1. Lupus Eritematosus Sistemik
Patofisiologi, Diagnosis dan Terapi
Rachmat Gunadi Wachjudi
dan Tim Reumatologi Perhimpunan Reumatologi Bandung
I. Pendahuluan
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah prototipe penyakit autoimun dengan
manifestasi klinis yang bervariasi, yang berhubungan dengan autoantibodi terhadap
komponen sel nukleus.1,2
Puncak kejadian SLE di antara usia 15-40 tahun dngan
perbandingan wanita : pria adalah 6 sampai 10 : 1. Prevalensi berkisar antara 20-150
kasus per 100.000 populasi, dengan variasi tergantung ras, etnis, dan status
sosioekonomi.1,3
Di Amerika Serikat, orang-orang Afrika, Hispanik, dan Asia memiliki
prevalnsi SLE yang lebih tinggi dan morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan ras
lainnya.3,4
Survival rate 10 tahun sekitar 70%.3
Temuan patologi SLE adalah inflamasi,
vaskulitis, deposisi kompleks imun, dan vaskulopati.2
Variasi manifestasi klinis adalah
tantangan untuk klinisi dalam usaha mengembangkan terapi yang rasional.
II. Manifestasi Klinis SLE
Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan apabila dijumpai dua atau lebih
kriteria seperti tercantum di bawah ini, yaitu5
:
a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.
c. Muskuloskeletal: artritis, atralgia, miositis
d. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana
mukosa, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkim paru.
h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis.
i. Retikuloendotel: organomegali (lmfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
1
2. j. Hematologi: anemia, leukopena, dan trombositopenia
Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif, neuropati kranial dan perifer.
Gambar 1. Manifestasi Klinis SLE
Dikutip dari http://ajmj.com/sle 6
Lupus pada laki-laki cenderung lebih sedikit fotosensitivitas, lebih banyak serositis, onset
saat diagnosis lebih tua, dan angka kematian 1 tahun lebih tinggi dibandingkan wanita. SLE
cenderung memberikan gambaran klinis yang lebih ringan pada usia tua, dengan insidensi
yang lebih rendah untuk malar rash, fotosensitivitas, purpura, Raynaud’s phenomenon, renal,
dan sistem syaraf pusat, namun memiliki prevalensi yang lebih besar untuk serosistis,
keterlibatan pulmo, dan manifestasi muskuloskeletal.4
2
3. III. Kriteria Diagnosis
Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi.
Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR untuk
SLE.5
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Systemic Lupus Erithematosus ACR 1997
Dikutip dari Perhimpunan Rheumatologi Indonesia5
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitivitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
3
4. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi
jangka panjang diperlukan.5
Terdapat kriteria lain dari SLICC (Systemic Lupus International Collaborating
Clinic. Diagnosis SLE ditegakkan apabila memenuhi > 4 kriteria ( minimal 1 kriteria
klinis dan 1 kriteria imunologis, atau biopsi membuktikan lupus nefritis dengan ANA
test atau Anti ds-DNA positif.
Tabel 2. Kriteria SLE Berdasarkan Kriteria SLICC
Dikutip dari
IV. Etiologi
Faktor Genetik
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan
dnan kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SL pada keluarga penderita SLE
dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok
etnik tertentu menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam patognesis
SLE. Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan penyakit. Diperkirakan paling
sedikit ada empat susceptibility genes yang terlibat dalam perkembangan penyakit.7,8
Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE pada
manusia adalah gen dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Penelitian
4
5. populasi mennjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen
HLA (Human Leucocyte Antigen) kelas II. Gen HLA kelas II juga berhubungan
dengan adanya antibodi tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearm-protein),
anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nuclar ribonuclear protein) dan anti-DNA. Gen HLA kelas
III, khususnya yang mengkode komponen komplemen C2 dan C4, memberikan risiko
SL pada kelompok etnik tertentu. Pnderita dengan homozygous C4A null alleles
mempunyai risiko tinggi berkembang mnjadi SL. Selin itu SL berhubungan dengan
pewarisan defisini C1q, C1r/s dan C2. Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan
kepekaan terhadap penyakit oleh karena berkurangnya kemampuan netralisasi dan
pembersihan, baik terhadap antign diri sendiri (self antigen) maupuna antigen asing.
Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan dari sistem imun, maka
autoimunitas mungkin terjadi. Selian itu banyak gen non MHC polimorfik yang
dilaporkan berhubungan dengan SLE, termasuk gen yang mengkode mannose binding
protein (MBP), TNF α, rseptor sel T, IL-6, CR1, imunoglobulin Gm dan Km allotypes,
FcaRIIIA dan heat shock protein 70 (HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang
multipel (multiple chromosome regions) sebagai risiko berkembangnya SLE
mendukung pendapat bahwa SLE merupakan penyakit poligenik.7,8
Faktor Hormonal
SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Serangan
pertama SLE jarang terjadi pada usia pre pubertas dan pasca menopause. Metabolisme
estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin, dimana
peningkatan hidroksilasi 16a dari estrone mengakibatkan peningkatan yang bermakna
konsentrasi 16a hidroksiesterone, metabolit 16a yang lebih kuat dan merupakan
feminising estrogen. Perempuan dengan SLE juga memiliki kadar androgen yang lebih
rendah, termasuk testosteron, dehidrotestosteron, dehidroepindrosteron (DHEA) dan
dehidroepindosteron sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan oksidasi testosteron atau peningkatan aromatase jaringan. Konsentrasi
androgen berkorelasi negatif dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron yang
rendah dan meningkatnya konsentrasi Luteinizing Hormon (LH) ditemukan pada
beberapa penderita SLE laki-laki. Konsentrasi progesteron didapatkan lebih rendah
pada penderita SLE prempuan dibandingkan dengan kontrol sehat.7,8
5
6. Prolaktin, hormon yang terutama berasal dari hipofisis anterior, diketahui
menstimulasi respon imun humoral dan selular yang diduga berperanan dalam
patogenesis SLE. Selain hipofisis, sel-sel sistem imun juga mampu mensintesis
prolaktin. Prolaktin diketahui menstimulasi sel T, sel natural killer (NK), makrofag,
neutrofil, sel hemopoietik CD 34+ dan sel dendritik presentasi antigen.7,
Autoantibodi
Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi
autoantibodi. Autoantibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada
nukleus, sitoplasma, permukaan sel dan juga terhadap permukaan terlarut sperti IgG
dan faktor koagulasi. Antibodi antinuklear (ANA) adalah antibodi yang paling banyak
ditemukan pada penderita SLE (> 95%). Anti-double stranded DNA (anti-dsDNA) dan
anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan
ke dalam kriteria klasifikasi SLE. Antigen Sm mrupakan suatu small nuclear
ribonucleoprotein (snRNP), terdiri dari rangkaian uridin yang kaya molekul RNA,
berikatan dengan kelompok protein inti dan protein lain yang berhubungan dengan
RNA. Anti-Sm antibodi berikatan dengan protein inti snRNP, sedangkan antibodi anti-
DNA berikatan dengan conserved nucleic acid determinant yang tersebar luas dalam
DNA. Titer antibodi anti-DNA seringkali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas
penyakit, sedangkan anti-Sm biasanya konstan. Antibodi anti-DNA pada ummnya
berhubungan dengan adanya glomerulonefritis, walaupun korelasi antibodi anti-DNA
dengan nefritis lupus tidaklah sempurna karena beberapa penderita dengan nefritis
lupus yang aktif tidak ditemukan antibodi anti-DNA, sedangkan beberapa penderita
dengan titer antibodi anti-DNA yang menetap tinggi tidak menunjukkan adanya
keterlibatan ginjal. Meskipun telah ditemukan hubungan yang jelas antara gambaran
klinis tertentu dari SL dengan autoantibodi seperti antibodi anti-ribosomal P dengan
psikosis, antibodi anti-Ro dengan blok jantung bawaan dan lupus kutaneus subakut,
tetapi patogenesis dari antibodi ini belum diteliti secara adekuat sehingga mekanisme
imunologis yang pasti belum jelas. Beberapa antibodi seperti antinuklear, anti-Ro, anti-
La anti antifosfolipid pada umumnya sudah terbentuk beberapa tahun sebelum
timbulnya gejala SLE. Auto antibodi yang lain seperti anti-Sm dan anti-nuklear
ribonukloprotein muncul hanya dalam beberapa bulan sebelum diagnosis SLE.
6
7. Sedangkan autoantibodi anti-dsDNA berada di pertengahan antara kedua kelompok
autoantibodi tersebut.1,7,8
Tabel 3. Antibodi Antinuklear Pada SLE
Dikutip dari Pisetsky1
V. Patofisiologi
Patofisiologi pasti dari SLE masih sulit untuk dipahami. Defek mekanisme
regulasi imun seperti klirens apoptosis sel dan kompleks imun merupakan kontributor
penting dalam perkembangan SLE.2
SLE ditandai dengan adanya produksi autoantibodi,
terbentuknya kompleks imun, dan episode aktivasi komplemen yang tidak terkendali. SLE disebabkan
oleh interaksi antara gen yang dicurigai berperan pada SLE dan faktor lingkunganyang menghasilkan
respon imun abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi
hiperaktivitas sel B juga. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang menimbulkan respon
imun abnormal antara lain produksi autoantibodi yang beberapa diantaranya membentuk kompleks
imun,dandepositnyadijaringanmenimbulkankerusakan.
Figur1. Perjalananklinis SLE
7
8. Dikutip dari Wallace 8
Faktor genetik dan hormonal merupakan predisposisi SLE, namun inisiasi dan
variasi penyakit disebabkan oleh lingkungan dan faktor eksogen lainnya. Faktor-faktor
tersebut adalah: infeksi yang dapat menginduksi respon spesifik; stres, yang dapat
mempengaruhi perubahan neuroendokrin dan fungsi imun sel; diit, yang dapat
mempengaruhi produksi mediator inflamasi; toksin dan obat-obatan yang dapat
mengubah respon selular dan imunogenisitas self-antigen; agen fisik seperti sinar
matahari yang dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan jaringan.1,2
Epstein Barr virus (EBV) telah diidentifikasi sebagai faktor yang dapat
mencetuskan lupus. EBV dapat berinteraksi dengan sel B dan meningkatkan produksi
interferon α (IFN α) . Lebih dari 100 jenis obat dapat menyebabkan Drug Induced
Lupus (DIL). Patogenesis DIL belum dipahami dengan baik, dan diperkirakan
dipengaruhi pula oleh faktor genetik. Obat-obatan yang dicurigai adalah obat-obat yang
dimetabolisme oleh asetilasi seperti procainamide dan hidralazin, dan mengenai pasien-
8
9. pasien yang merupakan slow acetylators. Obat-obatan ini mempngaruhi ekspresi gen
pada sel T dengan menghambat metilasi DNA dan meningkatkan ekspresi antigen
LFA1 yang mnyebabkan autoreaktifitas.1
Pasien SLE dapat menunjukkan abnormalitas serologi beberapa tahun setelah
manifestasi klinis timbul. Penyakit berkembang bertahap secara mekanis. Pencetus
yang kedua kalinya dapat memicu pengeluaran self antigen, dan produksi sitokin oleh
kompleks imun.1
Figur 2. Patofisiologi LES
Dikutip dari Wallace8
Interaksi dari faktor genetik dan faktor lingkungan menghasikan respon imun yang
abnormal. Respon tersebut adalah (1) aktivasi imunitas inate (sel dendritik) oleh CpG DNA,
DNA pada kompleks imun, dan RNA pada RNA/protein self antigen; (2) penurunan ambang
aktivasi sel imunitas adaptif (antigen-spesifik limfosit T dan B), (3) regulasi dan inhibisi yang
tidak efektif pada Sel CD4+ dan CD8+; dan (4) menurunkan klirens sel yang apoptotik dan
kompleks imun. Self antigen tersedia agar dapat dikenali oleh sistem imun pada permukaan
9
10. blebs atau sel apoptosis sehingga antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam
jangka waktu lam yang mennybabkan inflamasi muncul dan berkembang. Aktivasi imun
disertai peningkatan sekresi agen pro inflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF) dan
interferon (IFN) tipe 1 dan 2, B-Lymphosit Stimulator (BLyS), dan interleukin (IL) 10. Lupus
T dan natural killer (NK) gagal memproduksi IL-2 dan transforming growth factor (TGF)
yang cukup untuk menginduksi regulasi CD4+ dan menghambat CD8+ sl T, sehingga
produksi autoantibodi patogen dan kompleks imun terus berlangsung. Aktivasi komplemen
dan sel imun mendorong pngeluaran kemotaksin, sitokin, kemokins, peptida vasoaktif dan
enzim destruktif. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors, dan produksi
oksidasi kronis berperan dalam kerusakan jaingan yang irreversibel di glomerulus, arteri,
paru-paru, dan jaringan lainnya.9
VI. Terapi
Tujuan dari terapi SLE adalah meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup
pasien SLE melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus
pengobatan SLE adalah a). Mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan
aktivitas penyakit seringan mungkin, c). mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi
organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang
optimal.5
]
Pilar Pengobatan SLE
A. Edukasi dan konseling
Tabel 4. Butir-butir Edukasi Terhadap Penderita SLE
10
11. Dikutip dari Perhimpunan Rheumatologi Indonesia5
B. Program rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE. Salah
satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila
pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2
minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari
dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan
kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan
untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian
pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan
otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan teknis pelaksanaan program
rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain.
C. Pengobatan medikamentosa
11
13. Figurv 5. Target Terapi Pada SLE
Dikutip dari Wallace8
1. Anti malaria
Anti malaria sering digunakan sebagai lini pertama imunomudulator
pada terapi SLE ringan dengan manifestasi konstitusional, kutaneus, dan
muskuloskeletal. Hidroxychloroquin (HCQ) adalah agen yang paling banyak
digunakan di Amerika Serikat. Dosis awal HCQ biasanya 200 mg/hari,
dinaikkan sampai 200 mg dua kali per hari atau 400 mg/hari (5-
6.5mg/kgbb/hari). Respon HCQ sangat lambat dan baru muncul setelah 6
minggu, efek puncak baru didapatkan setelah 4 bulan. Pasien yang dihentikan
HCQ memiliki kemungkinan 2.5 kali lebih besar untuk flare dibandingkan
dengan pasien yang terus diberikan HCQ.1
Klorokuin diberikan dengan dosis 250 mg/hari (3.5 mg/kgBB/hari)
dengen fek yang dapat dilihat dalam 3-4 minggu. Kuinakrine yang memiliki
onset cepat seperti Klorokuin diberikan dalam dosis 100 – 200 mg/hari (2.5
13
14. mg/kgBB/hari). Terapi kombinasi antara HCQ atau Klorokuine dengan
Kuinakrine dapat diberikan jika pemberian 1 jenis obat tidak efektif.1
Efek samping yang paling sering terjadi adalah efek samping
gastrointestinal seperti kram perutm mual, muntah, perut kembung, atau diare.
Klorokuin, dibandingkan dengan HCQ, menyebabkan insidensi yang lebih
tinggi toksisitas retinal yang menyebabkan gangguan lapang pandang.
Gangguan visual yang lain seperti: pandangan jauh yang buram, kesulitan
membaca, fotofobia, dan flashing lights. Risiko toksisitas retinal dapat
diminimalisir dengan dosis total harian HCQ 6.5 mg/kgBB/hari, Klorokuin 3-4
mg/kgBB/hari, dan Kuinakrin 2.5 mg/kgBB/hari. Obat anti malaria juga dapat
menyebabkan hiperpigmentasi pada kuku, tungkai anterior, wajah, dan
membran mukosa. HCQ dapat menurunkan kadar insulin pada pasien Diabetes
Melitus dengan terpai insulin, sehingga menempatkan pasien dalam risiko
hipoglikemia. HCQ terbukti aman untuk wanita hamil.1
2. Steroid
Kortikosteroid efektif untuk pengobatan berbagai manifestasi SLE.
Kortikosteroid topikal sering digunakan untuk pengobatan lokal kelainan
mukokutan. Kortikosteroid sistemik mulai 5 mg sampai 30 mg per hari efektif
untuk pengobatan SLE ringan sampai sedang, termasuk manifestasi kutaneus,
artritis, dan serositis. Pada keteribatan obat yang lebih berat seperti, nefritis,
pneumonitis, SSP, kelainan hematologik, SSP dan vaskulitis sistemik
membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi dalam preparat oral atau intravena
dengan dosis setara prednison 1-2 mg/kgBB/hari. Metilprednisolon intravena
dapat diberikan selama 3 hari berturut-turut untuk manifestasi SLE berat yang
mengancam nyawa. Kortikosteroid sistemik dapat berperan sebagai jembatan
terapi untuk imunomodulator kerja lambat. Setelah aktivitas penyakit dapat
dikontrol, dosis kortikosteroid dapat diturunkan sampai dosis minimal harian
(prednison 85 mg/hari) atau dosis selng sehari untuk rumatan. Tujuan
penurunan dosis kortikoseroid adalah menurunkan efek samping sambil
mencegah eksaserbasi penyakit. Efek samping yang biasa terjadi adalah emosi
labil, glaukoma, katarak, ulkus peptikum, osteoporosis, osteonecrosis, risiko
infeksi, dan Cushingoid.1
Tabel 4. Farmakodinamik Kortikosteroid
14
15. Dikutip dari Perhimpunan Reumatologi Indonesia5
Pada keadaan stress, infeksi dan pada tindakan perioperatif dilakukan
pmberian kortikosteroid dosis stres, yaitu dua kali atau sampai 15 mg prednison
atau setaranya. Pada tindakan operasi besar dapat diberikan 100 mg
hidrokortison intravena. pada hari pertama operasi, diikuti dengan 25 sampai 50
mg hidrokortison setiap 8 jam untuk 2 atau 3 hari, atau dengan melanjutkan
dosis KS oral atau setara secara parenteral pada hari pembedahan dilanjutkan
dengan 25-50 mg hidrokortison setiap 8 jam selama 2 atau 3 hari. Pada bedah
minor, cukup dengan meningkatkan sebesar dua kali dosis oral atau
meningkatkan dosis kortikosteroid sampai 15 mg prednison atau setara selama 1
sampai 3 hari.5
Pemberian pulse dose metilprednisolon dipercayai bekerja lebih cepat
dibandingkan pemberian secara oral.8
Pulse dose metilprednisolon diberikan
pada keadaan: 1. Neuro psikiatri lupus berat (kejang, penurunan kesadaran,
mielitis transversa, cerebrovaskular accident, psikosis, sindrom otak organic,
mononeuritis multipleks), 2. Nefritis lupus WHO kelas III, IV atau V dengan
progresivitas aktivitas penyakit, 3. Gangguan hematologi (Trombositopenia
refrakter berat dengan perdarahan, anemia hemolitik), 4. Hemoragik pulmonal
yang berat, 5. Vaskulitis generalisata. Kontraindikasi pulse dose steroid : 1.
15
16. Diketahui hipersensitivitas / alergi terhadap obat pulse terapi, 2. Sedang
mengalami infeksi akut (merupakan kontraindikasi relatif), jika sangat
dibutuhkan, pemberian pulse dilakukan segera setelah pemberian antibiotik, 3.
Hipertensi (jika tekanan darah sudah diturunkan dengan obat antihipertensi
pemberian pulse dapat dilakukan).5
3. Imunosupresan / Sitotoksik
a. Azatioprin
Azatioprin sering digunakan sebagai steroid sparring agent pada
pasien SLE dengan aktivitas ringan dan moderate, dan sebagai terapi rumatan
alternatif siklofosfamid pada pasien lupus nefritis dan manifestasi
mengancam organ lainnya.1,10
Obat ini adalah analog purin dan
imunosupresan mercaptopurin yang menginhibisi sintesis asam nukleat dan
mempengaruhi fungsi imun humoral dan selular. Efek yang ditimblkan
meliputi penurunan proliferasi limfosit, penurunan produksi antibodi, dan
supresi aktivitas sel Natural Killer (NK).10
Dosis awal adalah 1 mg/kgBB/hari, sedangkan dosis biasa adalah 2-3
mg/kgBB/hari, dalam 1 sampai 3 dosis, diminum saat makan.10
Azatioprin
dapat digunakan selama kehamilan, namun dapat masuk ke dalam ASI. Efek
samping utama adalah mielotoksisitas akut yang bermanifestasi sebagai
pansitopenia pada pasien dengan defisiensi enzim thiopurin
methyltransferase (TPMT). Efek samping yang seing didapatkan adalah
toksisitas gastrointestinal. Pada pengguna azatioprin dibutuhkan monitoring
fungsi ginjal dan liver karena dimetabolisme di liver dan diekskresikan
melalui ginjal. Pada penderita penyakit gagal ginjal dan gangguan liver, dosis
harus disesuaikan.1,10
b. Metotreksat
Metotreksat merupakan standar terapi untuk rheumatoid artritis yang
aman dan efektif. Metotreksat adalah analog asam dihidrofolat yang
menghambat dehidrofolat reduktase dan memiliki efek imunomodulator pada
dosis rendah.1
Metotreksat memiliki fek anti inflamasi dan imunosupresif.9
Efek samping yang sering adalah gangguan gastrointestinal; mukositis,
alopecia, peningkatan enzim liver dan infeksi. Efek samping dapat
diminimalisir jika metotreksat diberikan dalam dosis 7.5 – 15 mg/minggu.
16
17. Penambahan asam folat dapat meminimalisir efek samping dan
meningkatkan bioavaliabilitas.1
c. Siklosforin
Siklosforin menghambat prolifrasi limfosit T dan secara selektif
menghambat respon T-cell-mediated seperti interleukin 2 (IL-2), IL-3,
interferon gamma (IFNγ), dan sitokin lain dari naive T cells.1,9
Walaupun
SLE dipikirkan berasal dari autoimunitas B-cell-mediated dengan
autoantibodi dan formasi kompleks imun, terdapat bukti yang
mengindikasikan adanya peranan sel T.1
.Dosis siklosforin mulai dari 2.5 mg sampai 5 mg/kgBB/hari terbukti
aman dan fektif untuk perbaikan aktivitas penyakit. Siklosforin dapat
diberikan pada wanita hamil jika keuntungannya lebih besar daripada risiko,
namun ibu menyusui disarankan untuk tidak menysui anaknya. Efek samping
dipengaruhi dosis dan reversibel, meliputi: hipertensi, peningkatan kreatinin
serum dan enzim liver, tremor, hipertrikosis, hipertrofi gusi, parathesis,
kluhan gastrointestinal, dan infeksi. Siklosforin juga dapat menyebabkan
hiperkalemia, dislipidemia, dan hiperursemia. Penggunaan jangka anjang
dapat menyebabkan perubahan struktural ginjal sperti fibrosis interstitial dan
atrofi tubular.1
d. Siklofosfamid
Siklofosfamid adalah agen alkilasi dan sitotoksik. Pemberian
siklofosfamid dapat menyebabkan kematian sel dalam stadium manapun.
Siklofosfamid mengurangi sel T dan Sel B serta menurunkan produksi
autoantibodi patogen.1,10
Obat ini digunakan untuk pengobatan SLE yang
berat seperti lupus nefritis, keterlibatan SSP, perdarahan paru, dan vaskulitis
sistemik.1
Efek samping siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopecia,
supresi sumsum tulang, peningkatan risiko infeksi, kanker kandung kemih,
serta infertilitas. Siklofosfamid tidak boleh digunakan selama kehamilan dan
menyusui.1,10
Penyesuaian dosis diperlukan pada kelainan ginjal. Pada pasien dengan
klirens kreatinin 25-50 ml/menit, dosis diturunkan 25%, sedangkan pada
pasien dengan klirens kreatinin < 5 ml/menit, dosis diturunkan 30 sampai
17
18. 50%. Siklofosfamid dapat diberikan pada pasien gagal ginjal 8-12 jam
sebelum dialisis.10
Siklofosfamid bolus iv diberikan dengan dosis permulaan 500 sampai
750 mg/m2
luas permukaan tubuh selama 1 jam dalam normal saline. Dosis
dapat dinaikkkan setiap bulan sebanyak 10-25% dengan target leukosit
2000-3000/mm3
. Penurunan dosis harus dilakukan apbila lekosit <
2000/mm3
. Berdasarkan bukti klinis terbaru, pemberian induksi
siklofosfamid iv diberikan selama 6 bulan. MESNA (sodium 2-
mercaptoethane) secara rutin diberikan sebagai tambahan dengan dosis 20%
dosis siklofosfamid.5,8
e. Mycophenolate mofetil (MMF)
Mycophenolate mofetil (MMF) adalah pro drug dari Mycophenolic
Acid, yang menghambat inosine monophosphate dehydrogenase, proliferasi
limfosit, dan fungsi sel B dan Sel T.1,10
Secara in vitro, MMF menginhibisi
proliferasi sel T dan B, mensupresi produksi antibodi, dan mereduksi adesi
molekl yang dibutuhkan untuk migrasi limfosit ke daerah inflamasi. MMF
juga menghambat proliferasi otot polos vaskuler dan mencegah aterosklerosis
yang berhubngan dengan transpalntasi organ.10
MMF telah digunakan secara
luas untuk mencegah rejeksi pada transplantasi ginjal. Beberapa penelitian
menunjukkan MMF memiliki efektivitas yang sama dengan siklofosfamid
dalam induksi remisi lupus nefritis dengan tingkat keamanan yang lebih baik.
MMF harus dihindari pada wanita hamil dan menyusui. Dosis MMF mulai
dari 500 mg sampai 1500 mg dua kali sehari. Efek samping meliputi keluhan
gastrointestinal (mual, muntah, diare), sitopeni, dan peningkaan risiko
infeksi.1
f. Leflunomide
Leflunomide efektif untuk terapi rheumatoid artritis. Obat ini
menghambat dihydro-orotate dehydrogenase, enzim kunci pada sintesis
pyrimidin, sehingga menurunkan proliferasi sel T dan sel B. Efek samping
yang paling sering adalah diare. Efek samping lain adalah peningkatan enzim
liver, hipertensi, dan leukopeni transien. Leflunomide bersifat teratogenik,
sehingga tidak direkomendasikan pada pasien yang hamil, ingin punya anak,
usia subur. Bila akan hamil, konsentrasi metabolit aktif harus < 0.2 mg/L
18
19. selama 2 kali dalam 1 minggu. Pada keadaan toksisitas, leflunomide dapat
dieliminasi dengan pemberian kolestiramin 8 mg tiga kali sehari selama 11
hari.1
4. Thalidomide
Thalidomide adalah imunomodulator dengan efek anti angiogenik. Obat
ini efektif pada dosis 50 – 400 mg/hari untuk terapi chronic cutaneous lupus
walaupun mekanismenya belum diketahui. Thalidomide bersifat teratogenik.
Efek samping obat ini di antaranya neuropati dan trombosis vena dalam.1
Thalidomide juga dihubungkan dengan onset primer antiphospholipid
syndrome, hipotiroid, sedasi, dan konstipasi.10
5. Dapson dan Retinoat
Dapson adalah obat yang biasanya digunakan untuk mengobati lepra.
Dapson menunjukkan efektivitas dalam pengobatan manifestasi kulit yang
refrakter seperti bullous SLE.5,10
Dapsone juga pernah digunakan untuk terapi
trombositopeni. Efek samping yang dikhawatirkan adalah anemia hemolitik.10
Retinoat adalah derivatif vitamin A, sering digunakan untuk terapi rash
lupus akut seperi malar rash. Retinoat memiliki efek teratogenik sehingga tidak
disarankan untuk wanita usia subur. Efek samping yang mungkin terjadi di
antaranya: kulit kering, alopecia, eczema, fotosensitivitas, myalgia,
hipertrigliseridemia, hepatitis, dan pankreatitis. Dosis isotretinoat addalah 0.5-1
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, tidak lebih dari 15-20 minggu.10
Tabel 5. Rekomendasi Monitoring Terapi Sitotoksik Pada SLE
19
20. Dikutip dari Tsokos10
6. Hormonal
Dehydroepiandrosterone (DHEA) adalah steroid adrenal dengan aktivitas
androgenik ringan, yang menunjukkan efektivitas terapi untuk pengobatan SLE
aktivitas ringan atau sedang. DHEA mempertahankan densitas tulang dan
secara signifikan meningkatkan densitas tulang pada wanita dengan SLE yang
mendapatkan kortikosteroid. Obat ini ditoleransi dengan baik, dengan dosis 50
sampai 200 mg per hari.11
Efek samping yang paling banyak terjadi adalah acne,
namun penggunaan obat ini belum direkomendasikan oleh FDA.1
Terapi hormonal lain yang dapat digunakan untuk SLE adalah
bromokriptin, suatu analog dopamin dan inhibitor selektif sekresi immune-
20
21. stimulatory hormone prolactine oleh hipofisis anterior. Bromokriptin dapat
menurunkan aktivitas SLE pada pasien dengan atau tanpa hiperprolaktinemia,
namun penggunaanya masih dalam tahap percobaan.1
Danazol, suatu androgen lemah, menunjukkan efektivitas untuk pengobatan
sitopenia autoimun, terutama trombositopenia dan anemia hemolitik.1,5
7. Imunoglobulin intravena
Imunogloblin intravena (IVIG) dosis tinggi telah digunakan untuk
pengobatan hipogamaglobulinemia, trombositopenia refrakter, dan Kawasaki’s
disease.1
Mekanisme kerjanya dipikirkan melibatkan blokade reseptor Fc,
inhibisi komplemen, dan imunomodulasi fungsi sel T dan sel B.1,10
IVIG
memberikan proteksi terhadap infeksi pada penderita imunodefisiensi sehingga
dapat menjadi alternatif terapi pada SLE akut yang berisiko infeksi. Dosis IVIG
400mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, terutama pada pasien SLE
dengan trombositopenia, anemia hemolitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE,
manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan terapi
konvensional.1,5,10
Efek samping yang sering terjadi seperti demam, myalga,
athralgia, dan nyeri kepala. Efek samping yang jarang terjadi meliputi
meningitis aseptik, dan tromboemboli. Reaksi anafilaksis yang serius dapat
terjadi pada pasien dengan defisiensi IgA sehingga obat ini merupakan
kontraindikasi pada defisiensi IgA.1,10
D. Terapi Lain
1. Plasmaferesis
Pertukaran plasma atau plasmaferesis efektif namun mahal untuk
mengeluarkan autoantibodi dan kompleks imun yang beredar dengan cepat.
Indikasi untuk plasmaferesis pada SLE yaitu: Thrombotic thrombositopenic
purpura (TTP), antiphospholipid syndrome yang katastropik, perdarahan paru,
cryoglobulinemia, dan sindroma hiperviskositas.1,5
2. Transplantasi ginjal dan dialisis
Transplantasi ginjal dan dialisis meningkatkan survival pada penderita
SLE. Survival rate transplantasi ginjal pada pasien SLE hampir sama dengan
21
22. pasien non SLE. Risiko kekambuhan lupus nefritis pada transplantasi ginjal
berkisar antara 2-30%.1
2. OAINS
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) efektif sebagai pereda nyeri
dan digunakan secara luas untuk manifestasi artritis, myalgia, serositis, dan
nyeri kepala. Pemilihan OAINS dipengaruhi harga, efektivitas, dan efek
samping. Efektivitas obat-obat ini bervariasi dan bahkan dapat berubah pada
pasien yang sama. Pada pasien dengan gangguan ginjal akibat lupus nefritis,
OAINS harus dihindari karena inhibisi cyclooksigenase (COX) oleh OAINS
dapat mengganggu aliran darah renal dan pengaturan transpor tubular akibat
reduksi prostaglandin dan prostasiklin. Efek samping OAINS dapat menyerupai
aktivitas SLE. Efek samping yang sering dijumpai adalah peningkatan enzim
liver yang reversibel. Meningitis aseptik, nyeri kepala, bingung, gangguan
kognitif, dan psikosis dapat ditemukan pada pengguna OAINS. Efek samping
lain seperti ulkus peptikum, peningkatan risiko perdarahan dan cardiovascular
events.1
E. Terapi Baru Pada SLE
1. Anti-CD20
Rituximab, suatu anti-CD20 chimeric antibody mereduksi sel B, tanpa
mengganggu sel plasma, terbukti efektif untuk mengobati limfoma dan
rheumatoid artritis, kini digunakan untuk SLE yang sulit diobati.5,10
Dari
beberapa penelitian didapatkan sekitar 80% lupus nefritis mengalami minimal
parsial remisi setelah pemberian Rituximab, namun terdapat kekhawatiran
mengenai efek samping yang tidak dapat diprediksi dan pengaruh deplesi sel B
terhadap kemampuan melawan infeksi pada pasien yang imunokompromis.10
2. Anti-CD22
CD22 adalah molekul yang diekspresikan dari permukaan sel B yang
matur, yang bukan merupakan sel plasma atau sel B memori, yang terlibat
dalam regulasi transduksi sinyal melalui reseptor sel B dan adhesi sel B kepada
sel imun lain melalui ligan CD22L. CD22L meningkat pada sel B dan T yang
bersirkulasi pada tkus percobaan, dan ekspresinya paralel dengan gejala klinis
22
23. SLE. Epratuzumab (humanized anti-CD22) telah melewati fase I pada clincal
trialuntuk pengobati SLE sedang, dan menunjukkan proflkeamana yang lebih
baik daripada Rituximab.10
3. Anti-CD40L
Interaksi sel B dan sel T terjadi melalui ikatan ligan CD40 pada sel T
dengan CD40 pada sel B.
a. BG9588: menunjukkan penurunan produksi anti-dsDNA, peningkatan kadar
C3, dan penurunan hematuria, namun meningkatkan kejadian infark
miokard.10
b. IDC-131: tidak menunjukkan efektivitas pada percobaan pendahuluan.10
4. CTLA-4 Ig
CTLA-4 Ig adalah molekul pada permukaan sel T yang memiliki
afinitas lebih tinggi terhadap CD80/86 dibandingkan CD28, sehingga secara
efektif meghentikan aktivasi sel T. Human analogue CTLA Ig (Abatacept)
terbukti efektif untuk pengobatan rheumatoid artritis, dan saat ini sedang
menjalani clinical trial untuk pengobatan SLE.10
5. Anti B-Lymphocyte Stimulator
B-Lymphocyte Stimulator (BLyS) adalah growth factor yang
dibutuhkan untuk survival sel B, maturasi, dan aktivasi; formasi germinal
center; pengembangan sel B menjadi sel plasma serta produksi imunoglobulin.12
BLyS berikatan secara eksklusif dengan sel B melalui salah satu dari 3 reseptor
(BAFFR, BCDMA, atau TACl), menyebabkan aktivasi nuclear factor 9NF)-B
pathway, dan meningkatkan survival Sel B.10
Belimumab adalah fully humanized IgG1- λ yang berikatan pada BlyS
terlarut dan menghambat ikatannya dengan reseptorsehingga aktivitasnya
terganggu. Pemberian belimumab menurunkan sel B aktif dan sel B naif, namun
tidak sel B memori. Hal ini bisa jadi kerugian karena sel-sel ni dapat menjadi
progenitor untuk antibodi yang tidak diinginkan, namun sekaligus memberikan
keuntungan karena antibodi protektif untuk melawan influenza, pneumokokus,
dan tetanus dapat dipertahankan.12
6. Abatacept
Sel T berperan dalam patognesis SLE karena mendukung aktivasi sel
B, aktivasi makrofag, dan pengeluaran sitokin sehingga regulasi sel T dapat
23
24. memberikan manfaat dalam terapi SLE. Abatacept (Orencia, cytotoxic T-
lymphocyt antigen 4-imunoglobulin [CTLA4-Ig]) mencegah aktivasi sel T,
namun dalam beberapa penelitian belum menunjukkan hasil yang memuaskan
untuk terapi SLE.8
F. Terapi Adjuvant
1. Vaksinasi
Keamanan dan efektivitas pemberian vaksin kuman hidup yang
dilemahkan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Vaksinasi dianjurkan
pada pasin > 60 tahun, 2-4 minggu sebelum pemberian imunosupresan.8
2. Antibiotik profilaksis
Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis dan antibiotik terpilih
disesuaikan dengan populasi. Pasien SLE berisiko untuk terinfeksi Pneumocytis
jiroveci, sehingga pada pasien SLE yang mendapatkan > 16 mg prednison atau
yang setara selama minimal 8 minggu, direkomendasikan untuk mendapatkan
profilaksis dengan cotrimoksazol sekali sehari.
3. Suplementasi vitamin D
Pasien SLE berisiko kekurangan vitamin D. Defisiensi vitamin D
berhubungan dengan peningkatan risiko fraktur karena keropos tulang serta
eksaserbasi penyakit kronis, termasuk kanker, penyakit kardiovaskular,
sindroma metabolik, dan penyakt autoimun termasuk SLE. Kadar 25 (OH) D
dalam darah yang disarankan adalah 30 ng/ml. Untuk suplementasi, disarankan
dengan vitamin D3 oral (cholecalcferol) harian 1000 sampai 2000 IU, atau
vitamin D2 (ergocalciferol) mingguan 50.000 IU selama 8 minggu dilanjutkan
vitamin D3 oral.8
4. Complementary and Alternative Therapy (CAM)
Di Amerika Srikat dan Kanada, CAM yang sering digunakan adalah relaksasi,
herbal, massage, obat herbal, dan perubahan gaya hidup. Suplemen yang
memiliki manfaat termask dehiydroapiandrosteron (DHEA), minyak ikan, dan
Tripterygium wifordii.8
24
25. Mempertimbangkan risiko SLE pada ibu maupun bayi, pencegahan aktivitas
SLE selama kehamilan sangat penting. Pada wanita dengan lupus tidak mendapatkan
terapi spesifik jika tidak terdapat gejala atau tanda aktivitas SLE. Pengunaan
kortikosteroid profilaksis tidak direkomendasikan karena meningkatkan risiko
hipertensi, prematur, dan BBLR.8
Tabel 6. Pengobatan SLE Pada Kehamilan
Dikutipdari Wallace8
VII. Ringkasan
SLE adalah penyakit autoimun yang lebih banyak menyerang wanita dan
memiliki manifestasi klinis yang bervariasi pada banyak organ. Sistem imun, genetik,
hormonal, dan lingkungan memiliki kontribusi terhadap ekspresi kerusakan organ.
Kompleks imun, autoantibodi, autoreaktivitas, limfosit, sel dendritik, dan faktor lokal
merupakan faktor yang terlibat dalam manifestasi klinis penyakit. Terapi dengan agen
biologik dan obat bermolekul rendah sedang dikembangkan agar dapat menjadi terapi
yang lebih efektif dan lebih aman dibandingkan terapi yang ada saat ini.
25