Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A N P R E S I D E N L A N G S U N G & L E M B A G A K E P R E S I D E N A N
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas perlunya amendemen UUD 1945 untuk memungkinkan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat dan membatasi kekuasaan eksekutif.
2. Beberapa pasal yang perlu diperbaiki diantaranya tentang syarat dan masa jabatan presiden serta mekanisme penggantian presiden dan wakil presiden.
3. Dokumen tersebut juga menyarankan pemb
Similar a Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A N P R E S I D E N L A N G S U N G & L E M B A G A K E P R E S I D E N A N
Similar a Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A N P R E S I D E N L A N G S U N G & L E M B A G A K E P R E S I D E N A N (20)
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 2. P E M I L I H A N P R E S I D E N L A N G S U N G & L E M B A G A K E P R E S I D E N A N
1. PEMILIHAN PRESIDEN LANGSUNG O/ RAKYAT
Amat disayangkan, bahwa SU-MPR 1999 yang lalu tidak segera melakukan
amandemen terhadap Pasal 6(2) UUD 1945 untuk mengubah cara pemilihan presiden dan
wakil presiden yang lebih demokratis, yaitu melalui pemilihan langsung o/ rakyat.
Pada masa lalu, memanipulasi 1000 orang anggta MP memang terasa sangat
mudah bagi Soeharto. Meskipun UU Pemilu 1999 telah mengurangi jumlah anggota
MPR menjadi 700 orang, tetapi tetap saja tidak ada yang bisa dibanggakan menjadi
presiden RI melalui pemilihan o/ MPR. Siapapun yang bisa memenangkan kursi terbesar
di MPR, tentu saja melakukan rekayasa, baik dengan cara kasar (money politics) maupun
dengan cara halus (fraksiisme), akan mendapati dirinya bisa menjadi presiden sekaligus.
Sedang akan tidak mudah untuk memanipulasi suara ratusan juta rakyat pemilih,
kalau tidak ingin mengatakan almost impossible. Dengan pemilihan langsung, tidak lagi
presiden dimanipulasi, rakyat Indonesia yang beragam tentu saja tidak bisa seluruh
keragamannya dapat diwakili o/ MPR.
Pemilihan presiden dan wakil presiden o/ rakyat, seperti pada Pemilu-pemilu
umumnya, seharusnya merupakan hal yang wajar-wajar saja dalam pelaksanaannya.
Bukan merupakan “barang” istimewa yang “sulit” dilaksanakan. Persiapan khusus tidak
perlu dilakukan. Dalam tempo tiga bulan, mestinya Pemilu bisa dilaksanakan dengan
jujur, adil, bersih, dan demokratis. Hanya empat hal yang perlu menjadi persyaratan
utama:
(1) Tidak ada larangan memilih bagi siapa pun yang telah cukup umur.
(2) Tidak ada paksaan bagi calon pemilih: hak untuk memilih sama dengan hak untuk
tidak memilih; dan hak untuk memilih sesuatu sama dengan hak untuk memilih
yang lain.
(3) Setiap pemilih tahu persis siapa dan bagaimana calon pilihannya itu.
(4) Seorang pemilih tidka diperkenankan memilih lebih dari satu kali.
Mungkin syarat ketiga tersebut di atas adlah syarat yang sedikit sulit dilaksanakan.
Tetapi, kalau para peserta Pemilu (partai atau individu calon) faham betul dan punya rasa
tanggungjawab besar aterhadap arti demokrasim yaitu bahwa pemilih harus mengenal
betul kualitas calon pilihannya, maka haruslah para peserta Pemilu itu berjuang untuk
memenangkan hati rakyat pemilihnya dengan menyampaikan program-programnya, dan
bukan memanfaatkan ketidaktahuan rakyat pemilihnya semata-mata untuk mendapatkan
suaranya. Sebab, kalau rakyat sampai “salah-pilih”, maka yang rugi adalah seluruh
bangsa. Dengan demikian UU Pemilu juga harus mengandung perintah agar setiap
peserta Pemilu menjual program-programnya bukan menjual bendera atau simbol-simbol
partai, bahkan menjual masa melalui pengerahan masa. Dalam hal ini, negaradan pers
bisa ikut serta membantu dalam sosialisasi program para peserta Pemilu dengan cara
yang jujur dan tidak memihak.
Pelaksana pemilihan presiden, sebagaimana halnya dengan Pemilu lain dan
referendum, adalah kelompok independen (seperti LSM) yang bukan peserta dalam
pemilihan sebagai kelompok yang dipilih.
Calon-calon (dan wakil presiden) harus mengikuti debat terbuka selama
kampanye, perdebatan mana bisa disaksikan o/ seluruh rakyat. Perdebatan tentu saja
menyangkut materi program kerja lima tahun ke depan, seandainya calon tersebut
2. menjadi presiden terpilih. Dibutuhkan panitia khusus yang independen untuk menetapkan
materi atau hal-hal yang patut diperdebatkan, yaitu baik yang menyangkut persoalan
negara yang aktuil dan yang sedang dihadapi rakyat maupun yang menyangkut dunia.
LEMBAGA KEPRESIDENAN
Tugas presiden adalah menjalankan UUD. Oleh karena itu, pasal-pasal UUD 1945
tentang lembaga kepresidenan perlu diperbaiki dengan memberikan batasan-batasan yang
lebih kongkrit tentang ruang lingkup lembaga kepresidenan, agar lembaga kepresidenan
tidak lepas dari kendali kedaulatan rakyat. Ada usaha-usaha untuk menerbitkan UU
tentang lembaga kepresidenan, tetapi batasan-batasan yang mendasar itu sebaiknya sudah
dimaksukkan sekaligus di dalam konstitusi.
Dan itulah sebetulnya makna sebuah konsititusi: mencegah absolutisme khusunya
kekuasaan eksekutif, dan lebih khusus lagi lembaga kepresidenan. Banyak orang yang
bermaksud mempertahankan UUD 1945 menyatakan, bahwa kesalahan masa lalu
disebabkan o/ tidak terlaksanakannya UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Mereka
berpendapat bahwa UUD 1945 sendiri tidak keliru; yang keliru adalah orang yang
menjalankannya. Penjelasan UUD 1945 juga menekankan pentingnya “jiwa dan
semangat penyelenggaraan negara.” Di sinilah justru letak salah satu kelemahan UUD
1945. Sebuah konstitusi, seharusnya mampu memberikan batasan-batasan sedemikian
rupa, sehingga tidak mungkin manusia berjiwa diktator akan terpilih menjadi presiden
dan menjalankan konstitusi dengan baik. Atau paling tidak, siapa pun yant terpilih
menjadi presiden tidak mungkin akan membawa negara ke arah diktatorisme.
Pasal 5(1) tentang kekuasaan membuat UU yang terlalu didominasi presiden perlu
diperbaiki. Perubahan UUD 1945 menghendaki agar kekuasaan membuat UU tidak
hanya di tangan presiden, dan DPR hanya menyetujui saja. Akan tetapi, kekuasan
membuat UU berada di tangan Presiden bersama-sama dengan DPR dan Dewan Utusan
Daerah(DUD) otonom. Ketiga badan tersebut dipilih o/ rakyat secara langsung, sehingga
ketiganya berhak memegang kekuasaan membuat undang-undang. Artinya, ketiga badan
tersebut berhak mengajukan RUU. Keputusan terakhir tetap dipegang o/ para wakil
rakyat, bukan presiden. Aritnya, kalau presiden ternyata tidak setuju, maka para wakil
rakyat di kedua dewan itulah yang paling menentukan. Sehingga, kalau mayoritas wakil
rakyat dan mayoritas wakil daerah telah menyetujui maka RUU absah menjadi UU.
Selain ketentuan pemilihan presiden dan wakil presiden langsung o/ rakyat
sebagai pengganti Pasal 6(2), pasal lain yang patut diperbaiki di dalam UUD 1945 adalah
Pasal 6(1). Presiden dan wakil presiden tidak lagi dituntut harus orang Indonesia asli,
tetapi cukup apabla mereka adalah warga negara Indonesia yang telah berumur 40 tahun.
Setiap warga negara tentunya berhak untuk menjadi presiden. Termasuk mereka yang
menjadi warga negara hasil naturalisasi, setelah melewati periode tertentu. Kebarnya,
pada waktu itu pasal tersebut sengaja dipasang untuk mencegah warga negara keturunan
Belanda dan Jepang untuk ikut dalam pemilihan presiden, kalau Indonesia jadi merdeka.
Persyaratan presiden harus pula ditambah, antara lain yang terpenting mereka
harus sehat jasmani dan rohani. Dalam prakteknya, itu perlu dibuktikan dari keterangan
tim dokter. Presiden Franco D. Rosevelt dari AS menolak untuk dipilih kembali menjadi
Presiden AS keempat kalinya, karena alasan lumpuh setelah mengalami serangan
3. jantung. Mundurnya Presiden Rusia Boris Yeltsin setlah lama menderita sakit juga bisa
dijadikan contoh betapa jabatan presiden membutuhkan persyaratan yang berat, yaitu
harus tangkas, cekatan, dan mampu membuat keputusan secara cepat dan tepat. Dan
karena wakil presiden sewaktu-waktu harus bisa menggantikan kedudukan presiden,
maka wakil presiden pun mesti punya syarat yang sama.
Demikian pula harus jelas disebutkan, untuk memperbaiki Pasal 7, bahwa periode
jabatan seorang presiden adalah maksimum dua kali.
Pasal 8 juga merupakan kelemahan UUD 1945, karena hanya berbicara mengenai
penggantian presiden o/ wakil presiden manakala presiden mangkat, berhenti atau tidak
mampu menjalankan kewajibannya. Pasal tersebut tidak berbicara lebih lanjut manakala
presiden dan wakil presiden keduanya, mangkat, atau berhenti, atau tidak mampu
menjalankan tugasnya. Kalau itu terjadi, penggantinya, sebaiknya, adalah Ketua DPR.
Alasannya karena anggota DPR, sebagaimana Presiden, juga dipilih secara nasional dan
langsung pula o/ rakyat. Penjabat presiden yang adalah ketua DPR dan yang sekaligus
adalah ketua dalam sidang-sidang MPR ini mempunyai kewajiban menyelenggarakan
pemilihan presiden dan wakil presiden dalam tempo sesingkat-singkatnya maksimul
enam bulan.
Pada masa Orba ada ketentuan tentang triumvirat yang mengatakan apabila
presiden dan wakil presiden tidak bisa menjalankan tugsanya maka tiga orang, yaitu
Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, serta Menteri Pertahanan dan Keamanan
diangkat sebagai penggantinya. Ketentuan itu tentu saja tidak cocok untuk pemilihan
presiden dan wakil presiden langsung o/ rakyat.
Contoh buruk Orba lainnya adalah manakala presiden dan wakil presiden tidak
jelas tugasnya masing-masing. Presiden sebaiknya memegang posisi kooridnator para
menteri yang memimpin departemen, sedang wakil presiden diberi tugas
mengkoordinasikan kelompok menteri-menteri yang tidak memangku sesuatu
departemen. Bisa juga wakil presiden mengkooridinasikan kegiatan-kegiatan tertentu
yang ditangani o/ daerah-daerah provinsi. Tugas ini menjadi paling ideal apabila otonomi
daerah yang penuh dan di tingkat satu segera terwujud.
Presiden RI mestinya dalah Presiden dari seluruh rakyat, bukan presiden golongan
tertentu. Hubungan atau loyalitas presiden dengan partainya sudah harus diakhiri setelah
mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI. Loyalitas itu bisa muncul kembali manakala
presiden yang bersangkutan akan mencalonkan diri kembali untuk kedua atau terakhir
kalinya lewat partainya.
Tentu tidak bisa dipungkiri, bahwa calon presiden yang diusulkan o/ sesuatu
partai politik mungkin saja sekaligus adalah ktua partai tersebut. Maka jabatan sebagai
ketua partai itu pun harus dilepaskan begitu yang bersangkutan terpilih menjadi presiden
(atau wakil presiden). Pada pokoknya semua bentuk rangkap jabatan yang terkait dengan
suatu organisasi politik dan kemasyarakatan, khususnya jabatan eksekutif, harus
dilepaskan. Ini adalah untuk menghindari adanya penyalahgunaan wewenang, korupsi,
kepemihakan, dan berbagai bentuk kolusi dan nepotisme lainnya.
Presiden (dan wakil presiden) juga harus melepaskan diri dari semua jabatan di
perusahaan dan dilarang menahan saham di perusaan atau berbisnis untuk mencari
untung. Presiden tidak boleh membuat hutang atas nama negara. Gaji presiden yang
diberikan o/ negara dianggap sudah lebih dari cukup, karena presiden telah mendapat
berbagai fasilitas dan kemudahan dari negara.
4. Dalam menjalankan hak-hak prerogatif yang lain, seorang presiden juga harus
berkonsultasi dengan pemegang kekuasaan negara lainnya yang susuai. Misalnya untuk
mengangkat duta besar, presiden perlu meminta pertimbangan dari MPR, sedang untuk
memberikan grasi, amnesti dan abolisi presiden harus mengkonsultsaikannya terlebih
dahulu dengan MA.
Amat tidak masuk akal, manakala SU-MPR 1999 yang lalu menetapkan dalam
Amandemen Pertama UUD 1945 (Pasal 14), bahwa presiden harus meminta
pertimbangan DPR untuk memberikan grasi, amnesti dan abolisi. Tentu ini ketentuan
amandemen yang keliru; seharusnya pertimbangan diminta dari MA. Sulit diterima akal,
manakala DPR harus bersidang pleno untuk menerima atau menolak apa yang menjadi
haknya presiden. Apalagi hak tersebut adalah untuk memberi ruang yang lebih luas bagi
demokrasi dan HAM. Bukankah dalam soal yang menyangkut keputusan pidanan ini
Kekuasaan Kehakiman lebih tahu daripada Kekuasaan Legislatif(DPR)?
Untuk mengangkat duta besar (Pasal 13), yaitu wakil pemerintah di luar negeri,
presiden perlu berkonsultasi dengan MPR. Dalam waktu yang relatif singkat, MPR harus
memberikan jawabannya. Untuk mengangkat konsul, pertimbangan tersebut tidak perlu;
cukup lewat Menteri Luar Negeri saja. Dalam menerima duta besar dan konsul dari
negara lain tentu tidak perlu berkonsultasi atau menanyakan kepada wakil rakyat, tetapi
cukup kiranya apabila presiden memberitahukan perihal itu kepada MPR.
Presiden menyatakan keadaan bahaya dan perang. Tentu saja lebih baik kalau RI
mempunyai UU yang khusus tentu keadaan tertib sipil, undang-undang tentang keadaan
darurat atau bahaya, dan undang-undang tentang keadaan perang. Ketiganya perlu
dipisahkan, untuk tidka mengacaukan sesuatu keadaan dengan keadaan lainnya, tidak
seperti RUU PKB, Penanggulangan Keadaan Bahaya, yang dirancang o/ rezim Habibie,
yang sekaligus meliputi ketiga situasi tersebut. “Pengacauan” ketiga situasi itu bisa
mengakibatkan kesalahan prosedur, dimana keadaan tertib sipil o/ sebab kekacauan
setempat mengakibatkan penanganan ala keadaan perang, sehingga kekerasan militer
yang serng terjadi pada masa Orba terhadap penduduk sipil dapat berluang kemblai, dan
dengan demikian mungkin pula terjadi kembali berbagai pelanggaran HAM. Segala
prosedur untuk menyatakan negara ada dalam keadaan bahaya dan perang dengan negara
lain harus lewat UU. Demikian pula setiap keputusan tentang operasi militer, selain
melalui prosedur sesuai UU, juga harus sepengetahuan MPR. Demikian pula pernyataan
perang harus dengan pengetahuan MPR.
Yang juga sering dilupakan, khususnya mengambil contoh pada masa Orba,
adalah perihal perjanjian antarnegara. Segala bentuk perjanjian dan kerjasama
antarnegara harus disampaikan kepada MPR. Perjanjian hutang asing yang selama ini
dilakukan o/ pemerintah RI melalui UU APBN dinilai tidak pada tempatnya, karena
hutan gasing ini merupakan kesepakatan tersendiri dalam bentuk perjanjian dengan
negara atau negara-negara asing. Bahwa hasil perjanjian hutang tersebut akan
dimasukkan ke dalam APBN, itu adalah masalah intern dalam negeri Indonesia.
Tanda-tanda jasa dan tanda-tanda kehormatan yang diberikan o/ seorang presiden
semestinya meliputi tanda kehormatan kenegaraan saja. Dengan demikian, gelar profesor
tidak boleh diartikan sebagai “tanda kehormatan”. Gelar-gelar non-kenegaraan seperti itu
tidak boleh diberikan o/ presiden. Gelar profesor seharusnya diberikan o/ presiden
universitas.
5. Selama Republik ini berdiri, rakyat tidak pernah tahu atau diberitahu berapa gaji
seorang presiden dan para menterinya. Tentu sekarang sudah saatnya gaji para pejabat
tinggi negara tersebut terbuka bagi masyarakat. Soal gaji itu selayaknya dinyatakan
dalam UU yang khusus, tidak perlu bersamaan dengan ditetapkannya UU tentang APBN.
Kenaikan gaji presiden, wakil presiden, para menteri dan anggota DPR/ MPR o/ usulan
Gusdur empat hingga tujuh kali lipat dari gaji semasa pemerintahan Soeharto dalam
keadaan perekonomian pasca kristis moneter yang sama sekali belum pulih ini
menunjukkan betapa pemintahan Gusdur-Megawati tidak mengenal sense of crisis.
Kenaikan gaji Gusdur sebagai presiden dari 10 juta rupiah pada masa Soeharto menjadi
70 juta rupiah, bagi kelompok reformis sungguh sangat keterlaluan. Tetapi lebih
keterlaluan lagi para pimpinan dan anggota DPR yang juga ikut menikmati kenaikan gaji
itu dan tidak menolak atau berbuat sesuatu untuk meringankan beban rakyat.
Dalam soal pertanggungjawaban presiden di depan sidang pleno MPR menurut
UUD 1945 perlu dicatat hal-hal berikut: pertanggungjawaban itu disampaikan manakala
ada dugaan yang jelas, tentunya disertai bukti-bukti permulaan yang cukup, bahwa
presiden menyimpang dari ketentuan konstitusi. Pertanggungjawaban itu disampaikan
dalam Sidang Istimewa (SI, bukan SU) MPR atas permintaan DPR. Dengan SI-MPR itu
presiden bisa jatuh manakala pertanggungjawabannya ditolak. Mestinya, bisa juga SI-
MPR menawarkan kepada presiden untuk mundur atau segera dituntut di muka
pengadilan (MA). Hanya saja ketentuan ini tidak ada dalam UUD 1945.
Meskipun sudah ada pasal-pasal dalam konstitusi yang menjelaskan tentang hak
dan kewajiban presiden, masih diperlukan ketentuan perudang-undangan lain yang lebih
luas, seperti UU tentang lembaga kepresidenan. Di situ dapat ditetapkan apayang boleh
dan tidak boleh dilakukan o/ seorang presiden, antara lain, tentang etika kehidupan
sehari-hari, seperti larangan terhadap presiden (dan wakil presiden) membuat pernyataan-
pernyataan yang bisa menimbulkan konflik dalam masyarakat.