4. @2009 Komnas Perempuan
Tim Penulis
Kamala Chandrakirana
Ayu Ratih
Andy Yentriyani
Tim Riset Foto
T.J. Erlijna
Shanti Ayu Prawitasari
Desain
AhmettSalina
Foto Sampul
Sisa Rumoh Geudong (Aceh; Galuh Wandita)
Foto di sampul adalah sisa-sisa Rumoh Geudong, tempat pemerkosaan dan penyiksaan
seksual terhadap sejumlah perempuan Aceh terjadi. Rumah ini dibakar oleh massa setelah
status DOM Aceh dicabut. Sisa-sisa Rumoh Geudong adalah bukti bagaimana jejak sejarah
bangsa perlahan sirna oleh waktu bila tidak ada yang mau mengingat dan merawatnya.
Buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia. Komnas Perempuan adalah pemegang tunggal hak
cipta atas dokumen ini. Meskipun demikian, silahkan menggandakan sebagian atau seluruh
isi dari dokumen ini untuk kepentingan pendidikan publik atau advokasi kebijakan untuk
memajukan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan. Laporan ini dicetak dengan
dukungan dana hibah AUSAID.
ISBN 978-979-26-7541-2
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Jl. Latuharhari No. 4B, Jakarta 10310
Tel. +62 21 3903963
Fax. +62 21 3903911
mail@komnasperempuan.or.id
http://www.komnasperempuan.or.id
5. DAFTAR ISI Ucapan Terima Kasih
Daftar Singkatan dan Akronim
vi
viii
Prakata xii
I. Pendahuluan 3
Dari Pengetahuan ke Penyikapan 4
Apa dan Mengapa Kekerasan Terhadap Perempuan 6
Metodologi dan Alur Penulisan Buku 9
II. Menelisik Perjalanan Perempuan Dalam Pergerakan
Kebangsaan 15
Jejak Awal: Menjadi Iboe Bangsa 16
Dari Iboe Bangsa Menjadi Perempuan Republik 36
Hukum Islam dan Poligami 46
Perempuan Republik Berbaju Sosialisme 50
Politik Nasional vs Politik Perempuan 55
Keperempuanan Indonesia Terguncang 58
III. Menimbang Ulang Posisi Perempuan Dalam Pembangunan 65
Pemanfaatan Tenaga Kerja Perempuan 72
Perempuan Desa 72
Perempuan Buruh 74
Perempuan Buruh Migran 77
Penataan Tubuh dan Ruang Gerak Perempuan 80
Penataan Tubuh Perempuan: Program Keluarga
Berencana 80
Penataan Ruang Gerak Perempuan 87
iii
6. Bibit-Bibit Konflik : Penataan Identitas dan Alam 95
Penyeragaman Identitas 95
Penataan Sumber Daya Alam 100
Pengerdilan Peran Perempuan 103
IV. Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan Dalam Konflik 111
Tragedi Mei 1998 114
Timor Timur 121
Aceh 128
Papua 139
Ruteng, Nusa Tenggara Timur 146
Maluku 148
Poso 152
Jemaah Ahmadiyah 160
Peristiwa 1965 163
Tragedi Mei 1998 Setelah Sepuluh Tahun 170
V. Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan 177
Belajar dari Sejarah 178
Tentang Kekerasan terhadap Perempuan dan
Para Korbannya 178
Tentang Pemisahan yang Menyesatkan 182
Tentang Kesejarahan Perempuan Berpolitik 187
Arah ke Depan 190
Kebenaran dan Pengakuan 191
Rasa Adil dan Peradilan 193
Pemulihan dan Pemberdayaan 195
Dari Iboe Bangsa Menuju Perempuan Warga 197
iv
7. Lampiran-lampiran
Lampiran 1: Langkah-langkah Kebenaran, Pemulihan, dan
Keadilan untuk Memajukan Penanganan Akar
Masalah Empat Dasawarsa Kekerasan terhadap
Perempuan di Indonesia 204
Lampiran 2: Daftar Bacaan 207
v
8. TERIMA KASIH Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan)
perempuan korban kekerasan, Komnas
Perempuan menyampaikan apresiasi
pertama-tama menyampaikan terima yang mendalam terhadap kegigihan dan
kasih sebesar-besarnya kepada para kebersamaannya.
perempuan korban kekerasan di dalam
berbagai situasi konflik yang telah Terima kasih kepada setiap pihak yang
membuka diri untuk bercerita tentang telah bekerja keras untuk melahirkan
penderitaan dan perjuangannya. Mereka buku ini. Pertama, kepada para
semua adalah survivor. Kami menghargai penulis: Agung Ayu Ratih, sejarawan
kepercayaan yang telah mereka sekaligus pekerja kemanusiaan yang
berikan kepada Komnas Perempuan memberikan pijakan sejarah yang
dan menghormati kewibawaan dan kokoh bagi buku ini dan seluruh analisis
keteguhannya dalam bercerita. Kami tentang empat dasawarsa kekerasan
sadar bahwa setiap upaya mengingat terhadap perempuan; Andy Yentriyani,
kembali peristiwa yang sedemikian perempuan pembela HAM yang
menyakitkan akan membuka luka. Tanpa tumbuh dan berkembang di dalam
peran setiap perempuan yang duduk tubuh Komnas Perempuan sebagai
dan berbicara dengan kami tentang pencatat dan pendamping setia bagi para
pengalamannya, bangsa Indonesia tidak perempuan korban yang memercayakan
akan bisa memperoleh pemahaman pengalamannya kepada Komnas
yang sepenuh-penuhnya dan sejujur- Perempuan; Kamala Chandrakirana,
jujurnya tentang perjalanan sejarahnya salah satu pendiri Komnas Perempuan
sendiri. Kepada para dokumentator yang memelopori kerja pemantauan
dan rekan-rekan mitra yang menjadi terkait segala bentuk kekerasan terhadap
pencatat pengalaman perempuan korban perempuan di masa kini dan masa lalu;
kekerasan dan yang ikut bersama- serta, rekan-rekan di International Center
sama mencari jalan keluar dari konflik for Transitional Justice yang mendukung
dan membuka jalan bagi pemulihan kerja tim penulis. Kedua, kepada tim
vi
9. ilustrasi buku: Theodora J. Erlijna, peneliti Farida Haryani (Aceh), Fatimah Syam
muda yang merancang ilustrasi buku dan (Aceh), Hilmar Farid (Jakarta), Khairani
mengoordinasikan proses pengumpulan Arifin (Aceh), Kumudini Samuel
foto dan materi visual lain; Shanti Ayu (Srilanka), Mary Jane Real (Filipina),
Prawitasari, tenaga magang di Komnas Rumadi (Jakarta), Samsidar (Aceh),
Perempuan yang mendukung proses Saparinah Sadli (Jakarta), Sunila
pelacakan foto-foto; dan John McGlynn Abeyesekare (Srilanka), Syafiq Hasyim
dengan Yayasan Lontar dan Poriaman (Jakarta), dan Yunianti Chuzaifah
Sitanggang yang memberikan akses (Jakarta). Konsultasi-konsultasi Komnas
kepada perpustakaan fotonya. Banyak Perempuan dengan komunitas korban
pihak telah menyumbangkan dokumen didukung oleh IKOHI, Kontras, Forum
dan foto dari koleksi pribadi ataupun Komunikasi Korban Mei 1998, Lembaga
lembaganya untuk buku ini, termasuk Penelitian Korban Pelanggaran HAM
Sekretariat Teknis Post-CAVR di Timor- (LPKP HAM) di Jakarta dan Bali, serta
Leste. Dedikasi mereka semua sungguh Paguyuban Keluarga Korban Tragedi
luar biasa untuk memastikan tercapainya Mei 1998, Trisakti, Semanggi 1 dan
misi buku ini dengan sebaik-baiknya. 2. Kawan-kawan di dalam Komnas
Perempuan sendiri, dari lingkungan
Proses membayangkan, menuliskan dan Komisioner dan Badan Pekerja, serta
meluncurkan buku ini dilakukan oleh pihak-pihak lain yang tidak dapat
Komnas Perempuan bersama sejumlah disebutkan satu per satu, membantu
pakar nasional dan internasional yang menguatkan tim penulis dalam
ikut menyumbangkan wisdom dan menyelesaikan buku ini. Kepada mereka
buah pikirannya untuk memastikan semua kami ucapkan banyak terima
bahwa buku ini dapat bermakna bagi kasih.
perjuangan keadilan jender di mana-
mana. Mereka adalah Azriana (Aceh),
Cecilia Ng (Malaysia), Eri Seda (Jakarta),
vii
10. DAFTAR ABRI
AD
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Angkatan Darat
SINGKATAN DAN ANRI
AS
Arsip Nasional Republik Indonesia
Amerika Serikat
AKRONIM Bimas
BKKBN
Bimbingan Massal
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BMI Buruh Migran Indonesia
BPPIP Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan
BUUD/KUD Badan Usaha Unit Desa/Koperasi Unit Desa
CAVR Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor
Leste/Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi
Timor Leste
DAWN Development Alternatives with Women for a New Era
DI/TII Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
DPP Dewan Pimpinan Pusat
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
FAO Food and Agriculture Organization/Organisasi Pangan dan
Pertanian
G30S Gerakan 30 September
Gapi Gabungan Politik Indonesia
GBHN Garis-garis Besar Haluan Negara
GDP Gross Domestic Product/Produk Domestik Bruto
Gerwani Gerakan Wanita Indonesia
Gerwis Gerakan Wanita Istri Sedar
Golkar Golongan Karya
GWS Gerakan Wanita Sosialis; menjadi Gerakan Wanita Sejahtera
(pada 1964)
IPPF International Planned Parenthood Federation
viii
11. ITB Institut Teknologi Bandung
JA Jemaah Ahmadiyah
KB Keluarga Berencana
KK Kontrak Karya
KKP Komisi Kebenaran dan Persahabatan
KNIP Komite Nasional Indonesia Pusat
Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Komnas Perempuan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Kowani Kongres Wanita Indonesia
KP Komnas Perempuan
KPP HAM Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Krismon Krisis moneter
KWI Kongres Wanita Indonesia
Laswi Lasykar Wanita Indonesia
Litsus Penelitian khusus
LKBN Lembaga Keluarga Berencana Nasional
MCK Mandi-Cuci-Kakus
MDG Millennium Development Goals
MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat
MRP Majelis Rakyat Papua
Nekolim Neokolonialisme dan imperialisme
NKK/BKK Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan
NU Nahdlatul Ulama
OPM Organisasi Papua Merdeka
Otsus Otonomi khusus
P3HPTR Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan Talak &
Rujuk
ix
12. Pekka Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga
Permi Persatoean Moeslim Indonesia
Persit Persatuan Isteri Tentara (Angkatan Darat)
Perwanas Persatuan Wanita Nasional
Perwani Persatuan Wanita Indonesia
Perwari Persatuan Wanita Republik Indonesia
Peta Pembela Tanah Air
Petrus Penembak misterius
PIKAT Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya
Pilkada Pemilihan kepala daerah
PKBI Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
PKI Partai Komunis Indonesia
PKK Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
PNI Partai Nasionalis Indonesia
PPI Persatoean Perempoean Indonesia
PPII Perikatan Perhimpoenan Istri Indonesia
PRD Partai Rakyat Demokratik
PRRI/Permesta Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan
Rakyat Semesta
PRT Pekerja Rumah Tannga
PSI Partai Sosialis Indonesia
PUP Panca Usaha Pertanian
RPuK Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (Aceh)
RUU Rancangan Undang-Undang
SARA Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan
SI Syariat Islam
SKB Surat Keputusan Bersama
SOB Staat van Oorlog en van Beleg/Keadaan Perang dan Bahaya
x
13. TBO Tenaga Bantuan Operasi
TGPF Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998
TII Tentara Islam Indonesia
TKTB Tim Kemanusiaan Timor Barat
TKW Tenaga Kerja Wanita
TNI Tentara Nasional Indonesia
Tritura Tri Tuntutan Rakyat
TRuK Tim Relawan untuk Kemanusiaan
Unamet United Nations Mission in East Timor/Misi Perserikatan
Bangsa-bangsa di Timor Timur
UNFPA United Nations Fund for Population Activities/Dana PBB
untuk Kegiatan Kependudukan
UNTAET United Nations Transitional Administration for East Timor/
Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Timor Timur
UNTEA United Nations Temporary Executive Authority/Kuasa
Eksekutif Sementara PBB
UU Undang-Undang
UUD Undang-Undang Dasar
UUPA Undang-Undang Pokok Agraria (No. 5 Tahun 1960)
VOC Vereenigde Oostindische Compagnie
Wani Wanita Negara Indonesia
WH Wilayatul Hisbah
xi
14. PRAKATA Buku ini ditulis sebagai kesimpulan dari sepuluh tahun pertama keberadaan dan
kerja Komnas Perempuan. Bukan kebetulan bahwa sepuluh tahun ini sejalan dengan
sepuluh tahun upaya pembaruan Indonesia. Lembaga ini didirikan di atas puing-
puing kehancuran hidup perempuan Tionghoa yang dijadikan sasaran kekerasan pada
peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Pembelajaran yang diperoleh Komnas Perempuan
dalam menjalankan tugasnya, dengan demikian, adalah pembelajaran tentang
perjalanan dan perjuangan bangsa Indonesia juga. Gagasan tentang arah ke depan
yang ditawarkan pada akhir buku ini adalah bagian dari membayangkan Indonesia.
Kami berusaha sebisa mungkin untuk membuat buku ini menarik bagi banyak pihak,
dengan harapan bahwa daya cakup pembelajaran-pembelajaran yang dipaparkan
di sini dapat mencapai hati dan pikiran pembaca yang seluas-luasnya. Inilah salah
satu tugas dan tanggung jawab Komnas Perempuan, yaitu untuk menyebarluaskan
pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan.
Harapan kami di antara pembaca, di mana pun mereka berada, adalah para penerus
perjuangan untuk keadilan dan kemanusiaan bagi semua.
Jakarta, 20 November 2009
Kamala Chandrakirana
Ketua Komnas Perempuan
xii
16. Perkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 mendorong perempuan
dari berbagai latar belakang mengambil sikap untuk menuntut
negara bertanggung jawab
(Jakarta, 1998; M. Sandra)
2
17. KITA BERSIKAP
PENDAHULUAN
I
Masa lalu bisa saja ditorehkan sebagai perlawanan antara yang kalah dan menang, antara
yang salah dan benar. Ini adalah penilaian sejarah yang tentu saja cenderung banyak ditulis
oleh mereka yang menang. Yang sering dilupakan bahkan tidak ditulis adalah bagaimana
sejarah itu menimbulkan tragedi dan korban. Siapakah yang menjadi korban? Kita semua,
tanpa kecuali! Dan ini adalah penilaian moral! Karena berarti kita harus membangun
kembali manusia-manusianya dari puing-puing reruntuhan kemanusiaan itu sendiri.
Nani Nurrwachman, dalam surat kepada Komnas Perempuan,
15 Desember 2006
—{—
Pendahuluan 3
18. Sejarah bangsa Indonesia dipenuhi martabat bangsa ini, serta memastikan
oleh pertumpahan darah sejak awal bahwa masa depan anak cucu kita semua
kelahirannya hingga kini. Setiap tetes dapat terbebaskan dari jeratan siklus
darah yang keluar dari tubuh kita – kekerasan yang telah merasuk ke dalam
apakah itu atas nama kemerdekaan seluruh tatanan kehidupan bernegara,
Indonesia pada penghujung Perang bermasyarakat, dan berkeluarga saat
Dunia II, atau demi mempertahankan ini. Sebagaimana kata-kata Nani
kesatuan dan persatuan NKRI pada Nurrachman kepada Komnas Perempuan
zaman Orde Baru, ataupun dalam pada diskusi “Merajut Kebersamaan
ambisi memenangkan supremasi politik Kita” pada bulan Desember 2006, “kita
bagi sebuah agama pada era reformasi semua tanpa kecuali” adalah korban
– merupakan saksi tentang betapa dari tragedi demi tragedi yang telah
mendarahdagingnya penggunaan meruntuhkan kemanusiaan kita sendiri.
kekerasan dalam pergulatan politik,
perebutan kuasa, dan perjalanan bangsa-
bangsa di bumi pertiwi Indonesia.
Kekerasan atas nama “Indonesia” acap
Dari Pengetahuan ke
kali diselimuti romantisme nasionalis Penyikapan
yang sedemikian memukau dalam
geloranya sehingga sulit bagi kita untuk
menelaah secara seksama apa arti Setelah bekerja selama sepuluh tahun,
dan dampak kekerasan dalam seluruh Komnas Perempuan telah melakukan
kehidupan berbangsa kita. pendokumentasian tentang berbagai
bentuk kekerasan terhadap perempuan
Kini, setelah hampir 65 tahun merdeka, pada peristiwa-peristiwa kekerasan
tidak bisa lagi kita menunda bertanya massal yang paling menentukan dalam
siapa-siapa saja yang telah menjadi perjalanan bangsa Indonesia. Langkah ini
korban kekerasan dalam perjalanan diambil dalam rangka menjalankan tugas,
membangun negara-bangsa Indonesia sebagaimana tercantum pada Peraturan
selama ini. Belum terlambat – tidak akan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang
pernah terlambat! – bagi kita untuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
menatap mata para korban (atau anak Perempuan, yaitu untuk:
cucunya) guna menemukan jalan untuk
mengobati luka, mengembalikan rasa Melaksanakan pemantauan,
adil mereka dan menegakkan kembali termasuk pencarian fakta dan
4
19. KITA BERSIKAP
Sejak tahun 2005, Komnas Perempuan
menerbitkan sembilan laporan tentang
kekerasan terhadap perempuan dalam
konteks konflik bersenjata di Aceh,
konflik komunal di Poso, peristiwa 1965,
kerusuhan Mei 1998, penyerangan
terhadap komunitas Ahmadiyah, konflik
sumber daya alam di Manggarai, NTT
dan Buyat, Sulawesi Utara, serta terkait
kebijakan-kebijakan daerah yang
diskriminatif terhadap perempuan,
dan konflik berkepanjangan di Papua
(dalam penyelesaian). Laporan-laporan
ini dibuat atas dasar pendokumentasian
pengalaman para perempuan korban
dan ditulis mengikuti kerangka hak asasi
manusia.
Kini, saat bangsa Indonesia telah
Poster pertama yang bicara tentang melampaui batas tahun kesepuluh
kekerasan negara terhadap perempuan,
diterbitkan oleh Kalyanamitra. Poster ini
masa reformasi pasca Orde Baru, tiba
dibawa oleh delegasi Indonesia ke kongres waktunya untuk menemukan keterkaitan
perempuan se-dunia di Beijing pada 1995. antar satu peristiwa kekerasan dengan
(Semsar Siahaan/Kalyanamitra) peristiwa lainnya, serta menghimpun
sebuah pembelajaran yang utuh sampai
ke akar-akar masalahnya. Pengetahuan
yang dibangun bukan sekaedar untuk
pendokumentasian tentang segala mempertajam pemahaman tentang
bentuk kekerasan terhadap perempuan kekerasan terhadap perempuan,
dan pelanggaran hak asasi perempuan melainkan juga untuk menunjukkan jalan
serta penyebarluasan hasil pemantauan bagi langkah-langkah penyikapan yang
kepada publik dan pengambilan tepat guna menjamin agar kekejian-
langkah-langkah yang mendorong kekejian semacam ini tidak akan terulang
pertanggungjawaban dan penanganan. di masa depan.
(Pasal 4, Poin c)
Pendahuluan 5
20. Penyikapan semacam apa yang kekerasan terhadap perempuan adalah
diharapkan? Pertama, penyikapan yang sebuah pengingkaran terhadap nilai-nilai
dipandu oleh nilai-nilai kemanusiaan dan konsensus bangsa sebagaimana
yang universal. Perjuangan di Indonesia ditegaskan dalam UUD Negara RI 1945.
untuk menghapuskan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan Ketiga, penyikapan yang diharapkan
merupakan bagian dari perjuangan muncul dari pengetahuan yang diperoleh
peradaban dunia untuk menegakkan melalui buku ini adalah penyikapan
hak-hak asasi manusia. Sebagaimana yang membebaskan semua perempuan
disebutkan dalam Pembukaan UUD – dalam segala keberagamannya –dari
Negara RI 1945, Indonesia pun “ikut segala bentuk ketidakadilan. Hal ini
melaksanakan ketertiban dunia yang menuntut adanya analisis yang kritis
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan utuh tentang kekerasan terhadap
abadi dan keadilan sosial”. Cita-cita perempuan dalam keterkaitannya
universal ini menuntut kita untuk dengan berbagai pola diskriminasi yang
memenuhi hak-hak asasi manusia secara berlaku, termasuk diskriminasi atas dasar
konsisten dalam seluruh aspek hidup jender, ras, suku, kepercayaan, kelas, dan
tanpa kecuali, baik dalam kehidupan pandangan politik. Penyikapan semacam
bermasyarakat dan bernegara di arena ini akan relevan bagi semua perempuan
publik maupun dalam kehidupan selaku warga yang tengah menghadapi
berpasangan dan berkeluarga di arena tantangan-tantangan mutakhir abad ke-
yang bersifat pribadi (privat). 21, termasuk tentang cara perempuan
berpolitik dan menjadi pemimpin bagi
Kedua, penyikapan yang diharapkan bangsa dan sesamanya.
dari pengetahuan yang dibangun
dalam buku ini adalah penyikapan yang
menempatkan kekerasan terhadap
perempuan sebagai bagian integral
Apa dan Mengapa
dari jatuh bangunnya proses pencarian Kekerasan Terhadap
bangsa untuk “menjadi Indonesia.”
Artinya, ada upaya khusus untuk Perempuan
mengatasi pengabaian terhadap
pengalaman perempuan dalam catatan Menurut Deklarasi Penghapusan
bangsa tentang sejarahnya sendiri, Kekerasan terhadap Perempuan,
dan ada penegasan khusus bahwa kekerasan terhadap perempuan
6
21. KITA BERSIKAP
adalah setiap perbuatan berdasarkan lembaga-lembaga pendidikan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat dan sebagainya, perdagangan
atau mungkin berakibat kesengsaraan perempuan, dan pelacuran paksa;
atau penderitaan perempuan secara
fisik, seksual, atau psikologis, termasuk • Kekerasan secara fisik, seksual,
ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan psikologis yang dilakukan atau
atau perampasan kemerdekaan secara dibenarkan oleh Negara, di mana
sewenang-wenang, baik yang terjadi di pun terjadinya. Penyerahan laporan resmi negara
depan umum maupun dalam kehidupan yang pertama kalinya tentang
pribadi. Kekerasan terhadap perempuan Komite Penghapusan Segala Bentuk pelanggaran HAM yang dialami
perempuan korban Peristiwa 1965
mencakup, tapi tidak hanya terbatas Diskriminasi terhadap Perempuan
kepada Presiden Soesilo Bambang
pada: Yudhoyono oleh Ketua Komnas
Perempuan di Istana Merdeka, 20
• Kekerasan secara fisik, seksual, Februari 2008.
(Jakarta, 2008; KP)
dan psikologis yang terjadi dalam
keluarga, termasuk pemukulan,
penyalahgunaan seksual atas
perempuan kanak-kanak dalam
rumah tangga, kekerasan yang
berhubungan dengan mas kawin,
pemerkosaan dalam perkawinan,
perusakan alat kelamin perempuan
dan praktik-praktik tradisional yang
menyakitkan lainnya terhadap
perempuan, kekerasan di luar
hubungan suami- istri dan kekerasan
yang berhubungan dengan
eksploitasi;
• Kekerasan secara fisik, seksual,
dan psikologis yang terjadi
dalam masyarakat luas, termasuk
pemerkosaan, penyalahgunaan
seksual, pelecehan, dan ancaman
seksual di tempat kerja, dalam
Pendahuluan 7
22. (CEDAW), melalui Rekomendasi Saling silang sekian bangunan pemikiran
Umum Nomor 19, menyatakan bahwa tentang keperempuanan dan kebangsaan
kekerasan terhadap perempuan adalah yang pada titik-titik tertentu dalam lintas
wujud dari diskriminasi berbasis jender sejarah mencetuskan satu keyakinan
yang diarahkan pada perempuan pahit: untuk membangun kesejahteraan
karena keperempuanannya atau yang dan kejayaan suatu negara-bangsa
berdampak pada perempuan secara diberlakukan penyeragaman paksa
berlebih. terhadap gerak dan pikiran setiap warga
negara di bawah satu garis komando.
Di Indonesia, kekerasan terhadap Perempuan menjadi salah satu sasaran
perempuan mempunyai akar pada utama karena tubuhnya memuat daya
kesejarahan perempuan sejak Indonesia menelurkan kehidupan baru, dan gerak
mulai dibayangkan. Melalui buku ini, serta perhatiannya secara tradisional
kita mempertimbangkan akar-akar menentukan keberlangsungan kehidupan
pengalaman terkini perempuan dengan itu sendiri.
kekerasan dalam kaitannya dengan
gagasan-gagasan tentang perempuan Sayangnya, dalam wacana sejarah
dan keperempuanan yang pernah hidup nasional Indonesia, kisah tentang
dalam perbincangan kaum perempuan kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan di dalam gerakan nasionalis di awal abad jarang mengemuka. Bahkan dalam
dipahami sebagai akibat dari
ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki ke-20. Apa yang dibayangkan tentang sekian catatan perjalanan pergerakan
dan perempuan yang berkait kelindan peran dan posisi perempuan di hadapan perempuan akan sulit kita temui
dengan kepentingan kekuasaan lainnya bangsa yang sedang menjadi Indonesia? pembahasan tentang peristiwa-peristiwa
yang ada di dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Tugu Pak Tani.
Bagaimana gagasan-gagasan dari para yang menimbulkan korban di kalangan
(Jakarta, 2009; KP) pejuang perempuan bersinggungan dan perempuan. Kalaupun ada upaya
bertarung dengan gagasan-gagasan ideal pengungkapan, misalnya ketika Edisi
tentang perempuan dan keperempuanan Pemutakhiran “buku standar” Sejarah
yang hidup di masyarakat? Saat Nasional Indonesia (2008) memuat
Republik Indonesia telah berdiri, kita kisah para perempuan yang dipaksa
simak bagaimana gerakan perempuan menjadi budak seksual (jugun ianfu)
berunding dan bersitegang dengan pada masa pendudukan Jepang (1942-
negara untuk mendesakkan hak-hak 1945), kekerasan terhadap perempuan
perempuan sebagai manusia dan sebagai dianggap sebagai kekecualian dalam
warga negara. sejarah. Ada kecenderungan melihat
kekerasan terhadap perempuan,
8
23. KITA BERSIKAP
terutama yang sifatnya seksual, seperti bagian dari kesialan nasib perempuan.
pemerkosaan, sebagai kecelakaan atau Tanpa penjelasan yang memadai, tragedi
akibat sampingan dari suatu peristiwa demi tragedi akan muncul tanpa kendali,
yang lebih besar, peperangan misalnya, tanpa struktur, tanpa sejarah, dan kita
dan tidak patut diperbincangkan secara sekaedar berdoa semoga tidak menjadi
terbuka. korban berikutnyanya.
Pengabaian pengalaman perempuan Buku ini memberi sarana untuk
korban kekerasan dalam rekaman menengok sejarah, sambil mengakrabi
sejarah bangsa ini menghalangi kita permasalahan hari-hari ini. Dengan
untuk memahami secara utuh latar demikian, kita juga memeriksa
belakang dan akibat sekian tragedi kesahihan acuan-acuan kehidupan
yang mengguncang rasa kemanusiaan berbangsa dan bernegara dari masa ke
kita. Ketika pemerkosaan massal dalam masa di hadapan pengalaman korban
Tragedi 13-14 Mei 1998 terungkap, kekerasan terhadap perempuan jaman
diikuti dengan kesaksian terbuka para sekarang. Harapannya, pada akhirnya
perempuan korban operasi militer di kita akan sama-sama menyepakati
Aceh, kita tersentak. Kita bertanya- bahwa bagaimana negara-bangsa ini
tanya, apakah kisah-kisah korban benar memperlakukan perempuan sebagai
adanya, apakah bangsa Indonesia manusia dan warga negara merupakan
sedemikian biadab? Bukankah asas penanda keberadaban bangsa ini.
pendirian republik ini sarat dengan
nilai-nilai luhur? Bukankah kita memiliki
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 untuk memandu kita merawat
Metodologi dan Alur
kebersamaan sebagai bangsa? Saat kita Penulisan Buku
dipaksa berhadapan lagi dan lagi dengan
kisah-kisah perempuan korban dari
Papua, Timor Timur, atau Peristiwa 1965, Dari mana kita memulai? Komnas
dan kita tidak memperoleh penjelasan Perempuan bersiteguh bahwa
yang memadai tentang apa atau siapa upaya untuk memahami kekerasan
yang seharusnya bertanggung jawab, terhadap perempuan perlu dimulai dari
kita mulai membangun permakluman pengalaman dan harapan para korban.
bahwa kekerasan terhadap perempuan Proses persiapan buku ini diawali dengan
adalah musibah yang tak terelakkan, menyapa para korban. Sejak Agustus
Pendahuluan 9
24. 2008 hingga September 2009, Komnas lengkap tentang program-program
Perempuan melakukan rangkaian dialog bagi pemulihan korban; dengan pakar-
dengan para korban untuk mengetahui pakar nasional dan internasional
harapan yang mereka miliki dan untuk membangun kerangka analisis
tantangan yang mereka hadapi, serta yang tepat dan tajam serta untuk
untuk membangun pemahaman bersama mengaitkan seluruh perjuangan di
tentang pemulihan dan reparasi dalam tingkat nasional dengan perjuangan
perspektif jender. Agar seluruh proses di tingkat internasional; dan dengan
persiapan buku bisa berakhir dengan kelompok-kelompok pembela hak-hak
sesuatu yang memberi makna nyata asasi manusia, seniman dan pekerja
bagi korban dan bangsa, maka Komnas kebudayaan pada umumnya untuk
Perempuan juga melakukan rangkaian membahas bentuk acara peluncuran
konsultasi dengan pihak pemerintah buku ini.
untuk mendapatkan informasi yang
Konsultasi dengan komunitas korban adalah titik mulai untuk bersama memahami
permasalahan dan merumuskan langkah ke depan; salah satunya dengan komunitas
Walisongo, Situwu Lemba.
(Poso, 2009; KP)
10
25. KITA BERSIKAP
Pemaparan yang disajikan dalam buku Pada Bab IV, kita mendapatkan cerita
ini bermula dari suatu masa tatkala tentang pengalaman Komnas Perempuan
mimpi tentang Indonesia yang merdeka dalam menyikapi kekerasan terhadap
dan berdaulat mulai dibayangkan dan perempuan yang terjadi di tengah
kemudian diperjuangkan. Melalui Bab II, berbagai situasi konflik yang berlangsung
kita menyimak bagaimana perempuan di Indonesia, sesuai dengan permintaan
ikut bermimpi tentang kebebasan korban dan para pendampingnya.
dan kedaulatan bangsanya, tetapi Melalui bab ini, kita menyaksikan
kemudian harus menghadapi kontradiksi- kebungkaman – dan pembungkaman
kontradiksi dalam perjuangan dan – perempuan korban dan kompleksnya
kepemimpinan nasional. Akhirnya, para jeratan impunitas untuk kasus-kasus
pejuang perempuan harus melakukan kekerasan terhadap perempuan.
sejumlah kompromi atas nama keutuhan
bangsa dan banyak perdebatan internal Pada Bab V, kita melakukan sebuah
tidak tuntas diselesaikan. refleksi atas dasar pembelajaran yang
diperoleh Komnas Perempuan dalam
Pada Bab III, kita mengenali rezim sepuluh tahun berinteraksi dengan
Orde Baru dari perspektif perempuan. perempuan korban dan menyikapi
Pada masa ini, banyak perempuan berbagai bentuk kekerasan terhadap
mengalami peminggiran, pembakuan perempuan. Pada bab ini kita juga akan
peran, penyeragaman identitas, serta memperoleh beberapa pemikiran awal
pengabaian dan eksploitasi secara tentang arah ke depan, sebagai urun
sistematis melalui kebijakan-kebijakan rembug Komnas Perempuan untuk
negara. Semua ini berlangsung perjuangan yang lebih panjang lagi.
dalam kerangka paradigma yang
dipegang oleh Orde Baru tentang Melalui pendokumentasian bersama
kemajuan, pertumbuhan ekonomi, para korban dan pendampingnya,
dan keamanan serta sejalan dengan dan dengan upaya penyebarluasan
upaya rezim untuk mengendalikan, pengetahuan dan pemahaman yang
dan kadang menundukkan, warga diperoleh, Komnas Perempuan telah
dan keberagamannya. Pada masa ini, berfungsi sebagai mekanisme pencarian
kita menyimak bagaimana perempuan dan pengungkapan kebenaran tentang
mengalami diskriminasi yang berlapis- kekerasan terhadap perempuan yang
lapis, bibit-bibit konflik mulai tertanam, terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa.
dan budaya kekerasan gencar Melalui buku ini, kita memecah kebisuan
berkembang biak. yang masih terjadi, bahkan di masa
Pendahuluan 11
26. keterbukaan reformasi, tentang segala impunitas yang mengekang perempuan
bentuk kekerasan terhadap perempuan. korban kekerasan.
Kebungkaman korban tentang kekerasan Melalui kebenaran yang diungkap
yang dialaminya bersumber pada dalam buku ini, Komnas Perempuan
kondisi politik yang tidak bersahabat berharap untuk membuka jalan menuju
dan berakar pada pemberian sanksi- penghapusan segala bentuk kekerasan
sanksi sosial yang merujuk pada norma- terhadap perempuan hingga ke akar-
norma kesusilaan dan keagamaan akarnya, yang semua tertanam kuat
yang sempit. Kerancuan cara pandang dalam kesejarahan dan budaya-budaya
kita terhadap kekerasan seksual ikut bangsa Indonesia. Upaya penghapusan
memojokkan korban. Pemerkosaan, segala bentuk kekerasan terhadap
misalnya, lebih sering dianggap perempuan mencakup pengambilan
pelanggaran kesusilaan – demikian langkah-langkah pertanggungjawaban
dinyatakan dalam produk hukum pidana oleh pelaku dan negara, pemulihan
kita – daripada sebagai sebuah kejahatan hak-hak korban, serta jaminan bahwa
yang melanggar hak-hak asasi manusia. tidak terulang lagi. Ini adalah sesuai
Selama tindakan-tindakan diskriminatif dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk
terhadap perempuan yang terjadi dalam memberi keadilan dan kesejahteraan bagi
kehidupan sehari-hari kita masih belum semua sebagaimana tertera dalam UUD
terhapuskan, tidak mungkin kekerasan Negara RI 1945, dan sejalan dengan
terhadap perempuan bisa terhindarkan. nilai-nilai kemanusiaan dan hak-hak
Diskriminasi yang didasarkan pada asasi manusia yang dipegang teguh oleh
pembedaan peran dan posisi laki-laki dan peradaban dunia.
perempuan – yang senantiasa berbaur
saling menguatkan dengan bentuk-
bentuk diskriminasi lainnya – adalah akar
dari kekerasan terhadap perempuan.
Ketidakmungkinan untuk membahas hal-
hal ini secara terbuka dan tulus di dalam
dan dengan komunitas korban, serta
ketidakmungkinan bagi korban untuk
mendapatkan keadilan dan pemulihan
melalui mekanisme-mekanisme legal
formal maupun sosial kultural, tak lain
dan tak bukan adalah sebuah jeratan
12
28. Perempuan
sebagai Iboe
Bangsa berkarya
di ruang
publik sebagai
perpanjangan
dari perannya
di dalam rumah
tangga.
(1947; KITLV).
14
29. KITA BERSIKAP
MENELISIK PERJALANAN
PEREMPUAN DALAM
PERGERAKAN KEBANGSAAN
II
Kami sekali-kali tiada hendak mendjadikan moerid-moerid kami djadi setengah orang
Eropah, atau orang Djawa kebelanda-belandaan. Maksoed kami dengan mendidik bebas,
ialah teroetama sekali akan mendjadikan orang Djawa itoe, orang Djawa jang sedjati, orang
Djawa jang berdjiwa karena cinta dan gembira akan tanah air dan bangsanja, jang senang
dan gembira melihat kebagoesan bangsa dan tanah airnja, dan . . . kesukarannja!
Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 10 Juni 1902
—{—
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan 15
30. Jejak Awal: Menjadi dan pembatasan dari pihak pemerintah
kolonial sudah menggagalkan rencana
Iboe Bangsa Kartini bersekolah di Negeri Belanda.
Ia diharuskan menikah dengan lelaki
Ketika Kartini menulis tentang rasa pilihan ayahnya dan meninggal muda
tertindas yang ia alami sebagai pada saat ia melahirkan putranya yang
perempuan Jawa di penghujung abad pertama pada 1904. Namun, gagasan
ke-19, ia sudah menyadari bahwa Kartini tentang pentingnya kemerdekaan
pembebasan bagi perempuan tidak berpikir dan berbuat bagi semua orang,
mungkin terwujud tanpa perubahan tanpa membedakan jender dan kelas,
pola pikir di kalangan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup
Jawa secara keseluruhan. Bagi Kartini, suatu bangsa menjadi salah satu acuan
mengusahakan kesetaraan bagi utama kaum perempuan yang terlibat
perempuan adalah bagian dari kerja dalam gerakan nasionalis sejak paro
pemberadaban suatu bangsa dan itu awal abad ke-20. Kalau kisah-kisah
bukan semata-mata tugas perempuan. perjuangan melawan kekuasaan kolonial
Ia memang belum lagi berpikir tentang Belanda yang dipimpin perempuan
Indonesia, tapi ia memahami adanya pada abad sebelumnya, seperti Tjoet
“bangsa boemipoetra” yang tidak Nja’ Dhien di Aceh (1873-1904), Nji
hidup bahagia dan tidak merdeka di Ageng Serang di Jawa (1825-1830),
bawah kekuasaan feodal dan kolonial. atau Martha Christina Tiahahu di
Dari perenungan dan perbincangan Maluku (1817), memperlihatkan bahwa
dengan sahabat-sahabatnya, Kartini perempuan dapat dipercayai untuk
percaya bahwa terwujudnya kebebasan mengarungi dunia laki-laki, surat-surat
untuk menentukan pilihan-pilihan Kartini mendesakkan satu prasyarat:
pribadi, untuk menentukan nasib perjuangan pembebasan manusia
sendiri, merupakan pertanda kemajuan harus mempertimbangkan pengalaman
perempuan dan bangsa. perempuan sampai ke wilayah yang
paling pribadi, lembaga perkawinan.
Memang Kartini sendiri pada akhirnya
tidak berhasil membebaskan diri Kelahiran gagasan-gagasan Kartini
dari tuntutan adat dan mewujudkan menandai titik awal pemikiran modern
mimpinya melanjutkan sekolah setinggi tentang hubungan antara kemajuan
mungkin. Tekanan dari orang-orang yang perempuan dan keadaban bangsa, serta
sangat dicintainya, ayahnya terutama, peran perempuan dalam pergerakan
16
31. KITA BERSIKAP
kebangsaan. Dari surat-suratnya Adeldom Verplicht! – Kebangsawanan
yang jarang dipublikasikan tampak itoe Berkewadjiban! – adalah pepatah
bahwa ia bukan hanya berbicara Belanda yang berulang kali dikutip
tentang pentingnya pendidikan bagi Kartini. Bagi Kartini, semakin tinggi
kemajuan perempuan, tetapi juga status kebangsawanan seseorang,
menunjukkan bagaimana seharusnya semakin berat tugasnya merawat rakyat.
perempuan yang berpendidikan Sebagai pemimpin, kaum bangsawan
menggunakan kecerdasannya untuk tidak cukup hanya memiliki “kecerdasan
berpikir dan berbuat demi kemajuan pikiran”, tetapi juga “kecerdasan budi”.
bangsanya. Dengan tajam ia mengulas Dalam kerja pengadaban masyarakat
struktur penindasan kolonial yang perempuan tidak bisa ditinggalkan
didukung kalangan aristokrat, dan karena perempuan yang terdidik dan
mempersoalkan kebejatan moral para berbudi akan menjadi teman seiring
pejabat pangreh praja dan pengaruh lelaki. Saat mereka menjadi ibu,
keduanya terhadap kemerosotan merekalah yang sejak awal berpengaruh
kesejahteraan rakyat. Ia menyaksikan besar dalam memberi pendidikan budi
bagaimana tradisi feodal, termasuk di pekerti bagi anak-anaknya. Salah satu tradisi yang dikecam kaum
antaranya permaduan, dipertahankan perempuan adalah poligami. Foto
semata-mata untuk kenikmatan hidup Perempuan itu soko guru peradaban! Djero Trena dan I Djampiring, dua
di antara sekian banyak istri Raja
kaum bangsawan. Ia mengecam Bukan karena perempuan yang Buleleng
“bangsawan-bangsawan pikiran” yang dipandang cakap untuk itu, melainkan (Bali,1865; KITLV).
menguasai ilmu pengetahuan Eropa karena saya sendiri yakin sungguh
tanpa mengusahakan perbaikan nasib bahwa dari perempuan itu mungkin
rakyatnya: timbul pengaruh yang besar . . . bahwa
dialah yang paling banyak membantu
Bahwa yang terbaik harus dikangkangi memajukan kesusilaan manusia.
sendiri dan dianggap sebagai hak Dari perempuanlah pertama-tama
pribadi kaum aristokrat, bersumber manusia menerima didikannya – di
pada paham sesat, bahwa kaum haribaannyalah anak belajar merasa
bangsawan adalah mutlak manusia dan berpikir, berkata-kata: dan makin
lebih mulia, makhluk lapisan teratas lama makin tahulah saya, bahwa
daripada Rakyat, dan karenanya berhak didikan yang mula-mula bukan tidak
mengangkangi segala yang terbaik! besar pengaruhnya bagi kehidupan
manusia di kemudian harinya. Dan
R. A. Kartini: Nota, Jepara, Januari 1903 betapakah ibu Bumiputra itu sanggup
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan 17
32. mendidik anaknya bila mereka sendiri penjajahan ini, sekaligus mempersoalkan
tiada berpendidikan? bagian-bagiannya yang tidak manusiawi.
Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, Melalui pendidikan barat, kaum
21 Januari 1901 terpelajar bumiputra berkenalan
dengan gagasan bahwa untuk
Secara umum soal kemajuan dan melawan kolonialisme mereka harus
keadaban menjadi perhatian kaum menggunakan alat-alat penguasa seperti
terpelajar bumiputra, laki-laki maupun ilmu pengetahuan, institusi pendidikan,
perempuan, yang memperoleh organisasi, pertemuan umum, percetakan
kesempatan langka untuk bersentuhan dan penerbitan. Dengan kebijakan Politik
dengan perangkat ilmu pengetahuan Etis sejak awal abad ke-20, penguasa
modern sejak akhir abad ke-19. Mereka kolonial, yang selalu beranggapan
prihatin akan kemerosotan kualitas bahwa kaum bumiputra bodoh, malas,
hidup rakyat akibat kebijakan-kebijakan dan tidak beradab, membuka ruang-
kolonial yang semata-mata bertujuan ruang pendidikan secara meluas dengan
menguras habis sumber daya alam harapan rakyat Hindia Belanda dengan
dan tenaga manusia pribumi demi sukarela akan menerima peradaban
kejayaan Kerajaan Belanda. Sementara barat dan menjadi bagian dari Kerajaan
itu, penguasa pribumi yang seharusnya Belanda. Kaum bumiputra dengan segera
meringankan beban rakyat justru menjadi memanfaatkan ruang-ruang tersebut dan
perpanjangan tangan pemerintah menggunakannya untuk kepentingan
kolonial dan mengambil keuntungan mereka. Kalau bagi pemerintah kolonial
bagi diri mereka sendiri. Kaum terpelajar kemajuan bumiputra cukup diukur
bukannya tidak tahu bahwa sepanjang dengan penguasaan ketrampilan-
abad ke-19 ada berbagai bentuk ketrampilan teknis yang akan
perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, menguntungkan proses industrialisasi
apakah itu pemberontakan petani Hindia Belanda, bagi kaum bumiputra
yang dipimpin kyai-kyai di pedesaan di kemajuan berarti tumbuhnya gairah
Jawa, atau perang gerilya terpanjang untuk berpikir merdeka, meninggalkan
dalam sejarah di Aceh. Namun, satu per kepatuhan kepada penguasa-penguasa
satu perlawanan tersebut dipatahkan tradisional, dan terlibat dalam kerja-kerja
kekuatan militer Belanda. Harus ada bersama untuk melawan pembodohan,
cara-cara baru untuk mengatasi diskriminasi, dan bentuk-bentuk
kerusakan yang ditimbulkan sistem ketidakadilan lainnya. Kemajuan adalah
18
33. KITA BERSIKAP
kesiapan untuk melahirkan tradisi baru,
menjadi manusia baru.
Gagasan kemajuan yang dibayangkan
kaum bumiputra terpelajar secara umum
berpengaruh terhadap pandangan
mereka tentang perempuan. Mereka
tetap melihat peran utama perempuan
adalah melahirkan dan merawat
anak, tapi kepedulian mereka akan
perlunya satu generasi baru dengan
kualitas moral dan intelektual yang
lebih baik membuat mereka berpikir
tentang pentingnya pendidikan bagi
kaum perempuan sebagai ibu. Kaum
perempuan terdidik sendiri melihat
bahwa sistem kolonialisme dan tradisi
feodal sudah menyebabkan kehidupan
perempuan secara umum terpuruk. Di
tingkat elit, perempuan semata-mata
dijadikan perhiasan rumah tangga, tidak
berpengetahuan, tidak memiliki wawasan
apa pun tentang dunia yang lebih
luas, dan menjadi korban poligami. Di
tingkat bawah, kemiskinan mendorong
perempuan untuk menerima kawin paksa
sejak usia dini, yang bisa menggiring
mereka pada perceraian tidak adil secara
berulang, prostitusi atau pergundikan.
Mereka berpendapat bahwa hanya
Pendidikan diyakini akan membuat kehidupan perempuan pendidikan, baik itu yang memberi bekal
lebih baik. Siswi-siswi Korido, sekolah putri pertama di ketrampilan, maupun pengetahuan
Papua, angkatan 1952-1955 umum, yang akan membuat kehidupan
(Sarah Netta Boerdam).
perempuan lebih baik. Dengan bekal
ketrampilan perempuan akan mampu
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan 19
34. mengusahakan hidup sendiri dan sekolah perempuan pertama, Sekolah dengan perhatian terbesar pada anak-
tidak tergantung secara ekonomi pada Istri, didirikan oleh Dewi Sartika sesaat anak perempuan dari kalangan rakyat
laki-laki. Sedangkan pengetahuan sebelum Kartini meninggal. Dalam biasa. Di Kotogadang Roehana Koeddoes
kerumahtanggaan – kesehatan ibu- waktu delapan tahun sekolah yang mendirikan Sekolah Kerajinan Amai
anak, gizi, kebersihan – akan membuat kemudian berubah nama menjadi Setia pada 1911 dan di Menado Maria
perempuan mampu merawat keluarga Sekolah Kautamaan Istri ini sudah Walanda-Maramis mendirikan Sekolah
dengan lebih baik: berkembang menjadi sembilan sekolah PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak
Pendidikan (kejuruan) yang
membebaskan ketergantungan
Tabel 1.
wanita di bidang keuangan dari Peningkatan Murid Pribumi pada Masa Kolonial Belanda
keluarganya, akan membebaskan
wanita pula dari paksaan perkawinan
yang tidak dikehendakinya. Wanita HIS NEGERI
yang berpendidikan akan menginsafi
TAHUN MURID PEREMPUAN MURID LAKI
dirinya bukan objek, akan tetapi
dengan laki-laki sebagai sesama 1915 3.490 18.970
manusia, mempunyai hak hidup dan 1925 10.195 28.722
akan menginsyafi kesungguhan arti 1929 - 1930 11.917 29.984
perkawinan. Mereka akan mengerti 1934 - 1935 15.492 31.231
bahwa perkawinan bukanlah suatu 1939 - 1940 19.605 34.307
pelarian melainkan suatu langkah
dalam kehidupan yang difikirkan TOTAL 60.699 143.214
dengan sungguh-sungguh untuk
membahagiakan suami yang dipilihnya
dan menjadi ibu yang baik bagi anak- HIS SWASTA
anaknya.
TAHUN MURID PEREMPUAN MURID LAKI
R.A. Sosrohadikusumo dalam Dewi Sartika, hal. 38 1915 1.049 1.195
1925 6.250 14.529
Semangat serupa inilah yang 1929 - 1930 6.941 14.055 Sumber:
Frances Gouda, Dutch
mendorong perempuan-perempuan 1934 - 1935 8.355 14.077 Culture Overseas: Colonial
terdidik di beberapa tempat untuk 1939 - 1940 10.838 15.915 Practice in the Netherlands
menyelenggarakan sekolah-sekolah Indies 1900-1942
bagi perempuan. Pada 16 Januari 1904 TOTAL 33.441 59.771 (1995), hal. 79
20
35. KITA BERSIKAP
Temurunnya) pada 1917. Pengacara Sekolah-sekolah swasta ini dibangun dan
Belanda yang pertama kali mendesakkan diselenggarakan dengan dukungan suami
pentingnya perluasan pendidikan bagi atau kerabat para pendirinya, pejabat
kaum bumiputra, C. Th. van Deventer, pribumi di tingkat lokal, atau sumbangan
beserta istrinya, mendirikan Sekolah dari masyarakat Belanda yang bersimpati
Kartini pada 1913 di Semarang. pada upaya pembaharuan di Hindia
Belanda. Pelajaran yang diberikan
Kaum perempuan yang dekat dengan masing-masing sekolah bervariasi,
organisasi-organisasi Islam, seperti tetapi biasanya tidak terlalu jauh dari
Muhammadiyah, juga terpengaruh oleh kemampuan baca tulis dan pendidikan
berkembangnya semangat pembaharuan dasar kerumahtanggaan: menyapu dan
di Hindia Belanda. Mereka berpendapat mengepel, mengatur perabot rumah,
bahwa ajaran Islam yang berkembang membersihkan debu, mencuci piring dan
pada saat itu sangat terbelakang dan panci, menisik dan menambal pakaian,
tidak menghormati perempuan sehingga memasak, merawat bayi dan orang sakit,
perempuan perlu dibekali pengetahuan dan membuat kerajinan tangan seperti
keagamaan dan keorganisasian untuk menjahit, membordir, menyulam, dan
meningkatkan martabat mereka merajut. Di sekolah perempuan juga
sebagai manusia. Dengan bimbingan mempelajari adat dan tata cara bergaul
pimpinan Muhammadiyah, Kyai Haji yang benar dan pantas seperti cara
Ahmad Dahlan, dibentuklah organisasi berbicara dengan orang yang lebih tinggi
Aisyiyah di Yogyakarta pada 1917 yang statusnya, bersikap terhadap orang-
menyelenggarakan sekolah berkurikulum orang dengan status dan kedudukan
modern bagi anak-anak perempuan yang berbeda.
dengan tekanan pada pendidikan agama.
Di Padang Panjang seorang perempuan Yang menarik, sampai 1930an
yang hidup di lingkungan pembaharu kaum perempuan pribumi, termasuk
pendidikan Islam, Rahma El Joenoesia, Kartini, tidak pernah secara khusus
juga berpikir tentang pentingnya mempersoalkan tradisi pernyaian sebagai
pendidikan modern berdasarkan ajaran- salah satu bagian pokok dari perangkat
ajaran Islam khusus bagi perempuan. sistem penjajahan, tetapi secara tidak
Pada 1922 ia mendirikan pesantren langsung berusaha mengambil jarak
perempuan yang diberi nama Sekolah dengan golongan nyai dan budaya
Dinijah Poetri. yang berkembang dari tradisi ini. Ada
kecenderungan melihat pernyaian
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan 21
36. semata-mata sebagai prostitusi
terselubung yang tumbuh akibat
kemiskinan dan kerendahan moral di
kalangan perempuan kelas bawah tanpa
terlalu mempersoalkan peran pemerintah
kolonial dalam mendorong pernyaian
demi kepentingan ekonomi.
Sejak awal kedatangan rombongan
lelaki Belanda dengan Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) di Jawa
pada abad ke-17, maskapai ini tidak
mau dibebani urusan kesejahteraan
pegawainya. Mengambil perempuan
bumiputra sebagai nyai untuk merawat
kesejahteraan lahir batin pegawai
pemerintahan kolonial menjadi pilihan
terbaik. Nyai juga mampu membuka
jalan bagi laki-laki Belanda untuk
mengenali adat-istiadat setempat
sehingga lebih mudah bagi mereka
untuk menjalankan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang menuntut kepatuhan
masyarakat bumiputra. Masalahnya,
institusi perhubungan dengan para
lelaki Belanda tidak pernah diakui
sebagai perkawinan yang sah dan setiap
saat pemilik nyai dapat memutuskan
hubungan tanpa ikatan tanggung jawab.
Lebih jauh lagi para ibu bumiputra tidak
memiliki hak atas anak-anak yang lahir
dari perhubungan ini. Foto dalam pameran di Belanda.
Perempuan Hindia Belanda
Walaupun dianggap tidak sah, dicitrakan sebagai perempuan
yang eksotis dan patuh
perkawinan campur antara lelaki Belanda (Jawa, 1901/1903; KITLV).
dengan perempuan pribumi melahirkan
22
38. Perempuan Cina di
dalam tandu. Dalam
stuktur kolonial, bangsa
Cina, bersama Arab,
India dan bangsa asing
lainnya, berada di posisi
yang lebih rendah dari
bangsa kulit putih tetapi
di atas bumiputera.
Keterlibatan komunitas
Cina, khususnya
perempuan, dalam
pergerakan kebangsaan
Indonesia masih belum
banyak diketahui oleh
masyarkat.
((Jakarta, 1870; KITLV)
satu golongan baru, Indo-Eropa, yang susunan rumah tangga keluarga-keluarga membangun keluarga batih melalui
menimbulkan kerumitan tersendiri dalam poligamis sama sekali tidak membantu, peraturan-peraturan tentang perkawinan
tatanan sosial masyarakat jajahan. Selain kalau bukan menimbulkan masalah- anak, perceraian dan poligami, perseliran,
itu, kaum Puritan penganut ajaran- masalah sosial baru. atau pernyaian. Perempuan-perempuan
ajaran Calvinist terganggu dengan Belanda yang mulai berdatangan sejak
kebiasaan poligami dan perseliran yang Bagi pemerintah kolonial dua cara pertengahan abad ke-19 membawa
berkembang di kalangan priyayi Jawa. terbaik untuk merapihkan simpang siur serta pandangan-pandangan konservatif
Di tengah upaya pemerintah untuk hubungan antarwarga tanah jajahan tentang peran penting perempuan
menata administrasi negara secara dari ras, kelas, dan jender yang berbeda sebagai pengelola rumah tangga dan
modern dan menyebarluaskan norma- ini adalah memberdayakan perempuan pendukung karir suami. Sedangkan bagi
norma Eropa dalam hal efisiensi dan melalui pendidikan dan pemantapan perempuan bumiputra, terutama yang
kejelasan pembagian tanggung jawab, perkawinan monogami untuk di lapisan atas, perkawinan monogami
24
39. KITA BERSIKAP
dengan penataan rumah tangga yang penting, terutama untuk menghadapi
rapih merupakan pertanda modernitas: tentangan dari kalangan konservatif di
kesiapan untuk meninggalkan adab lama kalangan bumiputra yang tidak melihat
yang sudah menempatkan perempuan perlunya perempuan berkumpul,
semata-mata sebagai obyek kenikmatan bertukar-pikiran, menyatakan pendapat,
laki-laki. dan bekerja untuk masyarakat.
Perempuan juga membutuhkan bantuan
Sepanjang tiga dasawarsa awal abad dari laki-laki untuk mengenali dan
ke-20 perbincangan di kalangan memanfaatkan perangkat kerja modern,
perempuan terdidik terpusat pada seperti organisasi, penerbitan, dan
upaya merumuskan arti kemajuan dan pertemuan umum. Pendirian organisasi
keadaban bagi perempuan. Mereka perempuan pertama, Poetri Mardika,
seakan sedang mencari jalan tengah di Jakarta pada 1912 didorong oleh
untuk berkiprah di tengah dunia yang Boedi Oetomo. Demikian juga surat
Ari jadi awewe kudu segala bisa,
sedang berubah, antara mendorong kabar perempuan pertama, Poetri ambeh bisa hirup!
perempuan keluar dari kungkungan Hindia, yang diterbitkan jurnalis R.M.
adat dan menghadapi tentangan dari Tirto Adhisoerjo di Bandung pada
Menjadi perempuan harus
pihak-pihak yang belum bisa menerima 1909, masih dipimpin dan diawaki
perubahan zaman, apakah itu kaum laki-laki. Tiga tahun kemudian Roehana mempunyai banyak kecakapan
feodal yang menginginkan perempuan Koeddoes menerbitkan Soenting agar mampu hidup!
tetap dalam posisi tradisional, ataupun Melajoe (Bukittinggi) yang sepenuhnya
penguasa Belanda yang terus berjaga- dikelola perempuan. Dalam waktu
jaga agar pergerakan kaum bumiputra kurang lebih 15 tahun organisasi-
Dewi Sartika
tidak berkembang ke arah yang organisasi lain pun berdiri di berbagai
berlawanan dengan kepentingan kota. Kegiatan mereka kurang lebih
penguasaan tanah jajahan. Mereka sama: menyelenggarakan pendidikan
sedang mencari pembenaran moral dan layanan kesejahteraan sosial bagi
dan politis bagi pekerjaan-pekerjaan perempuan, memberi beasiswa kepada
mereka di ranah publik agar mereka anak-anak perempuan yang berbakat,
tidak dianggap berniat mengingkari menyebarkan informasi tentang
kodrat mereka sebagai perempuan dan pendidikan, dan menerbitkan mingguan
pekerjaan mereka diakui sumbangsihnya untuk menyebarluaskan gagasan tentang
bagi kemajuan bangsa. kemajuan dan keadaban perempuan.
Dukungan dari para lelaki yang aktif Organisasi-organisasi perempuan di
dalam pergerakan nasional menjadi masa ini masih didominasi perempuan
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan 25
40. dari kalangan elit pribumi. Seruan dan
ajakan yang mereka lontarkan melalui
penerbitan mereka juga lebih ditujukan
kepada perempuan dari kelas atas yang
mampu berlangganan secara teratur
dan memiliki lebih banyak waktu
luang untuk membaca dan berpikir.
Gagasan tentang “kebangsawanan itoe
berkewadjiban” yang tampak jelas dalam
tulisan-tulisan Kartini, begitu juga dalam
upaya Dewi Sartika untuk menyemai
tradisi ‘bangsawan budi pekerti,’ terus
mewarnai wacana perempuan sampai
akhir 1930an. Sementara, perempuan
elit di Minangkabau dan Minahasa,
seperti Roehana Koeddoes dan Maria
Walanda-Maramis, mengacu pada
upaya pembaharuan sosial berdasarkan
penafsiran ulang terhadap sejarah lokal
dan ajaran-ajaran agama. Ini tidak berarti
bahwa mereka tidak memiliki kepedulian
terhadap perempuan kelas bawah.
Sebaliknya mereka justru menempatkan
diri sebagai pendidik dan penyuara
kebutuhan perempuan dari kalangan
rakyat jelata agar “kaoem perempoean
bangsa kita” tidak terpuruk dalam
kemiskinan dan kemerosotan moral.
Keinginan menjangkau perempuan
dari kelas yang berbeda tidak mudah
terlaksana. Penyelenggaraan kegiatan
pendidikan dan layanan sosial lainnya
membutuhkan biaya dan tenaga
pendidik yang tidak sedikit sementara
26
41. KITA BERSIKAP
sumber keuangan dan personil umum yang membahas tentang
organisasi-organisasi ini terbatas. keindonesiaan dan keperempuanan.
Pemerintah Hindia Belanda sendiri Pertemuan-pertemuan berupa kongres
tidak pernah mengusahakan dukungan ini kebanyakan diselenggarakan dan
yang lebih mendasar bagi institusi dihadiri kaum terpelajar dan diawasi
pendidikan swasta dan tidak pula dengan ketat oleh pemerintah kolonial.
menyempurnakan perluasan pendidikan Masalah perempuan dibicarakan secara
bagi kaum perempuan di kalangan buruh khusus oleh pergerakan nasionalis dalam
dan petani. Misi pengadaban kolonial Kongres Pemuda I di Jakarta pada
berhadapan dengan kepentingan 1926. Kongres yang dihadiri perwakilan
ekonomi para pengusaha Eropa. Di kelompok-kelompok pemuda berbagai
wilayah perkebunan gula, teh dan suku bangsa ini mencoba mengaitkan
kopi, misalnya, antara 25%-45% dari perjuangan emansipasi perempuan
jumlah total buruh adalah perempuan, dengan “kebangunan nasional” secara
sedangkan di wilayah pertanian di Jawa umum. Seorang mahasiswa kedokteran
30% buruhnya adalah perempuan. dari Minangkabau, Bahder Djohan,
Kaum progresif di lingkungan penguasa menyerukan agar perempuan diberi
kolonial mengusulkan agar ada larangan keleluasaan untuk “mengolah sifat yang
bekerja malam bagi buruh perempuan paling mulia, paling manusiawi, dan
agar mereka memperoleh kesempatan itulah ibu”. Ia menolak poligami yang
leluasa untuk mengurus rumah dianggap mengganggu ketenangan
tangga dan anak-anak mereka. Kaum perempuan dalam menjalankan tugasnya
konservatif yang lebih mengutamakan bagi pembangunan negeri dan bangsa.
kepentingan ekonomi beranggapan
usulan ini memaksakan pandangan Eropa Boleh dikatakan tidak ada tentangan
tentang peran perempuan dalam rumah yang berarti terhadap pendapat bahwa
tangga dan dunia kerja pribumi yang wilayah utama perjuangan perempuan
berbeda hakekatnya. adalah rumah tangga dan keluarga
sehat sejahtera merupakan salah satu
Gagasan-gagasan perempuan tentang pilar pokok dalam membangun bangsa
kemajuan dan keadaban – apakah itu yang kuat. Dalam Kongres Perempuan
berasal dari pemaknaan baru terhadap Indonesia I di Jakarta (1928) dan II
Perempuan Hindia Belanda adalah adat-istiadat ataupun agama – menemui di Yogyakarta (1935) para pembicara
buruh murah bagi perkebunan dan pengakuan dan tentangan yang lebih berulang kali menekankan hal ini dan
pabrik milik kaum kolonial terbuka dalam pertemuan-pertemuan mengaitkan antara kekukuhan rumah
(1915; Prentenkabinet Leiden/KITLV)
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan 27
42. tangga dengan perkawinan yang dalam kedua kongres tersebut di atas.
bahagia. Persoalan-persoalan sosial, Inilah yang menjadi sumber perdebatan
seperti perdagangan perempuan, sepanjang sejarah gerakan perempuan:
prostitusi, pergundikan, atau kawin Apakah poligami sesungguhnya sumber
paksa diperbincangkan dalam kerangka masalah atau bagian dari penyelesaian
pentingnya membangun institusi masalah bagi perempuan? Dalam
perkawinan dan kerumahtanggaan yang perdebatan ini bukan hanya perempuan
sehat dan kuat demi kemajuan dan yang terlibat, tetapi juga lelaki dalam
keadaban bangsa. Salah satu pembicara gerakan nasionalis. Menarik untuk
dalam Kongres Perempuan Indonesia menimbang bahwa mulanya tentangan
I yang dengan padat dan runtut terhadap poligami tumbuh dari gerakan
membangun pandangan ini adalah Sitti antifeodalisme dan pembaharuan sosial
Soendari, jurnalis Wanito Sworo: yang diilhami semangat serupa dari
Eropa. Para penentang awal poligami,
Kalau bangsa Indonesia hendak seperti Kartini dan Roehana Koeddoes,
mendjadi bangsa jang bertempat demikian juga pejuang-pejuang
moelia diatas doenia ini patoetlah kita perempuan pada masa berikutnya, tidak
mendirikan roemah oleh pertjinta’an secara khusus mempersoalkan ajaran
masing-masing, dan djangan bersendi Islam yang mengizinkan poligami,
kepada kedengkian (jalouzie), tetapi lebih menggugat kebiasaan
kebodohan, atau jang lain-lain. kaum aristokrat dan kelas atas untuk
Polygamie, kawin anak2, kawin memelihara banyak perempuan sebagai
paksa, atau talak dan pisah jang tiada istri sah atau selir. Praktik-praktik ini
berdjangka, soekar benar waktoe kemudian membuat perempuan terjebak
sekarang mempertahankannja, kalau dalam ketidakpastian, terutama bila
perkawinan hendak kita gambarkan mereka tidak mandiri secara ekonomi.
dengan setinggi-tingginja. Pendeknja Pembela poligami pun mempersoalkan
makin tegoeh roemah tangga kita makin praktik poligami dan perseliran di
koeat bangsa Indonesia, makin senang- kalangan aristokrat. Hanya saja mereka
sentosa bangsa Indonesia. menganggap bahwa hukum-hukum
Islam sudah memadai untuk mengatasi
Patut diperhatikan bahwa Bahder kebobrokan institusi perkawinan yang
Djohan dan Sitti Soendari menyebutkan merugikan perempuan, termasuk
poligami sebagai masalah perempuan poligami tidak terbatas.
dalam lembaga perkawinan dan keluarga
28
43. KITA BERSIKAP
Posisi antipoligami baru dikaitkan Perdebatan tentang poligami meluas
dengan serangan terhadap ajaran Islam keluar kongres-kongres, menajam,
oleh organisasi-organisasi berasaskan dan beralih ke soal pengaruh Barat
Islam yang menolak kuatnya pendapat dalam gerakan nasionalis pada saat
di kalangan nasionalis sekuler dan tuntutan pembaharuan hukum
non-Islam bahwa institusi perkawinan perkawinan yang memuat penghapusan
monogami adalah prasyarat utama poligami mendapat sambutan dari
kesejahteraan keluarga dan bangsa. pemerintah kolonial pada 1937.
Seperti dijelaskan panjang lebar oleh Pemerintah merumuskan rancangan
Ratna Sari, pengurus Persatoean peraturan yang lazim dikenal sebagai
Moeslim Indonesia (Permi) dalam Ordonansi Perkawinan Tercatat
Kongres Perempuan II, poligami dapat dan menyebarkannya ke berbagai
berfungsi menjaga kemaslahatan organisasi sebelum disampaikan ke
hubungan suami-istri dan masyarakat parlemen Hindia Belanda. Isi ordonansi
apabila dipraktikkan sesuai dengan itu antara lain mengimbau penduduk
hukum-hukum Islam. Pembatasan mencatatkan perkawinan mereka,
jumlah istri, syarat mendapat izin dari yang berarti menerima monogami
istri, dan ketentuan untuk bersikap adil dan perempuan yang perkawinannya
terhadap semua istri merupakan jaminan tercatat boleh mengajukan permohonan
bahwa institusi perkawinan poligami cerai seandainya sang suami berniat
tidak selalu merugikan perempuan. mengambil istri lagi. Pemerintah kolonial
Ratna Sari menggambarkan beberapa berkepentingan mengeluarkan undang-
kondisi buruk yang justru ditimbulkan undang ini antara lain untuk melindungi
oleh perkawinan monogami, seperti perempuan Belanda, yang menikah
terjadinya perkawinan-perkawinan tidak dengan lelaki bumiputra dari poligami,
sah yang sama dengan perzinahan, dan menjawab desakan dari organisasi-
berkembangnya prostitusi, kemunafikan organisasi perempuan sekuler untuk
suami-istri dalam pemaksaan hubungan menghapuskan praktik poligami.
tunggal, atau terlantarnya para janda
korban perang. Yang perlu dilawan Organisasi-organisasi Islam segera
bukanlah poligami itu sendiri, tetapi menolak proyek ini dan menganggapnya
praktik poligami yang semata-mata sebagai upaya pemerintah mengubah
untuk memenuhi kesenangan seksual Islam. Di kalangan perempuan
dan tidak mengindahkan prinsip keadilan tentangan terkuat datang dari Rasuna
bagi perempuan. Said, pengurus Permi, yang melihat
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan 29
44. Perkawinan anak, disamping kawin paksa,
merupakan praktik yang ditentang gerakan
perempuan sejak Kongres Perempuan
Indonesia I. Foto Patih Pemalang, Raden
Toemenggoeng Reksa Negara, bersama istrinya
(Banyumas, 1863; KITLV).
30
45. KITA BERSIKAP
proyek ini sebagai intervensi Belanda bahwa poligami harus dihapuskan.
terhadap tradisi Islam. Dua partai Baginya beberapa pendapat yang
nasionalis, Parindra dan Pasundan, juga menyatakan bahwa poligami baik
menolak dengan alasan pemerintah untuk mengatasi kelebihan perempuan
sengaja menciptakan kekacauan untuk menghinakan perempuan, “Kita tidak
memecah-belah gerakan nasionalis. ingin kawin karena belas kasihan …
Dalam perdebatan ini masalah pernyaian Lebih baik bekerja keras daripada kawin
mencuat dan menjadi alasan untuk karena belas kasihan.” Penyelidikan ini
mempertanyakan mengapa pemerintah menjadi acuan penting perbincangan
kolonial tidak membuat undang- tentang perkawinan di masa-masa
undang yang melindungi perempuan sesudahnya dan dasar bagi keputusan
bumiputra dalam status perkawinan Ketua Kongres untuk membentuk Badan
yang tidak sah dengan lelaki Belanda. Perlindungan Perempuan Indonesia
Rasuna Said menuntut agar pemerintah dalam Perkawinan (BPPIP). Badan ini
membuat aturan yang jelas tentang pola bertugas mengkaji posisi perempuan
perhubungan antarrasial ini atau sama dalam hukum Islam, hukum adat, dan
sekali menghapuskan praktik pernyaian. hukum Eropa, dan membuka biro-
Menghadapi tentangan yang demikian biro konsultasi perkawinan di berbagai
keras akhirnya pemerintah membatalkan tempat.
proyek ini.
Dari perdebatan tentang poligami dapat
Pada saat yang hampir bersamaan dipelajari bahwa soal pelembagaan
untuk mengatasi perbedaan pendapat perkawinan dan posisi perempuan
antarorganisasi anggota tentang di dalamnya menjadi masalah politik
poligami, Kongres Perempuan Indonesia kebangsaan. Masing-masing pihak
II sudah membentuk Komisi Penyelidik yang berdebat memiliki pandangan
Hukum Perkawinan di bawah pimpinan sendiri tentang acuan terbaik bagi
ahli hukum Maria Ulfah Santoso. salah satu institusi masyarakat yang
Hasil penyelidikan, yang didukung pokok demi tegaknya negara-bangsa
dengan fakta lengkap dan kuat tentang Indonesia: keluarga. Organisasi-
persoalan-persoalan perempuan dalam organisasi perempuan bukannya tidak
perkawinan ini, disampaikan Maria Ulfah menyadari sisi politis dari perjuangan
sendiri pada Kongres Perempuan III. Ia mereka. Namun kepelikan yang mereka
menyimpulkan bahwa pada akhirnya alami saat berhadapan dengan adat
masyarakat Indonesia akan sepakat dan agama membuat mereka memilih
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan 31
46. jalur-jalur aman dalam memperjuangkan mempersoalkan penindasan terhadap
kebutuhan dan hak-hak perempuan. perempuan di luar lembaga perkawinan.
Ketika Kongres Perempuan Indonesia Padahal, pertemuan antara pejuang-
I bersepakat membentuk federasi pejuang perempuan dalam gerakan
Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) perempuan dan gerakan sosial akan
pada 1928 yang kemudian berubah memperdalam dan mempertajam
menjadi Perikatan Perhimpoenan Istri rumusan umum tentang posisi dan
Indonesia (PPII), federasi ini memutuskan peran perempuan dalam pergerakan
tidak mengambil sikap tegas terhadap kebangsaan. Apakah memang
poligami. Tuduhan dari kalangan perempuan sebaiknya mendahulukan isu
Islam bahwa kaum nasionalis sudah di wilayah publik dibandingkan rumah
berniat “menghina-hinakan Islam” dan tangga?
“mentjerai-beraikan ra’jat Indonesia
dengan membitjarakan polygamie,” Mungkin satu-satunya organisasi
tampaknya berpengaruh dalam perempuan yang berani menerobos
keputusan kongres-kongres perempuan batasan gerak politik perempuan
di masa sebelum kemerdekaan untuk adalah Istri Sedar yang didirikan pada
tidak berbicara tentang agama dan 1930 di bawah pimpinan Soewarni
politik. Pringgodigdo. Secara terbuka Istri
Sedar menolak poligami dan memilih
Di satu sisi, pilihan ini dapat dilihat tidak bergabung dengan federasi PPII
sebagai upaya para pimpinan organisasi karena posisinya terhadap poligami.
untuk mendahulukan kebersatuan Soewarni menyatakan, “Perempuan
perempuan dalam mendukung Indonesia berhak atas keadilan
pergerakan kebangsaan di atas dan kemerdekaan, dan poligami
kepentingan perempuan yang lebih ada penolakan sesungguhnya dari
khusus. Di lain sisi, jalur-jalur aman yang keadilan dan kemerdekaan.” Ketika
dipilih gerakan perempuan membuka Soekarno menyatakan bahwa gerakan
ruang bagi gerakan nasionalis yang perempuan pertama-tama harus
didominasi laki-laki untuk menentukan mendukung kemerdekaan nasional
arah perjuangan perempuan di sebelum menuntut hak-haknya,
masa-masa selanjutnya. Lebih jauh Soewarni berpendapat sebaliknya:
lagi, gerakan perempuan seakan kesetaraan perempuan menjadi prasyarat
terpisah dari perjuangan perempuan- memenangkan kemerdekaan nasional.
perempuan dalam gerakan sosial yang Dalam pidatonya “Soal Kaoem Boeroeh
32
47. KITA BERSIKAP
Perempoean Indonesia” di Kongres Surakarta dan Woro Sumarisah, yang
Perempuan Indonesia II, Soewarni memimpin cabang perempuan Sarekat
juga mempersoalkan pendapat yang Rakyat Surakarta. Ada pula jurnalis-
membatasi pekerjaan perempuan pada jurnalis perempuan yang terlibat
bidang kerumahtanggaan belaka. dalam gerakan kiri, seperti Siti Larang
Dengan mengajukan angka-angka Sosrokardono, wartawan surat kabar
statistik, ia menunjukkan bahwa jumlah milik Sarekat Islam, Oetoesan Hindia,
pekerja perempuan di bidang pertanian, di Surabaya, sekaligus pimpinan Serikat
perkebunan, dan perdagangan jauh lebih Buruh Kendaraan Bermotor dan Serikat
besar dari mereka yang bekerja di rumah Buruh Hotel dan Restoran, dan Sitti
tangga. Selanjutnya, ia mengusulkan Soendari, wartawan dan juru propaganda
agar kerja rumah tangga diperlakukan andal untuk Serikat Buruh Kereta Api
sebagai kerja produktif yang harus dan Tram (VSTP). Ketika percobaan
diberi upah selayaknya. Peserta kongres pemberontakan gerakan nasionalis
mengembalikan persoalan pada kodrat radikal, termasuk Partai Komunis
perempuan. Perempuan tidak seharusnya Indonesia, pada akhir 1926 dipukul
melakukan pekerjaan-pekerjaan berat mundur oleh penguasa kolonial, sejumlah
dan merendahkan derajatnya, seperti aktivis perempuan ditangkap dan
menjadi buruh perkebunan, tukang sapu dibuang ke kamp di Boven Digul, tanah
jalan, atau kuli bangunan. Perdebatan berhutan lebat dan penuh rawa di Papua
dihentikan oleh ketua kongres dengan bagian Selatan. Dari sekitar 1.300 orang
alasan perbedaan prinsip. yang diasingkan, ratusan meninggal
dunia karena kelaparan dan sakit. Salah
Yang juga tidak terjangkau oleh kongres- satu perempuan yang selamat dari
kongres perempuan maupun PPII adalah penghukuman ini, Raden Soekaesih,
perempuan-perempuan yang aktif dan mendapat kesempatan ke Belanda untuk
menjadi pimpinan di organisasi-organisasi menyampaikan kesaksiannya di hadapan
yang dianggap berhaluan komunis. masyarakat Belanda tentang kekejaman
Padahal jumlah perempuan yang terlibat pemerintah kolonial dalam menghadapi
diperkirakan ribuan. Beberapa nama gerakan nasionalis.
yang tersebut dalam catatan sejarah
sosial tentang masa radikalisme gerakan Persoalan lain lagi yang tidak terjangkau
nasionalis di awal abad ke-20 adalah kongres-kongres perempuan terkait para
Ny. Vogel, seorang Indo-Belanda, yang pembantu rumah tangga yang dibawa
mengetuai Sarekat Hindia cabang orang-orang Belanda ke negerinya
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan 33
48. tampak bahwa sumber inspirasi
untuk merumuskan keperempuanan
mereka bukan main kayanya. Tradisi
kepemimpinan dan perlawanan yang
dipimpin perempuan pada abad-abad
sebelumnya, keberanian para nyai
Baboe Laoet dan pekerja perempuan menembus
adalah pengasuh
anak yang khusus
batas-batas kultural dan menghadapi
dipekerjakan di dunia antah-berantah yang asing,
kapal laut. Tidak kecerdasan perempuan terpelajar
ada perlindungan
memanfaatkan ruang-ruang privat
bagi mereka
dalam hal upah, sebagai basis perlawanan, sampai
keselamatan keterlibatan perempuan dalam gerakan
kerja, dan sosial yang menuntut perubahan
jaminan kerja
lainnya mendasar dalam tatanan masyarakat,
(Batavia, 1880; semua itu merupakan tonggak-tonggak
KITLV) penting yang seharusnya menjadi acuan
dalam perumusan keperempuanan
dan kebangsaan. Menariknya, ketika
gerakan perempuan bersinggungan
dengan gerakan nasionalis, gagasan
yang menjadi dominan adalah
perempuan sebagai “iboe bangsa”
dengan hoofdkwartier (markas utama)
perjuangannya rumah tangga, seperti
sejak abad ke-18. Sebagian dari mereka Kaoem Iboe Indonesia di bawah ditetapkan dalam Kongres Perempuan
mondar-mandir antara Hindia Belanda pimpinan Sandijem dan Mak Ginem. Indonesia II (1935):
dan Belanda sebagai “baboe laoet” Mereka menyediakan rumah-rumah
(zeebaboe): pengasuh anak yang mereka sebagai tempat persinggahan Apakah kewadjiban iboe sebagai ‘Iboe
khusus dipekerjakan di kapal laut. dan pertemuan bagi masyarakat Bangsa’? Tidak lain dan tidak boekan
Jumlah mereka mencapai ratusan dan di Indonesia yang ada di Belanda. hanjalah jang teroetama memelihara
antara mereka banyak yang mengalami ketinggian boedi-pekerti bangsanja.
ketidakadilan dari segi upah, keselamatan Jika kita menilik pemikiran dan . . . Kami sekali-kali tidak meminta
kerja, dan jaminan kerja lainnya. Pada pengalaman perempuan yang terlibat kepada kaoem iboe Indonesia, soepaja
1939 mereka mendirikan organisasi dalam pergerakan kebangsaan, akan sebagai ‘Iboe Bangsa’ saban hari dan
34