1. Previlege Pemegang Kartu NPWP
Selasa, 30 Oktober 2012 - 11:22
Oleh Hepi Cahyadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ibarat nomor rekening Wajib Pajak pada administrasi perpajakan
di Indoesia. Tahap paling awal bagi seorang Wajib Pajak yang akan ‘menabung’ ke kas negara
ditandai dengan pemberian kartu NPWP. Merujuk pada bentuk fisiknya, kartu NPWP saat ini telah
bermetamorfosis dari kertas kuning berlaminating seperempat ukuran kwarto, kemudian kertas biru
seukuran KTP, terkini menjadi kartu aklirik mirip ATM seperti yang kita lihat saat ini. Secara kasat
mata kartu NPWP sekarang terdapat magnetik layaknya ATM atau kartu kredit, namun fungsinya
untuk apa?, penulis tidak paham, mungkin sekedar hiasan atau (maaf) ‘dami’ untuk menyerupai
kartu sejawat.
Cita-cita Single Identity Numbar (SIN) yang pernah digagas DJP beberapa tahun lalu telah kandas
karena dianggap domain Kementerian Dalam Negeri yang kemudian muncul e-KTP. Database
kependudukan yang terintegrasi dan bersinergi dengan database instansi lain dan bermuara pada
penggalian data perpajakan adalah sebuah mimpi besar DJP. Harapan itu kembali terusik
manakala instansi lain berinovasi hampir mirip seperti tujuan DJP. Selasa 17 April 2012, mabes polri
resmi meluncurkan Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis) Card. Kartu
identitas ini berfungsi sebagai data lengkap setiap warga Indonesia. Di dalam kartu itu akan
dibenamkan sebuah chip yang bisa menampung seluruh biodata kehidupan pemegang. Berisi
data nama, tempat tanggal lahir, foto, sidik jari, nomor kendaraan, nomor BPKB, nomor sertifikat
rumah, dan nomor rekening di bank.
Motivasi para pencari kartu NPWP beragam. Diantaranya untuk syarat pengajuan kredit di bank,
sebagai syarat KPR, syarat UKM medapat pinjaman modal, sebagai syarat melamar pekerjaan,
sebagai syarat transaksi jual beli tanah, syarat instansi (Taman kanak-kanak, Paud, Kelompok kerja
guru, Pusat Kegiatan guru, dll) untuk menerima bantuan hibah/blockgrant, syarat pencairan
tunjangan sertifikasi guru, dsb. Perusaahaan atau pemberi kerja biasanya mendaftarkan pekerjanya
secara kolektif agar menikmati tarif pajak yang lebih rendah jika memiliki kartu NPWP sesuai UU
PPh Pasal 21 Ayat (5a), yaitu: Besarnya tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
2. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Tak
ketinggalan pensiunan TNI yang dikelola Asabri atau PNS sipil yang dikelola Taspen juga
mensyaratkan NPWP bagi para pesertanya agar terbebas dari potongan lain-lain. Kalau dianalisa
dari tingkat kepatuhan penyampaian SPT, penambahan WP dari sebagian kalangan yang disebut
diatas justru menjadi sampah database DJP. Tak sedikit instansi/UKM/WPOP setelah mendapatkan
kredit/dana hibah/blockgrant tidak lagi peduli dengan kewajiban perpajakan menyampaikan SPT
nya.
Tentunya kita juga menyadari, bahwa tak semua WP (pemegang kartu NPWP) berperilaku buruk.
Banyak juga WP berpredikat PATUH, mereka menghitung pajak sesuai ketentuan, menyetor tepat
waktu, dan juga melaporkan SPT tepat waktu. Bagaimana cara mengapresiasi WP patuh tersebut
?. Bukankah mereka seharusnya menjadi warga kelas satu karena telah menyisihkan hartanya
untuk membiayai republik ini ?; Walaupun Undang-undang Republik Indonesia No. 28 tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan secara jelas dan gamblang menyatakan
bahwa definisi pajak adalah konstribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Tapi alangkah eloknya jika DJP juga memikirkan untuk memberi hak
istimewa (privilage) kepada para pemegang kartu NPWP yang patuh. Seperti halnya kartu ATM
yang memiliki lavel fasilitas : Silver, Gold dan Platimum, NPWP sebaiknya juga punya pembedaan
warna, antara WP patuh dan tidak patuh, WP Prominent atau tidak, atau kriteria dan tolok ukur lain
yang membedakan WP berkontribusi atau tidak. Bukankah sistem yang sama juga berlaku pada
kantor pajak modern yang telah megklasifikasikan jenis WP menjadi pratama, madya, LTO?;
Dari sinilah sistem privilege NPWP Patuh berjalan, semisal aset-aset negara yang dikuasai
pemerintah (plat merah) dapat menjadi daya tarik untuk memberi hak istimewa kepada WP patuh.
Contoh sederhana misalnya diskon tiket pesawat Garuda Indonesia kepada penumpang pemegang
kartu NPWP PATUH, Fasilitas asuransi kesehatan dariASKES bagi pemegang kartu NPWP PATUH,
Potongan tarif tol Jasamarga bagi pengemudi pemegang NPWP PATUH, Potongan SPP Sekolah
Negeri/PTN bagi mahasiswa yang orang tuanya pemegang kartu NPWP PATUH, Potongan tarif
rumah sakit pemerintah bagi pemegang NPWP PATUH. Tak lupa pelayanan PRIORITAS di KPP
bagi pemegang NPWP PATUH (bebas antri TPT atau konsultasi prioritas). Dengan sistem seperti
ini diharapkan memiliki NPWP adalah kebanggaan dan menjadi lifestyle warga negara. Pengalaman
beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa fasilitas pemegang NPWP bebas fiskal membuat orang
yang memasuki bandara terminal keberangkatan Internasional begitu bangga menunjukkan kartu
NPWP kepada petugas fiskal.
3. Beberapa waktu lalu penulis mendapat kesempatan mengikuti workshop teknik penulisan di kapus
Jakarta. Sebuah pengalaman pribadi menginspirasi tulisan ini. Setelah mengikuti workshop dua hari,
waktu untuk kembali ke Surabaya pun tiba. Jadwal penerbangan di bandara Soekarno-Hatta
terpaksa ditunda selama dua jam karena pesawat menjalani perawatan rutin. Selama masa
menunggu penulis bersama dua orang teman membeli sepotong roti untuk mengganjal perut, hal
berbeda ditunjukkan seorang kawan yang dengan mudahnya ‘hanya’ menunjukkan kartu kredit
sebuah bank nasional dia melenggang bangga menikmati lounge dan fasilitas makanan didalamnya.
Diterminal F bandara Soetta tercatat ada Bank Mandiri, BNI, BCA, Indosat, berlomba-lomba
memberi kenyamanan lounge kepada para pelanggannya meski itu bukan core bisnisnya.
Penulis dan seorang teman lagi hanya bisa duduk menggelandang diruang tunggu bandara karena
tidak memiliki kartu kredit berfasilitas lounge. Dalam lamunan bernada kritis hasil didikan worksop
penulisan oleh wartawan senior Kompas dan Tempo, penulis berandai-andai, seandainya saja
Direktorat Jenderal Pajak sebagai pengelola fiskal juga memberikan privilege lounge kepada
pemegang kartu NPWP patuh di bandara, Ohh.. alangkah bangganya menjadi Wajib Pajak. Touris
luar negeri yang nyata-nyata bukan pelanggan utama (main customer) DJP, justru mendapat
pelayanan fasilitas counter VAT refund dibandara, bagaimana jika dibandara juga
disediakan loungekhusus pemegang kartu NPWP patuh ?
Meminjam istilah penulis opini sebelumnya, pengetahuan dan ilmu penulis terlalu dangkal untuk
sekedar memberi saran dan opini, biarlah para ahlinya yang memikirkan konsep privilage NPWP
Patuh. Sudah saatnya kartu NPWP melanjutkan fase metamorfosisnya menjadi kartu yang lebih
hebat dan membanggakan bagi para pemegangnya.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana
penulis bekerja.