Dokumen tersebut membahas tentang peran media massa dalam memberikan informasi terkait pandemi COVID-19. Beberapa poin penting yang diangkat antara lain bahwa pemberitaan media sering kurang memberikan edukasi dan justru membuat panik, perlu adanya pendekatan yang berimbang dalam memberikan informasi positif dan negatif, serta perlunya fungsi pengawasan dan edukasi masyarakat dari media massa.
1. Sejak awal pandemic hingga penerapan PSBB di beberapa wilayah di Indonesia, media
massa terus membanjiri publik dengan berita mengenai COVID-19. Banyak media
massa memberitakan kasus COVID-19 secara membabi buta. Mereka misalnya, tidak
akurat dan kurang selektif dalam memilih narasumber. Pemberitaannya juga masih
lebih sering tidak lengkap. Parsial dan cuma mengetengahkan informasi yang
mencemaskan dan menakutkan publik.
Begitu banyak pemberitaan mengenai wabah virus corona yang menghiasi media
cetak dan elektronik setiap hari. Namun, pemberitaan itu justru tidak banyak
memberi edukasi dan pencerahan bagaimana membangun kesadaran publik
menghadapi virus itu sejak awal. Justru, membuat situasi malah bikin makin panik
bagi sebagian masyarakat yang membaca dan ataupun menonton.
Hal ini tentunya menimbulkan sindrom berlebihan di tengah geliat usaha melawan
Covid-19. Belum lagi munculnya informasi-informasi bohong atau berita hoaks yang
menyebar melalui media sosial, tentunya dapat menimbulkan kepanikan dalam
masyarakat, yang dapat berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan masyarakat.
Covid19 di Media: Edukatif Bukan Bikin Panik
(: Catatan untuk Media Massa Terkait Pemberitaan Virus Corona
2. Pemberitaan media terkait covid19 sering membuat bingung dan cemas masyarakat
karena berita yang bobot edukasinya kurang, sering pula diulang-ulang. Yang lebih
krusial, banyak media massa merilis berita tanpa peduli pada etika dan hak-hak
pasien. Informasi data pribadi pasien dibuka, dan disebarluaskan sehingga
menimbulkan stigma.
Ada media massa memberitakan masih sifatnya parsial-parsial atau potongan, dan itu
diambil dari sisi berita yang paling menghebohkan. Misalnya, berita tenaga kesehatan
di rumah sakit yang tertular covid yang dibumbui narasi menakutkan. Akibatnya,
masyarakat takut ke rumah sakit.
Padahal ada banyak sisi yang tidak digali lebih dalam oleh media tentang wabah virus
corona untuk memberikan edukasi bagi masyarakat. Misalnya, bagaimana pencegahan
dan penanggulangan penyebarannya virus ini. Media lebih berkonsentrasi pada kisah-
kisah mengenai para korban. Padahal yang dibutuhkan sejak awal adalah pemahaman
agar masyarakat bisa tenang dan tahu cara yang tepat untuk tidak tertular.
Tak dipungkiri jika ada media yang serius ingin memberikan informasi yang benar
dan terverifikasi dan ada media yang tampak memanfaatkan isu virus corona untuk
mendongkrak khalayak dengan gemar menampilkan judul berita sensasional, yang
mudah viral dan membuat kaget pembaca. Selain itu, mereka juga cenderung tidak
berhati-hati atau kurang melakukan verifikasi ketika mengutip informasi. Dan itu itu
sudah dilakukan sejak lama, oleh mereka.
Maka mari kita telisik media massa sebagai penyedia informasi. Alih teknologi
membuat media massa berubah. Untuk mempertahankan eksistensinya, media massa
berbasis online harus bergulat dengan jumlah “klik dan views” pada laman berita.
Keduanya tentu berimplikasi pada jumlah adsense guna menopang operasional dapur
redaksi. Media massa berbasis online juga harus berlomba satu sama lain untuk
menjadi yang tercepat dalam menghadirkan pemberitaan.
Tidak heran jika beberapa media meletakan kalimat-kalimat yang memancing rasa
ingin tahu pembaca pada judul berita (clickbait). Tidak jarang, judul yang diberikan
justru memuat substansi yang sedikit berbeda dengan isinya. Sayangnya, dalam
situasi pandemic virus covid19, beberapa media nampaknya masih mempertahankan
budaya tersebut.
3. Dalam pemberitaan korban COVID-19 misalnya, media cenderung menjual embel-
embel gelar dan instansi korban dalam judulnya. Contohnya pada judul berita
“Pegawai Angkasa PuraTerindikasi Corona”. Alih-alih memperingati masyarakat yang
mungkin pernah berinteraksi dengan korban, ketakutan dan spekulasi negatif
masyarakat akan instansi tersebut justru yang terjadi.
Perihal substansi, nampaknya berita-berita yang disajikan oleh media massa juga
cenderung bicara tentang angka dan laporan kasus dalam pemberitaan ini. Entah
dipengaruhi atas psikologi sang jurnalis yang juga ketakutan, beberapa berita justru
melupakan nilai cover both side-nya. Perpaduan antara judul yang heboh, isi berita
yang kurang edukatif, serta minimnya budaya literasi masyarakat Indonesia berakibat
pada menularnya kepanikan di tengah masyarakat.
Meskipun demikian, fenomena clickbait pada berita tidak sepenuhnya salah.
Terkadang butuh sedikit tekanan dalam judul untuk mengingatkan masyarakat akan
pentingnya suatu masalah. Lagi-lagi, clickbait nampaknya juga diperlukan guna
menekan sisi psikologis masyarakat Indonesia yang minim literasi.
Belum lagi media-media yang kerap mengaitkan wabah ini dengan isu politik yang
hangat di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, beberapa media justru memanfaatkan
wabah ini untuk menggoreng isu-isu yang saling menjatuhkan atau mendiskriminasi
pihak-pihak tertentu.
Selain itu, sarana bertukar informasi yang semakin berkembang juga mendorong
individu-individu untuk ambil bagian dari penyebaran informasi. Meski memiliki
dampak positif, fenomena ini justru mempercepat munculnya informasi-informasi
yang tidak bertanggung jawab. Berbagai hoaks yang terlalu sering beredar seringkali
meningkatkan ketakutan atau bahkan menimbulkan rasa acuh tak acuh masyarakat
akan bahayanya virus ini.
Warganet yang ramai mengupas cara media melaporkan virus corona, sebenarnya
sudah menjadi kontrol terhadap kerja media. Namun, hal itu belum cukup. pemerintah
juga bisa menyatakan bahwa jenis pemberitaan semacam itu merugikan. Alasannya,
komunikasi publik yang sudah diupayakan pemerintah, seolah dirusak oleh cara
peliputan yang dilakukan sejumlah media. Tantangan untuk menyajikan informasi
covid19, itu harus didasari oleh disiplin verifikasi.
4. Itu sebabnya, publik perlu mengingatkan media untuk lebih berhati hati dalam
menyampaikan berita covid19 secara proporsional dan profesional. Memang,
sejatinya tidak semua media massa bertindak ceroboh. Banyak media yang kurang
berhati-hati, tapi ada sejumlah media massa arus utama (mainstream media) yang
memberitakan kasus pandemi COVID-19 secara kritis dan obyektif dalam
penanggulangan kasus itu.
Bagaimana Media Harus Bertindak?
Sebagai sumber informasi, yang pertama tentunya media massa tidak boleh
melupakan kewajiban utamanya untuk mengedukasi masyarakat. Tidak hanya dengan
memberikan data statistik korban COVID-19, edukasi yang dimaksud juga termasuk
mengkomunikasikan penelitian dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Media juga berperan penting dalam membentuk persepsi dan keputusan publik
tentang kesehatan. Berkaca pada kasus swine flu yang lebih dikenal dengan nama
virus H1N1, sebuah jurnal yang diterbitkan Eurosurveillance menjelaskan bahwa
respon negatif dari para pekerja pelayanan kesehatan di Yunani pada tahun 2009
terhadap vaksinasi H1N1 justru terjadi saat mereka menambang informasi terkait
vaksin lewat televisi atau radio.
Sedangkan respon berbeda justru terjadi saat mereka mendapat informasi terkait
vaksin lewat jurnal-jurnal kesehatan atau rumah sakit. Maka kepiawaian media dalam
menyampaikan informasi yang mencerdaskan masyarakat terkait COVID-19 akan
mempengaruhi keputusan publik terkait peningkatan kesehatan.
Tak dapat dipungkiri, peran dan fungsi media massa makin penting dalam menggiring
perilaku masyarakat secara perlahan untuk sadar akan kondisi pandemi global saat
ini. Media, sebagai sumber informasi memiliki peran penting dalam membentuk
persepsi dan keputusan publik terkait penanggulan penyebaran virus Corona.
Pertama, optimisme publik juga harus dibangun lewat media. Informasi terkini
memang harus disampaikan. Namun mari tetap berimbang dalam pemberitaan.
Misalnya berita kenaikan jumlah pasien teridentifikasi positif dapat diimbangi dengan
kabar naiknya jumlah pasien yang sembuh.
5. Kedua, media harus mampu meredam stigma negatif dan diskriminasi lewat
pemberitaannya. Poin ini nampaknya harus diperhatikan bukan hanya oleh media
nasional, tetapi juga media internasional.
Ketiga, media harus melakukan pengawasan (watchdog). Dalam hal pengawasan,
media mainstream, dan media umum hendaknya memantau secara ketat setiap
kebijakan dan langkah-langkah konkrit yang diambil pemerintah dalam memerangi
COVID-19.
Sudah selayaknya media massa bersatu dalam keberpihakan pada kepentingan publik.
Dengan kekuatan yang sedemikian besar, media mampu menjadi jembatan untuk
mendorong pemerintah agar mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berdampak
positif bagi masyarakat.
Lebih dari itu, media juga mengawasi cakrawala berita tentang COVID-19, baik yang
diproduksi oleh sesama rekan media, terutama yang direproduksi dan disebarkan
oleh pelaku media sosial.
Keempat, media melakukan fungsi mengedukasi. Media massa dapat merumuskan
pemberitaan dengan tone yang berimbang yaitu negatif, positif, dan netral. Selain itu,
media juga perlu mengembangkan berita yang sifatnya korelatif dengan mengaitkan
sudut-sudut cerita yang berbeda, dengan perspektif yang berbeda, dan
menyeimbangkan interpretasi yang berbeda sehingga menghasilkan konten berita
yang kohesif dan gamblang.
Melalui fungsi edukatif, media dapa menumbuhkan awareness kepada masyarakat
mengenai COVID-19 mengenai pola penyebaran, metode test COVID-19, pengobatan
dan protokol keamanan memakamkan korban COVID-19. Termasuk, memberikan
motivasi kepada masyarakat untuk lebih waspada dan menahan diri untuk
beraktivitas di rumah guna memutuskan mata rantai penyebaran sehingga Indonesia
segera keluar dari krisis COVID-19.
Media tidak bisa berjalan sendiri, sinergi maupun kolaborasi bisa menjadi kata yang
tepat untuk menjawab kompleksitas permasalahan terkait COVID-19. Media tak bisa
berbuat banyak tanpa dukungan pemerintah maupun masyarakat. Dalam kasus
merebaknya ketakutan berlebih terkait COVID-19 di masyarakat, setidaknya
pemerintah harus menempuh solusi jangka pendek dan jangka panjang.
6. Mengenai solusi jangka pendek, sebagai pemegang informasi tertinggi, pemerintah
harus jadi garda terdepan dalam pemberitaan COVID-19. Pemerintah perlu
memberikan informasi lewat portal resmi. Dengan demikian masyarakat setidaknya
memiliki satu sumber informasi yang terpercaya. Selain itu, keresahan masyarakat
akibat berita-berita palsu juga dapat berkurang. Dengan catatan, pemerintah juga
harus terbuka dalam melakukan pemberitaan.
Sedangkan terkait solusi jangka panjang, pemerintah harus membentuk kesadaran
literasi media masyarakat. Misalnya dengan menyusun kurikulum literasi media. Hal
ini tentunya berlaku tidak hanya ketika menghadapi wabah COVID-19, tetapi juga
dalam berbagai situasi serupa. Kemajuan teknologi informasi yang pesat nampaknya
belum siap disambut masyarakat Indonesia. Berbekal pengetahuan yang minim,
masyarakat Indonesia cenderung mudah menerima informasi apapun yang datang
padanya.
Tidak hanya lewat kurikulum, kesadaran ini juga dapat dibentuk lewat kampanye-
kampanye kreatif melalui media sosial ke berbagai segmen masyarakat. Selain itu,
seminar dan lokakarya terkait hal tersebut bisa semakin digalakkan di berbagai
perguruan tinggi dan komunitas profesi. Jangan ragu untuk menggandeng media
massa lain agar turut bersama memperhatikan hal tersebut.
Publik berharap media massa menjadi sumber edukasi dan solusi bagi masyarakat
dalam menanggulagi penyebaran Virus Corona di era new normal. Misalnya, apa yang
bisa dilakukan untuk memperbaiki daya tahan tubuh, makanan yang sebaiknya
dikonsumsi, atau tips sederhana lain. Informasi semacam itu sangat dibutuhkan untuk
melawan kepanikan akibat informasi dari sumber-sumber tidak jelas.
Di masa new normal ini, media dituntut lebih berperan aktif dalam mengubah
perilaku masyarakat dalam menghadapi pandemic covid19 dengan menyampaikan
informasi yang mencerdaskan masyarakat terkait Covid-19, sehingga dapat
mempengaruhi keputusan publik dalam peningkatan kesehatan.
Media harus menjadi "sosok" yang dapat mempengaruhi massa, dengan tetap
bersikap independen dan berimbang dalam memberikan informasi, karena peran
media massa sangatlah mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat di masa
pandemi Covid-19 ini.
7. Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai masyarakat? Satu hal yang pasti, di tengah
kalut pandemi COVID-19, mari bersama untuk tidak memperburuk keadaan. Alih-alih
menerima informasi bulat-bulat, mengapa kita tidak menganalisa dan mencari tahu
kebenarannya terlebih dahulu. Sama halnya saat kita hendak menyampaikan
informasi kepada orang lain, pastikan kebenaran informasi tersebut.
Ingatkan teman, saudara, atau orang tua kita untuk senantiasa membaca informasi
berita yang valid dan terverifikasi. Mari gunakan media sosial untuk saling berbagi
informasi yang mencerdaskan, bukan informasi yang mencemaskan. Dan, mari
satukan kekuatan karena kita sedang menghadapi musuh bersama yang tidak tampak,
COVID19.
#SemogaBermanfaat #LawanCovid19 #JagaKebersihan #JagaKesehatan
Catatan: Bahan seri kajian Matakuliah Media Massa dan Masyarakat Jurusan Ilmu Komunikasi