Pengendalian hayati merujuk pada upaya memanfaatkan musuh alami secara terencana untuk mengendalikan organisme pengganggu, yang mencakup teknik introduksi, konservasi, dan augmentasi musuh alami. Meskipun dianggap relatif aman, pengendalian hayati memiliki batasan karena daya reproduksi musuh alami yang lebih lambat dari hama dan ketahanan mereka terhadap perubahan lingkungan.
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Pengendalian hayati
1. Pengendalian hayati: Perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi
Filosofi pengendalian alami dan hayati
Pada awalnya, manusia memahami bahwa setiap jenis organisme akan mempunyai
musuh alami yang secara alamiah akan mengendalikan populasi organisme tersebut.
Fakta ini kemudian diistilahkan oleh manusia, pengendalian alami (Natural Control).
Bagaimana dengan pengendalian hayati? Samakah artinya?
Pengendalian hayati (Biological Control) sifatnya lebih dekat dengan kepentingan
manusia. Artinya, pengendalian organisme yang mengganggu manusia dengan musuh
alaminya disebut pengendalian hayati. Di dalam definisi ini terkandung dua kata
penting, yaitu hama dan manusia. Artinya, jika organisme tersebut tidak
“mengganggu” atau “merugikan” manusia, maka setiap musuh alami yang menyerang
dan makan padanya tidak disebut sebagai agensia pengendali hayati, tetapi agensia
pengendali alami. Di dalam pengendalian hayati juga terjadi campur tangan manusia,
meliputi manipulasi jenis, keragaman, dan kemelimpahan musuh alami yang cocok.
Sejarah pengendalian hayati
Sejarah pengendalian hayati hampir sama tuanya dengan upaya awal manusia untuk
bercocok tanam. Misalnya, pada tahun 300-an M tercatat bangsa Cina sudah
menggunakan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) untuk melindungi tanaman
jeruk Mandarin dari hama. Di dunia Barat, kesuksesan praktek pengendalian hayati
dicapai pada akhir abad ke-19, yaitu dengan kesuksesan kumbang Rodolia cardinalis
menekan perkembangan populasi hama kutu kapas, Icerya purchasi.
Selanjutnya, semenjak awal abad ke-20, upaya pengendalian hayati sudah mulai
memperhatikan sisi ekologis dan ekonomis dari agroekosistem. Pasalnya, upaya
pemanfaatan musuh alami tidak selalu berhasil. Misalnya, penggunaan pestisida
ditengarai menurunkan populasi musuh alami, sehingga kekuatan penekanan pada
organisme pengganggu menjadi berkurang. Penelitian terkini juga mengungkapkan
kompleksitas hubungan antar organisme, termasuk kompetisi antar jenis predator,
yang dapat mempengaruhi keberhasilan penekanan populasi organisme pengganggu
oleh musuh alami.
2. Rodolia cardinalis, pemangsa kutu Icerya purchasi
Bagaimana memanfaatkan musuh alami untuk mengendalikan organisme
pengganggu?
Pada aras teknis, muncul sebuah pertanyaan: Bagaimana memanfaatkan musuh alami
secara efektif?
Pemanfaatan organisme musuh alami dapat dilakukan dengan teknik pemasukan
(importasi) dari tempat lain (disebut pula introduksi), konservasi (menjaga potensi
musuh alami di satu wilayah), dan augmentasi (penambahan jumlah individu musuh
alami yang sudah ada di satu wilayah). Teknik augmentasi dapat berupa inokulatif
(menambahkan sejumlah musuh alami), inundasi (menambahkan musuh alami dalam
jumlah sangat banyak untuk memperkuat tekanan terhadap organisme pengganggu),
atau suplemen, jika musuh alami benar-benar sangat rendah populasinya.
Untung-rugi pengendalian hayati
Definisi pengendalian hayati adalah pemanfaatan jenis musuh alami tertentu untuk
mengendalikan jenis organisme pengganggu tertentu. Jenis musuh alami yang dipilih
tersebut bisa berupa pemangsa (predator), parasitoid, maupun patogen yang
menyerang organisme pengganggu. Beberapa ahli juga memasukkan pemanfaatan
“pestisida” yang tidak berbahaya bagi organisme berguna sampai penggunaan musuh
alami, termasuk patogen yang sering diformulasikan sebagai pestisida (hayati).
Pengendalian hayati dianggap oleh banyak kalangan sebagai salah satu komponen
pengelolaan organisme pengganggu yang aman dan efektif. Namun benarkah
demikian?
Seperti disebutkan di atas, bahwa organisme musuh alami juga mempunyai sifat
bioekologi yang cukup rumit. Misalnya, kecenderungan organisme karnivora untuk
memangsa organisme karnivora yang lain, dibandingkan dengan memangsa
organisme herbivora, atau sifat polifaga dari organisme musuh alami, atau bahkan
3. kanibalisme. Sifat-sifat ini dalam kondisi tertentu akan menurunkan tingkat
kemempanannya selaku organisme pengendali hayati.
Penelitian penulis pada hubungan antar jenis afidofaga (pemakan kutu afid), yaitu
kumbang koksi dan lalat syrphid, menjelaskan bahwa kedua jenis afidofaga ini saling
berkompetisi dan saling memangsa (diistilahkan dengan Intraguild Predation atau
pemangsaan di dalam satu guild). Artinya, jika di dalam agroekosistem yang kita
kelola terdapat sekian banyak jenis organisme musuh alami, tidak secara otomatis
akan menjamin keberlangsungan pengendalian hayati karena masing-masing jenis
bisa jadi saling berkompetisi atau memangsa, dan tidak berperan sebagai pemangsa
pada organisme pengganggu yang seharusnya dilakukannya.
Jika teknik introduksi digunakan untuk mengendalikan jenis organisme pengganggu,
terutama jenis baru yang belum mempunyai kompleks musuh alami, maka harus
didahului dengan kajian yang sangat teliti untuk meminimalkan potensi kerusakan
ekosistem oleh spesies invasif.
Bagaimana memutuskan untuk menggunakan musuh alami?
Sebenarnya, jika ekosistem pertanian cukup baik, maka kemungkinan untuk
memanfaatkan musuh alami cukup besar. Artinya, ekosistem yang tidak “dipadati”
oleh bahan-bahan kimia-sintetik semacam pestisida dan pupuk memberikan
lingkungan yang “nyaman” bagi musuh alami untuk berkembang biak dan mencari
pakan. Di dalam hal ini, dalam kondisi populasi organisme pengganggu tidak cukup
mengkuatirkan, maka menyerahkan nasib mereka pada musuh alami adalah tindakan
yang paling masuk akal.
Namun, bagaimana jika populasi organisme pengganggu tiba-tiba meledak? Apakah
musuh alami bermanfaat? Dalam kondisi yang semacam itu, musuh alami memang
dianggap tidak efektif lagi. Jadi, upaya lain harus dilakukan untuk menurunkan
populasi organisme pengganggu.
Bagaimana dengan upaya augmentasi inundasi? Cukupkah untuk melawan populasi
organisme pengganggu yang menggila? Cara inipun dipandang tidak cukup kuat,
karena cara ini dilakukan hanya jika proses penekanan oleh musuh alami sudah
berjalan, namun belum cukup cepat. Nah, fungsi augmentasi adalah menambah daya
tekan musuh alami terhadap organisme. Namun, jika sudah terlanjur terjadi ledakan,
maka musuh alami tidak akan mampu berperan banyak.
Mempersiapkan musuh alami
Pada upaya konservasi, populasi musuh alami dapat dipertahankan dengan cara
menanam tumbuhan atau tanaman yang menghasilkan pakan alternatif (nektar dan
serbuk sari) dan mengurangi penggunaan bahan-bahan yang dapat meracun dan
membunuh musuh alami.
Pada upaya augmentasi, pembiakan massal serangga adalah upaya yang banyak
dilakukan. Perlu dicatat, bahwa pembiakan massal adalah sebuah upaya yang cukup
sulit, mahal, dan membutuhkan waktu cukup lama. Oleh karena itu, pengendalian
hayati kadang-kadang dianggap mahal di awal, meskipun murah di akhir proses,
4. terutama jika proses penekanan organisme pengganggu oleh musuh alami berjalan
dengan efektif.
Parasitoid telur, tawon Trichogramma sp. (sumber: http://ampest.typepad.com)
Larva Chrysoperla carnea (foto: Erick Steinert, 2004)
Evaluasi kemapanan dan potensi dampak negatif musuh alami
Salah satu kelemahan dalam bidang pelaksanaan pengendalian hayati adalah evaluasi
terhadap (1) kemapanan atau adaptasi musuh alami, dan (2) penilaian dampak negatif
musuh alami. Evaluasi pertama dapat dilakukan di lapangan dalam bentuk survei
terhadap keberadaan sejak pertama kali dilepaskan sampai dengan waktu tertentu,
misalnya setahun atau dua tahun. Evaluasi kedua dapat dilakukan baik di lapangan
atau di laboratorium, dan meliputi kajian sifat hubungan jenis musuh alami yang
dilepaskan dengan jenis musuh alami yang lain yang ada di lapangan, terutama jenis-
jenis lokal. Penelitian sederhana di laboratorium cukup menarik dilakukan, misalnya
dengan menggunakan uji predasi atau IGP.
5. Kesimpulan
Meskipun pengendalian hayati dianggap (cukup) aman, bukan berarti cara ini tanpa
cacat. Kelemahan paling mendasar dari upaya pemanfaatan musuh alami adalah (1)
daya reproduksi musuh alami yang kalah cepat dibandingkan organisme pengganggu,
dan (2) ketahanan musuh alami terhadap guncangan lingkungan yang lebih rendah
daripada organisme pengganggu. Oleh karena itu, pengendalian hayati hanya cocok
untuk kondisi ekosistem tertentu, yaitu tidak tercemar senyawa beracun, cukup
tumbuhan sebagai tempat reproduksi dan sumber pakan musuh alami, dan populasi
organisme pengganggu tidak jauh melebihi daya tekan musuh alami (perbandingan
proporsional).
PENGERTIAN DAN LINGKUP PENGENDALIAN HAYATI
Sejak istilah “pengendalian hayati” pertama kali digunakan oleh Harry S.
Smith pada 1919, banyak pengertian diberikan terhadap istilah tersebut. Smith mula-
mula memberikan pengertian kepada pengendalian hayati sebagai penggunaan musuh
alami yang diintroduksi maupun yang dimanipulasi dari musuh alami setempat untuk
mengendalikan serangga hama. Dari sudut pandang praktis, pengendalian hayati dapat
dibedakan menjadi:
1) Introduksi musuh alami yang tidak terdapat di daerah yang terinfestasi hama
2) Peningkatan secara buatan jumlah individu musuh alami yang telah ada di wilayah
yang terinfestasi hama dengan melakukan manipulasi sehingga musuh alami yang ada
dapat menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi terhadap hama.
Pengertian pengendalian alami yang diberikan oleh Smith tersebut kemudian
diperluas oleh P. de Bach pada 1964 dengan membedakan pengendalian alami dan
pengendalian hayati:
1) Pengendalian alami adalah upaya untuk menjaga populasi organisme yang
berfluktuasi dalam batas atas dan batas bawah selama suatu jangka waktu tertentu
melalui pengaruh faktor lingkungan abiotik maupun biotik
2) Pengendalian hayati adalah kemampuan predator, parasitoid, maupun patogen dalam
menjaga padat populasi organisme lain lebih rendah daripada padat populasi dalam
keadaan tanpa kehadiran predator, parasitoid, atau patogen.
De Bach membedakan pengendalian alami dari pengendalian hayati, tetapi harus
dicermati bahwa:
1) Tidak jelas perbedaan antara pengaruh faktor lingkungan biotik dalam pengendalian
alami dengan pengaruh predator, parasitoid, atau parasit dalam pengendalian hayati
2) Pengendalian alami menurut de Bach juga mencakup pengaruh faktor lingkungan
abiotik
Pada 1962, Bosch dan kawan-kawan memodifikasi pengertian pengendalian
alami dan pengendalian hayati yang dikemukakan de Bach menjadi:
1) Pengendalian hayati alami (natural biological control) sebagai pengendalian yang
terjadi tanpa campur tangan manusia.
2) Pengendalian hayati terapan (applied biological control) sebagai manipulasi musuh
alami oleh manusia untuk mengendalikan hama.
Bosch dan kawan-kawan membedakan tiga kategori pengendalian hayati terapan
sebagai berikut:
6. 1) Pengendalian hayati klasik melalui introduksi musuh alami untuk mengendalikan
hama
2) Augmentasi musuh alami melalui upaya untuk meningkatkan populasi atau pengaruh
menguntungkan yang diberikan oleh musuh alami
3) Konservasi musuh alami melalui upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk
melindungi dan menjaga populasi musuh alami.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian pengendalian hayati diperluas
menjadi mencakup faktor-faktor seperti ketahanan tanaman, autosterilisasi,
manipulasi genetik, pengendalian budidaya, dan bahkan penggunaan pestisida
generasi ketiga semacam zat pengatur tumbuh serangga. Namun dalam perkembangan
lebih lanjut, pengertian luas tersebut kembali ditinggalkan dan yang digunakan adalah
pengertian menurut Bosch dan kawan-kawan dengan perubahan istilah pengendalian
hayati alami menjadi pengendalian alami (natural control) dan pengendalian hayati
terapan menjadi pengendalian hayati (biological control). Weeden dan kawan-kawan
dari Universitas Cornell, AS, misalnya, memberikan pengendalian hayati sebagai
penggunaan mahluk hidup semacam predator, parasitoid, dan patogen dengan
melibatkan campur tangan manusia untuk mengendalikan hama, penyakit, dan gulma.
Universitas Negara Bagian Michigan, AS, memberikan pengertian yang kurang lebih
sama, yaitu upaya yang dilakukan manusia untuk memanipulasi musuh alami yang
terdiri atas predator, parasitoid, patogen, dan pesaing hama (pest competitor) atau
sumberdayanya untuk mendukung pengendalian hama dalam arti luas
Pada 1987, Komisi Ilmu Pengetahuan, Keteknikan, dan Kebijakan Publik (the
Committee on Science, Engineering and Public Policy, COSEPUP) dari Lembaga
Ilmu Pengetahuan AS, Lembaga Keteknikan AS, dan Lembaga Kedokteran AS
menganjurkan penggunaan definisi luas pengendalian hayati sebagai penggunaan
organisme alami atau hasil rekayasa, gen, atau hasil rekayasa gen untuk mengurangi
dampak negatif yang ditimbulkan oleh organisme hama dan dampak positif yang
ditimbulkan oleh organisme bermanfaat seperti tanaman, pohon hutan, ternak, serta
serangga dan organisme bermanfaat lainnya. Definisi yang diperluas ini ditolak oleh
Divisi Pengendalian Hayati UCB karena tidak dapat memberikan perbedaan yang
jelas dengan metode pengendalian hama lainnya dalam hal ciri utama pengendalian
yang bersifat self-sustaining tanpa harus diberikan masukan secara terus menerus dan
tergantung padat populasi dalam mekanismenya mengendalikan hama. Divisi
Pengendalian Hayati UCB mempertahankan pengertian pengendalian hayati
sebagaimana diberikan oleh DeBach sebagai kinerja parasitoid, predator, atau patogen
dalam menekan padat populasi organisme lain pada taraf yang lebih rendah daripada
tanpa kehadiran musuh alami tersebut.
Pengertian pengendalian hayati yang digunakan dewasa ini dan mudah diingat
adalah yang diberikan oleh Midwest Institut for Biological Control, AS, yang
mendefinisikan pengendalian hayati sebagai tiga kelompok yang masing-masing
terdiri atas tiga unsur (three sets of three). Ketiga kelompok yang dimaksudkan
mencakup “siapa” (who), yaitu musuh alami yang digunakan sebagai agen
pengendali, “apa” (what), yaitu tujuan pengendalian hayati, dan “bagaimana” (how),
yaitu cara musuh alami digunakan untuk mencapai tujuan pengendalian hayati.
Kelompok “siapa” terdiri atas unsur-unsur predator, parasitoid, dan patogen,
kelompok “apa“ terdiri atas unsur-unsur reduksi, prevensi, dan penundaan, serta
kelompok “bagaimana” terdiri atas unsur-unsur importasi, augmentasi, dan
konservasi. Sebagaimana akan diuraikan pada bab-bab selanjutnya, pengertian three
sets of three tersebut tentu saja bukan merupakan harga mati, melainkan hanya untuk
mempermudah mengingat. Kelompok “apa” ternyata tidak hanya terdiri atas unsur-
7. unsur predator, parasitoid, dan patogen, tetapi juga pemakan gulma (weed feeders)
dalam pengendalian hayati gulma dan antagonis dalam pengendalian hayati penyakit
tumbuhan.
Lingkup Materi Kuliah Pengendalian Hayati
Sebelum mempelajari pengendalian hayati secara rinci sebagaimana akan
diuraikan pada bab-bab selanjutnya, terlebih dahulu perlu diperoleh gambaran sekilas
(overview) mengenai pengendalian hayati. Gambaran sekilas tersebut diperlukan
sebagai panduan untuk mengaitkan satu bab dengan bab lain sehingga dengan
mempelajari secara rinci bab demi bab, gambaran utuh pengendalian hayati tidak
menjadi kabur.
Pengendalian hayati yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya pada
dasarnya merupakan materi yang disajikan untuk memberikan kompetensi dasar atau
pengantar mengenai pengendalian hayati serangga hama, patogen, dan gulma
pertanian dalam konteks sebagai salah satu komponen dari Pengendalian Hama
Terpadu (PHT). Untuk memudahkan pemahaman dan mempertahankan keterkaitan
antar topik, materi akan disajikan dalam bab-bab yang dikelompokkan menjadi
bagian-bagian:
1) Pendahuluan dan dasar-dasar ekologis, yang berisi bab-bab yang akan menguraikan
sejarah dan pengertian pengendalian hayati, dasar-dasar dinamika populasi, dinamika
interaksi predator-mangsa dan interaksi parasitoid-inang, dan dinamika interaksi
patogen-inang.
2) Pengenalan Agen Pengendali Hayati yang berisi bab-bab yang akan menguraikan
pengenalan predator, pengenalan parasitoid, pengenalan patogen dan antagonis, serta
pengenalan pemakan gulma.
3) Pengembangan dan penerapan pengendalian hayati yang berisi bab-bab yang akan
menguraikan prosedur pengembangan pengendalian hayati klasik, prosedur
pengembangan pestisida hayati, prosedur konservasi musuh alami, serta penerapan
dan evaluasi pengendalian hayati.
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian pengertian dan lingkup
pengendalian hayati, pengendalian hayati merupakan upaya manusia dalam
memanipulasi musuh alami untuk mengendalikan hama dalam arti luas. Ini berarti
bahwa pengendalian hayati merupakan tindakan manipulasi ekosistem dalam kaitan
dengan interaksi antara populasi musuh alami dengan populasi hama yang menjadi
sasarannya. Interaksi tersebut perlu dipahami sebagai dasar memahami cara kerja
pengendalian hayati secara utuh.
Musuh alami mencakup seluruh mahluk hidup yang memanfaatkan mahluk hidup
lain untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Pengendalian alami berkaitan dengan
peranan musuh alami tersebut dalam menekan populasi hama dalam arti luas
sebagaimana adanya tanpa campur tangan manusia. Musuh alami yang sama yang
secara sengaja melalui importasi, augmentasi, dan konservasi dimanfaatkan untuk
mengendalikan hama disebut agen pengendali hayati (biological control agent).
Dalam buku-buku teks berbahasa Indonesia mengenai pengendalian hayati, istilah
biological control agent diindonesiakan menjadi “agensia pengendali hayati”. Namun
pengindonesiaan istilah Inggris “agent” menjadi “agensia” tidak sesuai dengan kaidah
pembentukan istilah dalam bahasa Indonesia (“president” diindonesiakan menjadi
“presiden” dan bukan “presidensia”, “antagonist” menjadi “antagonis” dan bukan
“antagonisia”). Istilah “agensi” juga tidak tepat karena dalam bahasa Inggris kata
“agency” mempunyai makna yang berbeda dengan kata “agent” sebagaimana
8. digunakan dalam istilah biological control agents. Oleh karena itu, istilah yang
selanjutnya akan digunakan untuk mengacu kepada musuh alami yang digunakan
secara sengaja untuk mengendalikan hama dalam arti luas adalah agen pengendali
hayati.
Sebagaimana telah diuraikan dalam sejarah pengendalian hayati, pengendalian
hayati pertama-tama digunakan terhadap binatang hama. Dalam pengendalian
binatang hama, agen pengendali yang lazim digunakan terdiri atas predator,
parasitoid, dan patogen sehingga komponen “apa” dalam pengertian pengendalian
hayati yang diberikan oleh Midwest Institut for Biological Control hanya terdiri atas
tiga unsur. Kini pengendalian hayati telah dilakukan terhadap binatang hama,
penyakit tumbuhan, dan gulma sehingga tiga unsur tersebut harus diperluas dengan
antagonis dan pemakan gulma (weed feeder). Dengan pengendalian hayati yang kini
mencakup pengendalian binatang hama, penyakit tumbuhan, dan gulma, agen
pengendali hayati terdiri atas unsur-unsur:
1) Predator, yaitu mahluk hidup yang memakan mahluk hidup lain yang lebih kecil atau
lebih lemah dari dirinya. Mahluk hidup lain yang dimakan oleh predator disebut
mangsa (prey) dan proses pemakanannya disebut predasi.
2) Parasitoid, yaitu mahluk hidup parasitik yang hidup di dalam atau di permukaan tubuh
dan pada akhirnya menyebabkan kematian mahluk lain yang ditumpanginya. Mahluk
lain yang ditumpangi parasitoid disebut inang (host) dan proses interaksinya disebut
parasitasi.
3) Patogen, yaitu mahluk hidup parasitik mikroskopik yang hidup di dalam atau di
permukaan tubuh dan pada akhirnya menyebabkan kematian mahluk hidup lain yang
diserangnya. Mahluk lain yang diserang patogen disebut inang (host).
4) Antagonis, yaitu mahluk hidup mikroskopik yang dapat menimbulkan pengaruh tidak
menguntungkan bagi mahluk hidup lain melalui kerusakan fisik, parasitasi, sekresi
antibiotik, dan bentuk-bentuk penghambatan lain seperti persaingan untuk
memperoleh hara dan ruang tumbuh.
5) Pemakan gulma, yaitu mahluk hidup pemakan gulma tetapi tidak mamakan tumbuhan
lain yang bermanfaat.
Dalam buku-buku teks pengendalian hayati, sering juga digunakan istilah “parasit”
untuk mengacu kepada parasitoid. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa
penggunaan parasit hanya untuk mengacu kepada parasitoid dapat menimbulkan
kebingungan karena ada parasit yang merupakan patogen atau bahkan antagonis.
Istilah “patogen” dalam pengendalian hayati mencakup patogen terhadap binatang
hama, terhadap patogen penyebab penyakit tumbuhan, dan terhadap gulma.
Mengingat pengendalian hayati dilakukan dengan memanfaatkan mahluk hidup
lain untuk mengendalikan hama dalam arti luas maka banyak kalangan menganggap
pengendalian hayati sebagai metode pengendalian yang sekali dilakukan maka akan
berlangsung terus dengan sendirinya sehingga biayanya murah. Dalam kenyataannya,
pengertian murah dalam pengendalian hayati bersifat sangat relatif dan kontekstual.
Meskipun demikian, pengendalian hayati memang memiliki sejumlah kelebihan
dibandingkan dengan metode pengendalian lainnya. Kelebihan tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Dalam skala aplikasi oleh petani, pengendalian hayati (khususnya pengendalian hayati
klasik) merupakan metode pengendalian yang relatif murah. Namun pengembangan
pengendalian hayati pada umumnya klasik memerlukan biaya dan sumberdaya lain
dalam jumlah yang sangat besar.
9. 2) Pengendalian hayati merupakan metode pengendalian yang aman bagi lingkungan dan
bagi kesehatan manusia. Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak
berbahaya bagi mahluk hidup bukan sasaran sehingga tidak menimbulkan resurgensi
hama maupun ledakan hama kedua. Pengendalian hayati aman bagi kesehatan
manusia karena mahluk hidup yang digunakan bukan merupakan mahluk hidup yang
berbahaya bagi kesehatan manusia.
3) Pengendalian hayati tidak mendorong terjadinya hama, patogen penyakit tumbuhan,
maupun gulma yang resisten seperti halnya yang dapat terjadi dalam pengendalian
kimiawi.
Selain kelebihan tersebut, pengendalian hayati juga mempunyai keterbatasan.
Keterbatasan yang penting adalah sebagai berikut:
1) Pengendalian hayati tidak mungkin dilakukan untuk mengeradikasi hama sasarannya
sebab kelangsungan hidup agen pengendali hayati, khususnya pengendalian hayati
klasik, tergantung pada ketersediaan hama sasarannya sebagai bahan makanan bagi
kelangsungan hidupnya
2) Efektivitas pengendalian hayati umumnya memerlukan waktu yang lama dan bersifat
relatif dalam kaitan dengan ambang ekonomi yang harus ditetapkan terlebih dahulu.
3) Pengembangan pengendalian hayati merupakan pekerjaan yang memerlukan
dukungan sumberdaya yang besar dalam bentuk tenaga ahli, fasilitas, dana, dan waktu
tanpa ada jaminan keberhasilan.
Pengendalian hayati modern merupakan salah satu metode pengendalian yang
masih reltif baru. Sebagai metode pengendalian yang relatif masih baru, penerapannya
seringkali menghadapi banyak kendala, baik teknis maupun non-teknis. Namun
sebagai metode yang relatif masih baru, pengendalian hayati merupakan metode
pengendalian yang banyak dibicarakan dan banyak tersedia sumberdayanya di
internet. Hampir seluruh universitas di AS menyediakan situs khusus mengenai
pengendalian hayati, selain juga situs yang disediakan oleh organisasi pengendalian
hayati. Situs-situs internet tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi
tambahan untuk dapat lebih memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan
pengendalian hayati.
10. 2) Pengendalian hayati merupakan metode pengendalian yang aman bagi lingkungan dan
bagi kesehatan manusia. Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak
berbahaya bagi mahluk hidup bukan sasaran sehingga tidak menimbulkan resurgensi
hama maupun ledakan hama kedua. Pengendalian hayati aman bagi kesehatan
manusia karena mahluk hidup yang digunakan bukan merupakan mahluk hidup yang
berbahaya bagi kesehatan manusia.
3) Pengendalian hayati tidak mendorong terjadinya hama, patogen penyakit tumbuhan,
maupun gulma yang resisten seperti halnya yang dapat terjadi dalam pengendalian
kimiawi.
Selain kelebihan tersebut, pengendalian hayati juga mempunyai keterbatasan.
Keterbatasan yang penting adalah sebagai berikut:
1) Pengendalian hayati tidak mungkin dilakukan untuk mengeradikasi hama sasarannya
sebab kelangsungan hidup agen pengendali hayati, khususnya pengendalian hayati
klasik, tergantung pada ketersediaan hama sasarannya sebagai bahan makanan bagi
kelangsungan hidupnya
2) Efektivitas pengendalian hayati umumnya memerlukan waktu yang lama dan bersifat
relatif dalam kaitan dengan ambang ekonomi yang harus ditetapkan terlebih dahulu.
3) Pengembangan pengendalian hayati merupakan pekerjaan yang memerlukan
dukungan sumberdaya yang besar dalam bentuk tenaga ahli, fasilitas, dana, dan waktu
tanpa ada jaminan keberhasilan.
Pengendalian hayati modern merupakan salah satu metode pengendalian yang
masih reltif baru. Sebagai metode pengendalian yang relatif masih baru, penerapannya
seringkali menghadapi banyak kendala, baik teknis maupun non-teknis. Namun
sebagai metode yang relatif masih baru, pengendalian hayati merupakan metode
pengendalian yang banyak dibicarakan dan banyak tersedia sumberdayanya di
internet. Hampir seluruh universitas di AS menyediakan situs khusus mengenai
pengendalian hayati, selain juga situs yang disediakan oleh organisasi pengendalian
hayati. Situs-situs internet tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi
tambahan untuk dapat lebih memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan
pengendalian hayati.