1. 1
اَمِب ُض ْرَ ْ
اﻻ ُمُكْيَلَع ْتَقاَض ﱠو اْـيَش ْمُكْنَع ِنْغُت ْمَلَف ْمُكُتَرْثَك ْمُكْتَبَجْعَا ْذِا ٍْۙنيَنُح َم ْوَي ﱠو ٍۙةَْريِثَك َنِاط َوَم ْيِف ُ ﱣ ُمُك َرَصَن ْدَقَل
َْۚني ِ
رِبْدﱡم ْمُتْيﱠل َو ﱠمُث ْتَبُح َر
8: 25: “Sungguh, Allah benar-benar telah menolong kamu (orang-orang mukmin) di medan peperangan yang banyak dan pada hari (perang)
Hunain ketika banyaknya jumlahmu menakjubkanmu (sehingga membuatmu lengah). Maka, jumlah kamu yang banyak itu tidak memberi
manfaat kepadamu sedikit pun dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu kemudian kamu lari berbalik ke belakang (bercerai-berai).”
Ayat ini menerangkan bahwa kaum Mukminin mendapat banyak pertolongan dari Allah dalam peperangan menghadapi kaum musyrik yang
menghalang-halangi tersiarnya agama Islam. Pertolongan itu berupa kemenangan yang sempurna, cepat maupun lambat, seperti Perang Badar
yang mendapat kemenangan yang besar, dan Perang Hunain yang pada mulanya kalah kemudian menang.
Pada Perang Hunain itu jumlah tentara kaum Muslimin sangat banyak, sedang tentara orang kafir dalam jumlah yang lebih kecil dari tentara
kaum Muslimin. Dengan jumlah tentara yang banyak itu kaum Muslimin merasa bangga, dan merasa tidak akan dapat dikalahkan, tetapi
kenyataan tidak demikian. Kaum Muslimin dipukul mundur oleh orang kafir, seolah-olah tentara yang banyak, harta, serta persiapan perang
yang demikian lengkapnya tidak berguna sedikit pun, sehingga bumi yang luas ini terasa sempit dan menyebabkan mereka mundur dan lari
dalam keadaan bercerai-berai.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Baihaqi dan lain-lain dari Aktsam bin Aljan bahwa Perang Hunain itu terjadi pada tahun kedelapan Hijri,
sesudah pembebasan Mekah, di suatu tempat yang bernama Hunain, suatu lembah terletak antara Mekah dengan Taif. Tentara kaum Muslimin
berjumlah 12.000 orang, sedang tentara orang kafir 4.000 orang saja. Pada peperangan ini kaum Muslimin mengalami kekalahan dan terpaksa
mundur, tetapi akhirnya turunlah pertolongan Allah dan kaum Muslimin memperoleh kemenangan.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari al-Barra' bin 'Azib r.a. yang menggambarkan suasana Perang Hunain, yaitu: Seorang laki-laki
dari Qais bertanya, "Hai Abu 'Imarah, apakah kamu turut meninggalkan Rasulullah pada Perang Hunain?" Abu 'Imarah menjawab,
"Rasulullah tidak lari sekalipun orang-orang Hunain dengan para pemanah yang jitu, dapat melancarkan serangannya, tetapi masih dapat
kami lumpuhkan. Pada waktu kaum Muslimin sedang memperebutkan harta rampasan, maka musuh menghujani mereka dengan anak panah,
sehingga kaum Muslimin menderita kekalahan dan musuh mendapat kemenangan. Pada waktu itu aku lihat Rasulullah saw. berkuda tampil
kemuka sambil mengatakan dengan gagah berani, "Akulah Nabi, anak Abdul Muthalib, jangan ragu, Ya Allah turunkanlah pertolongan-Mu."
2. 2
ا َبﱠذَع َو َاه ْوَرَت ْمﱠل ًاد ْوُنُج َل َزْنَا َو َْنيِنِمْؤُمْال ىَلَع َو ٖهِل ْوُسَر ىٰلَع َٗهتَنْيِكَس ُ ﱣ َلَزْنَا ﱠمُث
َْني ِ
رِفٰكْال ُءۤاَزَج َكِلٰذ َو ۗا ْوُرَفَك َْنيِذﱠل
8: 26: “Kemudian, Allah menurunkan ketenangan (dari)-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin, serta menurunkan bala
tentara yang kamu tidak melihatnya, juga menyiksa orang-orang yang kafir. Itulah balasan terhadap orang-orang kafir.”
Ayat ini menerangkan bahwa sesudah kaum Muslimin merasa sedih dan duka cita akibat kekalahan dalam Perang Hunain, maka Allah
menurunkan pertolongan kepada mereka berupa kemantapan hati dan mendatangkan bala bantuan yang tidak dapat mereka lihat. Bala bantuan
itu terdiri dari malaikat-malaikat. Perasaan sedih dan duka cita bagi kaum Muslimin berubah menjadi tenang, berani, dan semangat maju ke
depan.
Akhirnya orang-orang kafir menderita kekalahan, dibunuh, ditawan dan hartanya menjadi rampasan. Kekalahan itu adalah merupakan azab bagi
mereka dan itulah balasan atas kekafiran mereka dan balasan atas permusuhan mereka terhadap kaum Muslimin. Firman Allah swt: Perangilah
mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Dia akan menghinakan mereka dan menolongmu
(dengan kemenangan) atas mereka. (at-Taubah/9: 14).
َشﱠي ْنَم ىٰلَع َكِلٰذ ِدْعَب ْۢنِم ُ ﱣ ُب ْوُتَي ﱠمُث
ٌمْي ِحﱠر ٌر ْوُفَغ ُ ﱣ َو ُۗءۤا
8: 27: “Setelah itu, Allah menerima tobat orang yang Dia kehendaki. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini menjelaskan bahwa terhadap orang-orang yang sudah mendapat azab dari Allah di dunia ini, karena kekafiran, mereka dapat diberi
ampunan dan diterima tobatnya bilamana mereka telah mendapat petunjuk dari Allah untuk memeluk Islam. Bilamana mereka telah menjadi
muslim dan tidak lagi mempersekutukan Allah, maka kesalahannya diampuni oleh Allah dan segala dosanya dihapus, karena Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
3. 3
ٰه ْمِهِامَع َدْعَب َام َرَحْال َد ِجْسَمْال واُبَرْقَي َ
ﻼَف ٌسَجَن َن ْوُك ِ
رْشُمْال اَمﱠنِا ا ْٓوُنَمٰا َْنيِذﱠال اَهﱡيَآٰي
ُ ﱣ ُمُكْيِنْغُي َف ْوَسَف ًةَلْيَع ْمُتْف ِخ ِْنا َو ۚاَذ
ٌمْيِكَح ٌمْيِلَع َ ﱣ ﱠنِا َۗءَۤاش ْنِا ٓ ٖهِلْضَف ْنِم
8: 28: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwanya). Oleh karena itu, janganlah mereka
mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini. Jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), Allah nanti akan
memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”.
Setelah Rasulullah saw menunjuk Abu Bakar menjadi amirul hajj, Rasulullah memberi tugas kepada Ali bin Abi Thalib agar mendampingi Abu
Bakar membacakan ayat-ayat permulaan surah at-Taubah di hadapan orang banyak.
Timbullah kecemasan di kalangan kaum Muslimin karena khawatir akan menghadapi kesulitan makanan akibat orang-orang musyrik tidak
dibolehkan masuk ke Mekah untuk melakukan ibadah haji. Pada akhir ayat ini, Allah menjamin orang-orang mukmin dari kemelaratan. Mereka
tidak perlu khawatir akan kekurangan makanan dan barang-barang dagangan akibat larangan Allah terhadap kaum musyrik tersebut yang
biasanya datang ke tanah suci membawa barang dagangan. Jaminan Allah kepada orang mukmin untuk mendapat kehidupan yang baik
tergantung kepada kegiatan usaha dan ikhtiar seseorang. Namun demikian, tidak terlepas dari kehendak Allah, kepada siapa Allah memberikan
karunia-Nya. Oleh karena itu, orang mukmin hendaklah mempertebal keimanan dan tawakalnya kepada Allah di samping melakukan usaha dan
ikhtiar. Allah mengetahui urusan yang akan datang, baik mengenai kemakmuran atau kemelaratan yang menimpa penduduk suatu negeri. Allah
Mahabijaksana dalam segala hal terutama mengenai ketentuannya, baik berupa perintah maupun larangan. Allah telah memenuhi janji-Nya
karena kenyataannya penduduk Mekah tidak mengalami kesulitan kehidupan.
Setelah tersiar larangan tersebut, semakin banyak orang musyrik masuk Islam, bukan saja mereka yang berada di sekitar Jazirah Arab, malahan
hampir sampai ke segenap penjuru. Mereka tentulah berkewajiban menunaikan ibadah haji di samping mereka bebas mengunjungi tanah suci.
Hal ini merupakan salah satu jalan bagi penduduk Mekah untuk memperoleh kemakmuran hidup.
Dengan adanya larangan Allah terhadap orang-orang musyrik memasuki Masjidil Haram, terjadilah perselisihan pendapat antara ulama fiqih
sebagai berikut: 1. Orang musyrik dan Ahli Kitab tidak dibolehkan memasuki Masjidil Haram, sedang mesjid lainnya dibolehkan terhadap Ahli
Kitab. Demikian menurut mazhab Imam Syafii. 2. Orang-orang musyrik termasuk Ahli Kitab tidak dibolehkan memasuki semua mesjid.
Demikian menurut mazhab Maliki. 3. Yang dilarang memasuki Masjidil Haram adalah orang musyrik saja, (tidak termasuk Ahli Kitab).
Demikian menurut mazhab Hanafi. 4. Sebagian Ulama berpendapat bahwa orang musyrik dilarang memasuki tanah haram dan jika dia datang
secara diam-diam (menyamar) kemudian ia mati dan dikuburkan maka setelah diketahui, wajiblah digali kuburnya dan dikuburkan di luar tanah
haram.
4. 4
واُت ْوُا َْنيِذﱠال َنِم ِّقَحْال َْنيِد َن ْوُنْيِدَي َ
ﻻ َو ٗهُل ْوُس َر َو ُ ﱣ َمﱠرَح اَم َن ْوُم ِّرَحُي َ
ﻻ َو ِر ِخٰ ْ
اﻻ ِم ْوَيْالِب َ
ﻻ َو ِ ﱣ اِب َن ْوُنِمْؤُي َ
ﻻ َْنيِذﱠال واُلِتاَق
ࣖ
َن ْوُرِغ ٰص ْمُه ﱠو ٍدﱠي ْنَع َةَي ْز ِجْال واُطْعُي ىﱣتَح َبٰتِكْال
8: 29: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan (menjauhi) apa yang telah diharamkan
(oleh) Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti agama yang hak (Islam), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab (Yahudi dan Nasrani)
hingga mereka membayar jizyah dengan patuh dan mereka tunduk.”
Pada hakikatnya, ayat ini merupakan langkah awal agar Nabi Muhammad saw mengalihkan perhatiannya kepada Perang Tabuk yang akan
dihadapinya. Perang Tabuk merupakan perang yang terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, sesudah kaum Muslimin dapat
menguasai kota Mekah. Tabuk terletak di sebelah utara Medinah, berbatasan dengan Yordania/ Syam (Damaskus) yang ketika itu dikuasai oleh
kerajaan Romawi yang beragama Nasrani. Ketika berita sampai kepada Nabi Muhammad saw, bahwa pihak Romawi mempersiapkan pasukan
dalam jumlah yang besar untuk menguasai daerah perbatasan tersebut, maka Nabi Muhammad saw, mengumumkan kepada seluruh kaum
Muslimin melalui kabilah-kabilah agar bersiap-siap mengumpulkan segala kekuatan untuk turut bersama Nabi memerangi pasukan Romawi.
Seruan Nabi Muhammad tersebut segera mendapat sambutan dari kaum Muslimin yang kuat imannya, kecuali kaum munafik yang mencari
celah sebagaimana telah menjadi kebiasaan mereka terutama dalam menghadapi Tabuk, di samping jaraknya sangat jauh juga panas matahari
sangat terik. Setelah Nabi Muhammad saw dan pasukan kaum Muslimin sampai di Tabuk, didapatinya pasukan Romawi telah lebih dahulu
mengosongkan daerah Tabuk untuk mundur kembali ke daerah pedalaman. Maka Ahli Kitab yang berada di sana meminta perdamaian dan
menyerahkan jizyah kepada Nabi Muhammad saw sebagai tanda pengakuan mereka untuk tunduk kepada kekuasaan Islam, karena mereka
belum bersedia menganut agama Islam.
Setiap peperangan pada masa Nabi hanya untuk mempertahankan diri atau untuk membalas serangan. Pada ayat ini Allah memerintahkan kaum
Muslimin agar memerangi Ahli Kitab, karena mereka memiliki empat unsur yang menyebabkan mereka memusuhi Islam.
Empat unsur itu ialah:
1. Mereka tidak beriman kepada Allah, karena mereka telah menghancurkan asas ketauhidan. Mereka menjadikan pendeta-pendeta selaku
orang suci yang berhak menentukan sesuatu, baik mengenai peraturan yang berkenaan dengan ibadah maupun yang berhubungan dengan
halal dan haram. Demikian juga orang Nasrani menganggap Isa anak Allah, sedangkan orang Yahudi menganggap pula Uzair sebagai
anak Allah. Hal itu dengan tegas menunjukkan bahwa mereka semua mempersekutukan Allah dalam membuat peraturan agama.
2. Mereka tidak beriman kepada hari kemudian, karena mereka menganggap bahwa kehidupan di akhirat sekedar kehidupan rohaniyah
belaka. Kesesatan anggapan mereka seperti ini karena tidak ada ketegasan, baik dalam Taurat maupun dalam Injil tentang adanya hari
5. 5
kebangkitan dan pembalasan sesudah mati, saat manusia bangkit kembali sebagaimana kejadiannya semula, yaitu terdiri dari jasad dan
roh, yang masing-masing akan merasakan kenikmatan karunia Allah sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an.
3. Mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Orang Yahudi tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh
Allah pada syariat yang dibawa oleh Musa dan yang sebagiannya dinasakhkan oleh Isa, yakni dinyatakan tidak berlaku lagi hukumnya.
Mereka memandang halal memakan harta dengan jalan yang tidak halal (batil), seperti riba dan sebagainya dan mereka mengikuti cara-
cara orang musyrik dalam keganasan berperang dan memperlakukan tawanan. Sedangkan orang Nasrani memandang halal apa yang
diharamkan oleh Allah pada syariat Musa yang belum dinasakh oleh Injil. Dalam Taurat Allah mengharamkan lemak daging atau harga
penjualannya. Orang-orang Nasrani tidak memandangnya haram.
4. Mereka tidak berpegang kepada agama yang benar yaitu agama yang diwahyukan kepada Musa dan Isa a.s. Apa yang mereka anggap
agama sebenarnya adalah suatu cara yang dibuat oleh pendeta-pendeta mereka berdasarkan pikiran dan kepentingan. Yang menyebabkan
perbuatan tersebut karena Taurat yang diturunkan kepada Musa, dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, ditulis jauh setelah keduanya
wafat. Sehingga Taurat dan Injil ditulis berdasarkan pemahaman pengikut-pengikutnya. Bahkan beberapa abad sesudah kenaikan Isa
mereka memilih empat Injil yang masing-masing saling bertentangan. Demikianlah keadaan mereka, sebagaimana diisyaratkan oleh
firman Allah: “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras
membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah
diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di
antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik. (al-Ma'idah/ 5: 13).”
5. Allah memerintahkan orang mukmin agar memerangi Ahli Kitab karena mereka menunjukkan permusuhan dan mengancam keamanan
Muslimin, baik dalam kehidupan beragama maupun kehidupan sosial. Jika mereka menerima Islam sebagai pengganti agamanya, maka
mereka telah kembali kepada agama yang benar, dan jika mereka tunduk, tidak lagi mengganggu dan mengancam kehidupan umat Islam
maka hendaklah mereka membayar jizyah (kecuali mereka yang miskin dan para pendeta) sebagai tanda bahwa mereka berada dalam
posisi yang rendah. Kewajiban Muslimin seluruhnya menjamin keamanan mereka, membela mereka, memberikan kebebasan kepada
mereka terutama dalam menjalankan ibadah menurut agama mereka dan memperlakukan mereka dengan adil dalam kehidupan sosial
sebagaimana kaum Muslimin sendiri diperlakukan. Dengan membayar jizyah mereka disebut ahli zimmah atau kafir zimmi.