Dokumen tersebut membahas tentang tawakal. Secara ringkas:
1) Tawakal berarti pasrah dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha semaksimal mungkin.
2) Bentuk tawakal meliputi melakukan sesuatu atas niat ibadah, tidak mengharapkan selain Allah, pasrah menerima apapun, dan bersikap tenang dalam keberhasilan atau kegagalan.
3) Nilai positif tawakal adalah mend
1. NAMA : DARMIN SUHARMAN
NIM :12010103003
TUGAS : MEDIA PEMBELAJARAN
TTT
[Year]
MODUL TENTANG
TAWAKAL
2.
3. KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Rabil Alamin berkat limpahan rahmat dan taufik-Nya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikam makalah yang berjudul “TAWAKAL”
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW.Sebagai Uswatun Khasanah, yang telah berhasil membimbing dan
mengeluarkan manusia dari alam kegelapan kealam yang terang benerang, dari kezaliman
kepada jalan yang benar, keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat.
Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, justru itu kepada para
pembaca, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan dalam pembuatan makalah kedepannya.
4. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan…………………………………………………………………………….
BABA II PEMBAHASAN
. Rumusan Masalah
A. Apakah pengertian dan pentingnya tawakal…………………………………….
B. Bagaimana bentuk dan contoh perilaku tawakal………………………………..
C. Apakah nilai-nilai positif dari tawakal……………………………………………
D. Bagaimana perilaku tawakal……………………………………………………..
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
5. PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Semua makhluk yang hidup di muka bumi ini tidak pernah terlepas dari keputusan
Allah. Roda kehidupan akan senantiasa berputar, dari kesedihan sampai kebahagiaan.
Keduanya akan datang silih berganti. Dalam hal ini, manusia wajib berusaha semaksimal
mungkin untuk mendapatkan hasil terbaik. Allah lebih melihat pada usaha yang dilakukan
manusia daripada hasil yang diperolehnya.
Oleh karena itu, setiap manusia diharapkan agar senantiasa mengamalkan akhlak
terpuji terutama terhadap diri sendiri. Yaitu tingkah laku yang baik yang merupakan tanda
kesempurnaan iman seseorang kepada Allah SWT, dan itu ditujukan terhadap diri sendiri.
Akhlak terpuji dilahirkan dari sifat-sifat yang terpuji pula. diantara akhlak terpuji terhadap
diri sendiri yaitu, tawakal, ikhtiar, sabar, syukur, dan qana‟ah.
Akhlak terpuji ini merupakan hal yang sangat urgen, sehingga sangat penting untuk
dipelajari. Dengan harapan nantinya para siswa dapat menerapkannya dalam setiap kegiatan
sehari-hari. Agar mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran di setiap lingkup
kehidupan ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada pembahasan makalah ini sebagai
berikut:
A. Apakah pengertian dan pentingnya tawakal,?
B. Bagaimana bentuk dan contoh perilaku tawakal,?
C. Apakah nilai-nilai positif dari tawakal,?
D. Bagaimana perilaku tawakal,?
6. E. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan pada pembahasan makalah ini sebagai
berikut:
1. Ingin mengetahui pengertian tawakal
2. Ingin mengetahui bentuk dan contoh perilaku tawakal
3. Ingin mengetahui nilai-nilai positif tawakal
4. Ingin mengetahui bagaimana perilku tawakal
7. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tawakal
Kata tawakkal berasal dari bahasa Arab yang artinya pasrah dan menyaerah. Secara
istilah, tawakkal berarti sikap pasrah dan menyerah terhadap hasil suatu pekerjaan atau usaha
dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Tawakkal dapat diberi pengertian berserah diri kepada Allah SWT setelah semua
proses pekerjaan atau amalan lain sudah dilakkan secara optimal. Tawakkal harus dilakukan
setelah ada usaha dan kerja keras dengan menerahkan segala kemampuan yang dimiliki.
Akan tetapi, ketika seseorang belum berusaha secara optimal untuk mencapai suatu angan
atau cita-citanya, kemudian ia pasrah atau berserah diri, maka orang tersebut belum dapat
dikatakan tawakkal.
Serahkan semua urusan hanya kepada Allah SWT, jangan menggantungkan sesuatu
kepada selain Allah. Sebab, hanya Allah-lah yang mempunyai kekuasaan atas segala sesuatu.
Segaloa usaha dan kerja keras tidak akan berarti apa-apa, jika Allah tidak menghendaki
keberhasilan ats usaha itu. Manusia boleh berharap dan harus terus berusaha dengan seganap
daya upaya, namun jangan lupa bahwa manusia tidak dapat menentukan suatau usaha itu
berhasil atau gagal. Dengan demikain, tawakkal dilakukan sesuai dengan aturan yang benar,
sehinga tidak ada penyimpangan akidah dan keyakinan dari perbuatan tawakkal yang salah.
B. Bentuk-bentuk Bertawakal
Sebagai muslim kita harus mengenali bentuk-bentuk perilaku tawakkal, agar kelak
dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-sehari, di antaranya sebagai berikut:
1. Melakukan sesuatu atas dasar niat ibadah kepada Allah SWT.
2. Tidak menggantungkan keberhasilan suatu usaha kepada selain Allah SWT.
3. bersikap pasra dan siap menerima apapun
4. Tidak memaksakan kehendak atau keinginan kepada siapa pun dan pihan mana
pun. Bersikap tegar dan tenang, baik dalam menerima keberhasilan maupun
kegagalan.
8. Contoh:
1) Rajin belajar dan tawakal dengan berdoa kepada Allah akan menghasilkan
kemudahan dalam mengerjakan soal.
2) Ayah dan Ibu Ahmad adalah petani kecil. Ia sangat mendambakan agar Ahmad
kelak menjadi anak saleh yang cerdas. Sebagai muslim dan muslimat yang taat
beragama, setiap hari mereka selalu berdoa dan bertawakal kepada Allah semoga
keluarganya hidup tentram di bawah ridho Allah,
C. Nilai-Nilai Positif Tawakal
1. Memperoleh kepuasan batin karena keberhasilan usahanya mendapat ridho
Allah.
2. Memperoleh ketenangan jiwa karena dekat dengan Allah yang mengatur
segala-galanya. Mendapatkan keteguhan hati.
D. Bagaimana perilaku tawakal,
Sebagian manusia ada yang beranggapan bahwa makna tawakal adalah tidak perlu
berusaha dengan badan, tidak perlu mempertimbangkan dangan hati dan cukup menjatuhkan
ke tanah seperti orang bodoh atau seperti daging yang diletakkan di atas papan pencincang.
Tentu saja ini merupakan anggapan yang bodoh dan hal ini haram dalam syariat.
Syariat memuji orang-orang yang bertawakal. Pengaruh tawakal akan tampak dalam
gerakan hamba dan usahanya untuk menggapai tujuan. Usaha hamba itu bisa berupa
mendatangkan manfaat yang belum didapat seperti mencari penghidupan, ataupun menjaga
apa yang sudah ada, seperti menyimpan. Usaha itu juga bisa untuk mengantisipasi bahaya
yang datang, seperti menghindari serangan, atau bisa juga menyingkirkan bahaya yang sudah
datang seperti berobat saat sakit. Aktivitas hamba tidak lepas dari empat gambaran berikut
ini:
Gambaran pertama:
Mendatangkan manfaat. Adapun sebab-sebab yang bisa mendatangkan manfaat ada tiga
tingkatan:
1. Sebab yang pasti,
9. Seperti sebab-sebab yang berkaitan dengan penyebab yang memang sudah
ditakdirkan Allah dan berdasarkan kehendak-Nya, dengan suatu kaitan yang tidak mungkin
ditolak dan disalahi. Misalnya, jika ada makanan di hadapanmu, sementara engkau pun dalam
keadaan lapar, lalu engkau tidak mau mengulurkan tangan ke makanan itu seraya berkata,
“Aku orang yang bertawakal, syarat tawakal adalah meninggalkan usaha. Sementara
mengulurkan tangan ke makan adalah usaha, begitu pula mengunyah dan menelannya”.
Tentu saja ini merupakan ketololan yang nyata dan sama sekali bukan termasuk
tawakal. Jika engkau menunggu Allah menciptakan rasa kenyang tanpa menyantap makanan
sedikit pun, atau Dia menciptakan makanan yang dapat bergerak sendiri ke mulutmu, atau
Dia menundukkan malaikat untuk mengunyah dan memasukkan ke dalam perutmu, berarti
engkau adalah orang yang tidak tahu Sunnatullah.
Begitu pula jika engkau tidak mau menanam, lalu engkau berharap agar Allah
menciptakan tanaman tanpa menyemai benih, atau seorang istri dapat melahirkan tanpa
berjima‟, maka semua itu adalah harapan yang konyol. Tawakal dalam kedudukan ini bukan
dengan meninggalkan amal, tetapi tawakal ialah dengan ilmu dan melihat keadaan.
Maksudnya dengan ilmu, hendaknya engkau mengetahui bahwa Allahlah yang menciptakan
makanan, tangan, berbagai sebab, kekuatan untuk bergerak, dan Dialah yang memberimu
makan dan minum. Maksud mengetahui keadaan, hendaknya hati dan penyandaranmu hanya
kepada karunia Allah, bukan kepada tangan dan makanan. Karena boleh jadi tanganmu
menjadi lumpuh sehingga engkau tidak bisa bergerak atau boleh jadi Allah menjadikan orang
lain merebut makananmu. Jadi mengulurkan tangan ke makanan tidak menafikan tawakal.
2. Sebab-sebab yang tidak meyakinkan,
Tetapi biasanya penyebabnya tidak berasal dari yang lain dan sudah bisa diantisipasi.
Misalnya orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dan pergi sebagai musafir melewati
lembah-lembah yang jarang sekali dilewati manusia. Dia berangkat tanpa membawa bekal
yang memadai. Orang seperti ini sama dengan orang yang hendak mencoba Allah.
Tindakannya dilarang dan dia diperintahkan untuk membawa bekal. Jika Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bepergian, maka beliau membawa bekal dan juga mengupah
penunjuk jalan tatkala hijrah ke Madinah.
10. 3. Menyamarkan sebab-sebab yang diperkirakan akan menyeret kepada penyebab, tanpa
disertai keyakinan yang riel,
Seperti orang yang membuat pertimbangan secara terinci dan teliti dalam suatu usaha.
Selagi tujuannya benar dan tidak keluar dari batasan syariat, maka hal ini tidak
mengeluarkannya dari tawakal. Tapi dia bisa dikategorikan orang-orang yang ambisius jika
maksudnya utnuk mencari kehidupan yang melimpah. Namun meninggalkan perencanaan
sama sekali bukan termasuk tawakal, tetapi ini merupakan pekerjaan para penganggur yang
ingin hidup santai, lalu beralasan dengan sebutan tawakal. Umar radhiyallahu „anhu berkata,
“Orang yang bertawakal ialah yang menyemai benih di tanah lalu bertawakal kepada Allah.”
Gambaran kedua:
Mempertimbangkan sebab dengan menyimpan barang.
Siapa yang mendapatkan makan pokok yang halal, yang andaikan dia bekerja untuk
mendapatkan yang serupa akan membuatnya sibuk, maka menyimpan makan pokok itu tidak
mengeluarkannya dari tawakal, terlebih lagi jika dia mempunyai tanggungan orang yang
harus diberi nafkah.
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu „anhu,
bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah menjual kebun korma Bani Nadhir, lalu
menyimpan hasil penjualannya untuk makanan pokok keluarganya selama satu tahun.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana dengan tindakan Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam yang melarang Bilal untuk menyimpan harta?”.
Jawabnya: Orang-orang fakir dari kalangan shahabat di sisi Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam tak ubahnya tamu. Buat apa mereka menyimpan harta jika dijamin tidak
akan lapar? Bahkan bisa dijawab sebagai berikut: Keadaan Bilal dan orang-orang yang
semacam dia dari Ahlush-Shuffah (orang-orang yang ada di emperan masjid) memang tidak
selayaknya untuk menyimpan harta. Jika mereka tidak terima, maka celaan tertuju pada sikap
mereka yang mendustakan keadaan mereka sendiri, bukan pada masalah menyimpan harta
yang halal.
11. Gambaran ketiga:
Mencari sebab langsung untuk menyingkirkan mudharat.
Bukan termasuk syarat tawakal jika meninggalkan sebab-sebab yang dapat
menyingkirkan mudharat. Misalnya, tidak boleh tidur di sarang binatang buas, di tempat
aliran air, di bawah tembok yang akan runtuh. Semua ini dilarang.
Tawakal juga tidak berkurang karena mengenakan baju besi saat pertempuran, menutup pintu
pada malam hari dan mengikat onta dengan tali. Allah berfirman,
ْمُهَتَحِلَْسأ ْاوُذُْخأَْيلَو َكَعَّم مُهْنِّم ٌةَفِآئَط ْمُقَتْلَف
“Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang
senjata”. (An-Nisa':102)
Ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat ontaku dan bertawakal, ataukah aku
melepasnya dan bertawakal?” Beliau menjawab, “Ikatlah dan bertawakallah”. (Diriwayatkan
At-Tirmidzy)
Bertawakal dalam hal-hal ini adalah yang berkaitan dengan penyebab dan bukan pada
sebab serta ridha terhadap apapun yang ditakdirkan Allah. Jika barang-barangnya dicuri
orang, padahal andaikata ia waspada dan hati-hati tidak akan tercuri, lalu dia pun mengeluh
setelah itu, maka nyatalah keadaannya yang jauh dari tawakal.
Ketahuilah bahwa takdir itu seperti dokter. Jika ada makanan yang datang, maka dia
gembira dan berkata, “Kalau bukan karena takdir itu tahu bahwa makanan adalah bermanfaat
bagiku, tentu ia tidak akan datang.” Kalau pun makanan itu pun tidak ada, maka dia tetap
gembira dan berkata, “Kalau tidak karena takdir itu tahu bahwa makanan itu membuatku
tersiksa, tentu ia tidak akan terhalang dariku.”
Siapa yang tidak yakin terhadap karunia Allah, seperti keyakinan orang sakit terhadap
dokter yang handal, maka tawakalnya belum dikatakan benar. Jika barang-barangnya dicuri,
maka dia ridha terhadap qadha‟ dan menghalalkan barang-barangnya bagi orang yang
12. mengambilnya, karena kasih sayangnya terhadap orang lain, yang boleh jadi adalah orang
Muslim. Sebagian orang ada yang mengadu kepada seorang ulama, karena dia dirampok di
tengah jalan dan semua hartanya dirampas. Maka ulama itu berkata, “Jika engkau lebih sedih
memikirkan hartamu yang dirampok itu daripada memikirkan apa yang sedang terjadi di
kalangan orang-orang Muslim, lalu nasehat macam apa lagi yang bisa kuberikan kepada
orang-orang Muslim?”
Gambaran keempat:
Usaha menyingkirkan mudharat, seperti mengobati penyakit yang berjangkit dan lain-
lainnya. Sebab-sebab yang bisa menyingkirkan mudharat bisa dibagi menjadi tiga macam:
1. Yang pasti,
seperti air yang menghilangkan dahaga, roti yang menghilangkan lapar. Meninggalkan
sebab ini sama sekali bukan termasuk tawakal.
2. Yang disangkakan,
seperti operasi, berbekam, minum dan lain-lainnya. Hal ini juga tidak mengurangi
makna tawakal. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah berobat dan menganjurkan
untuk berobat. Banyak orang-orang Muslim juga melakukannya, namun ada pula di antara
mereka yang tidak mau berobat karena alasan tawakal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu „anhu, tatkala dia ditanya, “Bagaimana jika kamu
memanggilkan tabib untuk mengobatimu?” Dia menjawab, “Tabib sudah melihatku.”, “Apa
katanya?”, tanya orang itu. Abu Bakar menjawab, “Katanya, „Aku dapat berbuat apa pun
yang kukehendaki‟.” Al-Mushannif Rahimahullah berkata, “Yang perlu kami tegaskan bahwa
berobat adalah lebih baik. Keadaan Abu Bakar itu bisa ditafsiri bahwa sebenarnya dia sudah
berobat, dan tidak mau berobat lagi karena sudah yakin dengan obat yang diterimanya, atau
mungkin dia sudah merasa ajalnya yang sudah dekat, yang dia tangkap dari tanda-tanda
tertentu.” Yang perlu diketahui, bahwa berbagai macam obat telah dihamparkan Allah di
bumi ini.
13. 3. Sebabnya hanya sekedar kira-kira,
seperti menyundut dengan api. Hal ini termasuk sesuatu yang keluar dari tawakal.
Sebab Rasullulah Shallallahu „alaihi wa sallam mensifati orang-orang yang bertawakal
sebagai orang-orang yang tidak suka menyundut dengan api. Sebagian ulama ada yang
menakwili, bahwa yang dimaksudkan menyundut dalam sabda beliau, “Tidak menyundut
dengan api”, ialah cara yang biasa dilakukan semasa Jahiliyyah, yaitu orang-orang biasa
menyundut dengan api dan membaca lafazh-lafazh tertentu selagi dalam keadaan sehat agar
tidak jatuh sakit. Sesungguhnya Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidak membaca ruqyah
kecuali setelah ada penyakit yang berjangkit. Sebab beliau juga pernah menyundut As‟ad bin
Zararah radhiyallahu „anhu. Sedangkan mengeluh sakit termasuk tindakan yang
mengeluarkan dari tawakal. Orang-orang salaf sangat membenci rintihan orang yang sakit,
karena rintihan itu menerjemahkan keluhan.
Al-Fudhail berkata, “Aku suka sakit jika tidak ada yang menjengukku.”
Seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad, “Bagaiman keadaanmu?” Al-
Iman Ahmad berjawab, “Baik-baik.” “Apakah semalam engkau demam?” tanya orang itu.
Al-Imam Ahmad berkata, “Jika sudah kukatakan kepadamu bahwa aku dalam keadaan baik,
janganlah engkau mendorongku kepada sesuatu yang kubenci.”
Jika orang sakit menyebutkan apa yang dia rasakan kepada tabib, maka hal itu
diperbolehkan. Sebagian orang-orang salaf juga melakukan hal ini. Di antara mereka berkata,
“Aku hanya sekedar mensifati kekuasaan Allah pada diriku.” Jadi dia menyebutkan
penyakitnya seperti menyebutkan suatu nikmat, sebagai rasa syukur atas penyakit itu, dan itu
bukan merupakan keluhan. Kami meriwayatkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam,
beliau bersabda:
Tawakkal berarti sikap pasrah dan menyerah terhadap hasil suatu pekerjaan atau usaha
dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWTmilih
14. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tawakal adalah menyandarkan permasalahan kepada Allah SWT guna
memperoleh maslahat dan menolak mudharat serta menyerahkan semua urusan
kepada-Nya. Nilai positif dari tawakal ialah memperoleh kepuasan batin karena
keberhasilan uasahanya mendapat ridho Allah. Dan, contoh dalam berperilaku
tawakal ialah bertawakal kepada Allah setelah melakukan usaha secara sungguh-
sungguh.
B. Saran
15. DAFTAR PUSTAKA
Al-Sya’rani, Abd Al-Wahhab, 99 Akhlak Sufi; Meniti Jalan Surga Bersama Orang-
Orang Suci. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004.
An-Naisabury, Imam Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, Terj. Mohammad Luqman
Hakiem. Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
As’ad, Aliy, Terjemah Ta’limul Muta’allim. Kudus: Menara Kudus, 2007.
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Al-Hidayah, 2002.
Hidayat, Junaidi, Ayo Memahami Akidah dan Akhlak untuk MTs/ SMP Islam Kelas VIII.
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009.
Mahmud, Abdul Halim, At-Tashawwuf fi Al-Islam, Terj. Abdullah Zakiy Al Kaaf.
Bandung: CV Lingkar Pena, 2002.
Mahmud, Abdul Halim, Hal Ihwal Tasawuf: Al- Munqidz Minadhdhalal. Bandung: Daarul
Ihya, 1996.
Masykur, Kahar, Membina Moral & Akhlak. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
Nawawi, Imam, Terjemah Riyadhus Shalihin, Terj. Abu Fajar Al-Qalami dan Abdul
Wahid Al-Banjary. Jakarta: Gitamedia Press, 2004.
Noerhidayatullah, Insan Kamil: Metoda Islam Memanusiakan Manusia. Jakarta: Penerbit
Nalar, 2002.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya, 1990.