. Berdasar tingkat kejadian ( epidemiologi ) tersebut maka kelompok tertarik untuk membahas tentang ASKEP pada tetanus.
  • 5. 1.2 Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan makalah ini adalah: 1. Mengetahui Pengertian dari Tetanus 2. Mengetahui Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus 3. Mengetahui Patofisiologi dari Tetanus 4. Mengetahui Mengetahui Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus 5. Mengetahui Pemeriksaan Diagnostik pada Tetanus 6. Mengetahui proses pada pasien dengan Tetanus 1.3 Manfaat Adapun manfaat dari penulisan ini adalah untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang penyakit tetanus. Dapat menambah pengetahuan kepada mahasiswa keperawatan tentang penatalaksanaan klien dengan penyakit tetanus.
  • 6. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin. Biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga) (Dorland, 2002). Tetanus adalah salah satu penyakit yang paling beresiko menyebabkan kematian bayi baru lahir. Infeksi tetanus disebabkan oleh sejenis bakteri yang menghasilkan toksin yang mematikan bakteri tersebut tumbuh dalam keadaan yang kotor. Kuman penyebab tetanus adalah Clostridium tetani (Depkes, 2003). Tetanus adalah gangguang neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani (Aru W, 2007). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang menginfeksi atau mengkontaminasi pada luka tusuk/ traumatik yang ditandai dengan gejala kekauan dan kejang otot. Tetanus yang sering terjadi adalah tetanus neonatorum. 2.2 Etiologi Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2–5 x 0,4–0,5 milimikron yang berspora termasuk golongan gram positif dan hidupnya anaerob. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
  • 7. multiplikasi bakteri. Tetanospasmin akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65°C dan akan hancur dalam lima menit. (Ritarwan, 2004) 2.3 Patofisiologi 1. Faktor Resiko a. Lesi kulit kronik (ulkus, abses, gangren) berhubungan dengan diabetes mellitus maupun cedera akut b. Penyalahgunaan narkotika parenteral c. Usia lanjut juga merupakan faktor resiko tetanus karena imunitas menurun seiring bertambahnya umur. Sekitar 50% dewasa tua lebih dari 50 tahun tidak kebal tetanus karena mereka belum divaksinasi atau tidak mendapatkan booster tetanus. d. Pencemaran lingkungan fisik dan biologik e. Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan menyebabkan Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan adalah amat penting bukan sahaja dapat mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit lain. f. Faktor alat pemotongan tali pusat Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat bayi meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir (WHO, 2008). g. Faktor cara perawatan tali pusat Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual
  • 8. untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum (Chin, 2000). h. Faktor kebersihan tempat pelayanan kesehatan Tempat pelayanan kesehatan yang tidak bersih bukan saja berisiko untuk menimbulkan penyakit. Tempat pelayanan kesehatan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril. i. Faktor kekebalan ibu hamil Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir. Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani. Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi TT (Chin, 2000). 2. Faktor Pencetus a. Alergen: • Debu rumah, tungau debu rumah, spora jamur, serpihan kulit binatang seperti kucing, anjing, dan hewan berbulu lainnya • Air liur dan air kencing binatang peliharaan • Debu rumah terdiri dari bermacam alergen, seperti sisa makanan, potongan rambut, kulit binatang, kecoa dan serangga lainnya b. Luka tusuk, gigitan binatang maupun manusia, luka bakar, luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik c. Otitis media purulenta, karies gigi 3. Patogenesis Toksin kuman C. tetani berbentuk spora. Bentuk spora dalam suasana anaerob dapat berubah menjadi kuman vegetatif yang menghasilkan eksotoksin. Toksin ini menjalar intrakasonal sampai ganglin/ simpul saraf dan menyebabkan hilangnya keseimbanngan tonus otot sehingga terjadi kekakuan
  • 9. otot baik lokal maupun menyeluruh. Bila toksin banyak, selain otot bergaris, otot polos dan saraf otak juga terpengaruh. Toksin ini menyebabkan jaringan mati, ditambah dengan adanya benda asing menyebabkan infeksi aktif. Clostridium tetani tidak mencetuskan peradangan (port de entry terabaikan). Toksin terikat terminal neuromotorik perifer menyebabkan masuknya akson menuju sel body batang otak sampai pada medulla spinalis. Toksin melintasi sinaps menuju terminal presinaps, memblok pelepasan neurotransmitter inhibitor Glisin & Gama Aminobutyric Acid (GABA). Terhambatnya inhibisi menyebabkan rigiditas sehingga refleknya terhambat dan spasme meningkat. Bila neuron preganglionik simpatik terkena dapat menyebabkan hiperaktivitas simpatik. (Aru W, 2004) Cara kerja toksin Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu limbik masuk ke sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak antigen, sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh toksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin spesifik. 4. Prognosis Prognosis tetanus diklassikasikan dari tingkat keganasannya, dimana : 1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm ) 2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum 3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi. Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek. Prognosa tetanus neonatal jelek bila: 1. Umur bayi kurang dari 7 hari 2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang 3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
  • 10. 4. Dijumpai muscular spasm. Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus neonatorum > 60%. 2.4 Klasifikasi 1. Tetanus Generalisata Tetanus generalisata merupakan bentuk paling umum dari tetanus yang ditandai dengan kontraksi otot tetanik dan hiperrefleksi, yang mengakibatkan trismus (rahang terkunci), spasme glotis, spasme otot umum, opistotonus, spasme respiratoris, serangan kejang dan paralisis. (Dorland, 2002). Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling sering terjadi (sekitar 80%). Penyakit ini biasanya muncul dalam bentuk descending. Gejala pertama yang muncul adalah trismus dan lockjaw, kemudian diikuti dengan kekakuan leher, kesulitan menelan, dan rigiditas abdomen. Gejala lain berupa Risus sardonicus (Sardonic grin), yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding punggung. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Gejala lainnya adalah suhu tubuh yang meningkat 2º-4º C di atas suhu normal, berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan denyut jantung yang cepat secara episodik. Spasme dapat terjadi secara berkala selama beberapa menit. Spasme dapat berkelanjutan selama 3-4 minggu. Penyembuhan secara komplit dapat memakan waktu selama beberapa bulan. 2. Tetanus Lokal Tetanus lokal termasuk jenis tetanus yang ringan dengan kedutan (twitching) otot lokal dan spasme kelompok otot didekat lokasi cidera, atau dapat memburuk menjadi bentuk umum (generalisata). (Dorland,2002) 3. Tetanus Sefalik Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga seperti otitis media, di mana C. tetani ditemukan sebagai flora pada telinga
  • 11. tengah. Masa inkubasinya 1 – 2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf VII (fasialis). Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi. (Aru W, 2004) 4. Tetanus Neonatorum Tetanus neonatorum adalah suatu bentuk tetanus infeksius yang berat dan terjadi selama beberapa hari pertama setelah lahir, disebabkan oleh faktor-faktor seperti tindakan perawatan sisa tali pusat yang tidak higienis atau pada sirkulasi bayi laki-laki dan kekurangan imunisasi maternal. (Dorland, 2002) 2.5 Stadium Tetanus Berdasarkan Tingkat Keparahannya (Ablett) 1. Derajat I (ringan) Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia. 2. Derajat II (Sedang) Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30 - 35 kali/ menit, disfagia ringan. 3. Derajat IIIa (Berat) Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan, frekuensi pernapasan lebih dari 40 kali/ menit, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120 kali/ menit. Terdapat peningkatan aktivitas saraf otonom yang moderat dan menetap. 4. Derajat IV (Sangat Berat) Derajat IV merupakan derajat IIIb dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskular. Hipertensi berat takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, atau hipertensi diastolik yang berat dan menetap (tekanan diastolik > 110 mmHg) atau hipotensi sistolik yang menetap (tekanan sistolik < 90 mmHg) Dikenal juga dengan autonomic storm. (Aru W,2007)
  • 12. 2.6 Manifestasi Klinis Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3atau beberapa minggu ).Karakteristik tetanus : 1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5-7 hari. Setelah 10 hari frekuensi kejang akan mulai berkurang dan menghilang setelah 2 minggu. 2. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian, timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena spasme otot masetter. 3. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus (badan melengkung ke depan), nuchal rigidity). Kejang ini dicirikan dengan kejang tiba-tiba, tangan mengepal, fleksi dan adduksi lengan, serta hiperekstensi tungkai. 4. Risus sardonicus karena spasme otot wajah dengan gambaran alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat . 5. Spasme otot laringeal dan otot respirasi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas dan asfiksia. 6. Karena toksin tetanus tidak mempengaruhi saraf sensoris atau fungsi kortikal, pasien pada umumnya berada pada compos mentis, dan pada keadaan lanjut, klien akan mengalami penurunan kesadaran pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Dan bila sudah tahap koma, maka penilaian GCS penting untuk dilakukan. (Arif Muttaqin) 2.7 Komplikasi Tetanus 1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air didalam rongga mulut dan keadaan ini memungkinkan terjadinya aspirasi serta dapat menyebabkan pneumonia aspirasi. 2. Asfiksia 3. Atelektasis karena obstruksi secret. 4. Fraktur Kompresi
  • 13. 2.8 Penatalaksanaan 1. Nonfarmakologi • Penderita tetanus harus segera dirujuk ke rumah sakit karena ia harus selalu dalam pengawasan dan perawatan. Sebelum dirujuk lakukanlah hal- hal tersebut di bawah ini. Selanjutnya bila anak yang menderita tetanus selesai dirawat, berikan tetanus toksoid 3 kali dengan jarak waktu 1 bulan. • Pertahankan jalan napas dan jaga keseimbangan cairan. • Segera berikan human tetanus immunoglobulin 5000 IU i.m untuk menawarkan racun yang belum bersenyawa dengan otot. • Bila yang ada hanya ATS suntikkan i.m atau i.v 20.000 – 40.000 IU/hari selama 3 hari atau 20.000 IU/ hari untuk anak-anak selama 2 hari. • Berikan penisilin prokain 2 juta IU i.m pada orang dewasa atau 50.000 IU/ kgBB/ hari selama 10 hari pada anak untuk eradikasi kuman. • Berikan diazepam untuk mengendalikan kejang dengan titrasi dosis : 5 – 10 mg i.v. untuk anak dan 40 – 120 mg/ hari untuk dewasa. • Cegah penyebaran racun lebih lanjut dengan eksplorasi luka dan membersihkannya dengan H202 3%. Port d'entre lain seperti OMSK atau gangren gigi juga harus dibersihkan dahulu. • Untuk menetralisir racun, diberikan immunoglobulin tetanus. Antibiotik tetrasiklin dan penisilin diberikan untuk mencegah pembentukan racun lebih lanjut. Obat lainnya bisa diberikan untuk menenangkan penderita, mengendalikan kejang dan mengendurkan otot-otot. Penderita biasanya dirawat di rumah sakit dan ditempatkan dalam ruangan yang tenang. Pasien dianjurkan dirawat di unit perawatan khusus jika : a. Kejang-kejang yang sukar diatasi dngan obat-obatan antikonvulsan biasa. b. Spasme laring. c. Komplikasi yang memerlukan perawatan khusus seperti sumbatan jalan napas, kegagalan pernapasan, hipertensi dan sebagainya.
  • 14. 2. Farmakologi a. Antibiotika Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari i.m. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit/ kgBB/ 12 jam secara i.m. diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap Peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/ kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit/ kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C. tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi, pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan. b. Antitoksin Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan dosis 3000-6000 unit, satu kali pemberian saja, secara i.m. tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 unit, dengan cara pemberiannya adalah 20.000 unit dari antitoksin dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 unit) diberikan secara i.m. pada daerah pada sebelah luar. c. Tetanus Toksoid Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara i.m. Pemberian TT
  • 15. harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Tabel 4 berikut ini memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka. Tabel 4 : Petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka. ___________________________________________________________ RIWAYAT IMUNISASI Luka Bersih, Kecil, Luka Lainnya ___________________________________________________________ (dosis) Tet. Toksoid (TT) Antitoksin Tet.Toksoid (TT) Antitoksin ___________________________________________________________________ Tidak diketahui ya tidak ya ya 0 – 1 ya tidak ya ya 2 ya tidak ya tidak* 3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak _________________________________________________________________ __ * : Kecuali luka > 24 jam ** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun *** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun d. Antikonvulsan Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang kronik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikasinya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/ muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Tabel 5 : Jenis Antikonvulsan _______ Jenis Obat Dosis Efek Samping __________________________________________________________ Diazepam 0,5 – 1,0 mg/ kgBB/ 4 jam (IM) Stupor, Koma Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan 2.9 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus meliputi: 1. Darah • Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
  • 16. • BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat. • Elektrolit (K, Na): ketidakseimbangan elektroit merupakan predisposisi kejang kalium (normal 3,80-5,00 meq/dl). 2. Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi. 3. EEG: teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktifitas kejang, hasil biasanya normal. 2.10 Pencegahan Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus). Dewasa sebaiknya menerima booster pada seseorang yang memiliki luka, jika: 1. Telah menerima booster tetanus dalam waktu 5 tahun terakhir, tidak perlu vaksinasi lebih lanjut. 2. Belum pernah menerima booster dalam waktu 5 tahun terakhir, segera diberikan vaksinasi. 3. Belum pernah menjalani vaksinasi atau vaksinasinya tidak lengkap, diberikan suntikan immunoglobulin tetanus dan suntikan pertama dari vaksinasi 3 bulanan. Setiap luka (terutama luka tusukan yang dalam) harus dibersihkan secara seksama karena kotoran dan jaringan mati akan mempermudah pertumbuhan bakteri Clostridium tetani. 2.11 Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Data Subjektif 1) Biodata/Identitas Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan,
  • 17. yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan diagnosis keperawatan (Marilynn E. Doenges et al, 1998). Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnosa medis. 2) Keluhan utama Biasaya didapatkan suhu badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran (Muttaqin, Arif. 2011) 3) Riwayat Penyakit Riwayat penyakit yang diderita sekarang: Faktor riwayat penyakit sangat penting untuk diketahui untuk mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Gejala yang timbul, mulainya serangan, bertambah baik atau bertambah buruk, tindakan apa saja yang sudah dilakukan, adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan otak, perubahan perilaku, dan semakin berkembangnya penyakit dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma. Ada beberapa tahap dari serangan tetanus, yaitu: Tahap awal Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung. Tahap kedua Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut. Selain
  • 18. itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka. Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas. Tahap ketiga Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering. Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkansulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan. (selekta,kapita. 2010) Riwayat penyakit sekarang yang menyertai: • System pernafasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot pernafasan. • System cardiovascular : disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awalnya 38 - 40°Catau febris sampai ke terminal 43 - 44°C.
  • 19. • System neurologis : irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir), kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak. • System perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan urine output tidak ada/oliguria) • System pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus. • System integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada tempat luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus, spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan. • Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan kejang umum. ( Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993) Riwayat Penyakit Dahulu - Adanya riwayat trauma kepala, luka tusuk, luka kotor, adanya benda asing dalam luka yang menyembuh, luka yang tertutup debu, luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah, gigi berlubang dengan benda yang kotor, dan caries gigi, menunjang berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin atau OMP yang dibersihkan dengan kain yang kotor. - Adanya imunisasi yang tidak adekuat. Riwayat kesehatan keluarga - Kebiasaan perawatan luka dengan menggunakan bahan yang kurang aseptik. Riwayat sosial - Hubungan interaksi dengan keluarga dan pekrjaannya. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan - Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana. Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi : • Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat • Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan
  • 20. tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis • Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama. • Pola nutrisi Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh klien. • Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak? Bagaimana selera makan anak? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari? • Pola Eliminasi: BAK: ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat kencing. BAB: ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak? Bagaimana konsistensinya lunak, keras, cair atau berlendir? • Pola aktivitas dan latihan • Pola tidur/istirahat • Berapa jam sehari tidur? Berangkat tidur jam berapa? Bangun tidur jam berapa? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang? b. Data Objektif 1. Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36) Pertama kali perhatikan keadaan umum vital: tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan
  • 21. kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi. 2. Pemeriksaan Khusus - Sistem pernafasan: dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot pernafasan. - Sistem kardiovascular: disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awalnya 38 - 40°C atau febris sampai ke terminal 43 - 44°C. - Sistem neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir), kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak. - Sistem perkemihan: retensi urin (distensi kandung kemih dan urin output tidak ada/oliguria) - Sistem pencernaan: konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus. - Sistem integumen dan muskuloskletal: nyeri kesemutan pada tempat luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus, spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan kejang umum. (Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993) 3. Pemeriksaan Fisik Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38-40 C berhubungan dengan proses inflamasi dan toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Bila disertai peningkatan frekuensi pernapasan sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum. Tekanan darah biasanya normal. B1 (Breathing) Inspeksi bila klien batuk, terdapat produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu, dan peningkatan frekuensi pernapasan, disertai dengan adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi toraks terdapat adanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan ditandai dengan ronkhi pada klien dengan
  • 22. peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun. B2 (Blood) Pada sistem kardiovaskular terdapat renjatan (syok hipovolemik), tekanan darah biasanya normal, peningkatan denyut jantung, adanya anemis karena hancurnya eritrosit B3 (Brain) - Tingkat kesadaran: compos mentis, pada tingkat lanjut kesadaran mulai mengalami penurunan pada tingkat letargi, stuor, dan semikomatosa. Jika klien mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran dan pemantauan pemberian asuhan. - Fungsi Serebri (status mental): observasi penampilan dan tingkah laku, gaya bicara, observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada tahap lanjut akan mengalami perubahan Sistem Motorik Kekuatan otak menurun, kontrol keseimbangan, dan koordinasi pada tahap lanjut mengalami perubahan. Pemeriksaan Refleks Pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respon normal Sistem Sensorik Adanya perasaan raba dan nyeri normal, suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. B4 (Bladder) Penurunan volume keluaran urine berhubungan dengan penurunan perfusi dan curah jantung ke ginjal, adanya retensi urine karena kejang dan sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan kateter. B5 (Bowel) Mual, muntah berhubungan dengan peningkatan produksi asam lambung, pemenuhan nutrisi karena anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut, dan spasme otot yang menyebabkan sulitnya BAB
  • 23. B6 (Bone) Adanya kejang sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas sehari-hari, kejang memberikan resiko pada fraktur vertebra pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen (opistotonus). (Muttaqin, Arif. 2011) c. Data Penunjang 1. Darah - Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl) - BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat. - Serum Elektrolit : K, Na Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl ) Natrium ( N 135 – 144 meq/dl ) 2. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi 3. EEG : Elektro Enselografi, teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal. 4. Albumin kurang dari 3,5 mg% 5. Pemeriksaan Gula Darah: Kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa sehingga kadar glukosa darah meningkat. 6. Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia (gangguan irama jantung) ventrikuler 7. WBC Count: Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/l 2.12 Diagnosa Keperawatan Diagnosis keperawatan
  • 24. 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya sekret dalam trachea, kemampuan batuk menurun, ditandai dengan sesak napas, RR meningkat, retraksi ICS, ronkhi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif disertai dengan sputum, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan: AGD abnormal (asidosis respiratorik) 2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin (bakterimia) di jaringan otak ditandai dengan demam, suhu tubuh meningkat menjadi 38-40 C, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000/mm3 3. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan (trismus) ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung, dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg% 4. Resiko cedera yang berhubungan dengan adanya kejang, 5. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit ditandai dengan klien merasa cemas 2.13 Rencana Asuhan Keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret dalam trakhea dan kemampuan batuk menurun ditandai dengan sesak napas,RR meningkat, retraksi ICS, ronkhi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif disertai dengan sputum, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan: AGD abnormal (asidosis respiratorik) Tujuan: dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan bersihan jalan nafas kembali efektif. Kriteria hasil: secara subjektif sesak nafas (-), RR 16-20x/mnt. Tidak menggunakan otot bantu nafas, retraksi ICS (-), ronkhi (-/-),
  • 25. sianosis (-), dyspnea (-), AGD normal (pH=7.35-7,45; PCO2=35-45 mmHg, PO2=80-100 mmHg) Intervensi Rasional Kaji fungsi paru, adanya bunyi nafas tambahan, perubahan irama, dan kedalaman, penggunaan otot-otot tambahan, warna, dan kekentalan sputum Memantau dan mengatasi komplikasi potensial. Penh=gkajian fungsi pernafasan dengan interval yang teratur adalah penting karena pernafasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan, karena adanya kelemahan/paralisis pada otot=otot intercostal dan diafragma yang berkembang dengan cepat Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi atau semi fowler. Peninggian kepala tempat tidur (semi fowler) memudahkan pernafasan, meingkatkan ekspansi dada, dan meningkatan batuk lebih efektif, dan secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respirasi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas. Pemeriksaan fisik: -Auskultasi mendengar suara nafas (adakah ronchi, dyspnea, sianosis) tiap 2 – 4 jam sekali. . -Ronchi menunjukan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau secret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas. -Dyspnea, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama. -Ajarkan cara batuk efektif . -Lakukan fisioterapi dada; fibrasi dada. -Klien berada pada resiko tinggi bila tidak dapat batuk efektif untuk membersihkan jalan nafas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi saliva, dan mencetuskan gagal nafas akut. -Terapi fisik dada membant meningkatkan batuk lebih efektif Penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum air putih dan pertahankan intake cairan 2500ml/hari Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mukus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang dapat banyak keluar dari tubuh. Lakukan penghisapan lendir dijalan nafas Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas
  • 26. menjadi bersih Berikan oksigen sesuai klinis Pemenuhan oksigen terutama pada klien tetanus dengan laju metabolisme yang tinggi Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer secret (mukolotik). Rasional : obat mukolitik dapat mengencerkan secret yang kental sehingga mudah mengeluarkan dan mencegah kekentalan. Obat mukolitik dapat mengencerkan secret yang kental sehingga mudah mengeluarkan dan mencegah kekentalan 2. Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di jaringan otak ditandai dengan demam, suhu tubuh meningkat menjadi 38-40 C, hiperhidrasi sel darah putih lebih dari 10.000/m3 Tujuan : dalam waktu 3x24 jam perawatan suhu tubuh menurun Kriteria hasil : suhu tubuh normal 36-37 C, hasil laboratorium sel darah putih⁰ (leukosit) antara 5000-10.000/mm3 Intervensi Rasional Monitor suhu tubuh klien. Peningkatan suhu tubuh menjadi stimulus rangsang kejang pada klien tetanus. Berikan hidrasi atau minum yang adekuat. Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari demam. Lakukan tindakan teknik aseptic dan antiseptic pada perawatan luka. Rasional: perawatan luka mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka. Beri kompres dingin di kepala dan aksila bila tidak terjadi eksternal rangsangan kejang Memberikan respons dingin pada pusat pengtur panas dan pada pembuluh darah besar dan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi Pertahankan bedrest total selama fase akut Mengurangi peningkatan proses metabolisme umum yang terjadi pada klien tetanus. Kolaborasi -Pemberian obat antibiotik, antipiretik, antibacterial, ATS Obat-obatan antibacterial dapat mempunyai spectrum untuk mengobati bakteri gram positif, atau bakteri gram negative, antipiretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas dan ATS dapat mengurangi dampak toksin terutama jaringan otak dan anti mikroba
  • 27. -Pemeriksaan laboratorium leukosit. dapat mengurangi inflamasi sekunder dari toksin. - Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 100.000/mm3 mengidentifikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan. 3. Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam nutrisi klien terpenuhi. Kriteria hasil : Tidak adanya tanda malnutrisi, BB normal, intake adekuat, hasil pemeriksaan albumin 3,5-5mg% Intervensi Rasionalisasi Kaji kemampuan klien dalam menelan,batuk, dan adanya sekret. Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesuliatan menelan dan kadang timbul reflex balik atau teresedak. Berikan pengertian tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh. Agar termotivasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Auskultasi bowel sound, amati penurunan atau hiperteaktivitas suara bowel. Fungsi gastrointestinaltergantung pula pada kerusakn otak, bowel sound menentukan respons feeding atau terjadinya komplikasi misalnya illeus. Timbang berat badan sesuai indikasi. Untuk mengevaluasi efektivitas dari asupan maknan. Beri makan dengan cara meninggikan kepala. Menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi. Kolaboratif : a. Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar. b. Pemberian carian per IV line Makanan cair, lunak, atau bubur kasar dapat menurunkan resiko tersedak. Bila klien sering kejang berikan makanan lewat NGT. Pemenuhan nutrisi dengan langsung memasukkan ke lambung akan menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi. Pertahankan lingkungan yang tenang dan anjurkan keluarga atau orang terdekat untuk memberikan makanan pada klien. Membuat klien merasa amn sehingga asupan dapat dipertahankan. 4. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan serangan kejang Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam perawatan klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadran. Kriteria hasil : klien tidak mengalami cidera apabila kejang berulang ada.
  • 28. Intervensi Rasionalisasi Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut (trismus), kuduk (epistotonus), dinding perut, tulang belakang Gambaran tribalitas sistem saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi. Persiapan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat klien dan lindungi klien dari cedera dengan menggunakan bantalan pada pagar tempat tidur Pagar tempat tidur melindungi klien terjatuh dari tempat tidur bila kejang terjadi dan adanya bantalanpada pagar tempat tidur dapat menurunkan resiko cedera saat klien kejang. Pertahankan bedrest total selama fase akut. Mengurangi resiko jatuh/terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia terjadi. Kolaborasi pemberian terapi; diazepam, phenobarbital. Untuk mencegah atau mengurangi kejang. Catatan: phenobarbital dapat menyebabkan respiratorius depresi dan sedasi. Pada saat terjadi kejang: Intervensi Rasionalisasi - Selama serangan kejang, jaga privasi klien - Lindungi kepala dengan bantalan, singkirkan semua parabot yang dapat mencederai klien - Masukkan spatel lidah yang diberi bantalan (kapas dibungkus dengan kassa) diletakkan di antara gigi-gigi - Jangan memaksa membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu - Pada saat serangan kejang, miringkan klien dengan kepala fleksi ke depan - Pada saat terjadi kejang, pakaian klien dapat tersingkap, sehingga perlu dijaga privasinya - pada saat kejang barang-barang yang ada di sekitar klien yang mengalami serangan kejang, dapat mencederai klien - Pada saat kejang lidah dapat tergigit. Memasukkan spatel akan mencegah lidah dapat tergigit. - Tindakan ini dapat menyebabkan fraktur pada rahang - Tindakan ini memungkinkan lidah jatuh ke depan, dan memudahkan pengeluaran saliva dan mukus. Jika disediakan pengisap, gunakan ( jika perlu untuk membersihkan sekret) 5. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang berulang. Tujuan : Kecemasan hilang atau berkurang
  • 29. Kriteria hasil : Mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasin penyebab atau faktor yang memengaruhinya, dan menyatakan ansietas berkurang/hilang. BAB III Intervensi Rasionalisasi Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, dampingi klien dan lakukan tindakan bila menunjukan perilaku merusak. Reksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah, dan gelisah. Jelaskan sebab terjadinya kejang. Memberikan dasar konsep agar klien kooperatif terhadap tindakan untuk mengurangi kejang. Hindari konfrontasi. Konfrontasi dapat meningkat rasa marah, menurunkan kerja sama dan mungkin memperlambat penyembuhan. Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat. Mengurangi ransangan eksternal yang tidak perlu. Tingkat kontrol sensasi klien. Kontrol sensai klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respons balik yang positif. Orientasi klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan. Orientasi dapat menurunkan kecemasan. Berikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapan asietasnya. Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan. Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat. Memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurukan perasaan terisolasi.
  • 30. PENUTUP 3.1 Kesimpulan Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris. 3.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan yaitu : 1. Persiapan diri sebaik mungkin sebelum melaksanakan tindakan asuhan keperawatan 2. Bagi mahasiswa diharapkan bisa melaksakan tindakan asuhan keperawatan sesuai prosedur yang ada. DAFTAR PUSTAKA
  • 31. Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika Adams. R.D,dkk : Tetanus in : Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205 - 1207. Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. Diphteria–Pertusis–Tetanus Vaccine Teactogenicity of Cimmercial Products. Pediatricas 1979; 63:256–260. Behrman.E.Richard : Tetanus, chapter 193, edition 15 th, Nelson, W.B.Saunders Company, 1996, 815 -817. Dorland. 2002. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta : EGC. Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam , Jakarta Universitas Indonesia Press, 1990 Thedore.R, Ilmu Bedah, Jakarta, EGC, 1993 Maryln Doengoes, Nursing Care Plan, Edisi III, Philadelpia, 1993 Selekta, Kapita. 2010. Edisi 3. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993
  • 32. KMB : 1 DOSEN : Ns. MUSRIANI, S.Kep. M.Kes TUGAS : MAKALAH “TETANUS” OLEH : NAMA : ROMIATUN NIM : 909.695 TINGKAT : III B AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAH KABUPATEN MUNA TAHUN 2014