penjelasan tentang kurban dan aqiqah serta perbedaan dan hukum-hukumnya.
jika anda butuh informasi terkait kurban atau jasa aqiqah di solo, jasa aqiqah di solo, jasa aqiqah di jakarta barat, maupun jasa aqiqah di purwokerto bisa menghubungi ke nomor 082119799909
1. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan
orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Mengenai permasalahan menggabungkan niat Aqiqah dan
Qurban, para ulama memiliki beda pendapat.
Pendapat pertama: Aqiqah dan Qurban tidak boleh
digabungkan. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah,
Syafi‟iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan
qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang tidak bisa
menggantikan satu dan lainnya. „Aqiqah dilaksanakan dalam
rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan
qurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari
An Nahr (Idul Adha).[1]
Al Haitami –salah seorang ulama Syafi‟iyah- mengatakan,
“Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk Aqiqah
dan Qurban sekaligus maka keduanya sama-sama tidak
teranggap. Inilah yang lebih tepat karena maksud dari qurban
dan „aqiqah itu berbeda.”[2]
Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy dalam Fatawa Kubronya
menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami
sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat
aqiqah dan qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan
dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya (sehingga tidak bisa
digabungkan dengan lainnya, pen). Begitu pula keduanya
memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah
(qurban) sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah
sebagai tebusan untuk anak yang diharap dapat tumbuh
menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah dilaksanakan
untuk mendoakannya.”[3]
Pendapat kedua: Penggabungan Aqiqah dan Qurban itu
dibolehkan. Menurut pendapat ini, boleh melaksanakan qurban
sekaligus dengan niat „aqiqah atau sebaliknya. Inilah salah satu
2. pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah,
pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan
Qotadah.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin
disyukuri dengan qurban, maka qurban tersebut bisa jadi satu
dengan „aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap
dianggap sah jika qurban digabungkan dengan „aqiqah.”[4]
Al Bahuti –seorang ulama Hambali- mengatakan, “Jika waktu
aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan dengan waktu
pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya
bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan
aqiqah sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban
sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana jika hari „ied
bertepatan dengan hari Jum‟at, kita melaksanakan mandi
jum‟at sekaligus dengan niat mandi „ied atau sebaliknya.”[5]
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim
rahimahullah. Beliau mengatakan, “Jika qurban dan „aqiqah
digabungkan, maka cukup dengan satu sembelihan untuk satu
rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban itu
juga diniatkan untuk „aqiqah.
Sebagian mereka yang berpendapat demikian, ada yang
memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu diatasnamakan si
kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak
disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk
berqurban, maka dia juga langsung boleh niatkan aqiqah untuk
anaknya.”[6] Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim
membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.
Point Penting dalam Penggabungan Niat
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa penggabungan niat
diperbolehkan jika memang memenuhi dua syarat:
3. Kesamaan jenis.
Ibadah tersebut bukan ibadah yang berdiri sendiri, artinya ia
bisa diwakili oleh ibadah sejenis lainnya.
Kami contohkan di sini, bolehnya penggabungan niat shalat
tahiyatul masjid dengan shalat sunnah rawatib. Dua shalat ini
jenisnya sama yaitu sama-sama shalat sunnah. Mengenai shalat
tahiyatul masjid, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
اَذإ َلَخَد ْمُكُدَحَأ َد ِْجسَمْال ََلَف ْسِلْجَي ىَّتَح َيِّلَصُي ِْنيَتَعْكَر
“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka
janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan shalat sunnah
dua raka‟at (shalat sunnah tahiyatul masjid).”[7] Maksud hadits
ini yang penting mengerjakan shalat sunnah dua raka‟at ketika
memasuki masjid, bisa diwakili dengan shalat sunnah wudhu
atau dengan shalat sunnah rawatib. Shalat tahiyatul masjid
bukan dimaksudkan dzatnya. Asalkan seseorang mengerjakan
shalat sunnah dua raka‟at (apa saja shalat sunnah tersebut)
ketika memasuki masjid, ia berarti telah melaksanakan
perintah dalam hadits di atas.
Namun untuk kasus aqiqah dan qurban berbeda dengan shalat
sunnah awatib dan shalat sunnah tahiyatul masjid. Qurban dan
aqiqah memang sama-sama sejenis yaitu sama-sama daging
sembelihan. Namun keduanya adalah ibadah yang berdiri
sendiri dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban
untuk tebusan diri sendiri, sedangkan aqiqah adalah tebusan
untuk anak. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hajar Al Makki di
atas.
Jalan Keluar dari Masalah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya
mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan
„aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh
kelahiran anak?
4. Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat,
jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran
anak, kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak
perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu
dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk
masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak
perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya,
karena dua ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya
bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu ibadah sudah
mencakup ibadah lainnya.
Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah
memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan
hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu
kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika
anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika
anaknya laki-laki).”[8]
Kesimpulan
Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat
pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara
aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun
ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban
adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang
lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih
selamat dari perselisihan yang ada.
Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul
Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya
laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi,
sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak
laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus,
maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah
(qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan
waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah
ditunaikan aqiqah.
5. Wallahu a‟lam bish showab.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
jasa aqiqah, jual kambing aqiqah, jasa aqiqah jakarta, jasa
aqiqah tangerang, jasa aqiqah bandung, jasa aqiqah surabaya,
jasa aqiqah jakarta timur, jasa aqiqah jogja, jasa aqiqah murah,
jasa aqiqah bekasi, jasa aqiqah di solo, jasa aqiqah jakarta
barat, jasa aqiqah purwokerto, jasa aqiqah di bekasi