Dokumen tersebut membahas tentang peristiwa kerusuhan suporter sepak bola di Indonesia, penyebabnya, dan dampaknya. Beberapa penyebab utama kerusuhan suporter adalah kurang dewasanya para suporter, fanatisme berlebihan, dan kurangnya pengamanan. Dampak negatifnya meliputi korban jiwa, citra sepak bola Indonesia yang memburuk, rusaknya fasilitas stadion, serta terancamnya keselamatan pemain.
1. BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Peristiwa Kerusuhan Suporter
Banyak sekali kerusuhan-kerusuhan suporter yang terjadi di Indonesia
contoh-contohnya adalah sebagai berikut:
4.1.1. Kerusuhan Lebak Bulus
Pertandingan lanjutan Liga Indonesia 2007 antara Persib Bandung
dan Persija Jakarta di Stadion Lebak Bulus pada hari Kamis (16/8) 2007
diwarnai dengan aksi teror.Laga yang akhirnya dimenangi Persija dengan
skor 1-0 diawali dengan perilaku tidak menyenangkan dari suporter
Persija.Perilaku tak menyenangkan ini dimulai saat Persib menuju stadion,
bus yang mengangkut mereka ditimpuki batu. Kaca bus hampir di semua sisi
hancur. Beberapa ofisial dan pemain terluka akibat pecahan kaca. Saat
hendak menuju ruang ganti stadion, Zaenal Arif dan Eka Ramdani terkena
pukulan dari oknum suporter yang memakai atribut Jakmania. Kiper Persib,
Tema Musadat, juga sempat tergeletak terkena lemparan benda keras pada
pertengahan babak pertama. Kondisi sama dialami Lorenzo Cabanas saat
hendak mengambil tendangan bebas pada babak kedua. Official Persib yang
berada di bench tak luput dari lemparan botol mineral dari oknum suporter di
atas tribun. "Dalam kondisi begini pemain kelas dunia mana pun tak akan
konsentrasi bertanding," kata Yossi Irianto, manajer Persib. Pengurus The
Jakmania menyayangkan sikap tak simpatik anggota dan simpatisannya.
Menurut Ketua suporter Persija, Danang Ismartani, aksi brutal dipicu dendam
teror yang diterima Bambang Pamungkas dkk. di Bandung pada putaran
pertama. Karena kejadian ini Komisi disiplin BLI bersikap adil dan
menghukum suporter Persija dengan hukuman dilarang menonton
pertandingan yang dilakukan Persija.
10
2. 11
4.1.2. Kerusuhan Persija
Pertandingan semifinal Liga Djarum 2007 di Gelora Utama Bung
Karno, Rabu (06/02/2008) antara PSMS Medan dengan Persipura
Jayapura,diakhiri dengan kerusuhan. Pertandingan yang dimenangi PSMS
Medan lewat drama adu pinalti, membuat para suporter Persija yang ada di
sana mengolok-olok suporter Persipura. Tidak senang atas perlakuan
suporter Persija, suporter Persipura pun rusuh dengan suporter Persija.
Kerusuhan ini mengakibatkan tewasnya salah satu suporter Persija.
Berdasrkan kerusuhan ini Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga
(Menegpora) Adiyaksa Dault, melarang semua klub lokal untuk
menggunakan Stadion GBK dalam event apapun, Menegpora sudah tidak
bisa mentolerir lagi aksi anarkis yang sering dilakukan pendukung klub, dan
tewasnya seorang Jakmania semakin menguatkan keputusan
tersebut.Menurut Menegpora, kerusuhan demi kerusuhan yang sering terjadi
dalam sepak bola Nasional, sudah harus dihentikan, jika tidak Menegpora tak
segan-segan menghentikan Liga Indonesia, bahkan untuk partai final musim
ini yang hanya tinggal menunggu hari sekalipun. Jika GBK tertutup untuk klub
lokal, maka partai final musim ini yang mempertemukan All Sumatera final
antara Sriwijaya FC vs PSMS Medan dipastikan tidak akan di gelar di GBK,
Menegpora menyarankan Stadion Gelora Jaka Baring Palembang menjadi
alternatifnya.
4.2. Penyebab Kerusuhan Suporter
Mengingat akhir-akhir ini banyak terjadi kerusuhan suporter di daerah-
daerah sekitar Indonesia, apakah penyebab kerusuhan suporter ini.
Penyebab kerusuhan itu antara lain adalah:
4.2.1. Kurang dewasanya para suporter dalam mengendalikan emosi
Kedewasaan dalam berfikir memang dibutuhkan semua orang, dalam
hal ini para supoter. Kita bisa lihat, orang yang masuk menjadi
3. 12
kelompok suporter memiliki berbagai profesi mulai dari pelajar,
mahasiswa, karyawan, dan lain-lain. Bagi karyawan dan orang yang
sudah dewasa seharusnya mampu mengendalikan diri sehingga dapat
menjadi suporter yang baik, jangan hanya dapat membuat kerusuhan.
Selain itu mereka juga harus memberitahu pada yang lebih muda
sehingga yang lebih muda pun tahu dan tidak membuat kerusuhan.
Jika hal ini masih dipertahankan kerusuhan-kerusuhan lainnya
mungkin akn terjadi.
4.2.2. Fanatisme yang berlebihan dari suporter
Fanatisme satu kata yang menandakan kesukaan, kecintaan,
kegemaran kepada sesuatu. Baik itu benda, warna, dan lain-lain. Kelompok
suporter pasti memiliki fanatisme pada tim daerahnya. Namun seringkali
fanatisme suporter itu terlalu berlebihan sehingga mereka tidak bisa melihat
tim mereka kalah. Dalam hal itu mereka mencari cara lain salah satunya
membuat kerusuhan.
4.2.3. Kurangnya pengamanan
Pengamanan dalam suatu pertandingan penting sekali peranannya
dalam berlangsungnya jalan pertandingan. Pengamanan di suatu
pertandingan juga ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusuhan suporter.
Tapi pengamanan yang dikerahkan nampaknya kurang maksimal dapat
dilihat masih banyak terjadi kerusuhan. Hal ini merupakan sektor yang harus
diperbaiki agar dapat mengurangi tragedi-tragedi kerusuhan di Indonesia.
4.2.4. keadaan stadion yang kurang baik
Keadaan stadion mungkin sebab terkecil terjadi kerusuhan. Namun hal
ini pun masih harus diperhatikan. Masih banyak stadion-stadion yang masih
4. 13
tidak mampu menghalau suporter, seperti pagar yang kurang tinggi dan
kokoh. Jika hal ini dapat diperbaharui di stadion-stadion di Indonesia
suporterpun dapat terhalau karena baiknya keadaan stadion.
4.3. Dampak Kerusuhan Suporter
Kerusuhan suporter yang terjadi akhir-akhir ini menimbulkan dampak-
dampak negatif seperti:
4.3.1. Jatuhnya banyak korban.
Suatu kerusuhan suporter tentu akan berakibat fatal. Tidak jarang bagi
setiap kerusuhan yang memakan korban jiwa. Tidak hanya satu atau dua
korban jiwa bahkan puluhan orang pun dapat menjadi korban jiwa. Dan baru
akhir-akhir ini kerusuhan antara suporter Persija-Persipura yang
mengakibatkan tewasnya satu suporter Persija.
4.3.2. Makin buruknya citra persepakbolaan Indonesia terutama nama PSSI.
Citra olahraga sepakbola di suatu negara menjadi kebanggaan bagi
negara tersebut. Bagi rakyat Indonesia citra inilah yang diharapkan
agar membaik. Namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan.
Kita bisa lihat Timnas Indonesia tidak dapat menunjukan prestasi yang
baik, ditambah dengan kerusuhan-kerusuhan suporter. Untuk itulah
nama PSSI yang dituntut agar dapat memperbaiki citra sepakbola
Indonesia. Jika tidak nama PSSI lah yang menjadi semakin buruk.
4.3.3. Rusaknya keadaan stadion akibat kerusuhan.
Kerusuhan suporter memang akan mengakibatkan kerugian-kerugian
diantaranya adalah rusaknya fasilitas-fasilitas stadion. Akibatnya terasa
sekali pada pembina stadion yang harus memperbaiki keadaan stadion
seperti semula agar layak untuk digunakan kembali.
4.3.4. Keselamatan pemain di masing-masing tim terancam.
5. 14
Tidak jarang bagi para suporter untuk rusuh di dalam lapangan bukan
hanya di luar stadion. Kerusuhan yang berlangsung di dalam lapangan inilah
yang lebih berbahaya. Selain menunda jalannya pertandingan, hal ini juga
membahayakan pemain. Tidak jarang para suporter rusuh karna ada salah
satu pemain yng mungkin membuat suporter jengkel degan kelakuannya
sehingga suporter masuk ke dalam lapangan untuk menyerang pemain. Jika
suda begini pemain pun akan rugi karna tidak dapatmengikuti pertandingan
timnya.
4.3.5. Pertandingan yang berlangsung menjadi tertunda.
Kerusuhan suporter yang berdampak besar sering sekali membuat
panitia pelaksana kerepotan baik dengan keadaan stadion yang rusak
ataupun wasit & pemain yang terkena sasaran kerusuhan. Untuk itu panitia
pelaksana mengambil keputusan untuk menunda pertandingan.
4.3.6. Klub yang didukung suporter bermasalah akan mendapat sanksi.
Setiap kerusuhan suporter pasti akan menimbulkan kerugian bagi
suporter tersebut. Kerugian itu adalah sebuah hukuman. Bagi PSSI hukuman
berupa sanksi yang sering diberikan bagi suporter bermasalah. Sanksi yang
diberikan biasanya adalah dilarang menonton pertandingan timnya.
4.3.7. pemindahan pertandingan
Jika dalam event sepakbola pertandingan final adalah hal yang
diutamakan. Mulai dari penetapan lapangan sampai wasit. Namun jika
lapangan yang ditetapkan bermasalah seperti baru saja terjadi kerusuhan di
lapangan tersebut. Lapangan tersebut harus disterilkan terlebih dahulu dan
panitia pelaksana harus memindahkan pertandingan ke lapangan yang
lainnya. Permasalahan ini sma seperti final LDI 2007 lalu. Pertandingan final
yang harusnya dilaksanakan di Stadion Gelora Bung Karno ini harus
6. 15
mengalami pemindahan pertandingan. Pertandingan antara PSMS Medan
dan Sriwijaya FC ini akhirnya dilaksanakan di Stadion Jalak Harupat,
Bandung dan mengalami pemunduran waktu pertandingan.
4.4. Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat
Pendekatan (STM) Sains Teknologi Masyarakat merupakan
terjemahan dari science technology and society approach (STS) yang
merupakan pendekatan pembelajaran, dikembangkan berdasarkan pada
filosofis kontruktivisme. Pendekatan pembelajaran tersebut telah berkembang
pesat di Amerika dan Inggris sejak awal tahun 1970-an. Pendekatan STM (
Sains Teknologi Masyarakat ) didasarkan pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan Sains Teknologi Masyarakat.
(http://pelangi.dit-pp.go.id).
Sedangkan menurut para tokoh lain bahwa pendekatan Sains
Teknologi Masyarakat (STM)merupakan salah satu pendekatan
pembelajaran kontekstual yang dapat membantu orang untuk membuat
pelajaran menjadi lebih berarti. Karena di dalam Sains Teknologi Masyarakat
(STM) ini berkatain dengan kehidupan yang nyata, dalam pembelajaran yang
bersumber dari pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) disini
masyarakat memiliki perasaan, perhatian, kemauan, ingatan dan pikiran yang
mengalami perubahan berkat pengalaman hidup. Pengalaman dengan teman
sebayanya berpengaruh kepada kemampuan menyerap dan perilaku belajar.
Kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar tercipta kondisi yang
memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan
pembelajaran dapat dikatakan terjadi belaajr, apabila terjadi prsoes
perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman.
7. 16
4.4.1. Peneraparapan Pendekatan Teknologi melalui “National Suporter ID
Card (NASIC)”
Dalam pendekatan teknologi adalah pendekatan yang digunakan
dalam memberikan terobosan terbaru yang meminimalisir atau mengurangi
terjadinya konflik di antara pendukung(Suporter) club sepak bola di
Indonesia. Salah satu solusi yang diberikan adalah pembuatan “National
Suporter ID Card (NASIC)”
NASIC adalah sebuah kartu anggota berupa ID card yang berlaku secara
nasional. ID card ini harus dimiliki oleh seluruh suporter klub sepakbola di
Indonesia, yang menunjukan bahwa terjalin dalam ikatan suporter sepakbola
Indonesia.
Untuk mendapatkan NASIC tidak semudah mendapatkan kartu
anggota biasa yang dapat diperoleh di sekretariatan perkumpulan suporter
sepak bola yang bersangkutan. NASIC akan dibuat dan diberikan langsung
dari pemerintah. Dan untuk mendapatkan NASIC maka perlu mengikuti
sebuah pelatihan dan seminar tentang suporter klub sepakbola Indonesia. Di
dalam seminar itu akan diberikan materi-materi serta penyuluhan-penyuluhan
tentang peraturan-peraturan suporter yang berlaku secara nasional dan
dilegalkan oleh pemerintah.
Dengan adanya NASIC maka akan tersaring suporter-suporter yang
baik dan berkulitas. Setelah mengikuti seminar NASIC maka akan diadakan
sebuah test yang digunakan untuk mengambil NASIC tersebut. Dengan
begitu, maka suporter di indonesia akan semakin berkualitas dan tersertifikasi
secara nasional juga memberikan ide-ide kreatif yang mereka tuangkan
dalam mendukung klub kebanggan mereka saat bertanding. Tidak
menyangkut kemungkinan, akan diadakan lomba-lomba antar suporter untuk
menjalin hubungan baik antar suporter sepakbola di Indonesia. NASIC akan
8. 17
digunakan sebagai salah satu syarat untuk menonton pertandingan klub
sepakbola.
NASIC akan menjadi solusi tepat dalam mengatasi konflik yang terjadi
di antara suporter klub sepakbola Indonesia.
4.4.2. Peneraparapan Pendekatan sosial Masyarakat
Kenapa keributan antarsuporter begitu marak, perkelahian
antarpemain jadi trendi, bahkan menimpuki pemain yang kita dukung pun
merupakan merebak? Jangan bilang karena kita dasarnya tak tahu aturan.
Penjelasan itu tak benar sama sekali.
Budaya adalah titik tolak banyak hal. Secara lebih spesifik, kita di sini
bicara soal norma dan nilai, dua hal yang menjadi dasar pembentukan kode
moral sebuah budaya, sistem-sistem simbol di mana perilaku diberi label "
baik", "buruk", "benar", atau "salah". Dengan begitu, satu perilaku hanya
disebut sebagai penyimpangan (deviance) atau normal jika kita mengetahui
siapa pelakunya dan dalam konteks sosial atau budaya apakah dia bertindak.
Secara sosiologis, perilaku normal adalah perilaku yang
mengonformasi aturan dan norma kelompok di mana satu perilaku terjadi. Di
sisi lain, penyimpangan (deviant behavior) adalah perilaku yang gagal
melakukan konformasi terhadap aturan dan norma kelompok (Durkheim,
1960). Karena kode moral sangat beraneka di antara satu kelompok dengan
kelompok lain, kita mesti memahami kode moral kelompok asal pelaku satu
perilaku. Pun begitu jika kita ingin mencari solusi tepat yang dapat
menghentikan perilaku tersebut tidak terjadi lagi. Tanpa memahami kode
moral yang menjadi konteks sosial dan budaya pelaku satu tindakan
penyimpangan, upaya mencari sosial dapat dianggap tidak mungkin berhasil.
9. 18
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka
menghentikan perilaku menyimpang atau deviant behavior ini. Satu yang
paling populer adalah mekanisme kontrol sosial, yang terdiri atas bagian: alat
kontrol internal dan alat kontrol eksternal.
Dalam kontrol internal, hal pertama yang mesti ada adalah proses
sosialisasi terhadap norma dan nilai, yang selanjutnya merupakan sosialisasi
terhadap kode moral. Selanjutnya, sebagai akibat dari proses sosialisasi itu,
kode moral satu kelompok mesti terinternalisasi, menjadi satu bagian dari
kehidupan emosional dan kognitif individu sehingga jika ia melakukan satu
deviance, ia akan mengalami berbagai konflik emosi seperti rasa bersalah,
perasaan tidak nyaman, ketegangan, kegelisahan, hingga satu gejala yang
disebut sebagai self-depreciation.
Dalam kontrol eksternal, satu elemen yang penting adalah sanctions.
Sanctions bisa positif dan negatif. Dalam pengejawantahannya, sanctions ini
kerap disebut punishment (hukuman) jika negatif dan reward (imbalan) jika
positif—ini kerap diaplikasikan dalam perilaku organisasi atau manajemen
sumber daya manusia. Artinya, pemegang otoritas (dalam konsep Max
Weber) memang kerap memegang peran sentral dalam eksternal kontrol
terhadap deviant behavior, yang di dalamnya termasuk tindakan kriminal.
Masalah muncul di sini. Dalam menganalisis aksi-aksi kerusuhan
suporter dalam dunia sepakbola Indonesia, suara yang kerap keluar selalu
bernada pesimistis dan penuh rasa putus asa: "Ah, susah. Orang Indonesia
norak." Psikologi orang kalah (psychology of losers), satu hal yang
dideskripsikan Azyumardi Azra dalam artikel opininya di Kompas hari ini (4/9),
pun mendekam dalam diri kita. Seolah-olah masalah yang menjangkiti
sepakbola Indonesia bukan sesuatu yang dapat diatasi. Selain itu, sikap lain
yang muncul adalah mentalitas deterministik. Artinya kacau atau tidaknya
suporter kita bergantung pada kesadaran tiap individu dalam kerumunan
suporter itu sendiri! Ini jelas satu proposisi yang absurd karena kesadaran
10. 19
individu dalam kerumunan jelas tidak akan bisa berfungsi. Dalam satu
kerumunan (crowd) individualitas bisa larut. Yang tertinggal hanyalah
psikologi, logika, kode moral, dan perilaku kerumunan. Jadi jelas bahwa
gagasan menunggu kesadaran bisa mulai disimpan rapi di tong sampah.
Satu hal penting yang mesti dicermati dari masyarakat yang menjadi
konteks terjadinya satu kerusuhan adalah logika sosial dan budaya yang
berlaku dalam masyarakat tersebut. Nilai dan norma apa yang berlaku di
dalamnya? Kode moral apa yang berlaku di dalamnya? Berbuat rusuh dan
kacau dalam pertandingan sepakbola merupakan satu kesalahan jangan-
jangan hanya merupakan kode moral kita, bukan mereka. Untuk tahu
bagaimana kode moral mereka, akan sangat membantu jika kita mengetahui
apa kode moral opinion leader atau patron-patron mereka. Ya, dalam konteks
kerusuhan sepakbola Indonesia, kita mesti mengetahui bagaimana kode
moral para gubernur, bupati, manajer tim, pemodal, hingga pentolan suporter
mereka.
Para suporter, dalam logika strukturasi ala Anthony Giddens, adalah agensi-
agensi yang hidup dalam struktur. Dalam mind set Micehele Foucault, kita
bisa menganggap mereka sebagai agensi yang hidup dalam habitus. Untuk
memahami motives dan drives mereka, jelas kita mesti memahami habitus
mereka.
Ambivalensi nilai bukan hal aneh bagi masyarakat Indonesia , yang
tingkat pendidikannya masih terbilang amat rendah secara kuantitas dan
terbelakang secara kualitas. Apa yang dianggap baik di sekolah, bisa
dianggap menggelikan di masyarakat. Apa yang dianggap satu keharusan
dalam undang-undang lalu lintas bisa dianggap sebagai kekonyolan di jalan
raya. Lihat saja berapa banyak pengendara motor yang berhenti di garis putih
atau tetap bertahan di jalurnya yang macet dan tidak pindah ke jalur yang
berlawanan arah. Satu contoh lain adalah logika berpikir "budaya asik" yang
muncul di Indonesia--sebagai implementasi dan dampak relativisme moral
11. 20
yang amat dikhawatirkan Paus Benediktus--sejak 1970-an. Jika diamati
secara serius, sosok-sosok yang proses sosialisasi amat maksimal--sehingga
bisa disebut gaul--amat permisif dan terbuka pada deviasi-deviasi perilaku.
Mereka kerap menjadi agen-agen--dalam logika Giddens--yang
mempengaruhi struktur untuk menerima deviant behavior. Kenapa? Karena
habitus mereka mensyaratkan demikian. Radikalisme bukanlah satu hal yang
sangat "gaul" dan dapat mengganggu penerimaan kelompok terhadap diri
mereka. Bahkan prinsip dan identias nyata dapat mereka anggap tidak perlu.
Dalam budaya "gaul", satu hal yang sangat penting adalah karakter "dapat
diterima semua kelompok yang memiliki kode moral berbeda-beda". Untuk
dapat diterima di mana-mana seperti itu, identitas kode moral dan prinsip
menjadi sesuatu yang bisa ditabukan. Agensi-agensi seperti ini masuk ke
dalam kelompok dan larut dalam dalam kode moral kelompok tersebut. Jika
kemudian mereka pindah kelompok, kode moral mereka pun akan berubah.
Itu yang terjadi pada banyak individu dalam kelompok suporter Indonesia.
Situasi akan semakin parah jika satu kelompok suporter dihuni oleh mayoritas
individu yang nilai dan norma koralitasnya belum terbentuk secara baku,
misalnya teenager (13-19 tahun). Namun, itu pun tidak berarti bahwa yang
gaek tidak dapat terpengaruh. Yang berusia 30-an atau 40-an pun masih
banyak yang tidak (atau belum) memiliki kode moral yang baku sehingga
permisif terhadap fenomena apa pun.
Ini adalah buah kegagalan pendidikan sebagai proses sosialisasi
terhadap nilai. Orientasi pendidikan yang bergeser menjadi "institusi
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja" telah menciptakan individu-individu
kosong tanpa nilai. Dalam logika sistem pendidikan seperti ini, pragmatisme
John Dewey sangat kental membayangi. Abstraksi kehidupan dan
internalisasi fenomena menjadi sesuatu yang dianggap merepotkan. Individu
dipacu untuk mengejar kemampuan praktis, betapa pun sederhananya
kemampuan itu.
12. 21
Solusi dari semua masalah di atas adalah proses resosialisasi, satu
konsep yang mendasari pembentukan institusi-institusi sosial yang penting di
masyarakat dalam menanggulangi deviant behavior: penjara! Ya,
resosialisasi adalah elemen terpenting dalam institusi yang disebut penjara—
meskipun ini dikritik habis-habisan oleh Foucault. Namun, resosialisasi tidak
hanya bisa dilakukan di penjara. Media dan ruang publik (konsep public
sphere Jurgen Habermas) dapat menjadi sarana resosialisasi yang ampuh.
Berbagai strategi komunikasi publik dapat didayagunakan untuk melakukan
proses resosialisasi ini, yang diharapkan dapat menggerus nilai-nila i negatif,
lalu menggantinya dengan nilai dan norma positif. Ini yang dilakukan di
Inggris pada era Maggie Thatcher.
Saat upaya di atas dilakukan, langkah eksternal kontrol juga mesti
tetap berjalan. Peran polisi sebagai alat hukum dan PSSI sebagai regulator
mesti berjalan secara poten, tanpa terpengaruh sedikit pun oleh budaya
"asik" khas generasi 70-an, 80-an, hingga 90-an dan saat ini. Itu penting
dilakukan sebagai shock therapy sekaligus seleksi natural terhadap perilaku.
Tanpa punishment dan reward yang strict dan stringent--dua karakter yang
perlu dimiliki pemegang otoritas--, deviant behavior akan tetap ada. Apalagi
kalau pemegang otoritasnya justru yang melakukan deviance. Kalau sudah
begitu, pilihannya hanya dua: jadi masyarakat "asik" yang superpermisif atau
masyarakat deterministik yang ultraputus-asa.