1. BUKAN JALAN TENGAH
Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi
Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS
Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama
Tim Penulis
Margiyono, SH.
Muktiono, SH., M.Phil
Dr. Rumadi, MA.
Prof. Dr. Soelistyowati Irianto
The Indonesian Legal Resource Center ILRC
Jakarta, 2010
3. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR vii
PENDAHULUAN
A. Pertimbangan Pembentukan Majelis Eksaminasi ix
B Tujuan Eksaminasi xiii
C. Majelis Eksaminasi xiv
BAGIAN PERTAMA : POSISI KASUS
A. Sekilas UU No. 1/PNPS/1965 1
B. Permohonan Uji Materiil UU No.1/PNPS/1965 8
C. Proses Persidangan
1. Keterangan Presiden/ Pemerintah: ”Bukan Kebe-
basan Sebebas-bebasnya” 11
2. Keterangan DPR RI: ”Tidak Merencanakan
Perubahan ataupun Penggantian UU Penodaan
Agama” 13
3. Keterangan Saksi: ”Tidak Ada Sumpah Pancasi-
la!” 14
4. Keterangan Ahli: ”UU Penodaan Agama Memiliki
Masalah” 15
5. Keterangan Pihak Terkait: ”Antara Dipertahankan,
Revisi atau Dicabut” 22
D. Teror, Intimidasi, Kekerasan, dan Pengerahan Massa
1. Stigma PKI, Atheis dan Penganut Kebebasan
Tanpa Batas 26
2. Teror dan Intimidasi 28
3. Kekerasan terhadap Ahli, Saksi dan Kuasa Pemo-
hon 32
4. iv B u kan Jal an Teng ah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965
4. Mobilisasi dan Tekanan Massa 34
5. Pernyataan Ketua MK Sebelum dan Sesudah
Putusan 36
E. Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Alasan-Alasan Penolakan Permohonan 39
2. Alasan berbeda (concurring opinion) Hakim Har-
jono 42
3. Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim
Maria Farida Indrati. 42
BAGIAN KEDUA : KERANGKA KONSEPTUAL
A. Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
1. Delapan Elemen Hak Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan 46
2. Pembatasan Hak Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan 47
3. Larangan Diskriminasi dan Hasutan Kebencian
Keagamaan 50
B. Hak Kebebasan Berekpresi
1. Sejarah Hak Atas Kebebasan Berekpresi 52
2. Pembatasan Hak Kebebasan Berekspresi 54
C. Penistaan Agama (Blasphemy), Penodaan Agama
(Defamation of Religion), Ajaran Menyimpang (Her-
esy) dan Penyebaran Kebencian (Hate Speech) 55
1. Pengertian Blasphemy, Sejarah dan Pengaturan di
Beberapa Negara 55
2. Penodaan Agama (Defamation of Religion) 59
3. Ajaran Menyimpang (Heresy) 61
4. Penyataan Kebencian (Hatred Speech) 62
D. Perlindungan Hak-Hak Minoritas
1. Pengertian Minoritas dan Kelompok Rentan 64
2. Hak-Hak Minoritas 67
3. Perlakuan Khusus (Affirmative Action) 70
5. Daf t ar Is i v
BAGIAN KETIGA : ANALISIS PUTUSAN MAH-
KAMAH KONSTITUSI
A. “Jalan Tengah” Mahkamah Konstitusi
1. Mahkamah Dalam Bayang-Bayang Ketakutan 74
2. ”Jalan Tengah” Hakim Harjono 78
3. Mahkamah Melegitimasi Ideologi Politik Piagam
Jakarta 81
B. Mahkamah Menyeret Indonesia memasuki Era Ke-
munduran HAM 86
C. Perspektif Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyaki-
nan
1. Mahkamah Tidak Melihat Keterkaitan Penodaan
Agama dengan Hak Kebebasan Beragama/Ber-
keyakinan 88
2. Mahkamah Memberi Jalan Intervensi Negara
Terhadap Agama 90
3. Mahkamah Konstitusi tidak mampu membedakan
penodaan agama (defamation of religion) dan
penyebaran kebencian (hatred speech) 92
4. Mahkamah Tidak Memperhatikan Fakta-Fakta
Diskriminatif Pemberlakuan UU Penodaan Agama 93
5. Mahkamah Mengikuti Paham Politik Keagamaan
“Media Dakwah” dan “Suara Hidayatullah” 97
D. Perspektif Hak Kebebasan Berekpresi
1. Mahkamah Tidak Mempertimbangkan Amicus
Curie Kebebasan Berekpresi 99
2. Mahkamah Tidak Memperhatikan Perkembangan
Hukum Internasional 102
E. Perlindungan Hak-Hak Minoritas
1. Mahkamah Tidak Mampu Melihat Kerentanan
Kelompok Minoritas 103
2. Mahkamah Tidak Memberikan Affirmative Action
Pada Kelompok Minoritas 105
6. vi B u kan Jal an Teng ah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965
BAGIAN KEEMPAT : KESIMPULAN DAN REKO-
MENDASI
A. KESIMPULAN 109
B. REKOMENDASI 109
BAGIAN KELIMA : PENUTUP 111
DAFTAR PUSTAKA 113
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Anotasi Putusan UU No. 1/PNPS/1965 Ten-
tang Pencegahan Penodaan Agama Dilihat dari Hak
Atas Kebebasan Berekspresi
Oleh : Margiyono 117
Lampiran 2 : Prospek Umat Minoritas dalam Kerapuhan
Hukum dan Tafsir Konstitusi
Oleh : Muktiono, SH. M.Phil. 143
Lampiran 3 : Antara Kebebasan dan Penodaan Agama:
Menimbang Kembali Putusan Mahkamah Konstitusi
Oleh : Rumadi 159
Lampiran 4 : Mengapa Ditolak Seruan ”Membawa”
Bangsa Indonesia yang Berkeadilan Hukum dan
Berkeadilan Sosial?
Oleh : Sulistyowati Irianto 185
PROFIL MAJELIS EKSAMINASI 198
PROFIL ILRC 199
7. KATA PENGANTAR
MENGAWASI MAHKAMAH KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga negara
yang dibentuk sebagai jawaban atas praktik penyelewengan
konstitusi yang melembaga semasa Orde Baru. Ia mengem-
ban misi besar membangun konstitusionalitas Indonesia dan
budaya sadar berkonstitusi. Di usia mudanya, MK telah men-
jadi tumpuan baru bagi usaha penghormatan hak-hak kon-
stitusional dan tumbuh menjadi lembaga yang populer dan
disegani.
Dilihat dari kepentingan penegakan konstitusi, MK
adalah lembaga yang sangat strategis. Melalui kewenang-
an untuk menguji undang-undang, MK memiliki pengaruh
yang begitu besar pada arah politik hukum di Indonesia. Ia
memiliki dua potensi strategis sekaligus, yaitu menegakkan
konstitusionalitas dan sekaligus memiliki potensi untuk me-
robohkannya. Sekalipun MK dirancang untuk menjadi lem-
baga yang memiliki kekuasaan kehakiman yang merdeka,
sebagaimana praktik ketatanegaraan yang ada, kinerja MK
pada periode tertentu sangat dipengaruhi oleh integritas dan
profesionalitas para hakimnya. Para hakim konstitusi bukan-
lah para malaikat yang turun dari langit. Para hakim konsti-
tusi diusulkan oleh tiga lembaga tinggi negara, yaitu DPR,
MA dan Presiden. Oleh karena itu, tidak bisa diingkari jika
kualitas dan figur hakim-hakim konstitusi akan senantiasa
merefleksikan kepentingan tiga lembaga negara tersebut.
Jadi begitu banyak faktor yang memungkinkan lembaga ini
melahirkan keputusan-keputusan yang justru membahaya-
kan konstitusi, mencederai demokrasi dan penghormatan
hak asasi manusia. MK juga tidak bisa membebaskan dirinya
dari logika kekuasaan yang senantiasa memiliki kecenderu-
ngan untuk disalahgunakan.
Pada akhirnya setiap hakim akan diuji dan dinilai dari
8. viii B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
keputusan-keputusan yang telah mereka buat. Demikian
juga halnya dengan MK, kredibilitas lembaga sangat tergan-
tung pada kualitas dan integritas para hakimnya. Oleh karena
itu, setiap usaha masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan
kekuasaan kehakiman di MK perlu dihargai dan didukung.
Demikian juga dengan apa yang telah dilakukan oleh ILRC
bersama para intelektual dalam melakukan kajian kritis da-
lam bentuk eksaminasi terhadap Putusan MK tentang UU
Pencegahan/Penodaan Agama. Para intelektual yang terlibat
di dalam Majelis Eksaminasi adalah mereka yang kompeten
di bidangnya masing-masing. Mereka adalah: Dr. Rumadi,
Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Margiyono,S.H., dan Muktiono,
S.H., MA. Kepada mereka patut diberikan penghargaan yang
setinggi-tingginya atas komitmennya untuk terus memper-
juangkan prinsip-prinsip kebebasan beragama. Penghargaan
serupa juga patut diberikan kepada kawan-kawan eksekutif
ILRC yang dengan komitmen tingginya telah mampu mem-
fasilitasi berlangsungnya eksaminasi ini hingga akhir.
Eksaminasi ini sendiri dilakukan semata-mata sebagai
kontribusi ILRC untuk ikut menegakkan konstitusi dan ikut
menegakkan martabat MK sebagai Pengawal Konstitusi.
Penerbitan dan penyebarluasan hasil eksaminasi ini kepada
publik, selain dimaksudkan untuk menyebarluaskan semua
pedebatan yang termuat di dalamnya, juga untuk mendorong
berkembangnya sikap kritis dan replikasi inisiatif serupa di
masyarakat.
Selamat Membaca
Indonesian Legal Resource Centre (ILRC)
Ketua Dewan Pengurus
Dadang Trisasongko
9. PENDAHULUAN
A. PERTIMBANGAN PEMBENTUKAN MAJELIS
EKSAMINASI
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah
negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) yang demok-
ratis dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat),
oleh karenanya tuntutan akan adanya suatu kekuasaan ke-
hakiman yang merdeka (independen), berwibawa, bersih,
dan jujur harus secara konsekuen diwujudkan.
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga ne-
gara baru sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indo-
nesia. Lahirnya MK didasarkan perubahan mendasar sistem
ketatanegaraan Indonesia, yaitu beralihnya supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) kepada supremasi hukum.
Perubahan ini memerlukan mekanisme institusional dan kon-
stitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi
kemungkinan sengketa antar lembaga negara yang mempu-
nyai derajat yang sama serta saling mengimbangi dan saling
mengendalikan (checks and balances).
MK didirikan berdasarkan amandemen Pasal 24 ayat
(2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945,
dengan kewenangan: 1) menguji undang-undang terhadap
UUD 1945, 2) memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, 3)
memutus pembubaran partai politik, dan 4) memutus perse-
lisihan tentang hasil pemilihan umum. Putusan MK bersifat
final, yaitu memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan
dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum dan tidak ada
upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan terse-
but. Karena kewenangannya tersebut MK disebut sebagai
“the guardian of the constitution” (pengawal konstitusi).
Untuk mewujudkan MK sebagai kekuasaan kehakiman
10. x B u kan Jal an Tengah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965
yang mandiri diperlukan keterlibatan dan partisipasi publik
untuk mengontrol kewenangannya. Salah satu bentuknya
adalah dengan membentuk lembaga eksaminasi yang in-
dependen, yang dikenal dengan Majelis Eksaminasi. Maje-
lis Eksaminasi dibentuk untuk melakukan verifikasi terhadap
proses persidangan yang memperoleh perhatian luas dari
masyarakat/publik, belum mempertimbangkan secara op-
timal penerapan ilmu pengetahuan hukum dan HAM dalam
pengambilan putusan dan tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Majelis Eksaminasi melakukan pengujian ber-
dasarkan kompetensi keilmuan (ilmiah) atau akademik dan
tidak berpretensi untuk menguji kembali fakta hukum. Oleh
sebab itu, Majelis Eksaminasi bersifat independen, objek-
tif dan ilmiah, transparan, dan bertanggungjawab terhadap
publik dan dirinya sendiri (hati nurani).
Uji Materi UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgu-
naan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya disebut UU
Penodaan Agama) terhadap UUD 1945 mendapatkan perha-
tiaan publik yang luas, baik di tingkat lokal, nasional, maupun
Internasional. Para pihak yang pro maupun kontra memo-
bilisir dukungan baik didalam proses persidangan, media
massa, maupun aksi unjuk rasa. Persidangan diwarnai pula
sejumlah kekerasan, intimidasi dan teror kepada para pemo-
hon, kuasa pemohon dan ahli-ahli yang mendukung pencab-
utan UU Penodaan Agama.1 Untuk membahas permohonan
ini, MK di luar kebiasaannya menyelenggarakan rapat koor-
dinasi sebelum persidangan, menghadirkan ahli sendiri, dan
mendengarkan keterangan dari pihak-pihak yang dinilai MK
terkait. Persidangan berlangsung 12 kali yang dilaksanakan
secara marathon, dengan menghadirkan 49 ahli - 16 ahli di-
1) Intimidasi dan teror menimpa Ahli yaitu Ulil Abshar, Lutfi Asyaukani, Garin Nu-
groho, dan Yunianti Chuzzifah. Sedangkan kekerasan menimpa pengunjung sidang yaitu
Noval dan Sidiq, kuasa pemohon yaitu Nurkholis Hidayat dan Uli Parulian Sihombing pada
Rabu, 24 Maret 2010. Aksi pelemparan batu dan buah mengkudu terjadi pada Kantor
LBH Jakarta, Jl.Diponegoro No. 74, alamat Tim Advokasi Kebebasan Beragama.
11. Pend ahuluan xi
hadirkan MK -saksi, dan pihak terkait.
Banyak pihak berharap MK membuat terobosan baru
untuk mengatasi kekalutan pengaturan negara atas agama.
Sebagai sebuah negara-bangsa (nation state), negara berke-
wajiban untuk melindungi seluruh warganya, tanpa melihat
latar belakang agama, kesadaran individu, keyakinan politik,
ras, jenis kelamin dan suku. Siapa saja yang mengakui dan
tinggal di bumi Indonesia, wajib dilindungi. Konstitusi Indo-
nesia dengan lugas menjamin kebebasan setiap penduduk-
nya untuk memeluk agama dan keyakinannya.2 Namun, pada
akhirnya MK memutuskan bahwa UU Penodaan Agama tidak
bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional) dan tetap
dipertahankan
Terhadap putusan tersebut, kuasa hukum pemohon
menilai MK telah gagal menjadi pilar keempat demokrasi dan
perlindungan HAM di Negara Indonesia. Penilaian tersebut
disimpulkan dari: 1) MK memanipulasi fakta persidangan, 2)
MK telah mengambil pertimbangan subyektif tanpa berdasar
fakta persidangan dan alat bukti, dan 3) MK telah menolak
teori ketatanegaraan universal tentang negara hukum (recht-
staat). Melalui keputusan tersebut MK telah memberikan le-
gitimasi bagi Negara untuk melakukan tindak diskriminasi
kepada penghayat kepercayaan dan kelompok minoritas
keyakinan (agama dan kepercayaan) lainnya, dan untuk me-
nentukan pokok-pokok ajaran agama di Indonesia. Di sisi
lain, putusan ini dinilai akan memberikan angin segar kepada
kelompok garis keras untuk melakukan tindak kekerasan ter-
hadap kelompok agama/keyakinan minoritas.3
Pasca putusan, berbagai pandangan tentang jaminan
hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indo-
2) Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap pen-
duduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu”.
3) “Hakim Mahkamah Konstitusi Gagal Menjadi Pilar ke-4 Demokrasi dan Perlindungan
HAM”, Siaran Pers Pemohon Uji Materiil UU No. 1/PNPS/1965, tanggal 20 April 2010
12. xii B u kan Jal an Tengah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965
nesia bermuncul. Hal ini tidak terlepas dari argumen-argu-
men MK dalam menopang keputusannya. MK lebih banyak
mendasarkan argumennya atas ketakutan adanya konflik di
masyarakat, meninggalkan argumen-argumen konstitusi dan
hak asasi manusia yang berlaku universal dan telah menjadi
komitmen negara Indonesia. Di sisi lain, pelanggaran terha-
dap hak kebebasan beragama meningkat seperti penyerang-
an Ahmadiyah di Manis Lor,4 Penyerangan Gereja HKBP
Bekasi,5 Penyerangan dan Pembakaran Pemukiman Ahmadi-
yah di Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kabupaten Bogor,6 dan
penutupan sejumlah gereja.7 Penyerangan terjadi pula den-
gan tujuan menghentikan kegiatan-kegiatan pendidikan HAM
yang diselenggarakan Komnas HAM8 dan Anggota DPR.9
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dibentuklah Maje-
lis Eksaminasi Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 Perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Ten-
tang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
4) Penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Manis Lor terjadi pada
tanggal 28-29 Juli 2010. Penyerangan berawal dari surat perintah penyegelan tempat iba-
dah Jemaah Ahmadiyah, yaitu masjid An Nur oleh Bupati Kuningan, dengan alasan jemaah
Ahmadiyah dianggap meresahkan di wilayah Kuningan.
5) Penyerangan terhadap Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), yang me-
nyebabkan Pendeta Hasian Lumbantoruan Sihombing dan Luspida Simanjuntak terluka
karena penusukan. Penyerangan dipicu oleh rencana pendirian gereja HKBP di Ciketing,
Bekasi.
6) Penyerangan dan Pembakaran pemukiman Ahmadiyah di Cisalada terjadi pada
tanggal 1 Oktober 2010. Penyerangan dilakukan oleh 1000 orang yang menyebabkan
belasan rumah hancur, mobil, dua rumah dan satu mesjid terbaka
7) Terjadi 10 peristiwa terkait dengan penutupan gereja dan sarana agama kristen.
Untuk lebih lanjut tentang penutupan gereja silahkan akses http://www.pgi.or.id/Penutu-
pan2010.html
8) Pembubaran paksa ”Pelatihan HAM untuk Waria” yang diselenggarakan Komnas
HAM, dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan diri LPI (Laskar Pembela
Islam) di Hotel Bumi Wiyata Depok, 30 April
9) Pertemuan Anggota DPR RI yaitu Ribka Tjiptaning (Ketua Komisi IX Bidang Kes-
ehatan), Rieke Diah Pitaloka ( dan Nursuhud (Anggota DPR RI) untuk sosialisasi kesehatan
gratis di kota Banyuwangi, Jawa Timu pada tanggal 21 Juni 2010, dibubarkan oleh Front
Pembela Islam (FPI) dilakukan FPI Banyuwangi bersama Forum Umat Beragama dan LSM
Gerak.
13. Pend ahuluan xiii
B. TUJUAN EKSAMINASI
Eksaminasi Publik ini secara umum bertujuan untuk
mendorong partisipasi publik untuk melakukan pengkajian,
pengkritisan, dan penilaian secara obyektif atas putusan MK.
Secara khusus, eksaminasi publik ini bertujuan untuk me-
nguji:
a. Ketepatan dan konsistensi MK dalam menerap-
kan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum baik hukum
materiil maupun formil dalam pengujian permohonan
tersebut.
b. Perspektif MK dalam memahami konsep hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan men-
dasarkan pada jaminan konstitusi dan kesesuaian de-
ngan standar norma-norma hak asasi manusia interna-
sional.
c. Kualitas putusan MK, khususnya penerapan asas
dan prinsip-prinsip hak asasi manusia
Sedangkan tujuan jangka panjang dari hasil eksami-
nasi ini adalah :
a. Hasil eksaminasi menjadikan bahan kajian akademik
yang dapat dijadikan bahan ajar terutama di Fakultas
Hukum;
b. Mendorong para hakim untuk meningkatkan inte-
gritas moral, kredibilitas, intelektualitas, dan profesio-
nalitasnya dalam menguji konstitusionalitas undang-
undang dengan menggunakan persfektif HAM; dan
c. Mendorong advokasi hak atas kebebasan beragama
dan berkeyakinan di Indonesia baik dalam wilayah le-
gislasi, administrastif maupun penegakan hukum.
14. xiv B u kan Jal an Teng ah: Has il Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
C. MAJELIS EKSAMINASI
Untuk menjaga agar hasil pengujian dan penilaian (pu-
tusan) yang dilakukan oleh Majelis Eksaminasi dapat diper-
caya dan dipertanggung jawabkan, maka susunan anggota
Majelis Eksaminasi tersebut terdiri dari orang-orang yang
memiliki perhatian yang besar terhadap hukum dan pene-
gakan hukum serta yang memiliki basis keilmuan di bidang
ilmu hukum, HAM, ilmu sosial atau berpengalaman dalam
praktek penegakan hukum.
Majelis Eksaminasi tersebut terdiri dari beberapa unsur
yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Akademisi dan
Praktisi, yang diharapkan mempunyai posisi obyektif, tidak
memihak dengan kasus yang akan dieksaminasi dan tidak
mempunyai kepentingan, atau hubungan atau keterkaitan
langsung atau tidak langsung dengan kasus yang akan diek-
saminasi. Majelis Eksaminasi yang ditetapkan oleh Tim Panel
adalah 1) Prof. Dr.Soelistyowati Irianto, 2) Dr.Rumadi, MA, 3)
Margiyono, SH, dan 4) Muktiono, SH,M.Phil.
Majelis Eksaminasi melakukan kajian terhadap putu-
san MK dari berbagai persfektif, sesuai dengan keahliannya
masing-masing. Prof. Dr. Soelistyowati Irianto, menganalisa
putusan melalui paradigma pluralisme hukum/studi hukum
kritis, Margiyono,SH menganalisa putusan berdasarkan prin-
sip kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat (free-
dom of ekspresion), Dr. Rumadi, MA menganalisa putusan
dari persfektif hak kebebasan beragama, dan Muktiono, SH,
M.Phil menganalisa putusan dari aspek perlindungan terha-
dap kelompok minoritas dan aspek kesetaraan. Metode yang
digunakan dalam kajian adalah metode interdisipliner, se-
bagai perbandingan terhadap metode yang digunakan oleh
MK.
15. Bagian Pertama
POSISI KASUS
A. SEKILAS UU PENODAAN AGAMA
UU ini awalnya hanya berbentuk Penetapan Presiden
(Penpres) Nomor 1 Tahun 1965 yang dikeluarkan Soekarno
pada 27 Januari 1965. Lahir dari situasi saat itu dimana ”ham-
pir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau
organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat
yang bertentangan dengan nilai-nilai agama”. Situasi ini telah
menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan na-
sional, menyalahgunakan dan atau mempergunakan agama,
dan menodai agama. Dan perkembangan aliran dan organ-
isasi kebatinan dianggap telah berkembang ke arah mem-
bahayakan agama-agama yang ada.1 Hal ini tercermin dari
laporan Departemen Agama (Depag) yang melaporkan pada
tahun 1953 terdapat lebih dari 360 kelompok kebatinan di se-
luruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkan peran me-
nentukan hingga pada pemilu 1955, partai-partai Islam gagal
meraih suara mayoritas.2 Penpres ini merupakan bagian dari
gagasan Nasakom3 Presiden Soekarno untuk memobilisasi
kekuatan-kekuatan nasionalisme, agama, dan komunisme
demi meningkatkan kekuatan politiknya. Sehingga konfigurasi
politik pada era demokrasi terpimpin yang otoriter, sentralis-
tik dan terpusat di tangan Presiden Soekarno. Menyebabkan
produk-produk hukum yang diciptakan pada masa tersebut
juga bersifat otoriter dan sentralistik, tidak terkecuali UU Pe-
1) Penjelasan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965
2) Budhi Munawar Rachaman, Membela Kebebasan Beragama, Percakapan tentang
Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme (Buku 2), LSAF dan Paramadina, Januari 2010, hala-
man xviii
3) Nasakom adalah singkatan Nasionalisme, Agama dan Komunisme
16. 2 B u kan Jal an Tengah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965
nodaan Agama.4
UU Penodaan Agama sendiri terdiri dari empat pasal.
Pasal 1 merupakan inti dari UU, yang melarang setiap orang
yang dengan sengaja di muka umum untuk:
1. menceritakan,menganjurkan atau mengusahakan dukung-
an umum untuk melakukan penafsiran yang menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia;
2. menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukung-
an umum melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut
di Indonesia;
Pasal 25 dan 36 merupakan mekanisme pelaksanaan
pasal 1, baik melalui tindakan administratif berupa peringa-
tan keras dan pembubaran organisasi dan pernyataan se-
bagai organisasi terlarang, maupun pidana selama-lamanya
lima tahun. Sedangkan pasal 47 merupakan kriminalisasi
bagi setiap orang yang dengan sengaja di muka umum me-
ngeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada
4) Permohonan Uji Materiil UU No.1/PNPS/1965, halaman 4
5) Pasal 2 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Barang siapa melanggar ketentuan terse-
but dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya
itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri.” Dan Pasal 2 ayat (2) “Apabila pelangaran tersebut dalam ayat (1) dilaku-
kan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia
dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut seba-
gai Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari
Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.”
6) Pasal 3 selengkapnya berbunyi: “Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri
Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presi-
den Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau
aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang,
penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.”.
Pasal 4 (156a KUHP) selengkapnya berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penya-
lahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
7) Pasal 4 (156a KUHP) selengkapnya berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penya-
lahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
17. Pos is i Kas us 3
pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau peno-
daan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Pasal
4 ini selanjutnya ditambahkan dalam KUHP menjadi Pasal
156a dibawah Bab V yang mengatur tentang “Kejatahan ter-
hadap Ketertiban Umum.”
UU ini memberi kewenangan penuh kepada negara
untuk: 1) melalui Depag menentukan “pokok-pokok ajaran
agama”; 2) menentukan mana penafsiran agama yang di-
anggap “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama” dan
mana yang tidak; 3) jika diperlukan, melakukan penyelidikan
terhadap aliran-aliran yang diduga melakukan penyimpang-
an, dan menindak mereka. Dua kewenangan terakhir dilak-
sanakan oleh BAKORPAKEM,8 yang semula didirikan di De-
pag pada tahun 1954 untuk mengawasi agama-agama baru,
kelompok kebatinan dan kegiatan mereka. Namun, semenjak
1960 tugas dan kewenangan diletakkan di bawah Kejaksaan
Agung.9 Sampai dengan tahun 1999, Kejaksaan di berbagai
daerah telah mengeluarkan 37 keputusan tentang aliran ke-
percayaan/keagamaan, dan kepolisian menyatakan 39 aliran
kepercayaan dinyatakan sesat.10
Permasalahan lain, dalam penjelasan Pasal 1, mem-
berikan pengertian mengenai “agama yang dianut di Indo-
nesia” yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong
Hu Cu (Confusius). Keenam agama tersebut mendapat ban-
tuan dan perlindungan. Sedangkan bagi agama-agama lain,
misalnya: Yahudi, Zaratustrian, Shinto, dan Thaoism tidak
dilarang di Indonesia. Agama-agama tersebut mendapat ja-
minan penuh oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dan agama-
8) Keputusan Jaksa Agung RI no. KEP 108/ J.A./ 1984 tentang pembentukan tim
Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Keputusan Jaksa Agung ini mer-
upakan landasan dari berdirinya Team koordinasi PAKEM (Team Koordinasi Pengawas
Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang dibentuk dari tingkat pusat sampai dengan tingkat
kabupaten. Team Pakem di tingkat Pusat terdiri dari unsur Depdagri, Departemen Pen-
didikan dan Kebudayaan, Kejaksaan Agung, Departemen Agama, Departemen Kehaki-
man, MABES ABRI, BAKIN dan Mabes Polri.
9) Uli Parulian Sihombing dkk, “Menggugat Bakor Pakem: Kajian Hukum Terhadap
Pengawasan Agama dan Kepercayaan”, ILRC, Jakarta, 2008.
10) Ibid, halaman 109 - 117
18. 4 B u kan Jal an Tengah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965
agama tersebut “dibiarkan adanya”, asal tidak menggang-
gu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini
atau peraturan perundangan lain. Penjelasan ini selanjutnya
ditafsirkan bahwa 6 (enam) agama tersebut sebagai agama
yang diakui dan mendapatkan perlindungan dari penyalah-
gunaan dan penodaan agama, mendapat fasilitas-fasilitas
dari negara dan menjadi kerangka berpikir dalam penyeleng-
garaan negara.
Di sisi lain untuk agama-agama lokal, penganut ke-
percayaan/kebatinan dalam penjelasan UU dinyatakan “Ter-
hadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha me-
nyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan kearah
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Pengkategorian ini tidak ter-
lepas dari definisi “agama” yang diajukan Depag yaitu harus
memuat unsur-unsur (1) Kepercayaan terhadap Tuhan YME,
(2) Memiliki Nabi, (3) Kitab Suci, (4) Umat, dan (5) Suatu sistem
hukum bagi penganutnya.11 Pendefinisian ini sendiri tidak ter-
lepas dari konstelasi politik pada masa itu, dimana Badan
Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI) pada tahun
1957 mendesak Soekarno untuk mengakui secara formal ke-
batinan setara dengan agama. Akibat pendefinisian ini, maka
kelompok kepercayaan, kebatinan, atau agama adat tidak
tercakup didalamnya, sehingga mereka digolongkan sebagai
“belum beragama”. Definisi ini diperkuat dengan keluarnya
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/1978,
yang antara lain menyebutkan agama yang diakui oleh pe-
merintah adalah Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha.12
Selanjutnya keberadaan aliran kebatinan/kepercayaan/
agama adat diakui semenjak dicantumkan dalam GBHN
1978 yang diwadahi dalam ”Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa”. Keberadaannya tidak merupakan agama,
dan untuk pembinaannya dilakukan:
11) Budhi Munawar Rachaman, op.cit, halaman xviii
12) Musdah Mulia, Hak Kebebasan Beragama, dalam Islam dan HAM, Konsep dan Im-
plementasi, Naufan Pustaka, Jakarta, 2010, halaman 44
19. Pos is i Kas us 5
”agar tidak mengarah kepada pembentukan agama baru
dan untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang
perlu, agar pelaksanaan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, benar-benar sesuai dengan dasar Ketu-
hanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab”.13
Hal sama masih terdapat dalam GBHN 1998 yang
menyebutkan :
”Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya
suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui keru-
kunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan
Tuhan YME terus dimantapkan pemahaman bahwa ke-
percayaan terhadap Tuhan YME adalah bukan agama dan
oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak meng-
arah pada pembentukan agama baru dan penganutnya
diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang
diakui oleh negara. Pembinaan penganut kepercayaan
terhadap Tuhan YME merupakan tanggungjawab peme-
rintah dan masayarakat.”14
Akibatnya para penganut kepercayaan, kebatinan
atau agama lokal menjadi sasaran penyebaran ”agama-
agama diakui” atau ”dikembalikan ke agama induknya”. Hal
ini misalkan menimpa Agama Tolotang yang dipaksa men-
jadi Hindu, seperti halnya Hindu di Bali.15 Agama Kaharingan
digabungkan atau diintegrasikan ke dalam Agama Hindu.16
Akibatnya penganut kepercayaan, kebatinan dan agama adat
13) GBHN 1993 Bab IV F “Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”,
butir 6
14) Penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
15) Proses ini didasarkan kepada SK Depag No.6 tahun 1966 yang menunjuk Dirjen
Bimbingan Masyrakkat Beragama Hindu dan Budha untuk melakukan pembinaan serta
penyuluhan terhadap umat Hindu Tolontang. Vide Musda Musliah, “Menuju Kebebasan
Beragama di Indonesia,” dalam Chandra Setiawan (Ed) “Kebebasan Beragama atau Ber-
keyakinan di Indonesia,” Komnas HAM, Jakarta, 2006, halaman 52-53
16) SK Menag kepada Kakanwil Depag Kalimantan Tengah No.MA/203/1980 perihal
penggabungan atau integrasi Penganut Kaharingan ke dalam Agama Hindu.
20. 6 B u kan Jal an Tengah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965
untuk mendapatkan hak-hak dasarnya harus menundukkan
diri ke dalam salah satu dari enam agama.
Bagi yang tidak menundukkan diri, maka mereka ke-
hilangan haknya untuk mendapatkan identitas seperti KTP,
dan dilarang untuk menyatakan agamanya dalam surat-su-
rat resmi. Demikian halnya perkawinan yang dilangsungkan
menurut keyakinan atau adat tidak dianggap sah.17 Sehingga
selanjutnya kelahiran anak-anak dianggap sebagai anak luar
kawin, dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan
ibunya saja. Hal ini membawa akibat tidak dipenuhinya hak-
hak yang lain, seperti pendidikan, kesehatan, kesempatan
kerja yang sama,18 kesempatan menduduki jabatan-jabatan
publik, maupun pemakaman sesuai agamanya.
Secara khusus Komnas Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) menilai UU ini telah me-
langgar hak perempuan, khususnya hak untuk untuk be-
bas dari kekerasan berbasis gender, hak perempuan untuk
berkeluarga dan melanjutkan keturunan, Hak perempuan
atas penghidupan yang layak, hak perempuan atas keseha-
tan reproduksi.19
UU Penodaan Agama digunakan pula untuk men-
ghukum orang-orang yang menganut agama turunan dari
agama-agama yang diakui. Seperti Jamaah Ahmadiyah Indo-
nesia (JAI) karena dinilai melakukan “kegiatan yang menyim-
pang dari pokok-pokok ajaran islam” mengalami persekusi,
dan dilegitimasi dengan SKB Tiga Menteri. UU Penodaan
Agama mengkriminalkan para penganut agama yang secara
damai meyakini dan melaksanakan agama atau keyakinan-
nya. Sepanjang tahun 2003–2008, lebih dari 150 orang di-
17) Pasal 2 Ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan “Perkaw-
inan sah bila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing”. SE Mendagri
No. 158 tahun 1985 menafsirkan bahwa “kepercayaan” tidak dimaksudkan dengan kel-
ompok penghayat kepercayaan, dan karena bukan agama yang diakui dalam UU No.1/
PNPS/1965 maka UU No.1 Tahun 1974 tidak mengikat mereka. Jika ingin dicatatkan,
maka harus menundukkan diri ke dalam salah satu agama yang diakui.
18) Saksi Saldi, tidak bisa menjadi anggota ABRI karena agamanya adalah Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan YME
19) Hasil pemantauan Komnas Perempuan dan disampaikan dalam Sidang MK
21. Pos is i Kas us 7
tangkap, ditahan, dan diadili berdasarkan Pasal 4 UU Peno-
daan Agama (Pasal 156a KUHP). Diantaranya Lia Aminuddin
alias Lia Eden, yang memperkenalkan dirinya sebagai jel-
maan Jibril, Ardi Husain dan enam Pengurus Yayasan Kanker
Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) yang mengeluarkan sebuah
buku berjudul ”Menembus Gelap Menuju Terang” berisi
kompilasi uraian Al-quran dan hadits; Sumardin Tappayya
yang melakukan shalat bersiul, Yusman Roy yang melaku-
kan Shalat Dwi Bahasa, Mas’ud Simanungkalit menafsirkan
Al-Quran, Rus’an adalah dosen Fakultas Agama Universitas
Muhammadiyah Palu yang menulis artikel berjudul “Islam
Agama yang ‘Gagal’” maupun Mangapin Sibuea, pimpinan
sekte ‘Pondok Nabi’ di Bandung.20
Suasana di luar Gedung MK
(www.wahid institute.org)
20) Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP,
makalah, dan untuk proses persidangan dan latar belakang konflik vide Agustinus Edy
Kristianto (ed), Refleksi Keberagaman Agama, Hukum Sesat dan Menyesatkan Hukum,
YLBHI, Jakarta,2009
22. 8 B u kan Jal an Tengah: Hasi l Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No.1/ P N P S/ 1965
B. PERMOHONAN UJI MATERIIL UU PENODAAN
AGAMA
Permohonan Judicial Review (JR) diajukan pada
tanggal 20 Oktober 2009, dan terdaftar dengan registrasi
Nomor 140/PUU-VII/2009. Alasan pengajuan JR UU Peno-
daan Agama karena dinilai berpotensi melanggar hak kon-
stitusi para pemohon baik badan hukum maupun individu
dalam usaha-usaha perlindungan, pemajuan dan pemenu-
han HAM, mendorong pluralisme dan toleransi beragama
di masyarakat.21 Para pemohon memberikan kuasa kepada
para Advokat dan Pengabdi Bantuan Hukum, yang tergabung
dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama.22
Pada intinya pemohon menuntut UU Penodaan
Agama yang lahir pada era demokrasi terpimpin itu ditinjau
kembali. UU Penodaan Agama dinilai sudah tidak relevan
dengan perkembangan nilai-nilai demokrasi dan HAM, teru-
tama karena telah menjadi hambatan bagi terpenuhinya jami-
nan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. UUD
1945 telah mengalami perubahan mendasar, yaitu dengan
mengintegrasikan ketentuan-ketentuan dari instrumen-instru-
men internasional mengenai HAM. Hal ini terdapat dalam Bab
XA tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28–28 J). Untuk bidang
HAM, Indonesia telah mengesahkan UU No. 39 tahun 1999
tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM yang memperkuat jaminan pemenuhan HAM. Indonesia
juga telah meratifikasi dua kovenan pokok internasional yaitu
Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) melalui
UU No. 11 tahun 2005 dan Kovenan Internasional Hak Sipil
dan Politik (Sipol) melalui UU No. 12 tahun 2005. Sedangkan
perubahan kekuasaan dalam membentuk UU, diatur dalam
21) Permohonan diajukan oleh empat individu yaitu KH Abdurahman Wahid (Alm),
Siti Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq, dan tujuh organisasi
masyarakat sipil, yaitu: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial,
Setara Institute, Demos, Elsam, Desantara, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia
(PBHI).
22) Tim Advokasi Kebebasan Beragama terdiri dari 57 advokat dan pengabdi bantuan
hukum, beralamat di Jl.Diponegoro No.74, Jakarta Pusat
23. Pos is i Kas us 9
UU No.10 tahun 2004 yang memberikan panduan penyusu-
nan UU yang menganut nilai-nilai demokratis. UU Penodaan
Agama merupakan UU yang lahir sebelum perubahan Kon-
stitusi. Oleh karena itu, substansinya sudah tidak sesuai de-
ngan konstitusi dan peraturan perundang-undangan pasca
amandemen konstitusi.
Uji Materil diajukan terhadap lima norma yang terda-
pat dalam Pasal 1-4 UU Penodaan Agama dengan menggu-
nakan sembilan norma dalam UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat
(3),23 Pasal 27 ayat (1),24 Pasal 28D ayat (1),25 Pasal 28E
ayat (1),26 Pasal 28E ayat (2),27 Pasal 28E ayat (3),28 Pasal 28I
ayat (1),29 Pasal 28I ayat (2),30 dan Pasal 29 ayat (2).31 Alasan-
alasan yang diajukan adalah sebagai berikut:32
1. UU Pernodaan Agama bertentangan dengan prinsip
persamaan dalam hukum (equality before the law), Hak
atas kebebasan beragana, meyakini keyakinan, me-
nyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani-
nya dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun.
23) Negara Indonesia adalah Negara Hukum
24) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerin-
tahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
25) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hu-
kum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
26) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tem-
pat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
27) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
28) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat
29) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
30) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dis-
kriminatif itu.
31) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan keyakinannya itu.
32) Resume permohonan Uji Material
24. 10 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
2. UU Penodaan Agama khususnya Pasal 1 menunjukan
adanya pembedaan dan/atau pengutamaan terhadap
enam agama antara lain: Islam, Katolik, Kristen, Hindu,
Budha, dan Kong Hu Cu, dibandingkan dengan agama-
agama atau aliran keyakinan lainnya. Hal mana meru-
pakan bentuk kebijakan diskriminatif yang dilarang.
3. Substansi Pasal 1 yang bertentangan dengan UUD
1945, dengan sendirinya hukum proseduralnya yang
terdapat dalam Pasal 2 Ayat (2), menjadi bertentang-
an pula. Pasal 2 ayat (2) bertentangan dengan prinsip
negara hukum karena prosedur pembubaran organ-
isasi dimaksud bertentangan dengan prinsip toleransi,
keragaman, dan pemikiran terbuka. Proses pembuba-
ran organisasi dan pelarangan organisasi, seharusnya
dilakukan melalui proses peradilan yang adil, indepen-
den dan terbuka, dengan mempertimbangkan hak atas
kebebasan beragama, keragaman dan toleransi;
4. Pasal 3 yang menjatuhkan sanksi pidana selama-
lamanya lima tahun kepada orang, Organisasi atau
aliran kepercayaan, yang melanggar ketentuan dalam
pasal 1, dinilai membatasi kebebasan mereka yang be-
ragama atau berkeyakinan selain keenam agama yang
dilindungi, penghayat kepercayaan, dan kelompok atau
aliran minoritas dalam keenam agama tersebut.
5. Pasal 4 huruf a yang kemudian ditambahkan menjadi
Pasal 156 a KUHP dinilai bertentangan dengan jaminan
kebebasan beragama/berkeyakinan. Perumusan Pasal
4 huruf a membuat pelaksanaannya mengharuskan
diambilnya satu tafsir tertentu dalam agama tertentu
untuk menjadi batasan permusuhan, penyalahgunaan
dan penodaan terhadap agama. Berpihaknya negara/
pemerintah kepada salah satu tafsir tertentu adalah
diskriminasi terhadap aliran/tafsir lain yang hidup pula
di Indonesia.
Tuntutan yang diajukan adalah agar MK menerima
dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian UU Pe-
25. Pos is i Kas us 11
nodaan Agama, menyatakan Pasal 1 s/d 4 UU Penodaan
Agama bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional)
dan menyatakan ketentuan Pasal 1-4 UU Penodaan Agama
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan
segala akibat hukumnya.
C. PROSES PERSIDANGAN
Hukum Acara di MK, mengacu kepada Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedo-
man Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
Maka berdasarkan peraturan tersebut, proses persidangan
JR UU Penodaan Agama, adalah sebagai berikut:
1. Keterangan Presiden/Pemerintah: ”Bukan Ke-
bebasan Sebebas-bebasnya”
Keterangan Presiden adalah ”keterangan resmi pe-
merintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai pokok
permohonan yang merupakan hasil koordinasi dari Menteri-
Menteri dan/atau Lembaga/Badan Pemerintah terkait”.33
Dalam JR ini Presiden/Pemerintah diwakili Menteri Agama
(Menag), Suryadharma Ali dan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menkumham), Patrialis Akbar.
Presiden/Pemerintah pada intinya memberikan ket-
erangan sebagai berikut:34
• UU Pencegahan Penodaan Agama tidak dalam
rangka membatasi dan menegasikan kebebasan be-
ragama tetapi justru memberikan perlindungan dan
kebebasan beragama, keharmonisan antar umat be-
ragama serta mencegah dari penghinaan, penodaan,
maupun pemaksaan terhadap umat beragama yang
berbeda satu sama lain;
• Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak
melarang seseorang melakukan penafsiran terhadap
33) Pasal 25 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
34) Opening Statement Pemerintah atas Permohonan Pengujian UU No.1/PNPS/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945
26. 12 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
suatu ajaran agama ataupun kegiatan keagamaan
yang menyerupai suatu agama, tetapi yang dilarang
adalah apabila dengan sengaja di muka umum men-
ceritakan, menganjurkan dukungan umum untuk
melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyim-
pang dari pokok-pokok ajaran suatu agama yang
dianut di Indonesia;
• Pembatalan terhadap UU Pencegahan Peno-
daan Agama akan menyebabkan hilangnya jaminan
perlindungan umum (general prevention) sehingga
dikhawatirkan masyarakat akan main hakim sendiri
oleh karena aparat penegak hukum kehilangan pi-
jakan atau acuan peraturan perundang-undangan
dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan dan/
atau penodaan terhadap agama;
• Kebebasan merupakan hak konstitusional setiap
orang, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak boleh
dilakukan dengan sebebas-bebasnya tanpa batas,
atau bertentangan dengan norma agama, kesusilaan,
ketertiban, dan hukum yang berlaku sebagaimana di-
tentukan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
Senada dengan Menteri Agama, Menteri Hukum dan
HAM menyatakan bahwa jika dikabulkan, di antara peme-
luk dikhawatirkan dapat menimbulkan gejolak dan konflik
horizontal antar masyarakat dan akan menimbulkan fitnah
agama yang diakui di Indonesia dan akan mengganggu keru-
kunan umat beragama serta dapat menimbulkan ketidakhar-
monisan di antara umat beragama yang sudah terjalin baik
selama ini. Atas dasar hal tersebut, Pemerintah menolak pen-
cabutan UU Penodaan Agama. Untuk mendukung keterang-
annya, Pemerintah mengajukan 16 (enam belas) orang ahli35
yang pada intinya menguatkan pendapat pemerintah.
35) K.H. Hasyim Muzadi, Amin Suma, Rahmat Syafi’i, Nur Syam, Mudzakkir, H.M.
Atho Mudzhar, Buya Bagindo Letter, Rusdi Ali Muhammad, Rahim Yunus, Ali Aziz, K.H.
Hafidz Usman, Filipus Kuncoro, Wijaya, Mahdini, Sudarsono, Hj. Khofifah Indarparawan-
sa, dan Rony Nitibaskara
27. Pos is i Kas us 13
2. Keterangan DPR RI: ”Tidak merencanakan
perubahan ataupun penggantian UU Penodaan
Agama”
Keterangan DPR adalah ”keterangan resmi DPR baik
secara lisan maupun tertulis yang berisi fakta-fakta yang ter-
jadi pada saat pembahasan dan/atau risalah yang berkenaan
dengan pokok perkara.”36 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dalam keterangan yang disampaikannya pada intinya me-
nyatakan:
Pertama, UU Penodaan Agama walau merupakan produk
hukum rezim orde lama, namun semangat dan jiwanya masih
relevan dengan kenyataan pada saat sekarang;
Kedua, UU Penodaan Agama merupakan payung hukum un-
tuk memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum
bagi setiap orang dan pemeluk agama, dan menjalankan hak
konstitusionalnya sesuai dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945. Sehingga UU Penodaan Agama
tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28J ayat
(1), ayat (2), serta Pasal 29 Undang-Undang Dasar Tahun
1945, dan
Ketiga, DPR berpandangan bahwa suatu negara diboleh-
kan untuk membuat suatu undang-undang yang membatasi
pelaksanaan hak-hak dan kebebasan dalam beragama un-
tuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, moral
masyarakat, atau hak-hak kebebasan mendasar orang lain,
oleh karena itu meskipun undang-undang tersebut berben-
tuk PNPS yang diterbitkan pada rezim Orde Lama, namun
undang-undang tersebut tetap berlaku sesuai dengan keten-
tuan peralihan.37
Berdasarkan pendapat tersebut, maka DPR, dan Pe-
merintah tidak merencanakan perubahan ataupun penggan-
tian terhadap UU Penodaan Agama. DPR tidak menyampai-
36) Pasal 26 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
37) Keterangan DPR RI atas Permohonan Permohonan Pengujian UU No.1/
PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap
UUD 1945
28. 14 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
kan keterangan terkait dengan fakta-fakta saat pembahasan
dan/atau risalah UU Penodaan Agama.
3. Keterangan Saksi: ”Tidak Ada Sumpah Pan-
casila”
Keterangan saksi adalah ”keterangan yang diberikan
oleh seseorang dalam persidangan tentang sesuatu peristi-
wa atau keadaan yang didengar, dilihat, dan/atau dialamin-
ya sendiri.” Dalam persidangan, pemohon mengajukan dua
orang saksi yaitu Arswendo Atmowiloto, yang dipidana ber-
dasarkan Pasal 156a KUHP dan Sardi, penganut Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang kehilan-
gan kesempatan untuk menjadi TNI/ABRI karena agamanya.
Dalam pemeriksaan Keterangan Saksi, terdapat per-
istiwa yang melecehkan keyakinan Saksi, terkait dengan
pengambilan sumpah. Pasal 23 Peraturan MK, mengatur
sumpah seorang saksi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji sebagai saksi akan mem-
berikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang
sebenarnya”
Untuk yang beragama Islam didahului dengan “Demi Al-
lah”
Untuk yang beragama Kristen Protestan dan Katholik di-
tutup dengan “Semoga Tuhan menolong saya”.
Untuk yang beragama Hindu dimulai dengan “Om Atah
Parama Wisesa”
Untuk yang beragama Budha dimulai dengan “Namo
Sakyamuni Buddhaya. Demi Hyang Buddha Saya ber-
sumpah…” diakhiri dengan “Saddhu, Saddhu, Saddhu”
Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan agamanya
masing-masing.
Saksi Sardi mengajukan permohonan lisan agar di
sumpah Pancasila, yang kemudian ditolak Ketua MK, Mah-
fudz MD dengan alasan ”tidak ada Sumpah Pancasila”38
38) Bandingkan dengan ketika Tody Daniel Mendel, seorang atheist dalam sidang JR
Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik dalam KUHP vide Menakar Janji Ahli Tak
29. Pos is i Kas us 15
dan menyarankan untuk menggunakan janji. Merujuk pada
klausula ”Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan aga-
manya masing-masing”, maka seharusnya Saksi diijinkan un-
tuk mengucapkan lafal sumpah menurut keyakinannya, yaitu
Pancasila. Maria Farida Indarti, salah seorang hakim konsti-
tusi dalam wawancara dengan majalah Tempo berpendapat
bahwa baginya sumpah itu tak jadi masalah karena dalam
Pancasila terdapat Ketuhanan Yang Maha Esa.39 Dalam per-
sidangan tersebut ekpresi keyakinan saksi dijadikan bahan
ejekan di dalam persidangan. Hal ini memperlihatkan pula,
bahwa dalam teks resmi kenegaraan lafal sumpah/janji hanya
merujuk kepada enam agama, yang ada dalam penjelasan
UU Penodaan Agama.
4. Keterangan Ahli: ”UU Penodaan Agama Memi-
liki Masalah”
Keterangan ahli adalah ”keterangan yang diberikan
oleh seseorang yang karena pendidikan dan/atau pengala-
mannya memiliki keahlian atau pengetahuan mendalam yang
berkaitan dengan permohonan, berupa pendapat yang bersi-
fat ilmiah, teknis, atau pendapat khusus lainnya tentang suatu
alat bukti atau fakta yang diperlukan untuk pemeriksaan per-
mohonan.” Sidang UU Penodaan Agama menghadirkan ahli-
ahli, baik yang diajukan pemohon, pemerintah, pihak terkait,
maupun MK. Dalam sejarah persidangan di MK, persidangan
JR UU Penodaan Agama, adalah sidang yang paling banyak
menghadirkan ahli.
Pemohon mengajukan enam orang ahli dari berbagai
latar belakang dan kompetensi yaitu dari Prof. JE Sahetapy,
Prof. Soetandyo Wingjosoebroto, MM Billah, Frans Magnis
Suseno, Cole Durham, Prof. Subur. Ahli dari pemohon me-
nyampaikan bahwa UU Penodaan Agama bermasalah karena
diskriminatif. Akibatnya, kaum minoritas dirampas hak kebe-
basan berfikir dan berkeyakinannya, bahkan menjalar kepada
Beragama di Sidang MK
39) Maria Farida Indarti, Sesat Bukan Ranah Negara, http://majalah.tempointeraktif.
com/id/arsip/2010/04/26/WAW/mbm.20100426.WAW133367.id.html
30. 16 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
perampasan hak atas identitas, pekerjaan, pendidikan, dan
lain sebagainya. Selain itu keterangan Ahli dari pemohon juga
menegaskan permohonan pemohon bahwa kebebasan ber-
fikir dan berkeyakinan tidak dapat dibatasi, namun ekspresi
dari pemikiran dan berkeyakinan harus dibatasi agar tidak
mengganggu ketertiban umum dan moral umum.
Pemerintah mengajukan tigabelas orang Ahli yang
sebagian besar menjalani profesi yang berkaitan dengan
keagamaan, seperti Ketua MUI Propinsi atau Rektor/Penga-
jar di IAIN sehingga kesaksiannyapun cenderung terkonsen-
trasi pada ajaran-ajaran agama, khususnya islam. Umumnya
para ahli menegaskan bahwa UU Penodaan Agama me-
lindungi agama dari tindakan penodaan, tidak diskriminatif,
bahkan melindungi minoritas sehingga terwujud kehidupan
beragama yang plural dan harmonis.
Pihak terkait yang mengajukan ahli hanya enam kel-
ompok. Yaitu Ahli yang diajukan oleh pihak terkait yang ber-
pendapat bahwa UU Penodaan Agama layak dipertahankan
dan menegaskan bahwa negara harus melindungi agama
dari penodaan, bila tidak maka masyarakat akan main ha-
kim sendiri. Hanya satu orang Ahli yaitu K.P. Seno Adiningrat,
yang diajukan HPK yang menyatakan UU Penodaan Agama
bersifat diskriminatif.
Umumnya Ahli-Ahli yang diajukan oleh pemerintah
dan pihak terkait memilliki argumen yang sebangun untuk
menyatakan bahwa UU Penodaan Agama tidak diskriminatif,
melindungi minoritas, sehingga masih bermanfaat dan ha-
rus dipertahankan. Namun, mereka tidak memiliki pendapat
yang sama mengenai agama resmi atau agama yang diakui.
Ada yang menyatakan UU penodaan agama melindungi se-
mua agama dan bahkan kepercayaan, ada yang menyatakan
bahwa hanya enam agama yang diakui dan dilindungi di In-
donesia.
MK sendiri mengundang empatbelas ahli dengan
berbagai keahlian. Seluruh ahli berpendapat bahwa UU Pe-
nodaan Agama memiliki masalah. Lima orang dengan tegas
meminta dicabut, dan enam orang mengusulkan untuk dire-
31. Pos is i Kas us 17
visi. Meskipun tidak ada Ahli dari Mahkamah Konstitusi yang
dengan jelas mengatakan bahwa UU tidak bermasalah, ada
dua Ahli yang berpendapat UU Penodaan Agama layak un-
tuk dipertahankan. Pemerataan pendidikan, pendekatan per-
suasif, juga dialog yang dilandasi oleh toleransi disarankan
oleh enam orang Ahli untuk mengatasi konflik keagamaan,
baik di internal pemeluk agama, maupun antar pemeluk
agama. Selain itu, ketentuan pidana dalam KUHP juga disara-
nkan untuk menegakan batasan ekspresi berfikir & berkeya-
kinan, termasuk untuk mengatasi kekerasan yang dilakukan
oleh masyarakat yang main hakim sendiri bila UU dicabut.
Nama Ahli Masalah UU No.1/ Rekomendasi
MK PNPS/1965
Prof. Dr. Andi 1. Pasal 1 dan 2 UU a quo Cabut
Hamzah sifatnya administrasi, tapi
pasal 3 ada sanksi pidana
5 tahun. Kalau administrasi
harusnya 1 tahun kurungan
atau denda.
2. Pasal 1, 2, 3 UU a quo
multitafsir, tidak memenuhi
syarat nullum crimen sine
lega scripta.
Dr. Eddy OS 1. Dalam prakteknya, UU Pertahankan
Hiariej a quo selalu digunakan
untuk mengadili pemikiran.
Praktek itu bertentang
dengan postulat hukum:
cogitationis poenam nemo
partitur,
2. Penghayat keyakinan
tidak bisa dijerat atau
dihukum
32. 18 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
Prof. 1. Negara tidak boleh ikut Revisi
Dr.Azyumardi campur soal tafsir
Azra 2. UU a quo tidak sesuai
dengan zaman.
3. Pasal yang inkonstitu-
sional misalnya pasal 4b
UU a quo.
4. UU a quo ambigu se-
hingga harus disempurna-
kan.
Dr. Fx Mudji 1. Sebenarnya masyarakat Revisi
Sutrisno kultural saling menghorma-
ti satu sama lain terhadap
adanya perbedaan, na-
mun adanya hukum akan
meniadakan hak-hak lain
atau kebebasan yang ada
di dalam masyarakat tsb
2. Istilah menyimpang
adalah istilah orang dalam
(intern agama), sementara
bagi orang di luar intern
agama, disebut berbeda.
3. Tugas negara paling
pokok adalah pada wilayah
publik,menjaga ketertiban
dan melindungi tiap warga
Negara untuk melaksana-
kan hak kebebasan be-
ragamanya.
33. Pos is i Kas us 19
Ulil Abshar 1. Posisi negara harus Cabut
Abdalla netral, tidak bisa masuk
soal tafsir.
2. Perbedaan tafsir bukan
penodaan agama.
3. Pokok-pokok ajaran
berbeda-beda.
4. Istilah “pokok-pokok
ajaran agama” di UU a quo
ambigu.
5. Negara harus mencegah
dan menangkap orang
yang melakukan kekeras-
an.
6. UU a quo tidak melin-
dungi minoritas.
Emha Ainun 1. UU a quo tidak soleh, Revisi
Nadjib banyak mundharatnya.
2. Tafsir tidak bisa dipak-
sakan.
3. Pluralisme adalah sifat
Tuhan, tidak bisa dipaksa-
kan untuk seragam.
4. Pokok-pokok ajaran
beda.
5. Toleransi dan saling
menyayangi.
Dr. Siti Zuhro UU a quo memberi pelu- Revisi
ang untuk diskriminasi &
pembatasan hak memeluk
agama. Juga bukti tidak
dijaminnya masyarakat
yang plural dan pengakuan
status kelompok minoritas.
34. 20 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
Prof. 1. UU a quo seringkali Revisi
Dr.Jalaludin dipergunakan oleh yang
Rakhmat berkuasa
2. UU a quo cenderung
merugikan kaum minoritas
Prof. Dr. Ah- 1. Masyarakat hidup dalam UU baru
mad Fedyani masa yang berbeda den-
S. gan masa pembentukan
UU a quo
2. Mengekpresikan pikiran
termasuk dalam konteks
agama bagian dari HAM,
dan posisi manusia se-
bagai subyek semakin
penting.
Prof. Dr. 1. UU a quo tidak sem- Revisi
Yusril Ihza purna karena tidak sesuai
Mahendra dengan UU 10/2004.
2. Norma hukum ada di
penjelasan, harusnya ada
di pasal.
3. Kepentingan Negara bu-
kan menilai benar tidaknya
agama, tapi menjaga ke-
tertiban umum dan harmo-
ni dalam masyarakat.
35. Pos is i Kas us 21
Dr. Moeslim 1. Pokok-pokok ajaran Cabut
Abdurrah- berbeda-beda.
man 2. Perbedaan tafsir harus
dihormati.
3. Seseorang di hada-
pan Negara harus setara,
meskipun di hadapan
Tuhan berbeda-beda.
4. Beriman atau tidak bu-
kan urusan Negara.
Taufik Ismail UU a quo sebagai pagar Revisi
sudah usang, ayo kita per-
baiki bersama-sama.
Prof. Dr. 1. Penafsiran tidak bisa Revisi
Komaruddin dibatasi
Hidayat 2. Pembatasan hanya
untuk manifestasi atau
ekspresi guna kepenting-
an warga negara bukan
kepentingan agama.
Djohan Ef- 1.UU a quo menjadi peng- Tidak jelas
fendi akuan 6 agama resmi dan
acapkali memakan korban
(Kurdi, Baha’i).
2. Tafsir adalah bagian
dari kebebasan beragama/
berkeyakinan dan boleh
disampaikan ke publik.
3. Masalah keyakinan ada-
lah otoritas Tuhan YME.
4. Negara dan aparatnya
tidak boleh bertindak me-
lebihi Tuhan sendiri.
36. 22 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
S. A. E. Na- 1. Perbedaan dan perkem- Cabut
baban bangan tafsir adalah
lumrah.
2. Negara tidak perlu me-
ngatur masalah penafsiran.
3. Depag tidak memiliki
kewenangan untuk menye-
lidiki dan menilai pokok-
pokok ajaran agama.
4. Ada ketidakjelasan Isti-
lah (seolah-olah perbedaan
tafsir itu sama dengan
penodaan agama).
5. Akibat UU a quo, negara
berpeluang untuk inter-
vensi wilayah keagamaan.
Garin Nu- 1. UU ini tidak mendo- Cabut
groho rong masyarakat berubah
positif.
2. Kata-kata dalam pasal-
pasal UU a quo tidak
memberi kepastian hukum
sehingga mengakibatkan
korban.
3. Secara yuridis muncul-
nya UU a quo hanya ber-
laku tepat untuk saat itu,
tidak tepat untuk saat ini.
5. Keterangan Pihak Terkait: ”Antara Diperta-
hankan, Revisi atau Dicabut”
Pihak Terkait adalah adalah ”pihak yang berkepen-
tingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permo-
honan. Pihak Terkait yang berkepentingan langsung ada-
lah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh
37. Pos is i Kas us 23
oleh pokok permohonan dan dapat diberikan hak-hak yang
sama dengan Pemohon.40 Sedangkan Pihak Terkait yang
berkepentingan tidak langsung adalah ”pihak yang karena
kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar ke-
terangannya atau pihak yang perlu didengar keterangannya
sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau ke-
wenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok
permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi ter-
hadap permohonan dimaksud”. Pihak terkait tidak langsung,
karenanya tidak mempunyai hak-hak yang sama dengan
pemohon dalam perkara.
Selama proses persidangan, terdapat 24 (dua puluh
empat) pihak terkait yang menyampaikan keterangannya.
Dari 24 pihak, hanya Himpunan Penghayat Dan Kepercayaan
(HPK), Badan Kerjasama Organisasi-Organiasi Kepercayaan
(BKOK) yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh
pokok permohonan, karena penghayat telah menjadi korban.
Sehingga HPK dan BKOK memiliki hak yang sama dengan
Pemohon. Sedangkan pihak terkait tidak langsung pada per-
sidangan, dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan
fungsinya perlu didengar keterangannya: Komisi Na-
sional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja
Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indone-
sia (KWI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indone-
sia (MATAKIN), Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI), WALUBI, Forum Kerukunan Umat beragama
(FKUB), dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhdap
Perempuan (KOMNAS Perempuan)
b. Pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai
ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau ke-
40) Hak-hak tersebut meliputi (a) memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis; (b)
mengajukan pertanyaan kepada Ahli dan/atau saksi; (c) mengajukan Ahli dan/atau saksi
sepanjang berkaitan dengan hal-hal yang dinilai belum terwakili dalam keterangan Ahli
dan/atau saksi yang telah didengar keterangannya dalam persidangan; (d) menyampaikan
kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis.
38. 24 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
wenangannya tidak secara langsung terpengaruh
oleh pokok permohonan tetapi karena kepedulian-
nya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud :
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), Pimpinan
Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), Persat-
uan Islam (Persis), DPP Partai Persatuan Pembangu-
nan, Yayasan Irena Center, DPP Ittihadul Muballighin,
Badan Silaturrahmi Ulama Madura (BASHRA), Front
Pembela Islam, Forum Umat Islam, Hizbut Tahrir In-
donesia (HTI), Al-Irsyad Islamiyah
Sumber: voa-islam.com
Namun, selama proses persidangan batasan pihak
terkait langsung dan tidak langsung menjadi hilang. Majelis
Hakim memperbolehkan setiap pihak terkait untuk mem-
berikan keterangan lisan/tertulis dan mengajukan pertan-
yaan kepada saksi dan Ahli. Hal ini menunjukkan bahwa MK
menganggap seluruh pihak terkait pada persidangan perkara
merupakan pihak terkait langsung, yaitu yang hak dan/atau
kewenangannya terpengaruh oleh permohonan. Sikap ini
merupakan pelanggaran terhadap hukum acara yang dibuat
oleh MK sendiri, khususnya hal yang terkait dengan pembuk-
39. Pos is i Kas us 25
tian, yang mempengaruhi pengambilan keputusan.
Secara substansi, pihak terkait terbagi dalam dua kelompok
besar yaitu kelompok yang menolak permohonan dan kelom-
pok yang sependapat dengan pemohon, sebagaimana dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Menolak Permoho- Majelis Ulama Indonesia (MUI),
nan Pimpinan Pusat (PP) Muham-
madiyah, Pengurus Besar Nah-
dlatul Ulama (PBNU), Parisada
Hindu Dharma Indonesia (PHDI),
Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia (Matakin), Dewan Dak-
wah Islamiyah Indonesia (DDII),
Perwakilan Umat Buddha Indo-
nesia (WALUBI), Persatuan Islam
(Persis), Dewan Pimpinan Pusat
Partai Persatuan Pembangunan
(DPP PPP), Yayasan Irena Centre,
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) It-
tihadul Mubalighin, Badan Silatur-
rahmi Ulama Pesantren se-Madura
(BASSRA), Dewan Pimpinan Pusat
Front Pembela Islam (DPP FPI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan
Forum Umat Islam (FUI).
Sependapat Dengan Persekutuan Gereja-Gereja Indo-
Pemohon nesia (PGI), Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI), Komisi Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), Badan
Kerjasama Organisasi Kepercayaan
(BKOK), Himpunan Penghayat
Kepercayaan (HPK) dan Komisi
Nasional Perempuan (Komnas
Perempuan)
Revisi Forum Komunikasi Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) DKI
40. 26 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
Kelompok yang menolak permohonan berlandasan
pada argumen bahwa kebebasan beragama tidak tanpa
batas. UU Penodaan Agama bukan sebagai bentuk inter-
vensi negara terhadap keberagamaan seseorang tetapi se-
bagai jaminan perlindungan,41 UU Pencegahan Penodaan
Agama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pencabutan
UU Pencegahan Penodaan Agama justru akan menimbulkan
anarkhis, konflik dan kekacauan di dalam masyarakat.42
Sedangkan pihak yang mendukung permohonan me-
nilai UU Penodaan Agama perlu dikritisi dalam soal fungsi
dan isinya cenderung multitafsir dan dikhawatirkan akan ter-
jadi intervensi negara yang terlalu jauh terhadap kehidupan
beragama,43 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak se-
suai dengan ketentuan kebebasan beragama dan cenderung
mengkriminalisasi ajaran agama yang menyimpang secara
represif44 dan dijadikan alat pembenar perlakuan diskrimi-
natif, kekerasan, dan penindasan terhadap golongan peme-
luk agama minoritas termasuk masyarakat penghayat keper-
cayaan.45
D. TEROR, INTIMIDASI, KEKERASAN DAN PENGERAHAN
MASSA
1. Stigma PKI, Atheis dan Penganut Kebebasan
Tanpa Batas
Stigma atheis terhadap para pemohon dan kuasanya
pertamakali dilontarkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, sebelum per-
sidangan dimulai. Hasyim menilai ada gerilya politik kaum
ateis yang menuntut pencabutan UU Penodaan Agama.46
Selengkapnya Hasyim menyatakan:
41) PP Muhammadiyah
42) Matakin, Persatuan Islam (Persis), HTI
43) PGI
44) KWI
45) BKOK
46) “Hasyim: Waspadai Gerilya Kelompok Ateis.” Selasa, 16 Pebruari 2010,
http://www.antaranews.com/berita/1266296609/hasyim-waspadai-gerilya-kelom-
pok-ateis diakses terakhir 15 Oktober 2010
41. Pos is i Kas us 27
“Belakangan ini, kelompok tersebut sedang mengganggu
kerukunan umat beragama dengan `mengendarai` isu
demokrasi dan HAM yang dinilainya over dosis karena
menggambarkan penodaan agama sebagai kebebasan
beragama, padahal tujuannya adalah kebebasan untuk
tidak beragama,” …… ”Tidak ada yang untung dengan
pencabutan tersebut, kecuali ateisme”.
Pernyataan ketua organisasi massa islam terbesar
tersebut dijadikan bingkai untuk menilai pemohonan uji ma-
teri. Prejudice terhadap pemohon dan kuasa pemohon se-
bagai “atheis”, “kafir”, “penganut kebebasan tanpa batas”
mengemuka baik yang disampaikan di dalam persidangan,
maupun melalui media massa. Misalkan Ketua MUI, Amid-
han menyatakan “tidak ada tempat untuk yang tidak mau
beragama karena tidak sesuai sila pertama Pancasila.”47 Se-
dangkan Menteri Agama, Suryadharma Ali menyatakan “ke-
bebasan beragama tanpa batas akan melahirkan kekacauan
di dalam masyarakat, sehingga untuk menjamin keharmon-
isan antar agama di tanah air perlu ada aturan agar tak saling
bersinggungan”,48 pada acara-acara untuk meminta dukung-
an berbagai pihak.
Hal ini secara nyata terlihat dalam persidangan, ketika
Ketua Komnas Perempuan Yunianti Chuzzifah menyampai-
kan keterangannya. Ia mendapat perlakuan tidak mengenak-
kan dari pengunjung sidang. Para pengunjung meneriaki Yuni
dengan sebutan PKI. Mereka meneriakkan kata-kata tidak
mengenakkan setelah mendengar pernyataan Yuni yang
mendukung pencabutan UU No. 1/PNPS/1965 itu. Sebelum-
nya, Yuni sempat menceritakan tentang kesulitan wanita di
daerah Lombok dalam membuat KTP karena tidak mempu-
47) “Majelis Ulama Nilai Uji Materi Undang-Undang Penodaan Agama Keliru”
Senin, 01 Februari 2010 http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/02/01/
brk,20100201-222560,id.html, diakses terakhir 15 Oktober 2010
48) http://www.solopos.com/2010/channel/nasional/menag-minta-nu-dukung-uu-
penodaan-agama-17154
42. 28 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
nyai agama yang sesuai dengan UU No.1 /PNPS/1965.49
Terhadap perlakuan yang menimpanya, Yuni me-
nyampaikan perasaannya sebagai berikut :
Saya merasakan betul, kekuatan massa sangat besar dan
saya tidak tahu berapa jauh kekuatan hakim-hakim mah-
kamah konstitusi untuk independen dalam memutuskan
kasus ini. Saya diteriakin PKI…PKI…PKI.. hanya menye-
but Ahmadiyah mereka langsung teriak setan...setan…
setan ketika hanya ingin memperlihatkan fakta dampak
pemberlakuaan undang-undang ini.50
Poster besar yang dipasang di halaman MK (www.suara-islam.com)
2. Teror dan Intimidasi
Teror dan intimidasi menwarnai proses persidangan
dan dialamatkan kepada pemohon, kuasa pemohon, saksi
49) “Ketua Komnas Perempuan Diteriaki PKI” Jum’at, 12 Maret 2010
http://news.okezone.com/read/2010/03/12/339/312013/ketua-komnas-perem-
puan-diteriaki-pki, diakses terakhir 15 Oktober 2010
50) Notulensi Religious Freedom Advocacy Training,International Religious Freedom
Consortium, Jakarta, Sabtu 17 April 2010, tidak dipublikasikan
43. Pos is i Kas us 29
dan ahli yang mendukung pencabutan UU Penodaan Agama.
Pada tanggal 12 Maret 2010, Ulil Abshar Abdalla, menda-
patkan ancaman kekerasan dengan teriakan ”halal darah-
nya” dan acaman “bunuh” di dalam ruang persidangan.51
Pemukulan dan penyerangan terhadap Ulil hampir terjadi di
depan ruang sidang, seusai memberikan keterangan. Hal ini
terekam dalam tulisan naratif Syafatun Nissa52 dalam account
jejaring sosial Facebook miliknya dengan judul ”Teror”.
TEROR
I
“Mbak, duduknya biasa aja..” Seorang petugas datang
menghampiri dan menegur saya.
“Ha?! Apa..?” Saya terbengong-bengong tak mengerti.
“Duduk lu tu. Gak boleh cross leg,” kawan duduk di sebe-
lah saya mencoba menjelaskan.
“Duduknya, mbak. Kakinya biasa aja. Dah pake rok,
duduknya begitu lagi,” petugas kembali mengingatkan
saya.
“Kenapa?” Saya bertanya balik. Kembali tak mengerti.
Apa yang salah? Saya mengenakan rok selutut pagi itu.
Dan merasa tak ada yang salah dengan gesture tubuh
saya. Saya sengaja berdandan dengan sopan pagi itu.
Mengenakan blus putih lengan panjang, rok hitam selutut,
bersepatu, dan duduk manis mengikuti jalannya sidang :)...
..............................................................................................
..........................................
51) LBH Jakarta di Teror, http://politik.kompasiana.com/2010/03/17/lbh-jakarta-di-
teror/
52) Syafa’atun Aisya, Teror, http://www.facebook.com/home.php?#!/note.
php?note_id=40623816578, diakses terakhir 15 Oktober 2010
44. 30 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
II
Sidang break untuk Shalat Jum’at. Palu di ketuk. Pekikan
“Allahu akbar!” segera menggema.
Saya bergegas turun dari balkon atas. Pengunjung di lantai
bawah ramai. Pengunjung dengan atribut jubah dan sor-
ban merangsek masuk ruang sidang. Peserta sidang keluar
satu persatu.
Keriuhan terjadi saat peserta sidang yang pro pencabutan
UU mencoba keluar ruangan.
“Kafir!”
“Murtad!”
“Bunuh aja. Halal darahnya.”
“Copot aja jilbabnya. Islam apaan tu. Gak pantes!”
Beberapa orang mengacung-acungkan tangan. Petugas
keamanan gedung berusaha menenangkan.
“Udah.. Udah.. Sholat jumat..”
“Kalo mereka ma ketahuan gak sholat..”
Teriakan terus bersahutan. Saya berada dalam keriuhan pe-
muda-pemuda tanggung dengan urat leher yang mengeras.
Kata-kata kotor berhamburan dengan mudahnya. Sempat
merasa ngeri saya berusaha mencari gambar
III
Ulil sibuk menelpon atau ditelpon seseorang. Aura kece-
masan meruap di ruang yang dikhususkan bagi para saksi
ahli.
“Pastikan Ulil bisa keluar dengan aman.”
“Lewat belakang aja..”
Beberapa kawan ikut sibuk mengatur strategi.
“Bawa mobil, Mas?”
“Gak. Pake taksi.”
“Lewat belakang aja, Mas. Nanti kita kawal.”
“Ok, Amanda mana?”
Ulil bergegas pergi. Makanan dan minuman yang terhidang
tak tersentuh. Makalah dan buku catatannya tertinggal.
“Takut juga Ulil ya?” Saya bertanya naïf.
45. Pos is i Kas us 31
“Gak punya basis massa sih..” Seorang kawan merespon
pertanyaan saya. Guyon.
“Mungkin juga ya,” Saya ikut tertawa.
IV
Hidup dalam teror. Bagaimana anda menjalanin-
ya?.............................................................
Saya bayangkan hidup menjadi Ulil. Dengan fatwa halal
darahnya bagi orang-orang tertentu. Yang bisa tiba-tiba
hilang nyawa di tangan orang tak dikenal. Dikeroyok ramai-
ramai seperti maling kesiangan. Sementara, layaknya film-
film India, aparat keamanan bertindak saat rumah telah
hangus terbakar..................................................
Teror dan intimidasi terjadi pula ke kantor LBH Jakar-
ta, yang menjadi sekretariat kuasa hukum pemohon. Sekel-
ompok orang berbaju putih-putih dan bersorban melempari
gedung LBH Jakarta dengan batu dan buah mengkudu, pada
tanggal 12 Maret 2010. Di sini lain, selama proses persidang-
an muncul intimidasi dan gangguan yang menyudutkan kua-
sa hukum, para pemohon sangat keras dan tajam terdengar.
Seperti ”Anam, Anak Namrud”, ”Profesor Bahlul”, ”Setan,”
”Jilbab Palsu” yang menganggu persidangan itu sendiri.
Kuasa Hukum pemohon dalam siaran persnya menyayang-
kan Hakim-Hakim di MK pasif dalam mengantisipasi intimi-
dasi dan gangguan terhadap proses persidangan tersebut.53
Ancaman ”membunuh atau menyembelih” disampaikan pula
oleh Ketua DPP Front Pembela Islam Habib Riziq didalam
persidangan. Sebagai simbolnya FPI melakukan penyembe-
lihan kambing di halaman Gedung MK.54
Padahal jika merujuk pada Pasal 40 ayat (2) UU MK
Nomor 24/2003 yang menyatakan setiap orang yang hadir di
53) LBH Jakarta di Teror, http://politik.kompasiana.com/2010/03/17/lbh-jakarta-di-
teror/
54) Hasil pemantauan sidang uji materiil UU Penodaan Agama, Aliansi Nasional
Bhineka Tunggal Ika, 2010, dokumen tidak dipublikasikan
46. 32 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
dalam persidangan wajib mentaati tata tertib persidangan”.
Pelanggaran terhadap tata tertib persidangan merupakan
”penghinaan terhadap MK (contempt of court)”. Dalam Pasal
5 ayat (2) huruf b,g,h, dan i Peraturan MK No.19/2009 meng-
atur bahwa pengunjung sidang dilarang: 1) membuat gaduh,
2) menghina para pihak/saksi/ahli, 3) mengajukan dukungan/
komentar terhadap ahli/saksi, 4) melakukan perbuatan yang
dapat mengganggu persidangan, 5) merendahkan martabat
Hakim MK atau kewibawaan MK, atau 6) memberikan ungka-
pan berupa ancaman terhadap MK.
Suasana didalam persidangan
(www.mahkamahkonstitusi.go.id)
3. Kekerasan terhadap Ahli, Saksi, dan Kuasa
Pemohon
Kekerasan terhadap Ahli, Saksi, dan Kuasa Pemo-
hon puncaknya terjadi pada sidang terakhir yaitu persidang-
an tanggal 24 Maret 2010.55 Kondisi ini telah diawali dalam
persidangan saat saksi Garin Nugroho menyatakan sebaik-
nya undang-undang ini dicabut. Lontaran kata-kata mulai
bermunculan “Kafir!!”, “Halal Darahnya!!”, dan “Bunuh!!”.
55) http://anbti.org/2010/03/hari-terakhir-persidangan-mahkamah-konstitusi-me-
ngenai-uu-penodaan-agama/
47. Pos is i Kas us 33
Pada saat istirahat makan siang terjadi keributan di kantin
MK. Anggota FPI, LPI, KLI, dan GARIS mengerubung di de-
pan ruangan kantin. Nurkholis Hidayat, dan Uli Parulian Pa-
rulian mendapatkan kekerasan berupa injakan, tendangan
dan cengkraman di leher dan pertanyaan-pertanyaan terkait
agama yang dianut dengan nada mengancam.
Suasana menjadi gaduh, Sidiq dari LBH Jakarta dan
Novel dari PGI merekam peristiwa tersebut, hal ini mem-
buat anggota FPI marah. FPI mengarah kepada Sidik, dan
mengambil paksa kamera dan memintanya untuk hapus.
Sidik dikepung, didorong dan di pukul dari belakang, hal
sama terjadi pada Novel. Peristiwa ini terhenti setelah para
kuasa pemohon mundur ke dalam kantin, dan petugas MK
mengunci pintu menuju kantin MK. Sementara Garin Nu-
groho ketika keluar gedung MK, mobil yang digunakannya
dipukul dan dihentak-hentak. Tidak diketahui kelanjutan pe-
nanganan oleh Polisi pasca pelaporan yang dilakukan oleh
LBH Jakarta.
Suasana Aksi di luar Gedung MK
(www.suara-islam.com)
48. 34 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
4. Mobilisasi dan Tekanan Massa
Demontrasi para pendukung kelompok yang meng-
inginkan UU Penodaan Agama dipertahankan, berlangsung
selama persidangan. Menurut hasil pemantauan Aliansi Na-
sional Bhineka Tunggal Ika, massa yang dikerahkan paling
banyak berjumlah 500 orang. Elemen pendukung diantaran-
nya berasal dari Front Pembela Islam (FPI), Laskar Pembela
Islam(FPI), Gerakan Reformasi Islam (GARIS), Partai Bulan
Bintang (PBB), Fakultas Ekonomi Universitas Islam Jakarta.56
Pada persidangan pertama, diketahui bahwa massa berasal
dari luar kota Jakarta. Mereka mendapatkan informasi bahwa
persidangan yang digelar adalah pembacaan putusan ha-
kim.
Sumber: www.okezone.com
56) Hasil pemantauan siding uji materiil UU Penodaan Agama, Aliansi Nasional
Bhineka Tunggal Ika, 2010, dokumen tidak dipublikasikan
49. Pos is i Kas us 35
Massa, umumnya datang sekitar jam 08.00, sebagian
berkumpul di lobby dan memenuhi balkon pengunjung sidang,
sedangkan sisanya mengelar aksi di halaman MK. Massa
yang berada di halaman berbaris untuk mendengarkan orasi.
Orasi umumnya berisi propaganda seperti tuduhan-tuduhan
”Antek Amerika”, “Yahudi”, “Perusak Akidah”, termasuk pe-
nolakan terhadap Ahmadiyah. Para demonstran menganggap
gugatan diajukan oleh AKKBB. Terdapat 2 (dua) shift massa
yaitu pada sidang jam 10.00–12.00 massa berasal dari orang
tua dan pemuda, sedangkan untuk sidang jam 14.00–15.15
berasal dari anak muda dan mahasiswa. Selain orasi, massa
memasang spanduk besar bergambarkan Dawam Rahardjo,
Musda Mulia, Asfinawati, Kyai Maman Imanul Haq, dan to-
koh lain, sebagai orang yang dicari dan dianggap sebagai
”penjahat akidah”. Spanduk lain berisi ratusan nama yang
dianggap sebagai kaum yang menodai islam.57
Selain massa pada level bawah, mobilisasi dilakukan
pula oleh kalangan ulama. Badan Ulama Pesantren seluruh
Madura dan Forum Ulama seluruh Madura, yang merupakan
daerah asal Ketua Mahkamah Konstitusi, pada 23 Februari
2010 menemui Ketua MK. Menurut Mahfudz “Kunjungan
para ulama ini hendak menyampaikan aspirasi kepada MK
berkenaan dengan pengujian UU 1/1965 tentang Pencegah-
an Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penod-
aan Agama, red). Mereka pada intinya mengajukan semacam
petisi agar UU Penodaan Agama tidak dicabut karena alasan
tertentu.58 Padahal dalam Peraturan MK Nomor 02/PMK/2003
tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konsti-
tusi, Pasal 3 Ayat (1) huruf d dinyatakan secara tegas: Dalam
penyelesaian perkara, hakim konstitusi:59
57) Ibid
58) Mahfud: Putusan UU Penodaan Agama Adalah Putusan Hukum, Se-
lasa, 23 Februari2010,http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.
BeritaNonSidangDetail&id=3744
59) Peraturan MK Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah
Laku Hakim Kosntitusi
50. 36 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
Menjaga jarak untuk tidak berhubungan langsung ataupun
tidak langsung, baik dengan pihak yang berperkara mau-
pun dengan pihak lain dan tidak mengadakan kolusi den-
gan siapapun yang berkaitan atau dapat diduga berkaitan
dengan perkara yang akan atau sedang ditangani, seh-
ingga dapat mempengaruhi obyektivitas atau citra me-
ngenai obyektivitas putusan yang akan dijatuhkan.
Untuk mensiasati hal ini, Mahfudz menggelar jumpa pers
dan menyatakannya sebagai ”silaturahmi”. Selanjutnya Ba-
dan Ulama Pesantren se-Madura menjadi pihak terkait da-
lam persidangan Uji Materi UU Penodaan Agama, walaupun
sebelumnya tidak terdapat dalam daftar nama yang akan
menjadi pihak terkait.
Ketua MK, Moh. Mahfud MD saat memberikan keterangan pers bersama
para ulama asal Madura (www.mahkamahkonstitusi.go.id)
5. Pernyataan Ketua MK Sebelum dan Sesudah
Putusan
Proses persidangan yang diwarnai demontrasi, teror,
pengerahan massa dan kekerasan dari pihak yang menolak
pencabutan UU Penodaan Agama telah menimbulkan kekha-
watiran MK terpengaruh dalam pengambilan keputusan.
51. Pos is i Kas us 37
Untuk meyakinkan banyak pihak akan keindependenannya,
secara khusus Mahfudz MD mengeluarkan pernyataan sikap
dalam website pribadinya pada tanggal 15 April 2010.60
Judicial review UU No. 1/PNPS/1965 yang lebih dikenal
sebagai UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap
UUD 1945 akan segera diputus. MK menjadwalkan peng-
ucapan vonis atas perkara tersebut akan dilakukan oleh
sembilan hakim MK pada hari Senin tanggal 19 April 2010
jam 14.00. Terkait dengan itu sebagai Ketua MK saya me-
nyampaikan:
1. MK memutus dengan independen, tak terpengaruh
oleh tekanan atau opini publik yang berkembang di luar
sidang-sidang MK. MK hanya mendasarkan diri pada ke-
tentuan UUD 1945 dan fakta hukum yang muncul di per-
sidangan. MK tak pernah bisa ditekan oleh kelompok apa
pun dan dengan cara unjuk rasa yang bagaimanapun.
2. Putusan MK dibuat bukan berdasarkan pihak mana
yang mendapat dukungan lebih banyak atau pihak mana
yang tidak mendapat dukungan. Putusan yang didasar-
kan berdasar besar/kecilnya dukungan itu adalah putu-
san politik. MK hanya membuat putusan hukum yang
dasarnya adalah logika konstitusi dan hukum. UUD 1945
telah mengatur dengan rinci dan ketat mengenai perlin-
duangan HAM dan itulah tolok ukur utama dalam pem-
buatan putusan MK.
3. Dalam membuat putusan MK juga tidak terikat pada
pandangan-pandangan teoretis atau pendapat Ahli dan
pengalaman di negara lain. Pandangan ahli, teori konsti-
tusi, dan pengalaman negara lain hanya sebagai sumber
pembanding dan bukan sumber penentu. Sumber pe-
nentunya adalah UUD 1945 yang tafsir-tafsirnya memang
bisa saja ditemukan dalam pendapat Ahli atau teori-teori.
“Tapi pendapat ahli atau teori itu tak mengikat, sebab
meskipun baik belum tentu dianut di dalam UUD 1945.”
4. Begitu juga MK tak membuat putusan berdasar ayat-
ayat agama, melainkan berdasar ayat-ayat konstitusi yang
berlaku di Indonesia. MK berprinsip bahwa hak dan ke-
60) http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.BeritaDetail&id=162
52. 38 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
bebasan beragama adalah hak azasi yang tak boleh di-
ganggu atau saling mengganggu.
5. Dalam putusannya, MK akan menyajikan konstruksi hu-
kum dan menganalisis setiap argumen yang diajukan oleh
Pihak-pihak dan para Ahli yang dihadirkan dalam sidang.
Dengan cara menjawab semua isu itu, saya yakin putu-
san MK bisa dipahami dan dapat menyelesaikan pro dan
kontra.
Pernyataan yang diberikan 4 (empat) hari sebelum
pembacaan putusan, dinilai sebagai gambaran putusan MK
yang diberikan terhadap permohonan uji materiil. Sedang-
kan pasca putusan, Mahfudz memberikan komentar sebagai
reaksinya terhadap siaran pers dari tim kuasa hukum sebagai
berikut,61
“Silahkan saja kalau mau mengadu ke DPR,”...“Jangan
hanya ke DPR. Bisa ke LSM, bisa ke kampus-kampus,
dan lebih afdhol minta eksaminasi ke Komisi Yudisial. Ka-
lau mau ke Komisi HAM PBB juga bagus,”.
“Bagi saya, yang berperkara di MK itu, termasuk yang
ingin UU Penodaan Agama itu dipertahankan, tak kalah
militansinya sebagai pejuang HAM.”
“Kita tak boleh terjebak dalam kegenitan, bahwa kalau
berani mempersoalkan itu lalu disebut tokoh HAM se-
dang yang lainnya bukan. Itu genit yang kebablasan,”
Dalam kode etik hakim konstitusi dinyatakan bah-
wa hakim konstitusi ”Tidak mengeluarkan pendapat atau
pernyataan di luar persidangan atas sesuatu perkara yang
sedang ditanganinya mendahului putusan.” Komentar-ko-
mentar Ketua MK atas putusan yang dihasilkannya terjadi
pula dalam kasus uji materi tentang jaksa agung yang me-
61) MK Dituding Manipulasi Fakta Persidangan UU Penodaan Agama, Jumat, 23 April
2010, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bd14fbb6604f/mk-dituding-manipu-
lasi-fakta-persidangan, diakses terakhir 15 Oktober 2010
53. Pos is i Kas us 39
nimbulkan polemik dan permintaan agar Mahfudz menghen-
tikan komentar-komentarnya. 62
E. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Alasan-Alasan Penolakan Permohonan
Setelah melalui proses persidangan maraton selama
3 bulan, MK memutuskan menolak keseluruhan permohonan
JR UU Penodaan Agama. MK menarik kesimpulan bahwa
dalil-dalil yang diajukan pemohon, baik dalam pengujian
formil maupun materiil, tidak beralasan hukum. Hal ini di-
dasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan sebagai beri-
kut :
• Perspektif Ke-Indonesia-an terhadap Kebebasan
Beragama. MK berpendapat bahwa terhadap kebe-
basan beragama dalam pasal-pasal UU penodaan
agama harus dilihat dari perspektif ke-Indonesia-an.
Penghormatan Negara Indonesia atas berbagai kon-
vensi serta perangkat hukum internasional termasuk
hak asasi manusia haruslah tetap berdasarkan pada
falsafah dan konstitusi Negara Kesatuan Republik In-
donesia. Sehingga kekhasan sistem ketatanegaraan
Indonesia tidak harus sama dengan rechtstaat, rule of
law, individualisme, maupun komunalisme.
• Pembatasan kebebasan beragama berdasar-
kan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. MK menegaskan
jaminan konstitusional kebebasan beragama oleh
Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29
ayat (2) UUD 1945. Instrumen hukum internasional
dalam menjamin kebebasan beragama seperti Pasal
18 DUHAM, Pasal 18 ICCPR yang telah diadopsi/
ratifikasi dalam UU 39/1999 tentang HAM serta UU
No.12/2005 tentang Ratifikasi ICCPR. Sedangkan
Pembatasan kebebasan beragama berdasarkan
62) Mahfud Diminta Berhenti Komentari Putusan MK Soal Jaksa Agung Sabtu, 25/09/2010,
http://www.detiknews.com/commenturut/2010/09/25/012245/1448039/10/10|2/mah-
fud-diminta-berhenti-komentari-putusan-mk-soal-jaksa-agung, diakses terakhir 15 Ok-
tober 2010
54. 40 B u kan Jal an Teng ah: Hasil Ek sa m ina si Publik Putusa n M K Pe riha l Pe ngujia n UU No. 1/ P N P S/ 1965
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
• Forum Internum tidak mutlak dan negara da-
pat menentukan tafsir yang benar. Kebebasan
penafsiran terhadap agama sebagai domain forum
internum tidak mutlak atau absolut namun tetap ber-
pedoman pada kaidah atau metodologi yang benar
berdasarkan kitab suci dan pemuka agamanya. Pe-
nentuan atas tafsir mana yang benar terhadap suatu
agama dapat dilakukan oleh negara. Fungsi negara
tersebut dilakukan oleh Departemen Agama melalui
kesepakatan dari pihak internal agama.
• UU tidak diskriminatif. Pembatasan pengakuan
terhadap 6 (enam) agama di Indonesia (Islam, Kris-
ten, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu) tidak dis-
kriminatif, karena merupakan kenyataan sosiologis.
Kata “dibiarkan” dalam Penjelasan Pasal 1 Paragraf
3 UU No.1/PNPS/1965 memberikan ruang tumbuh-
berkembang semua agama dan termasuk Keper-
cayaan terhadap Yang Maha Esa. Praktik diskriminasi
yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan
adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma
dalam hukum administrasi dan bukan merupakan
permasalahan pertentangan norma UU Penodaan
Agama terhadap UUD 1945.
• Penyaluran aliran kebatinan kedalam salah satu
agama dibenarkan. Khusus penyaluran badan dan
aliran kebatinan ke arah pandangan yang sehat dan ke
arah Ketuhanan YME oleh Pemerintah benar adanya
dalam konteks menghilangkan praktik-praktik biad-
ab oleh badan atau aliran kebatinan pada waktu dan
upacara tertentu.
• Tokoh (ulama) yang mempunyai otoritas penaf-
siran atas agamanya.
• UU diperlukan dan tidak bertentangan dengan
perlindungan HAM. UU Penodaan Agama bukan
UU tentang kebebasan beragama sebagai HAM
melainkan UU tentang larangan penodaan terhadap