Dokumen ini membahas hasil Sidang III Konsili Vatikan II yang menghasilkan Konstitusi "Sacrosanctum Concilium" tentang Liturgi Suci. Konstitusi ini membahas asas-asas umum untuk memperbaharui dan mengembangkan Liturgi, pendidikan Liturgi, pembaharuan Liturgi, pembinaan kehidupan Liturgi, dan pengembangan pastoral Liturgi. Dokumen ini juga membahas Misteri Ekaristi Suci, Sakramen-Sakram
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
Konsili Vatikan II
1. DAFTAR ISI
KONSILI VATIKAN II : 1662-1965
SIDANG III (4 Desember 1965)
KONSTITUSI “SACROSANCTUM CONCILIUM”
TENTANG LITURGI SUCI
PENDAHULUAN
BAB I : ASAS-ASAS UMUM UNTUK MEMBAHARUI DAN
MENGEMBANGKAN LITURGI
I. Hakekat dan Makna Liturgi Suci Dalam Kehidupan Gereja
5. Karya keselamatan dilaksanakan oleh Kristus
6. Karya keselamatan, yang dilestarikan oleh Gereja, terlaksana dalam
liturgi
7. Kehadiran Kristus dalam Liturgi
8. Liturgi di dunia ini dan Liturgi di sorga
9. Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja
10. Liturgi puncak dan sumber kehidupan Gereja
11. Perlunya persiapan pribadi
12-13 Liturgi dan ulah kesalehan
II. Pendidikan Liturgi dan Keikut-sertaan aktif
14. Pendahuluan
15. Pembinaan para dosen Liturgi
16-18 Pendidikan Liturgi kaum Rohaniwan
19. Pembinaan Liturgis kaum beriman
20. Sarana-sarana audio-visual dan perayaan Liturgi
III. Pembaharuan Liturgi
21. Pendahuluan
A. Kaidah-kaidah umum
22. Pengaturan Liturgi
23. Tradisi dan perkembangan
24. Kitab suci dan Liturgi
25. Peninjauan kembali buku-buku Liturgi
B. Kaidah-kaidah berdasarkan hakekat Liturgi sebagai tindakan Hirarki
dan jemaat
26. Liturgi sebagai perayaan Gereja
27. Perayaan bersama
28-29 Martabat perayaan
30-31 Keikut-sertaan aktif umat beriman
32. Liturgi dan kelompok-kelompok sosial
C. Kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral Liturgi
33. Pendahuluan
34. Keserasian upacara-upacara
35. Kitab suci, pewartaan dan katekese dalam Liturgi
36. Bahasa Liturgi
D. Kaidah-kaidah untuk menyesuaikan Liturgi dengan tabiat perangai dan
tradisi bangsa-bangsa
37. Gereja memelihara kekayaan bangsa-bangsa
38. Penyesuaian dan tuntutan masa dan tempat
39. Batas-batas penyesuaian
40. Penyesuaian Liturgi, terutama di daerah misi
IV. Pembinaan kehidupan Liturgi dalam keuskupan dan paroki
41. Kehidupan Liturgi dalam keuskupan
2. 42. Kehidupan Liturgi dalam paroki
V. Pengembangan pastoral Liturgi
43. Pembaharuan Liturgi, rahmat Roh Kudus
44. Komisi Liturgi nasional
45. Komisi Liturgi keuskupan
46. Komisi-komisi musik dan kesenian Liturgi
BAB II : MISTERI EKARISTI SUCI
47. Ekaristi suci dan misteri Paska
48-49 Keikut-sertaan aktif kaum beriman
50. Peninjauan kembali Tata Perayaan Ekaristi
51. Supaya Ekaristi diperkaya dengan sabda Kitab suci
52. Homili
53. Doa umat
54. Bahasa Latin dan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi
55. Komuni suci, puncak keikut-sertaan dalam Misa suci, Komuni dua
rupa
56. Kesatuan Misa
57-58 Konselebrasi
BAB III : SAKRAMEN-SAKRAMEN LAINNYA DAN SAKRAMENTALI
59. Hakekat sakramen
60. Sakramentali
61. Nilai pastoral Liturgi, hubungannya dengan misteri Paska
62. Perlunya meninjau kembali upacara Sakramen-Sakramen
63. Bahasa; rituale Romawi dan rituale khusus
64. Katekumenat
65. Inkulturasi inisiasi
66. Peninjauan kembali upacara babtis
67. Peninjauan kembali upacara pembabtisan kanak-kanak
68. Upacara pembabtisan yang singkat
69. Upacara pelengkap
70. Pemberkatan air babtis
71. Peninjauan kembali Sakramen Krisma
72. Peninjauan kembali upacara tobat
73. Peninjauan kembali upacara Pengurapan Orang Sakit
74. Upacara berkesinambungan untuk orang sakit
75. Upacara pengurapan Orang Sakit
76. Peninjauan kembali Sakramen Tahbisan
77. Peninjauan kembali Sakramen Perkawinan
78. Perayaan perkawinan
79. Peninjauan kembali sakramentali
80. Pengikraran kaul religius
81. Peninjauan kembali upacara pemakaman
82. Upacara penguburan anak-anak
BAB IV : IBADAT HARIAN
83-85 Ibadat harian, karya Kristus dan Gereja
86-87 Nilai pastoral Ibadat Harian
88-89 Peninjauan kembali pembagian waktu Ibadat menurut tradisi
90. Ibadat harian, sumber kesalehan
91. Pembagian mazmur-mazmur
92. Penyusunan bacaan-bacaan
93. Peninjauan kembali madah-madah
94. Saat mendoakan Ibadat Harian
95-97 Kewajiban mendoakan Ibadat harian
3. 98. Pujian kepada Allah dalam tarekat-tarekat religius
99. Ibadat Harian bersama
100. Keikut-sertaan umat beriman
101. Bahasa
BAB V : TAHUN LITURGI
102-105 Makna tahun Liturgi
106. Makna hari Minggu ditekankan lagi
107-108 Peninajauan kembali tahun Liturgi
109-110 Masa Prapaska
111. Pesta para kudus
BAB VI : MUSIK LITURGI
112. Matabat musik Liturgi
113. Liturgi meriah
114. Umat beriman diharapkan berperan serta
115. Pendidikan musik
116. Nyanyian Gregorian dan Polifoni
117. Penerbitan buku-buku nyanyian Gregorian
118. Nyanyian rohani umat
119. Musik Liturgi di daerah-daerah Misi
120. Orgel dan alat-alat musik lainnya
121. Panggilan para pengarang musik
BAB VII :KESENIAN RELIGIUS DAN PERLENGKAPAN IBADAT
122. Martabat kesenian religius
123. Corak-corak artistik
124. Karya-karya seni yang menyinggung cita rasa keagamaan
125. Gambar-gambar dan patung-patung
126. Panitia keuskupan untuk Kesenian Liturgi
127. Pembinaan para seniman
128. Peninjauan kembali peraturan tentang kesenian ibadat
129. Pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan
130. Penggunaan lambang-lambang jabatan Uskup
LAMPIRAN :
Pernyataan Konsili Ekumenis Vatikan II tentang Peninjauan Kembali
Penanggalan Liturgi
DEKRIT “INTER MIRIFICA”
TENTANG UPAYA-UPAYA KOMUNIKASI SOSIAL
PENDAHULUAN
1. Makna suatu ungkapan
2. Mengapa Konsili membahas masalah komunikasi sosial
BAB I: AJARAN GEREJA
3. Tugas-kewajiban Gereja
4. Hukum moral
5. Hak dan informasi
6. Kesenian dan moral
7. Pemberitaan kejahatan moral
8. Pendapat umum
9. Kewajiban-kewajiban para pemakai media komunikasi sosial
4. 10. Kewajiban-kewajiban kaum muda dan para orang tua
11. Kewajiban-kewajiban para penyelenggara
12. Kewajiban-kewajiban pemerintah
BAB II: KEGIATAN PASTORAL GEREJA
13. Kegiatan para gembala dan umat beriman
14. Prakarsa-prakarsa umat katolik
15. Pembinaan para produsen
16. Pembinaan para pemakai jasa
17. Upaya-upaya teknis dan ekonomis
18. Sekali setahun : hari komunikasi nasional
19. Sekretariat pada Takhta suci
20. Wewenang para Uskup
21. Biro Nasional
22. Organisasi-organisasi internasional
PENUTUP
23. Instruksi pastoral
24. Anjuran akhir
S I D A N G V (21 November 1964)
KONSTITUSI DOGMATIS “LUMEN GENTIUM” TENTANG GEREJA
BAB I: MISTERI GEREJA
1. Pendahuluan
2. Rencana Bapa yang bermaksud menyelamatkan semua orang
3. Perutusan Putera
3. Roh Kudus yang menguduskan Gereja
4. Kerajaan Allah
5. Aneka gambaran Gereja
6. Gereja, Tubuh mistik Kristus
7. Gereja yang kelihatan dan sekaligus rohani
BAB II: UMAT ALLAH
9. Perjanjian Baru dan Umat Baru
10. Imamat umum
11. Pelaksanaan imamat umum dalam Sakramen-Sakramen
12. Perasaan iman dan karisma-karisma umat kristiani
13. Sifat umum dan katolik Umat Allah yang Satu
14. Umat beriman katolik
15. Hubungan Gereja dengan orang kristen bukan katolik
16. Umat bukan kristen
17. Sifat misioner Gereja
BAB III: SUSUNAN HIRARKIS GEREJA, KHUSUSNYA EPISKOPAT
18. Pendahuluan
19. Dewan para Rasul didirikan oleh Kristus
20. Para Uskup pengganti para Rasul
21. Sakramentalitas episkopat
22. Dewan para Uskup dan Ketuanya
23. Uskup setempat dan Gereja universal
24. Tugas para Uskup pada umumnya
25. Tugas mengajar
5. 26. Tugas menguduskan
27. Tugas menggembalakan
28. Para imam biasa
29. Para diakon
BAB IV: PARA AWAM
30. Prakata
31. Apa yang dimaksud dengan istilah “awam”
32. Martabat kaum awam sebagai anggota umat Allah
33. Hidup kaum awam berhubungan dengan keselamatan dan kerasulan
34. Keikut-sertaan kaum awam dalam imamat umum dan ibadat
35. Keikut-sertaan kaum awam dalam tugas kenabian Kristus
36. Keikut-sertaan kaum awam dalam pengabdian rajawi Kristus
37. Hubungan kaum awam dengan Hirarki
38. Penutup
BAB V : PANGGILAN UMUM UNTUK KESUCIAN DALAM GEREJA
39. Prakata
40. Panggilan umum untuk kesucian
41. Bentuk pelaksanaan kesucian
42. Jalan dan upaya kesucian
BAB VI : PARA RELIGIUS
43. Pengikraran nasehat-nasehat Injil dalam Gereja
44. Makna dan arti hidup religius
45. Hubungan para religius dengan Hirarki
46. Penghargaan terhadap hidup religius
47. Penutup
BAB VII : SIFAT ESKATOLOGIS GEREJA MUSAFIR DAN PERSATUANNYA
DENGAN GEREJA DI SORGA
48. Pendahuluan
49. Persekutuan antara Gereja di sorga dan Gereja di dunia
50. Hubungan antara Gereja didunia dan Gereja di sorga
51. Beberapa pedoman pastoral
BAB VIII : SANTA PERAWAN MARIA BUNDA ALLAH DALAM MISTERI KRISTUS
DAN GEREJA
I. Pendahuluan
52. Santa Perawan dalam misteri Kristus
53. Santa Perawan dan Gereja
54. Maksud Konsili
II. Peran Santa Perawan dalam tata keselamatan
55. Bunda Almasih dalam Perjanjian Lama
56. Maria menerima warta gembira
57. Santa Perawan dan kanak-kanak Yesus
58. Santa Perawan dan hidup Yesus dimuka umum
59. Santa Perawan sesudah Yesus naik ke sorga
III. Santa Perawan dan Gereja
60-62 Maria hamba Tuhan
63-64 Maria pola Gereja
65. Keutamaan-keutamaan Maria, pola bagi Gereja
6. IV. Kebaktian kepada Santa Perawan dalam Gereja
66. Makna dan dasar bakti kepada Santa Perawan
67. Semangat mewartakan sabda dan kebaktian kepada Santa Perawan
V. Maria, tanda harapan yang pasti dan penghiburan bagi umat
Allah
68-69 ……………………………………………………………………………………..
PENGUMUMAN OLEH SEKRETARIS JENDRAL KONSILI
1. Kadar teologis Konstitusi “De Ecclesia”
2. Arti kolegialitas
CATATAN PENJELASAN PENDAHULUAN
DEKRIT “ORIENTALIUM ECCLESIARUM”
TENTANG GEREJA-GEREJA KATOLIK
1. Pendahuluan
Gereja-gereja khusus atau ritus-ritus
2. Kemacam-ragaman dalam persekutuan Gereja katolik
3. Kesamaan martabat, hak-hak dan kewajiban-kewajiban
4. Kelestarian Ritus-Ritus dalam suatu persekutuan
Melestarikan pusaka rohani Gereja-Gereja Timur
5. Hak serta kewajiban Gereja-Gereja untuk melestarikan tata-laksana
masing-masing
6. Melestarikan upacara-upacara Liturgis Ritus Timur
Para Patriark Timur
7. Siapa Patriark Timur itu?
8. Semua Patriark sederajat martabatnya
9. Wewenang Patriark dan sinode
10. Uskup Agung Utama
11. Didirikan patriarkat-patriarkat baru sejauh perlu
Tata-laksana Sakramen-Sakramen
12. Konsili mengukuhkan tata-laksana Sakramen-Sakramen
13. Pelayanan Sakramen Krisma
14. Penerimaan Sakramen Krisma
15. Ekaristi suci
16. Pelayanan Sakramen Tobat
17. Diakonat dan tahbian-tahbisan tingkat rendah
18. Pernikahan campur
Liturgi
19. Hari-hari raya
20. Hari raya Paska
21. Penyesuaian diri dengan Ritus setempat
7. 22. Pujian Ilahi (ibadat harian)
23. Penggunaan bahasa daerah
Pergaulan dengan para anggota Gereja-Gereja yang terpisah
24. Memelihara persekutuan menurut Dekrit tentang Ekumenisme
25. Syarat untuk kesatuan; kewenangan menjalankan kuasa Tahbisan
26-28 “Communicatio in sacris”
29. Bimbingan para Hirark setempat
30. Penutup
DEKRIT “UNITATIS REDINTEGRATIO”
TENTANG EKUMENISME
PENDAHULUAN
BAB I : PRINSIP-PRINSIP KATOLIK UNTUK EKUMENISME.
2. Gereja yang satu dan tunggal
3. Hubungan antara saudara-saudari yang terpisah dan Gereja katolik
4. Ekumenisme
BAB II : PELAKSANAAN EKUMENISME
5. Ekumenisme : tanggung jawab segenap umat beriman
6. Pembaharuan Gereja
7. Pertobatan hati
8. Doa bersama
9. Saling mengenal sebagai saudara
10. Pembinaan ekumenis
11. Cara mengungkapkan dan menguraikan ajaran iman
12. Kerja sama dengan saudara-saudari yang terpisah
BAB II : GEREJA-GEREJA DAN JEMAAT GEREJAWI YANG TERPISAHKAN
DARI TAKHTA APOSTOLIK DI ROMA
13. Pendahuluan
I. Tinjauan khusus tentang Gereja-Gereja Timur
14. Semangat dan sejarah Gereja-Gereja Timur
15. Tradisi Liturgi dan hidup rohani dalam Gereja-Gereja Timur
16. Ciri khas Gereja-Gereja Timur berkenaan dengan soal-soal ajaran
17. Penutup
II. Gereja-Gereja dan jemaat-jemaat gerejawi yang terpisah di dunia
Barat
19. Situasi khusus Gereja-Gereja dan jemaat-jemaat
20. Iman akan Kristus
21. Pendalaman Kitab suci
22. Hidup sakramental
23. Kehidupan dalam Kristus
24. Penutup
8. S I D A N G VII ( 28 Oktober 1965)
DEKRIT “CHRISTUS DOMINUS”
TENTANG TUGAS PASTORAL PARA USKUP DALAM GEREJA
PENDAHULUAN
BAB I : PARA USKUP DAN GEREJA SEMESTA
I. Peranan para Uskup terhadap Gereja semesta
4. Pelaksanaan kekuasaan oleh Dewan para Uskup
5. Majelis atau sinode para Uskup
6. Para Uskup ikut serta memperhatikan semua Gereja-Gereja
7. Cinta kasih yang nyata terhadap para Uskup yang dianiaya
II. Para Uskup dan Takhta suci
8. Kuasa para Uskup dalam keuskupan mereka sendiri
9. Konggregasi-konggregasi dalam Kuria Romawi
10. Para anggota dan para pejabat konggregasi-konggregasi
BAB II : PARA USKUP DAN GEREJA-GEREJA KHUSUS ATAU KEUSKUPAN-
KEUSKUPAN
I. Para Uskup diosesan
11. Faham “diosis” atau keuskupan, dan peranan para Uskup dalam
keuskupan mereka
12. Tugas mengajar
13. Cara menyajikan ajaran Kristen
14. Pendidikan kateketis
15. Tugas para Uskup untuk menguduskan
16. Tugas penggembalaan Uskup
17. Bentuk-bentuk khusus kerasulan
18. Keprihatinan khusus terhadap kelompok-kelompok umat tertentu
19. Kebebasan para Uskup, hubungan mereka dengan Pemerintah
20. Kebebasan dalam pengangkatan para Uskup
21. Pengunduran diri Uskup dari jabatannya
II. Penentuan batas-batas keuskupan
22. Perlunya meninjau kemabali batas-batas keuskupan
23. Peraturan-peraturan yang harus dipatuhi
24. Diperlukan pendapat Konferensi Uskup
III. Para rekan sekerja Uskup diosesan dalam reksa pastoral
1. Para Uskup Koajutor dan Auksilier
25. Peraturan-peraturan untuk mengangkat Uskup koajutor dan Auksilier
26. Wewenang Uskup Auksilier dan Koajutor
2. Kuria dan Panitia-Panitia Keuskupan
27. Organisasi Kuria Keuskupan dan pembentukan Panitia Pastoral
3. Klerus Diosesan
28. Para imam disesan
29. Para imam yang menjalankan karya antar paroki
30. Para pastor paroki
9. 31. Penunjukan, pemindahan, pemberhentian dan pengunduran diri
pastor paroki
32. Pembubaran dan pengubahan paroki
4. Para Religius
33. Para religius dan karya-karya kerasulan
34. Para religius rekan sekerja Uskup dalam karya kerasulan
35. Asas-asas kerasulan para religius dalam keuskupan
BAB III : KERJASAMA PARA USKUP DEMI KESEJAHTERAAN UMUM BERBAGAI
GEREJA
I. Sinode, Konsili, dan Khususnya Konferensi Uskup
36. Sinode dan Konsili khusus
37. Pentingnya Konferensi Uskup
38. Hakekat, wewenang dan kerjasama Konferensi-Konferensi
II. Penentuan batas-batas Provinsi-Provinsi gerejawi dan penetapan
kawasan-kawasan gerejawi
39. Prinsip untuki meninjau kembali batas-batas yang telah ditetapkan
40. Beberapa pedoman yang harus yang harus dipatuhi
41. Perlu dimintakan pandangan Konferensi-Konferensi Uskup
III. Para Uskup yang menjalankan tugas antar keuskupan
42. Pembentukan biro-biro khusus dan kerjasama dengan para Uskup
43. Vikariat Angkatan Bersenjata
44. KETETAPAN UMUM
DEKRIT “PERFECTAE CARITATIS”
TENTANG PEMBAHARUAN DAN PENYESUAIAN HIDUP RELIGIUS
1. Pendahuluan
2. Asas-asas umum untuk mengadakan pembaharuan yang sesuai
3. Norma-norma praktis pembaharuan yang disesuaikan
4. Mereka yang harus melaksanakan pembaharuan
5. Unsur-unsur yang umum pada pelbagai bentuk hidup religius
6. Hidup rohani harus diutamakan
7. Tarekat-tarekat yang seutuhnya terarah kepada kontemplasi
8. Tarekat-tarekat yang bertujuan kerasulan
9. Kelestarian hidup monastik konventual
10. Hidup religius kaum awam
11. Serikat-serikat sekular
12. Kemurnian
13. Kemiskinan
14. Ketaatan
15. Hidup bersama
16. Pingitan / klausura para rubiah
17. Busana religius
18. Pembinaan para anggota
19. Pendirian tarekat-tarekat baru
20. Bagaimana melestarikan, menyesuaiakan atau meninggalkan karya
khusus tarekat
10. 21. Tarekat-tarekat dan biara-biara yang mengalami kemerosotan
22. Perserikatan antara tarekat-tarekat religius
23. Konferensi para Pemimpin tinggi
24. Panggilan religius
25. Penutup
DEKRIT “OPTATAM TOTIUS”
TENTANG PEMBINAAN IMAN
PENDAHULUAN
1. I. Penyusunan metode pembinaan imam disetiap negara
II. Pengembangan panggilan imam secara lebih intensif
III. Tata-laksana Seminari-seminari tinggi
4. Seluruh pembinaan harus berhubungan erat dengan tujuan pastoral
5. Para pembimbing seminari hendaknya dipilih dengan saksama dan
dibina secara efektif
6. Penyaringan dan pengujian para seminaris
7. Seminari hendaknya diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan para
seminaris
IV. Pembinaan rohani yang lebih intensif
8. Belajar hidup dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal
9. Belajar membaktikan diri dalam Gereja
10. Belajar menghayati selibat imam
11. Menuju kedewasaan kepribadian
12. Waktu untuk pembinaan rohani yang lebih intensif; masa pembinaan
pastoral
V. Peninjauan kembali studi gerejawi
13. Studi persiapan untuk studi gerejawi
14. Studi gerejawi hendaknya lebih diserasikan
15. Peninjauan kembali studi filsafat
16. Peningkatan studi teologi
17. Metode pendidikan yang cocok dalam pelbagai vak
18. Studi khusus bagi mereka yang berbakat tinggi
VI. Pembinaan pastoral
19. Pembinaan dalam pelbagai bentuk reksa pastoral
20. Pembinaan untuk pengembangan kerasulan
21. Melatih diri melalui praktek pastoral
22. VII. Pembinaan seusai studi
PENUTUP
11. PERNYATAAN “GRAVISSIMUM EDUCATIONIS”
TENTANG PENDIDIKAN KRISTEN
Pendahuluan
1. Hak semua orang atas pendidikan
2. Pendidikan kristen
3. Mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan
4. Aneka upaya untuk melayani pendidikan kristen
5. Pentingnya sekolah
6. Kewajiban dan hak-hak orang tua
7. Pendidikan moral dan keagamaan disekolah
8. Sekolah-sekolah katolik
9. Berbagai macam sekolah katolik
10. Fakultas dan universitas katolik
11. Fakultas teologi
12. Koordinasi di bidang persekolahan
Penutup
PERNYATAAN “NOSTRA AETATE”
TENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTEN
1. Pendahuluan
2. Berbagai agama bukan kristen
3. Agama Islam
4. Agama Yahudi
5. Persaudaraan semesta tanpa diskriminasi
S I D A N G VIII (18 November 1965)
KONSTITUSI DOGMATIS “DEI VERBUM”
TENTANG WAHYU ILAHI
PENDAHULUAN
BAB I : TENTANG WAHYU SENDIRI
2. Hakekat wahyu
3. Persiapan wahyu Injili
4. Kristus kepenuhan wahyu
5. Menerima wahyu dalam iman
6. Kebenaran-kebenaran yang diwahyukan
BAB II : MENERUSKAN WAHYU ILAHI
7. Para Rasul dan pengganti mereka sebagai pewarta Injil
8. Tradisi suci
9. Hubungan antara Tradisi dan Kitab suci
10. Hubungan keduanya dengan seluruh Gereja dan Magisterium
12. BAB III : ILHAM ILAHI KITAB SUCI DAN PENAFSIRAN
11. Fakta ilham dan kebenaran Kitab suci
12. Bagaimana Kitab suci harus ditafsirkan
13. Turunnya Allah
BAB IV : PERJANJIAN LAMA
14. Sejarah keselamatan dalam kitab-kitab Perjanjian Lama
15. Arti Perjanjian Lama untuk umat kristen
16. Kesatuan antara kedua perjanjian
BAB V : PERJANJIAN BARU
17. Keluhuran Perjanjian Baru
18. Asal-usul Injil dari para Rasul
19. Sifat historis Injil
20. Kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya
BAB VI : KITAB SUCI DALAM KEHIDUPAN GEREJA
21. Gereja menghormati kitab-kitab suci
22. Dianjurkan terjemahan-terjemahan yang tepat
23. Tugas kerasulan para ahli katolik
24. Pentingnya Kitab suci bagi teologi
25. Dianjurkan pembacaan Kitab suci
26. Akhir kata
DEKRIT “APOSTOLICAM ACTUOSITATEM”
TENTANG KERASULAN AWAM
PENDAHULUAN
BAB I : PANGGILAN KAUM AWAM UNTUK MERASUL
2. Keikut-sertaan awam dalam perutusan Gereja
3. Asas-asas kerasulan awam
4. Spiritualitas awam dalam tata kerasulan
BAB II : TUJUAN-TUJUAN YANG HARUS DICAPAI
5. Pendahuluan
6. Kerasulan dimaksudkan untuk mewartakan Injil dan menyucikan
umat manusia
7. Pembaharuan tata dunia secara kristen
8. Amal kasih, meterai kerasulan kristen
BAB III : PELBAGAI BIDANG KERASULAN
9. Pendahuluan
10. Jemaat-jemaat gerejawi
11. Keluarga
12. Kaum muda
13. Lingkungan sosial
14. Bidang-bidang nasional dan internasional
BAB IV : BERBAGAI CARA MERASUL
13. 15. Pendahuluan
16. Pentingnya aneka bentuk kerasulan perorangan
17. Kerasulan awam dalam situasi-situasi tertentu
18. Pentingnya kerasulan yang terpadu
19. Aneka bentuk kerasulan terpadu
20. “Aksi Katolik”
21. Pengharapan terhadap organisasi-organisasi
22. Kaum awam yang secara istimewa berbakti kepada gereja
BAB V : TATA-TERTIB YANG HARUS DIINDAHKAN
23. Pendahuluan
24. Hubungan-hubungan dengan hirarki
25. Bantuan para imam bagi kerasulan awam
26. Upaya-upaya yang berguna bagi kerja sama
27. Kerja sama dengan umat kristen dan umat beragama lain
BAB VI : PEMBINAAN UNTUK MERASUL
28. Perlunya pembinaan untuk merasul
29. Dasar-dasar pembinaan awam untuk kerasulan
30. Mereka yang wajib membina sesama untuk kerasulan
31. Upaya-upaya yang digunakan
AJAKAN
S I D A N G I X (7 Desember 1965)
PERNYATAAN “DIGNITATIS HUMANAE”
TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA
PENDAHULUAN
I : AJARAN UMUM TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA
2. Objek dan dasar kebebasan beragama
3. Kebebasan beragama dan hubungan manusia dengan Allah
4. Kebebasan jemaat-jemaat keagamaan
5. Kebebasan beragama dan keluarga
6. Tanggung jawab atas kebebasan beragama
7. Batas-batas kebebasan beragama
8. Pembinaan penggunaan kebebasan
II : KEBEBASAN BERAGAMA DALAM TERANG WAHYU
9. Ajaran tentang kebebasan beragama berakar dalam Wahyu
10. Kebebasan dan Faal iman
11. Cara bertindak Kristus dan para Rasul
12. Gereja menempuh jalan Kristus dan para rasul
13. Kebebasan Gereja
14. Peranan Gereja
15. Penutup
14. DEKRIT “AD GENTES”
TENTANG KEGIATAN MISIONER GERAJA
PENDAHULUAN
BAB I: ASAS-ASAS AJARAN
2. Rencana Bapa
3. Perutusan Putera
4. Perutusan Roh Kudus
5. Gereja diutus oleh Kristus
6. Kegiatan misioner
7. Alasan dan perlunya kegiatan misioner
8. Kegiatan misioner dalam hidup dan sejarah umat manusia
9. Sifat eskatologis kegiatan misioner
BAB II : KARYA MISIONER SENDIRI
10. Pendahuluan
Art I. Kesaksian kristen
11. Kesaksian hidup dan dialog
12. Kehadiran cinta kasih
Art II. Pewartaan Injil dan penghimpunan umat Allah
13. Pewartaan Injil dan pertobatan
14. Katekumenat dan inisiasi kristen
Art III. Pembinaan jemaat kristen
15. Pembinaan jemaat kristen
16. Pengadaan klerus setempat
17. Pendidikan para katekis
18. Pengembangan hidup religius
BAB III : GEREJA-GEREJA KHUSUS
19. Kemajuan Gereja-Gereja muda
20. Kegiatan misioner Gereja-Gereja khusus
21. Pengembangan kerasulan awam
Kemacam-ragaman dalam kesatuan
BAB IV : PARA MISIONARIS
23. Panggilan misioner
24. Spiritualitas misioner
25. Pembinaan rohani dan moral
26. Pembinaan dalam ajaran dan kerasulan
27. Lembaga-lembaga yang berkarya di daerah-daerah misi
BAB V : PENGATURAN KARYA MISIONER
28. Pendahuluan
29. Organisasi umum
30. Organisasi setempat di daerah Misi
31. Koordinasi pada tingkat Regio
32. Organisasi kegiatan Lembaga-Lembaga
33. Koordinasi antara Lembaga-Lembaga
34. Koordinasi antara Lembaga-Lembaga ilmiah
15. BAB VI : KERJA SAMA
35. Pendahuluan
36. Kewajiban misioner segenap umat Allah
37. Kewajiban misioner jemaat-jemaat kristen
38. Kewajiban misioner para imam
39. Kewajiban misioner tarekat-tarekat religius
40. Kewajiban misioner kaum awam
PENUTUP
DEKRIT “PRESBYTERORUM ORDINIS”
TENTANG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM
PENDAHULUAN
BAB I : IMAMAT DALAM PERUTUSAN GEREJA
2. Hakekat imam
3. Situasi para imam di dunia
BAB II : PELAYANAN PARA IMAM
I. Fungsi para imam
4. Para imam, pelayan sabda Allah
5. Para imam, pelayan Sakramen-Sakramen dan Ekaristi
6. Para imam, pemimpin umat Allah
II. Hubungan para imam dengan sesama
7. Hubungan para Uskup dengan para imam
8. Persatuan persaudaraan dan kerja sama antara para imam
9. Hubungan para imam dengan kaum awam
III. Penyebaran para imam dan panggilan-panggilan imam
10. Penyebaran para imam
11. Usaha para imam untuk mendapat panggilan-panggilan imam
BAB III : KEHIDUPAN PARA IMAM
I. Panggilan para imam untuk kesempurnaan
12. Panggilan para imam untuk kesucian
13. Pelaksanaan ketiga fungsi imamat menuntut dan sekaligus
mendukung kesucian
14. Keutuhan dan keselarasan kehidupan para imam
II. Tuntutan-tuntutan rohani yang khas dalam kehidupan imam
15. Kerendahan hati dan ketaatan
16. Selibat : diterima dan dihargai sebagai kurnia
17. Sikap terhadap dunia dan harta duniawi. Kemiskinan sukarela
III. Upaya-upaya yang mendukung kehidupan para imam
18. Upaya-upaya untuk mengembangkan hidup rohani
19. Studi dan ilmu pastoral
21. Balas jasa yang wajar bagi para imam
22. Pembentukan kas umu, dan pengadaan jaminan sosial bagi para imam
KATA PENUTUP DAN AJAKAN
16. KONSTITUSI PASTORAL “GAUDIUM ET SPES”
TENTANG GEREJA DALAM DUNIA MODERN
PENDAHULUAN
1. Hubungan erat antara Gereja dan segenap keluarga bangsa-bangsa
2. Kepada siapa amanat Konsili ditujukan?
3. Pengabdian kepada manusia
PENJELASAN PENDAHULUAN : KENYATAAN MANUSIA DI DUNIA MASA KINI
4. Harapan dan kegelisahan
5. Perubahan situasi yang mendalam
6. Perubahan-perubahan dalam tata masyarakat
7. Perubahan-perubahan psikologis, moral dan keagamaan
8. Berbagai ketidak-seimbangan dalam dunia sekarang
9. Aspirasi-aspirasi umat manusia yang makin universal
10. Pertanyaan-pertanyaan mendalam umat manusia
BAGIAN I : GEREJA DAN PANGGILAN MANUSIA
11. Menanggapi dorongan Roh Kudus
BAB I : MARTABAT PRIBADI MANUSIA
12. Manusia diciptakan menurut gambar Allah
13. Dosa manusia
14. Kodrat manusia
15. Martabat akalbudi, kebenaran dan kebijaksanaan
16. Martabat hati nurani
17. Keluhuran kebebasan
18. Rahasia maut
19. Bentuk-bentuk dan akar-akar ateisme
20. Ateisme sistematis
21. Sikap Gereja menghadapi ateisme
22. Kristus Manusia Baru
BAB II : MASYARAKAT MANUSIA
23. Maksud Konsili
24. Sifat kebersamaan panggilan manusia dalam rencana Allah
25. Pribadi manusia dan masyarakat manusia saling tergantung
26. Memajukan kesejahteraan umum
27. Sikap hormat terhadap pribadi
28. Sikap hormat dan cinta kasih terhadap lawan
29. Kesamaan hakiki antara semua orang dan keadilan sosial
30. Etika individualis harus diatasi
31. Tanggung jawab dan keikut-sertaan
32. Sabda yang menjelma dan solidaritas manusia
BAB III : KEGIATAN MANUSIA DISELURUH DUNIA
33. Masalah-persoalannya
34. Nilai kegiatan manusiawi
35. Norma kegiatan manusia
36. Otonomi hal-hal duniawi yang sewajarnya
37. Kegiatan manusia dirusak karena dosa
38. Dalam misteri Paska kegiatan manusia mencapai kesempurnaannya
39. Bumi baru dan langit baru
17. BAB IV: PERANAN GEREJA DALAM DUNIA JAMAN SEKARANG
40. Hubungan timbal balik antara Gereja dan dunia
41. Bantuan yang oleh Gereja mau diberikan kepada setiap orang
42. Bantuan yang diusahakan oleh Gereja untuk diberikan kepada
masyarakat manusia
43. Bantuan yang diusahakan oleh Gereja melalui umat Kristen bagi
kegiatan manusiawi
44. Bantuan yang diperoleh Gereja dari dunia jaman sekarang
45. Kristus, Alfa dan Omega
BAGIAN II : BEBERAPA MASALAH YANG AMAT MENDESAK
PENDAHULUAN
BAB I : MARTABAT PERKAWINAN DALAM KELUARGA
47. Perkawinan dan keluarga dalam dunia jaman sekarang
48. Kesucian perkawinan dalam keluarga
49. Cinta kasih suami-istri
50. Kesuburan perkawinan
51. Penyelarasan cinta kasih suami-istri dengan sikap hormat terhadap
hidup manusiawi
52. Pengembangan perkawinan dan keluarga merupakan tugas semua
orang
BAB II: PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN
Pendahuluan
Art I Situasi kebudayaan pada jaman sekarang
54. Pola-pola hidup yang baru
55. Manusia pencipta kebudayaan
56. Kesukaran-kesukaran dan tugas-tugas
Art II Berbagai kaidah untuk dengan tepat mengembangkan kebudayaan
57. Iman dan kebudayaan
58. Hubungan antara Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan
manusia
59. Mewujudkan keserasian berbagai nilai dalam pola-pola kebudayaan
Art III Beberapa tugas umat kristen yang cukup mendesak tentang
kebudayaan
60. Hak atas buah-hasil kebudayaan hendaknya diakui oleh semua dan
diwujudkan secara nyata
61. Pendidikan untuk kebudayaan manusia seutuhnya
62. Menyelaraskan kebudayaan manusia dan masyarakat dengan
pendidikan kristen
BAB III: KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI
63. Beberapa segi kehidupan ekonomi
Art I Perkembangan ekonomi
64. Perkembangan ekonomi melayani manusia
65. Kemajuan ekonomi dikendalikan oleh manusia
66. Perbedaan-perbedaan besar dibidang sosial ekonomi perlu disingkirkan
Art II Beberapa prinsip yang mengatur seluruh kehidupan sosial ekonomi
67. Kerja, Persyaratan kerja, istirahat
68. Peran-serta dalam tanggung jawab atas perusahaan dan seluruh
pengaturan perekonomian; konflik-konflik mengenai kerja
69. Harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang
70. Penanaman modal dan masalah moneter
18. 71. Soal memperoleh harta-milik dan milik perorangan; masalah tuan
tanah
72. Kegiatan sosial ekonomi dan Kerajaan Kristus
BAB IV: HIDUP BERNEGARA
73. Kehidupan umum jaman sekarang
74. Hakekat dan tujuan negara
75. Kerja sama semua orang dalam kehidupan umum
76. Negara dan gereja
BAB V: USAHA DEMI PERDAIAN DAN PEMBENTUKAN PERSEKUTUAN
BANGSA-BANGSA
Pendahuluan
78. Hakekat perdamaian
Art I Menghindari perang
79. Keganasan perang harus dikendalikan
80. Perang total
81. Perlombaan senjata
82. Larangan mutlak terhadap perang, dan kegiatan internasional untuk
mencegah perang
Art II Pembangunan masyarakat internasional
83. Sebab-musabab perpecahan dan cara mengatasinya
84. Persekutuan bangsa-bangsa dan lembaga-lembaga internasional
85. Kerja sama internasional dibidang ekonomi
86. Beberapa pedoman yang sesuai untuk jaman sekarang
87. Kerja sama internasional sehubungan dengan pertambahan penduduk
88. Peranan umat kristen dalam pemberian bantuan
89. Kehadiran Gereja yang efektif dalam masyarakat internasional
90. Peranan orang-orang kristen dalam lembaga-lembaga internasional
PENUTUP
91. Tugas setiap orang beriman dan Gereja-Gereja khusus
92. Dialog antara semua orang
93. Membangun dunia dan mengarahkannya kepada tujuannya
INDEKS ANALITIS
LAMPIRAN
1. BEBERAPA PERISTIWA PENTING SELAMA KONSILI VATIKAN II
2. KONSILI-KONSILI EKUMENIS
19. KATA PENGANTAR
Ketua Presidium KWI
Ketika persediaan buku Tonggak Sejarah Pedoman Arah, dokumen Konsili Vatikan II
terbitan Departemen Dokumentasi dan Penerangan MAWI tahun 1983 mulai menipis
jumlahnya, telah dipikirkan masak-masak oleh KaDokPen KWI, apakah akan mencetak
ulang ataukah justru mengusahakan sekaligus adanya suatu terjemahan baru. Mengingat
buku tersebut disana-sini dirasa perlu disempurnakan terjemahannya, baik yang
menyangkut judul, ungkapan maupun isi, maka dianggap mendesak adanya terjemahan
baru.
Semula dipikirkan oleh KaDokPen KWI, dokumen tersebut akan diterjemahkan oleh sebuah
team yang terdiri dari beberapa teolog dosen STFT dan STFKAT dari berbagai daerah
diseluruh Indonesia. Namun cita-cita tersebut ternyata sulit dilaksanakan, karena tidak
mudah menemukan dikalangan mereka seseoarang yang mempunyai waktu dan bersedia
menterjemahkan dokumen tersebut.
Presidium bersyukur bahwa Pater R. Hardawiryana SJ yang semula diharapkan menjadi
koordinator para penterjemah akhirnya bersedia menjadi penterjemah tunggal. Pada rapat
tanggal 18 s/d 20 April 1990, Presidium menyetujui usulan KaDokPen agar Pater R.
Hardawiryana SJ, akan menterjemahkan seluruh dokumen Vatikan II, sedikit demi sedikit.
Untuk tahap pertama, setiap kali satu dokumen selesai diterjemahkan, langsung
diterbitkan oleh DOKPEN KWI sebagai Seri Dokumen Gerejani, kemudian disebar, sambil
mohon agar mereka yang telah membaca, dan memakai untuk sarana perkuliahan,
seminar dls., berkenan menyampaikan koreksi dan usulan penyempurnaan. Setelah semua
dokumen selesai diterjemahkan, sertakoreksi telah masuk pula, seluruh dokumen akan
dicetak ulang menjadi satu kesatuan, setelah diperiksa ulang oleh para ahli yang
berkompeten.
Kami bergembira bahwa akhirnya dapat diterbitkan seluruh dokumen Konsili Vatikan II
dalam satu buku. Semoga buku baru ini dapat melayani kebutuhan Gereja Indonesia,
karena buku lama telah habis. Dengan semakin sempurna diterjemahkan, inspirasi
semangat dan ajaran Konsili Vatikan II yang kita hargai bersama itu dapat semakin baik
dibaca, ditangkap, direnungkan, dan diresapkan.
Dalam kesempatan ini, tak lupa kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Pater R. Hardawiryana SJ yang telah begitu banyak menyisihkan waktu
karena berkenan menjadi penerjemah tunggal. Demikian pula kepada DOKPEN KWI serta
semua pihak yang turut serta dalam usaha penerbitan buku baru ini, kami ucapkan
banyak terima kasih. Setiap saran, koreksi dan usulan perbaikan tidak hanya kami terima
dengan senang hati, melainkan juga sangat kami harapkan.
Jakarta, 2 Februari 1993
Mgr. J. Darmaatmadja. SJ
Ketua Presidium KWI
20. KATA PENGANTAR DOKPEN KWI
Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II telah diterjemahkan secara lengkap atas
mandat dari MAWI (KWI) oleh Bapak Dr. J. Riberu yang pada waktu itu menjabat sebagai
Kepala Dokpen MAWI. Terjemahan ini terbit menjadi satu buku pada permulaan tahun
1984 dan sampai dengan tahun 1992 telah mengalami cetak ulang beberapa kali. Dalam
cetakan ulang judul buku diubah dengan judul yang lebih tepat : “DOKUMEN KONSILI
VATIKAN II. Tonggak Sejarah, Pedoman Arah”. Tak dapat disangkal bahwa buku ini dipakai
secara luas diseluruh Indonesia, tidak hanya dikalangan umat Katolik tetapi juga yang
bukan Katolik.
Sementara itu, dirasakan oleh para pemakai bahwa dalam terjemahan ini terdapat
pelbagai kelemahan dan ketidaktepatan: judul buku, bahasa, kosakata dan sebagainya.
Presidium KWI akhirnya dalam rapatnya tanggal 18 s/d 20 April 1990 memutuskan supaya
seluruh dokumen itu diterjemahkan sekali lagi dengan melibatkan sebanyak mungkin ahli,
sehingga terjemahan baru tersebut dapat lebih sempurna dan diterima oleh seluas
mungkin pemakai. Tugas ini diserahkan kepada Departemen Dokumentasi dan Penerangan
(DOKPEN) KWI.
Setelah semua teolog dari STFT dan STF yang ada di Indonesia di Hubungi, ternyata
hampir tak ada yang sanggup untuk membantu menterjemahkannya. Syukur kepada
Tuhan, bahwa Rama R. Hardawiryana, SJ menyanggupkan diri untuk melakukannya
sedikit demi sedikit. Sekarang pekerjaan besar dan berat itu sudah selesai dan sementara
itu sudah diterbitkan secara periodik dalam Dokumen Gerejawi yang diterbitkan oleh
DOKPEN KWI. Dan sekarang buku yang ada di tangan Anda ini menjadi bukti kerja keras
tadi. Kita patut berterimakasih yang sebesar-besarnya kepadanya.
Bahaya dari penerjemahan tunggal ini ialah bahwa kemungkinan untuk berbuat
salah menjadi cukup besar. Hal ini kami coba imbangi dengan mengundang para pemakai,
khususnya para ahli, untuk menyampaikan penyempurnaannya kepada penerjemah atau
kepada kami selaku koordinator. Keuntungan dari penerjemahan tunggal ialah bahwa
mutu dan gaya bahasa serta kadar ketelitian dapat dipertanggungjawabkan dalam seluruh
dokumen; sesuatu yang agak sulit dipertahankan bila dokumen yang sama diterjemahkan
oleh banyak orang.
Akhirnya kami berharap bahwa para pemakai dapat merasakan bahwa terjemahan
baru ini sungguh lebih baik dari yang lama dan buku ini dapat lebih berguna bagi
keberadaan Gereja Katolik di Indonesia dalam, bersama dengan umat lain, bergereja,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tercinta ini.
Jakarta, 17 Februari 1993
Alfons S. Suhardi, OFM
KADOKPEN KWI
21. KONSILI VATIKAN II : 1962 – 1965
Konsili Vatikan II merupakan Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Antara
tgl. 11 Oktober 1962 dan tgl. 8 Desember 1965 diadakan empat periode sidang. Jumlah
Uskup yang hadir lebih banyak dan berasal dari lebih banyak negara daripada yang
menghadiri Konsili-Konsili sebelumnya(1). Jumlah dokumen yang dihasilkannyapun lebih
banyak, dan dampak-pengaruhnya atas kehidupan Gereja katolik lebih besar dari peristiwa
manapun sesudah jaman reformasi pada abad XVI.
PERSIAPAN
Baik Paus Pis XI (1922-1939) maupun Paus Pius XII (1939-1958) pernah berfikir
tentang membuka kembali Konsili Vatikan I (1869-1870), yang karena pecahnya perang
antara Perancis dan Prusia (Jerman) terpaksa dihentikan secara mendadak (2). Tetapi Paus
Yohanes XXIII-lah yang mengejutkan umat katolik sedunia dengan maklumat beliau yang
penuh optimisme pada tgl. 25 Januari 1959, bahwa beliau bermaksud mengundang suatu
Konsili (3). Yang beliau maksudkan bukan sekedar melanjutkan Konsili Vatikan I,
melainkan menyelenggarakan Konsili yang baru sama sekali (4). Beliau mengharapkan
Konsili akan mengajak Gereja semesta mengevaluasi kehidupan serta pelaksanaan misinya.
Ada tiga sasaran yang mau dicapai, yakni : pembaharuan rohani dalam terang injil,
penyesuaian dengan masa sekarang (“aggiornamento”) untuk menanggapi tantangan-
tantangan zaman modern(5), dan pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat
kristen (6).
Persiapan Konsili dimulai dengan undangan yang ditujukan kepada semua Uskup
diseluruh dunia, para pemimpin tarekat-tarekat imam religius, universitas-universitas serta
fakultas-fakultas katolik, dan para anggota Kuria Romawi, untuk mengemukakan saran-
saran mereka bagi permusyawarahan dan penyusuanan acar Konsili. Disepanjang sejarah
Gereja belumpernah diadakan konsultasi seluas itu (7). Hasilnya ialah lebih dari 9300
saran. Seluruh bahan itu dipilah-pilah, didaftar, dan dibagi-bagikan kepada sepuluh komisi
persiapan, yang oleh Paus Yohanes diangkat pada tgl. 5 Juni 1960 untuk menyiapkan
konsep-konsep naskah (“schemata”) untuk dibahas dalam Konsili.
Komisi-komisi mengadakan rapat-rapat kerja antara bulan November 1960 dan
bulan Juni 1962, dan menghasilkan lebih dari 70 naskah yang kemudian dirangkum
menjadi sekitar 20 naskah. Setiap naskah diperiksa oleh Komisi Persiapan Pusat,
1
Pada Pembukaan Konsili hadirlah 2540 Bapa Konsili. Baiklah dikenangkan pula dampak relatif cukup besar
29 pengamat dari 17 Gereja lain dan undangan yang bukan katolik, para pendengar pria maupun wanita,
perhatian besar media cetak, dan makin banyak tersedianya informasi tentang Konsili.
2 Tentang Konsili Vatikan I, lihat : H. Jedin, “Sejarah Konsili”, Yogyakarta: Kanisius 1973, hlm.111-138; T.
Jacobs, “Latar Belakang dekat Konsili Vatikan II”, khususnya hlm.60-63
3 Paus Yohanes XXIII, Konstitusi apostolik “Humanae Salutis”, tgl. 25 Desember 1961, memandang sebagai
suatu motivasi untuk mengundang Konsili; membuka kemungkinan bagi Gereja untuk memberi sumbangan
efektif demi pemecahan soal-soal zaman modern.
4
Dalam konstitusi apostolik “Humanae Salutis”, tgl. 25 Desember 1961Paus Yohanes XXIII mencetuskan
harapan beliau: semoga Konsili Vatikan II merupakan ulangan Pentekosta bagi umat kristen. Juga dogma-
dogma Tradisi Gereja ditempatkan dalam konteks baru dan ditafsirkan secara baru.
5
Paus Paulus VI pada sidang terakhir Konsili mengartikan “aggiornamento” sebagai usaha untuk makin mendalami
semangat Konsili dan penerapan setia norma-norma yang digariskan.
6
Amanat Paus Yohanes XXIII pada pembukaan Konsili, tgl. 11 Oktober 1962, antara lain menekankan perlunya
meningkatkan persatuan kristen, bahkan seluruh “keluarga manusia”. Maksud itu terungkap dengan jelas
misalnya ketika pada tgl.5 Januari 1964 Paus Paulus VI dalam kunjungan beliau ke Tanah Suci merangkul
Atenagoras, Patriark Ortodoks utama dari Gereja Timur. Peristiwa lain: pernyataan bersama, yang
diumumkan di Istanbul dan di Vatikan pada tgl. 7 Desember 1965, tentang peristiwa-peristiwa pada tahun
1054, yang menimbulkan perpecahan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks di Istanbul.
“Pernyataan Katolik-Ortodoks” itu mengungkapkan kerinduan akan persekutuan makin penuh antara Gereja
di Istanbul dan Gereja katolik.
7
Konstitusi apostolik Paus Yohanes XXIII “Humanae Salutis”, tgl. 25 Desember 1961, menampilkan pentingnya konsultasi
seluas itu dalam proses persiapan Konsili.
22. diperbaiki dengan memperhatikan catatan-catatan yang dilampirkan, dan akhirnya
dimohonkan persetujuan Paus. Pada musim panas tahun 1962 sejumlah naskah diedarkan
diantara para Uskup sedunia sebagai bahan untuk periode Sidang yang akan dimulai pada
musim gugur.
SIDANG PERTAMA
Konsili Vatikan II menyelenggarakan empat periode sidang, yakni: 11 Oktober – 8
Desember 1962, 29 September – 4 Desember 1963, 14 September – 21 November 1964, dan
14 September – 8 Desember 1965. Dalam uraian pengantar ini tidak mungkin memaparkan
ikhtisar sejarah Konsili(8). Tetapi baiklah disajikan catatan tentang periode Sidang Pertama,
yang paling dramatis dan paling penting. Suasana dan keputusan-keputusan yang diambil
ketika itu menggariskan haluan dasar seluruh Konsili. Ada empat moment yang
mempunyai relevansi khas.
Momen relevan yang pertama ialah Amanat Pembukaan yang disampaikan oleh Paus
Yohanes XXIII pada tgl.11 Oktober 1962. Beliau mendesak supaya Konsili menempuh arah
pastoral (9). Menghadapi dunia yang memerlukan uluran belaskasihan(10). Bukan maksud
utamanya untuk mengulang-ulangi saja apa yang jelas sudah merupakan ajaran katolik,
atau melontarkan kecaman-kecaman (“anathema”) terhadap kesesatan-kesesatan. Kendati
mendesaknya tantangan-tantangan zaman, para Uskup diundang untuk menjauhkan sikap
murung terhadap dunia modern, dan untuk merenungkan : mungkinkah Allah justru
hendak memulai suatu era baru dalam sejarah manusia? Mereka diharapkan membedakan
antara pokok-pokok iman disatu pihak, dan dipihak lain cara-cara mengungkapkannya
yang tergantung juga dari situasi dan kondisi yang silih berganti, serta bagaimanapun juga
harus menanggapinya. Jadi soal utama ialah : bagaimana pusaka iman diungkapkan
dalam konteks situasi masa kini, untuk sungguh menyentuh hati manusia zaman sekarang
dan memecahkan masalah-masalahnya yang aktual.
Momen kedua yang relevan ialah : ketika pada sidang kerja pertama para Uskup
menyatakan tidak bersedia untuk begitu saja menerima para anggota komisi-komisi
Konsili, yang disodorkan dalam daftar yang sudah siap, melainkan memutuskan untuk
memilih sendiripara anggota komisi-komisi. Ketika itu peristiwa itu dianggap
mengungkapkan, bahwa cukup banyak Uskup tidak setuju dengan nada dan isi pokok
banyak naskah yang telah disiapkan. Mereka menginginkan waktu secukupnya untuk
saling mengenal, dan memilih para anggota komisi-komisi, sehingga tidak begitu saja
diulangi tekanan-tekanan naskah-naskah persiapan.
Momen ketiga yang sinyifikatif ialah perdebatan Konsili tentang Skema mengenai
Liturgi. Diskusi itu mencerminkan, bahwa mayoritas para Uskup mendukung ajakan Paus
untuk membaharui kehidupan Gereja. Maksud mereka makin jelas, ketika dimulai
perdebatan tentang Skema “Tentang Sumber-Sumber Pewahyuan”. Teks itu oleh banyak
Uskup dikritik dengan tajam sekali, dan pada pemungutan suara menjelang akhir diskusi
lebih dari 60% menghendaki agar Skema dibatalkan.
Meskipun jumlah suara itu tidak mencukupi untuk mengembalikan Skema, Paus
Yohanes memerintahkan perombakannya sama sekali. Momen keempat yang dramatis itu
menampilkan maksud mayoritas para Uskup untuk menempuh haluan, yang dalam
berbagai aspek menyimpang dari sikap-sikap dan strategi-strategi, yang menandai
Katolisisme Romawi selama 150 tahun sebelumnya.
Paus Yohanes XXIII meninggal pada bulan Juli 1963, dan digantikan oleh Paus
Paulus VI. Salah satu tindakan Paus baru yakni : mengumumnkan bahwa Konsili akan
dilanjutkan, dan harus tetap mengikuti haluan yang telah digariskan oleh Paus Yohanes
dan dikukukhkan selama periode Sidang I. Selama tiga periode Sidang berikut yang
diketuai oleh Paus Paulus VI terlaksanalah karya pokok Konsili.
8
Lihat : Daftar “Beberapa Peristiwa Penting Selama Konsili Vatikan II”.
9 Menurut “Presbyterorum Ordinis” 12, tujuan pastoral Konsili ialah : 1) Pembaharuan Gereja, 2) pewartaan Injil
diseluruh dunia, dan 3) dialog dengan dunia modern.
10 Amanat Paus Paulus VI pada hari raya Natal 1965 menggarisbawahi, bahwa suasana dominan selama Konsili
diilhami oleh gambaran Injili tentang Gembala Baik, yang tidak berhenti mencari sebelum menemukan domba
yang sesat.
23. DOKUMEN-DOKUMEN KONSILI
Konsili Vatikan II menghasilkan enam belas dokumen, yakni empat Konstitusi
(tentanag Liturgi, tenteng Gereja, tentang Wahyu Ilahi, dan tentang Gereja dalam Dunia
Modern), sembilan Dekrit (tentang Upaya-Upaya komunikasi sosial, tentang Gereja-Gereja
Timur Katolik, tentang Ekumenisme, tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja,
tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, tentang Pembinaan Imam, tentang
Kerasulan Awam, tentang Kegiatan Misioner Gereja, dan tentang Pelayanan dan Kehidupan
para Imam), dan tiga Pernyataan (tentang Pendidikan Kristen, tentang Hubungan Gereja
dengan Agama-agama Bukan Kristen, dan tentang Kebebasan Beragama). Judul-judul itu
sudah menampakkan, betapa luaslah jangkauan Konsili.
Dokumen utama Konsili ialah Konstitusi dogmatis tentang Gereja (“LumenGentium”)
(11). Titik tolaknya ialah Eklesiologi resmi yang dominan menjelang Konsili, dan ditandai
dengan tekanan pada dimensi-dimensi kelembagaan Gereja (12). Konstitusi mulai dengan
pandangan tentang Gereja sebagai Misteri, sebagai persekutuan beriman, yang dipanggil
untuk ikut menghayati hidup Tritunggal maha kudus. Persekutuan dalam Allah itu
memperbuahkan persekutuan antara para anggota Gereja, yang menjadikan mereka umat
Allah, Tubuh Kristus dan Kenisah Roh Kudus. Dalam satu Gereja dimensi Ilahi dan
manusiawi menciptakan suatu gejala sosial tersendiri, Gereja Kristus yang “berada dalam”
Gereja Katolik Romawi, kendati banyak unsur-unsurnya yang baku terdapat juga diluar
batas-batasnya yang kelihatan (13).
Selanjutnya “Lumen Gentium” menguraikan, bahwa dalam Gereja sebagai umat Allah
terwujudlah Misteri dalam kurun sejarah antara Kenaikan Kristus ke Sorga dan
Kedatangan-Nya pada akhir zaman (14). Ditekankan kesejahteraan fundamental martabat
para anggota, yang mendasari pembedaan-pembedaan antara hirarki, kaum awam dan
para religius. Orang menjadi warga penuh dalam Gereja, bila ia memiliki Roh Kristus, dan
berada dalam persekutuan iman, Sakramen – Sakramen, dan tata-laksana serta struktur
Gerejawi. Gereja itu bersifat “ katolik”, artinya : menjangkau semua bangsa dan
kebudayaan, dipanggil untuk menghimpunnya dibawah Kristus Tuhan, dan untuk
memperkaya Gereja semesta melalui pertukaran timbal balik sumber-sumber budaya
pelbagai bangsa. Dalam Konstitusi ini dan dalam dokumen-dokumen Konsili kuat-kuat
menekankan teologi Gereja setempat; dengan kata lain : prinsip, bahwa misteri Gereja
selalu diwujudkan dalam jemaat-jemaat setempat, paroki-paroki, keuskupan-keuskupan,
wilayah-wilayah geografis dan budaya yang lebih luas. Perspektif itu khususnya nampak
dengan jelas dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (“Ad Gentes”).
Perspektif teologis dan rohani dua bab pertama “Lumen Gentium” dijabarkan dalam
Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi (“Dei Verbum”) dan Konstitusi tentang Liturgi
(“Sacrosanctum Consilium”) (15). “Dei Verbum” memandang perwahyuan sebagai komunikasi
diri Allah melalui sabda dan karya-Nya, yang mencapai kesempurnaannya dalam Yesus
Kristus. Perwahyuan pembawa penebusan itu disalurkan melalui Kitab Suci dan Tradisi.
Dalam uraiannya tentang kedua pengantara perwahyuan itu Konsili menekankan peranan
sentral Kitab suci, dan mendukung sahnya penelitian modern secara kritis ilmiah.
Digarisbawahi pula peranan Tradisi, yang dimengerti sebagai proses hidup menerima serta
menafsirkan Kitab suci dalam kenyataan hidup Gereja sehari-hari.
11
Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan pokok …”, hlm.25-38. Suatu “Skematisasi” dokumen-dokumen Konsili
Vatikan II dalam tiga bagian (pemahaman diri Gereja, pendalaman tentang hidup Gereja sendiri, dan
pendalaman tentang misi Gereja): lih. Martadiatmaja, “Gagasan-gagasan Dogmatik …”, hlm.10-11.
12
“Lumen Gentium”, dan karena itu seluruh Eklesiologi Vatikan II, dikembangkan berpangkal pada pandangan
“Mystici Corporis”, seperti dirumuskan dalam skema I tentang Gereja. “Vatikan II memang membuka
pandangan baru terhadap Gereja, tetapi tidak menolak yang lama”, bdk. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok
…”, hlm.44.
13
Lih. LG.8; bdk. UR.3.
14
Seperti terungkap dalam Bab I dan II, pandangan baru tentang Gereja berarti, Suatu sentralisasi vertikal pada
Kristus dan suatu desentralisasi horisontal pada umat Allah”, Y. Congar, “L’Eglise : De saint Augustin a
I’epoque modernr:, Paris : Cerf 1970, hlm.473.
15
Tentang bagaimana “Sacrosanctum Concilium” melengkapi “Lumen Gentium”, lihat T. Jacobs, “Gagasan-
gagasan Pokok …”, hlm. 28.
24. Sesudah pengantar teologis tentang peranan Liturgi dan khususnya Ekaristi suci
yang bagi Gereja penting sekali, Konstitusi “Sacrosanctum Concilium” menggariskan
prinsip-prinsip pembaharuan hidup liturgis Gereja secara mendalam. Upacara-upacar
perlu diperbaharui sedemikian rupa, sehingga lebih jelas melambangkan misteri
penyelamatan dan memungkinkan partisipasi aktif yang lebih penuh oleh semua warga
Gereja.
Seusai pembahasan Gereja sebagai Misteri dan Umat Allah, “Lumen Gentium”
mengarahkan perhatian kepada penggolongan anggota Gereja. Bab III menguraikan
peranan hirarki (16), khususnya episkopat, dengan maksud mengimbangi tekanan Konsili
Vatikan I pada wewenang dan “tidak dapat sesatnya” (“infallibilitas”) Paus, dengan
menempatkan pelayanan kesatuan dalam konteks lebih luas Dewan para Uskup. Diajarkan
sifat sakramental episkopat, begitu pula tanggung jawab Uskup atas Gereja setempat dan
atas kesejahteraan Gereja semesta. Ajaran Konsili Vatikan I tentang Wewenang Mengajar
(“Magisterium”) diulangi, tetapi sekaligus ditafsirkan secara lebih penuh dari yang mungkin
tercapai pada tahun 1870. Dua artikel terakhir menguraikan imamat, dan mencantumkan
keputusan untuki memulihkan diakonat sebagai pelayanan tetap. Bahan Bab III itu
dilengkapi dengan Dekrit-Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup (“Christus Dominus”),
tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam (“Presbyterorum Ordinis”), dan tentang
Pembinaan Imam (“Optatam Totius”).
Bab IV “Lumen Gentium” menguraikan peranan kaum awam (17). Disajikan
“gambaran tipologis” awam sebagai orang kristen, yang berhak penuh untuk ikut
menghayati hidup dan menunaikan misi Gereja, dengan hidup secara kristen dalam dunia
sekular. Awam menghadirkan Gereja didunia, dan dipanggil untuk menghadapi masalah-
persoalan sehari-hari dengan sabda serta rahmat Kristus. Sekaligus ia menyumbangkan
pandangan maupun pengalamannya tentang hidup sekular demi pembangunan Gereja.
Prinsip-prinsip yang digariskan dalam Bab ini secara lebih penuh dijabarkan dalam Dekrit
tentang Kerasulan Awam (“Apostolicam Actuositatem”).
Bab VI tentang para religius dalam Gereja menjelaskan makna tiga kaul, yang
diikrarkan oleh para religius untuk menerima tangtangan nasehat-nasehat Injili. Bab ini
mendorong mereka untuk menunaikan tanggung jawab mereka sendiri demi kehidupan
dan misi Gereja. Dekrit “Perfectae Caritatis” menyajikan prinsip-prinsip tentang
Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius (18), yang sekaligus mencerminkan cita-cita
“aggiornamento” untuk seluruh Gereja. 1) kembali kepada Injil sebagai pedoman hidup
yang utama; 2) kembali kepada sumber-sumber karisma dan spiritualitas masing-masing
tarekat; 3) integrasi dalam Gereja seluruhnya; 4) menanggapi kebutuhan jaman dalam
perihidup maupun kerasulan; 5) penghapusan deskriminasi antara para anggota (19).
Dalam Bab V dan VII “Lumen Gentium” kembali memandang Gereja semesta, sambil
menekankan panggilan semua orang untuk kesucian dan persekutuan Gereja di dunia
dengan Gereja yang jaya dalam Kerajaan Allah. Bab terakhir Konstitusi dipersembahkan
kepada Santa Perawan Maria, dan menjadikan peranannya sebagai anggota maupun
lambang Gereja kunci untuk menafsirkan teologi tentang Maria.
Eklesiologi “Lumen Gentium” yang lebih mendalam dan lebih kaya besar sekali
dampaknya atas hubungan-hubungan ekumenis antara Gereja katolik dengan Gereja-
Gereja serta jemaat-jemaat kristen lainnya. Hubungan-hubungan itu oleh Konsili dijajagi
baik dalam “Lumen Gentium” maupun dalam Dekrit tentang Ekumenisme (“Unitaris
redintegratio”), Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur Katolik (“Orientalium Redintegratio”), dan
Dekrit tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan kristen (“Nostra Aetate”).
Dokumen-dokumen itu mencetuskan kesanggupan Gereja yang antusias untuk
menggantikan sikap curiga dan bermusuhan antar Gereja dan antar Agama dengan sikap
dialog dan kerjasama (20).
16
Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.31-32.
17
Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.33-35.
18
J. A. Komonchak membuat kesalahan dengan menukarkan bab V (tentang panggilan untuk kesempurnaan)
dengan bab VI (para religius), cf. hlm.1075.
19
Bdk. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.37.
20
Sebelas hari sesudah Konstitusi tentang Gereja resmi diumumkan pada tgl.21 November 1964, Paus Paulus
VI untuk pertama kalinya mengunjungi India, sesudah pada awal tahun itu juga beliau mengunjungi
Yordania dan Israel.
25. Konsili juga menyajikan dua dokumen untuk menanggapi situasi Gereja dalam
dunia modern. “Gaudim Et Spes”, Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam Dunia Modern,
menyajikan citra Gereja yang berbagi kegembiraan dan harapan, penderitaan dan
kegelisahan dengan sesama sezaman (21).Konstitusi GS mengandaikan semua yang telah
ditetapkan oleh Konsili tentang Gereja, tetapi juga melengkapinya, sejauh menekankan
bahwa anggota Gereja ialah anggota masyarakat (bdk. GS 1). Dan bahwa Gereja wajib
bekerja sama dengan masyarakat (bdk. GS 40) (22). Bersama mereka semua Gereja ikut
merasa bertanggung jawab untuk mengisi sejarah dunia. Bagian I dokumen menyajikan
refleksi teologis tentang hubungan Gereja dan Dunia, serta secara istimewa menekankan,
bahwa pihak yang satu mempunyai sumbangannyakepada pihak lain. Asas-asas itu
diterapkan dalam bagian II pada masalah-masalah aktual tentang perkawinan dan
keluarga, kebudayaan, kehidupan ekonomi, sosial dan politik, serta tentang damai dan
perang (23).
Deklarasi tentang Kebebasan Beragama (“Dignitatis Humanae”) mencantumkan
pandangan Konsili tentang soal Gereja dan negara. Konsili membela hak pribadi
manusiaatas kebebasan beragama, dan menentang camput tangan pemerintah dalam
pelaksanaan hak itu. Dalam dokumen itu dan dalam Konstitusi “Gaudium et Spes” Konsili
menganjurkan sikap yang jauh lebih terbuka terhadap dunia modern daripada yang
terdapat dalam gereja katolik Roma selama 150 tahun sebelumnya.
Konsili ditutup pada tgl. 8 Desember 1965 dengan amanat Paus Paulus VI (24), dan
pembacaan “Pesan- Pesan Konsili”, yang atas nama para Bapa Konsili dibawakan oleh
beberapa Kardinal, dan ditujukan kepada pelbagai kelompok: para pemimpin negara, kaum
intelektual, para seniman, kaum wanita, kaum miskin, mereka yang sakit dan menderita,
kaum buruh dan generasi muda.
DAMPAK – PENGARUH KONSILI
Sebagai peristiwa Konsili mempunyai pengaruh yang besar sekali. Dalam kenangan
Gereja Konsili merupakan pengalaman pertama pelaksanaan kolegial Kewibawaan tertinggi
gerejawi (25). Gereja, yamh samapai saat itu sering membanggakan sifatnya tetap tak
berubah, menjalani evaluasi diri yang mendalam dan bersikap kritis terhadap dirinya.
Banyak sikap-sikap dan strategi-strateginya ditinjau kembali dan ditantang dalam terang
Injil dan dalam Konfrontasi dengan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang.
Gejala itu berkelanjutan dimasa pasca Konsili. Perubahan-perubahan yang paling
menonjol terjadi dalam Liturgi. Sebab Paus Paulus VI tidak hanya menghendaki supaya
seruan Konsili untuk membaharui diri dilaksanakan sepenuhnya, tetapi bahkan supaya
pembaharuan itu lebih jauh lagi dari apa yang diharapkan Konsili. Dipelbagai bidang
kehidupan Gereja disetujuai usaha-usaha pembaharuan : hubungan-hubungan antara
klerus dan awam, antara Uskup dan para imam, antara Roma dan Gereja-Gereja setempat,
21
Amanat Para Bapa Konsili pada awal Periode Sidang I, tgl.20 Oktober 1962, memandang sebagai isyu yang
mendesak secara khas; disamping perdamaian, masalah keadilan sosial, mengacu kepada Ensiklik Paus
Yohanes XXIII “Mater et Magistra”. Juga “Pesan-Pesan Akhir Konsili”, Yang disampaikan oleh Paus Paulus VI
dan para Bapa Konsili pada tgl.8 Desmber 1965, menggarisbawahi makin perlunya umat kristen melibatkan
diri dalam kehidupan masyarakat modern. Tentang GS lihat T. Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok …”, hlm.39-
42.
22
Boleh dikatakan juga, bahwa “Lumen Gentium” harus dibaca kearah “Gaudium et Spes”, bdk. T. Jacobs,
“Gagasan-Gagasan Pokok …”, hlm.23.
23
Amanat para Bapa Konsili pada awal Periode Sidang I, tgl.20 Oktober 1962, mengacu kepada amanat radio
Paus Yohanes XXIII , tgl. 11 September 1962, yang menekankan kerinduan umat manusia akan perdamaian.
24
Dibacakan “Breve” (amanat tertulis singkat) Paus pada hari itu juga, yang menyatakan Konsili ditutup secara
resmi, dan bahwa semua Dekrit harus “dilaksanakan dengan seksama oleh segenap umat beriman”.
25
Dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II ternyata prinsip kolegial dan sinodal dalam kepemimpinan
Gereja bukan hanya tidak dihapus, melainkan bahkan dilaksanakan. Sementara Paus diakui primatnya
(Vatikan I dan II), Paus tidak dapat diidentikkan begitu saja dengan Dewan para Uskup (Vatikan II).
26. antara umat katolik dan umat beragama lain, dan sebagainya. Usaha-usaha pembahruan
yang secara resmi di restui dan didukung sering pula diirngi dengan gerakan-gerakan
dikalangan umat yang penuh semangat. Diantara gerakan-gerakan itu ada yang
menanggapi serua Konsili dan serasi dengan usaha-usaha pembaruan yang resmi. Ada
pula yang bersifat lebih radikal dari apa yang digambarkan atau diperintahkan oleh Konsili.
Konsili disambut secara berlain-lainan dipelbagai kawasan dunia dan oleh
bermacam-macam lingkungan buday. Tetapi kiranya tidak berlebihan mengatakan, bahwa
tiada Gereja di dunia yang sama sekali tidak terkena dampak dari pembaharuan yang
diamanatkan oleh Konsili. Itu sendiri sudah membenarkan tekanan Konsili dalam Gereja
setempat dan pada peran serta dan tanggung jawab semua orang kristen dalam kehidupan
Gereja. Di beberapa bidang perubahan-perubahan itu begitu pesat dan cukup mendalam,
sehingga boleh dipandang sebagai suatu “krisis” dalam Gereja.
Dua puluh tahun sesudah Konsili masih berlangsunglah suatu diskusi yang hangat
baik tentang makna Konsili maupun tentang nilai apa yang terjadi sejak saat itu. Pada
garis besarnya terdapat tiga tafsiran. Pandangan yang progresif menganggap Konsili
moment yang sudah sangat terlambat bagi Gereja yang terlanjur sudah tidak relevan lagi,
yang akhirnya mau menatap tantangan-tantangan zaman modern. Pandangan yang
tradisional menyepakati, bahwa Konsili mengakibatkan perubahan-perubahan yang cukup
besar, tetapi apa yang oleh kelompok yang progresif tadi disambut baik, oleh kelompok
tradisional dianggap sebagai suatu “kapitulasi” Gereja yang patut disayangkan terhadap
prinsip-prinsip dan gerakan-gerakan yang sebelum itu dengan tepat ditentangnya sejak
Revolusi Perancis. Kedua pandangan itu sepakat melihat makna Konsili yang cukup
berbobot, sungguhpun keduanya sama sekali tidak setuju dalam cara mereka menilai
perkembangan itu.
Diantara kedua posisi yang sama-sama ekstrim itu terdapat pandangan “jalan
tengah” yang masih penuh ketegangan juga. Ada yang menganggap Konsili “melulu”
sebagai usaha pembahruan, sebenarnya tanpa memaksudkan banyak perkembangan yang
de facto menyusulnya. Atas perkembangan-perkembangan itu yang mereka anggap
bertanggungjawab ialah kaum progresif, yang mengabaikan cara Konsili merumuskan
amanatnya (“huruf” Konsili) untuk membela apa yang mereka anggap “semangat Konsili”.
Menurut kelompok “jalan tengah” yang pertama itu, kekeruhan-kekeruhan pasca Vatikan II
hanya dapat dijernihkan dengan kembali baik kepada “huruf” maupun kepada semangat
Konsili yang sejati.
Kelompok “jalan tengah” lainnya mempertahankan, bahwa - entah apa yang
dimaksudkan oleh para Bapa Konsili sendiri- banyak usaha “pembaharuan” yang dulu
mereka dukung de facto mempunyai dampak cukup “revolusioner” bagi sikap-sikap,
strategi-strategi dan adat kebiasaan umat katolik sehari-hari. Secara khas mereka
menunjuk kepada sikap Konsili yang lebih terbuka terhadap dunia modern, kepada
seruannya untuk “mawas diri”, dan kepada dukungannya terhadap perwujudan Gereja
secara konkrit ditingkat lokal. Menurut tafsiran mereka, Konsili sendirilah yang
bertanggungjawab atas banyaknya perubahan-perubahan yang cukup besar dalam Gereja
sejak Konsili. Dokumen-dokumen Konsili perlu ditekankan makna historis-sosiologisnya
dalam konteks dunia katolik modern. Sinode para Uskup di Roma pada tahun 1985, yang
bersidang untuk merayakan ulang tahun ke-20 penutupan Vatikan II, membuka forum
diskusi tentang makna Konsili.
Perdebatan tidak menampakkan tanda-tanda mereda, Apakah sebenarnya Konsili
itu, betapa relevan dan berjasanya Konsili bagi Gereja, hanya dapat ditentukan dalam
rangka penerimaannya oleh Gereja semesta. Agaknya dua dasawarsa masih terlampau
singkat untuk mengadakan evaluasi final tentang Konsili Vatikan II. Banyak unsur ajaran
Konsili telah dipraktekkan dan diterima penuh syukur dikalangan luas Gereja. Unsur-
unsur lain sekarangpun masih perlu dilaksanakan. Tetapi sudah jelaslah, bahwa Konsili
Vatikan II merupakan titik balik dalam sejarah dunia modern Gereja katolik, suatu momen
dalam proses Gereja mewujudkan diri secara nyata, proses yang baru mulai menampilkan
kesungguhan dan kekuatannya.
27. CATATAN :
1. Uraian pengantar tentang konsili Vatikan II ini sebagian merupakan saduran
karangan Joseph A. Komonchak, “Vatikan Council II” dalam The New Dictionary of
Theology, diterbitkan oleh Joseph A. Komonchak, Mary Collins, Dermot A. Lane,
Dublin: Gill and Mac-milland Ltd, edisi 1, 1987, hlm.1072-1077. Kecuali itu
digunakan sebagai nara sumber antara lain :
2. Konstitusi Paus Yohanes XXIII, Humanae Salutis, tgal.25 Desember 1961 untuk
mengundang Konsili Vatikan II.
3. Amanat Paus Yohanes XXIII pada pembukaan Konsili, tgl.11 Oktober 1962.
4. Amanat para Bapa Konsili kepada umat manusia pada awal periode Sidang I Konsili,
tgl. 20 Oktober 1962
5. Dr. B. S. Mardiatmaja SJ, “Gagasan – Gagasan Dogmatik Seputar Konsili Vatikan
Kedua”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm.1-22 (termasuk Daftar Kepustakaan).
6. Tom Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok Konsili Vatikan II”. Spektrum XIV:1-2 (1986)
hlm. 23-53 (termasuk Daftar Kepustakaan).
7. Tom Jacobs, “Latar Belakang Dekat Konsili Vatikan II, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm.
54-71 (termasuk Daftar Kepustakaan).
8. Dr. C.Groenen OFM, “Gereja Yesus Kristus dari awal (th. ±30) samapai Konsili
Vatikan I (1870)”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 72-104 (termasuk Daftar
Kepustakaan).
9. Dr. P.Go O.Carm, “Beberapa Aspek Moral Hasil Konsili Vatikan II”, Spektrum XIV:1-2
(1986) hlm. 105-150.
10.Dr. P. Go O.Carm, “Beberapa Aspek Hukum Kanonik Hasil Konsili Vatikan II”,
Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 151-165
11.Adolf heuken SJ, Katekismus Konsili Vatikan II, Jakarta: Cipta Loka Caraka 1987,
224 hlm.
Robert Hardawiryana SJ.
28. PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA-BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI
KONSTITUSI TENTANG LITURGI SUCI
PENDAHULUAN
1. KONSILI SUCI bermaksud makin meningkatkan kehidupan kristiani diantara
Umat beriman; menyesuaikan lebih baik lagi lembaga-lembaga yang dapat berubah
dengan kebutuhan zaman kita; memajukan apa saja yang dapat membantu
persatuan semua orang yang beriman akan Kristus; dan meneguhkan apa saja
yang bermanfaat untuk mengundang semua orang dalam pangkuan Gereja. Oleh
karena itu Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa
mengusahakan juga pembaharuan dan pengembangan Liturgi.
2. Sebab melalui Liturgilah dalam Korban Ilahi Ekaristi, “terlaksanalah karya
penebusan kita”(1). Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum
beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan Misteri Kristus serta hakekat
asli Gereja yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain, yakni
bahwa Gereja bersifat sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun penuh
kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun
meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai
musafir. Dan semua itu berpadu sedemikian rupa, sehingga dalam Gerja apa yang
insani diarahkan dan diabdikan kepada yang ilahi, apa yang kelihatan kepada
yang tidak nampak, apa yang termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan apa
yang ada sekarang kepada kota yang akan datang, yang sedang kita cari(2). Maka
dari itu Liturgi setiap hari membangun mereka yang berada didalam Gereja
menjadi kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh(3), sampai
mereka mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus(4). Maka
Liturgi sekaligus secara mengagumkan menguatkan tenaga mereka untuk
mewartakan Kristus, dan dengan demikian menunjukan Gereja kepada mereka
yang diluarnya sebagai tanda yang menjulang diantara bangsa-bangsa(5). Dibawah
tanda itu puter-putera Allah yang tercerai berai dihimpun menjadi satu(6), sampai
terwujudlah satu kawanan dan satu gembala(7).
3. Oleh karena itu pengembangan dan pembaharuan Liturgi Konsili suci
berpendapat: perlu meningkatkan lagi azas-azas berikut dan menetapkan kaedah-
kaedah praktis. Diantara azas-azas dan kaedah-kaedah itu ada beberapa yang
dapat dan harus diterapkan pada ritus romawi maupun pada semua ritus lainnya.
Namun kaedah-kaedah praktis berikut harus dipandang hanya berlaku bagi ritus
romawi, kecuali bila menyangkut hal-hal yang menurut hakekatnya juga
mengenai ritus-ritus ini.
1
Doa persembahan pada hari Minggu IX sesudah Pentekosta.
2
Lih. Ibr 13:14.
3
Lih. Ef 2:21-22.
4
Lih. Ef 4:13.
5
Lih. Yes 11:12
6
Lih. Yoh 11:52.
7
Lih. Yoh 10:16
29. 4. Akhirnya, setia mengikuti tradisi, Konsili suci menyatakan pandangan Bunda
Gereja yang kudus, bahwa semua ritus yang diakui secara sah mempunyai hak
dan martabat yang sama. Gereja menhendaki agar ritus-ritus itu dimasa
mendatang dilestarikan dan dikembangkan dengan segala daya upaya.Konsili
menghimbau agar bilamana perlu ritus-ritus itu ditinjau kembali dengan seksama
dan secara menyeluruh, sesuai dengan jiwa tradisi yang sehat, lagi pula diberi
gairah baru, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan zaman sekarang.
BAB SATU
AZAS-AZAS UMUM
UNTUK MEMBAHARUI DAN MENGEMBANGKAN LITURGI
I. HAKEKAT DAN MAKNA LITURGI SUCI DALAM KEHIDUPAN
5. (Karya keselamatan dilaksanakan oleh Kristus)
Allah menghendaki supaya semua manusia selamat dan mengenal kebenaran (1
Tim 2:4). Setelah Ia pada zaman dahulu berulang kali dan dengan pelbagai cara
bersabda kepada nenek-moyang kita dengan perantaraan para nabi (Ibr 1:1),
ketika genaplah waktunya, Ia mengutus PuteraNya, sabda yang menjadi daging
dan diurapi Roh Kudus, untuk mewartakan Kabar Gembira kepada kaum miskin,
untuk menyembuhkan mereka yang remuk redam hatinya(8), “sebagai tabib
jasmani dan rohani” (9), Pengantara Allah dan manusia(10). Sebab dalam kesatuan
pribadi sabda kodrat kemanusiaan-Nya menjadi upaya keselamatan kita. Oleh
karena itu dalam Kristus “pendamaian kita mencapai puncak kesempurnaannya,
dan kita dapat melaksanakan ibadat Ilahi secara penuh”(11).
Adapun karya penebusan umat manusia dan permuliaan Allah yang sempurna
itu telah diawali dengan karya agung Allah ditengah umat Perjanjian Lama. Karya
itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri Paska: sengsara-Nya
yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut, dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan.
Dengan misteri itu Kristus “menghancurkan maut kita dengan wafat-Nya, dan
membangun kembali hidup kita dengan kebangkitan-Nya”(12). Sebab dari lambung
Kristus yang beradu di salib muncullah Sakramen seluruh Gereja yang
mengagumkan(13).
6. (Karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja, terlaksana dalam
Liturgi)
Oleh karena itu, seperti Kristus diutus oleh Bapa, begitu pula Ia mengutus para
rasul yang dipenuhi Roh Kudus. Mereka itu diutus bukan hanya untuk
mewartakan Injil kepada makhluk(14), dan memberitakan bahwa Putera Allah
dengan wafat dan kebangkitan-Nya telah membebaskan kita dari kuasa setan(15)
dan maut, dan telah memindahkan kita ke Kerajaan Bapa; melainkan juga untuk
mewujudkan karya keselamatan yang mereka wartakan itu melalui kurban dan
8
Lih. Yes 61:1; Luk 4:18
9
S. IGNASIUS Martir, Surat kepada Jemaat di Efesus, 7,2:FUNK I, 218.
10
Lih. 1 Tim 2:5.
11
Tata-upacara sakramen dari Verona (Sacramentarium Veronense/Leonianum): MOHLBERG, Roma
1956, n. 1265, hlm.162.
12
Prefasi pada hari Raya Paska dalam Misal Romawi.
13
Lih. Doa sesudah bacaan kedua pada malam Paska menurut Misal Romawi, sebelum pembaharuan
Pekan Suci.
14
Lih. Mrk 16:15.
15
Lih. Kis 26:18.
30. Sakramen-sakramen, sebagai pusat seluruh hidup Liturgis. Demikianlah melalui
babtis orang-orang dimasukkan kedalam misteri Paska Kristus : mereka mati,
dikuburkan dan dibangkitkan bersama Dia(16); mereka menerima Roh
pengangkatan menjadi putra, dan dalam Roh itu kita berseru : Abba, Bapa (Rom
8:15); demikianlah mereka menjadi penyembah sejati, yang dicari oleh Bapa(17).
Begitu pula setiap kali mereka makan perjamuan Tuhan, mereka mewartakan
wafat Tuhan sampai Ia datang(18). Oleh karena itu pada hari Pentekosta, ketika
Gereja tampil didepan dunia, mereka yang menerima amanat Petrus “dibabtis”.
Dan mereka “bertekun dalam ajaran para Rasul serta selalu berkumpul untuk
memecahkan roti dan berdoa … sambil memuji Allah, dan mereka disukai seluruh
rakyat” (Kis 2:41-47). Sejak itu Gereja tidak pernah lalai mengadakan pertemuan
untuk merayakan misteri Paska; disitu mereka membaca “apa yang tercantum
tentang Dia dalam seluruh Kitab suci (Luk 24:27); mereka merayakan Ekaristi,
yang menghadirkan kejayaan-Nya atas maut”(19), dan sekaligus mengucap syukur
kepada “Allah atas karunia-Nya yang tidak terkatakan” (2Kor 9:15) dalam Kristus
Yesus, “untuk memuji keagungan-Nya” (Ef 1:12) dengan kekuatan Roh Kudus.
7. (Kehadiran Kristus dalam Liturgi)
Untuk melaksanakan karya sebesar itu, Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya
terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Korban Misa, baik
dalam pribadi pelayan, “karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui
pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan Diri di kayu
salib(20), maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya Ia
hadir dalam Sakramen-sakramen sedemikian rupa, sehingga bila ada orang yang
membabtis, Kristus sendirilah yang membabtis(21). Ia hadir dalam sabda-Nya,
sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab suci dibacakan dalam Gereja. Akhirnya Ia
hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur karena Ia sendiri berjanji : bila
dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, disitulah Aku berada diantara
mereka (Mat 18:28).
Memang sungguh, dalam karya seagung itu, saat Allah dimuliakan secara
sempurna dan manusia dikuduskan, Kristus selalu menggabungkan Gereja,
mempelai-Nya yang amat terkasih, dengan diri-Nya Gereja yang berseru kepada
Tuhannya dan melalui Dia berbakti kepada Bapa yang kekal.
Maka memang sewajarnya juga Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas
imamat Yesus Kristus; disitu pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-
tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; disitu
pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh mistik Yesus Kristus,
yakni Kepala beserta para anggota-Nya.
Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serat
Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak
ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang
sama serta dalam tingkatan yang sama.
8. (Liturgi di dunia ini dan Liturgi di Sorga)
Dalam Liturgi di dunia ini kita ikut mencicipi Liturgi sorgawi, yang di rayakan
dikota suci Yerusalem, tujuan peziarahan kita. Disana Kristus duduk disisi kanan
Allah, sebagai pelayan tempat tersuci dan kemah yang sejati(22). Bersama dengan
16
Lih. Rom 6:4; Ef 2:6; Kol 3:1; 2Tim 2:11.
17
Lih. Yoh 4:23.
18
Lih. 1Kor 11:26.
19
KONSILI TRENTE, Sidang 13, 11 Oktober 1551, Dekrit tentang Ekaristi Suci, bab 5: CONCILIUM
TRIDENTINUM, Diariorum, Actorum, Epistolarum, Tractatuum nova collectio, terb. Soc. Gorresiana,
jilid VIII, Actorum, bagian IV Freiburg im Breisgau, 1961,hlm.202.
20
KONSILI TRENTE, Sidang XXII, 17 September 1562: Ajaran tentang korban Misa suci, Bab 2:
CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutib, jilid VIII, Actorum, bagian V, Freiburg im
Breisgau 1919, hlm. 960.
21
Lih. S. AGUSTINUS, Tentang Injil Yohanes, Tractat VI, I, 7: PL 35,1428.
22
Lih. Why 21:2; Kol 3:1; Ibr 8:2.
31. segenap bala tentara sorgawi kita melambungkan kidung kemuliaan kepada
Tuhan. Sementara menghormati dan mengenangkan para Kudus kita berharap
akan ikut serta dalam persekutuan dengan mereka. Kita mendambakan Tuhan
kita Yesus Kristus penyelamat kita, sampai Ia sendiri, hidup kita, akan nampak,
dan kita akan nampak bersama dengan-Nya dalam kemuliaan(23).
9. (Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja)
Liturgi suci tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Sebab sebelum manusia
dapat mengikuti Liturgi, ia perlu dipanggil untuk beriman dan bertobat:
“bagaimana ia akan berseru kepada Dia yang tidak mereka imani? Atau bagaimana
mereka akan mengimani-Nya bila mereka tidak mendengar tentang Dia? Dan
bagaimana mereka akan mendengar bila tidak ada pewarta? Lalu bagaimana
mereka akan mewartakan kalau tidak diutus?” (Rom 10:14-15).
Oleh karena itu Gereja mewartakan berita keselamatan kepada kaum tak
beriman, supaya semua orang mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus
Kristus yang diutus-Nya lalu bertobat dari jalan hidup mereka seraya menjalankan
ulah tapa(24). Tetapi kepada Umat berimanpun Gereja selalu wajib mewartakan
iman dan pertobatan; selain itu harus menyiapkan mereka untuk menerima
sakramen-sakramen, mengajar mereka mengamalkan segala sesuatu yang telah
diperintahkan oleh Kristus(25), dan mendorong mereka untuk menjalankan semua
amal cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. Berkat karya-karya itu akan menjadi
jelas bahwa kaum beriman kristiani memang bukan dari dunia ini, melainkan
menjadi terang dunia dan memuliakan Bapa dihadapan orang-orang.
10. (Liturgi puncak dan sumber kehidupan Gereja)
Akan tetapi Liturgi itu puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta merta
sumber segala daya-kekuatannya. Sebab usah-usaha kerasulan mempunyai
tujuan ini: supaya semua orang melalui iman dan babtis menjadi putear-putera
Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah ditengah Gereja, ikut serta
dalam Korban dan menyantap perjamuan Tuhan.
Dilain pihak Liturgi sendiri mendorong Umat beriman, supaya sesudah
dipuaskan “dengan Sakramen-sakramen Paska menjadi sehati-sejiwa dalam
kasih”(26). Liturgi berdoa supaya “mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari
apa yang mereka peroleh dalam iman”(27). Adapun pembaharuan perjanjian Tuhan
dengan manusia dalam Ekaristi menarik dan mengobarkan Umat beriman dalam
cinta kasih Kristus yang membara. Jadi dari Liturgi, terutama dari Ekaristi,
bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna
yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan permuliaan Allah dalam
Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya.
11. (Perlunya persiapan pribadi)
Akan tetapi supaya hasil guna itu diperoleh sepenuhnya, Umat beriman perlu
datang menghadiri Liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah
mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama
dengan rahmat sorgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya(28). Maka
dari itu hendaklah para gembala rohani memperhatikan dengan seksama, supaya
dalam kegiatan Liturgi jangan hanya dipatuhi hukum-hukumnya untuk
merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya Umat beriman ikut
merayakannya dengan sadar, aktif dan penuh makna.
23
Lih. Flp 3:20; Kol 3:4.
24
Lih. Yoh 17:3; Luk 24:27; Kis 2:38.
25
Lih. Mat 28:20.
26
Doa Penutup pada malam pasaka dan hari Minggu Paska.
27
Doa Pembukaan pada hari Selasa dalam Pekan Paska.
28
Lih. 2Kor 6:1.
32. 12. (Liturgi dan ulah kesalehan)
Akan tetapi hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta
dalam Liturgi. Sebab semua manusia kristiani; yang memang dipanggil untuk
berdoa bersama, toh harus memasuki biliknya juga untuk berdoa kepada Bapa
ditempat yang tersembunyi(29). Bahkan menurut amanat Rasul (Paulus) ia harus
bertanjang dalam doa(30). Dan Rasul itu juga mengajar, supaya kita selalu
membawa kematian Yesus dalam tubuh kita, supaya hidup Yesus pun menjadi
nyata dalam daging kita yang fana(31). Maka dari itu dalam korban Misa kita
memohon kepada Tuhan, supaya dengan menerima persembahan korban rohani,
Ia menyempurnakan kita sendiri menjadi korban abadi bagi diri-Nya(32).
13. Ulah kesalehan Umat kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan
norma-norma Gereja, sangat dianjurkan, terutama bila dijalankan atau penetapan
Takhta Apostolik.
Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-gereja setempat memiliki
makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adat-
kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan.
Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa Liturgi, ulah kesalehan itu
perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan Liturgi suci; sedikit banyak
harus bersumber pada Liturgi, dan menghantar Umat kepadaNya; sebab menurut
hakekatnya hal besar Liturgi memang jauh unggul dari semua ulah kesalehan itu.
II. PENDIDIKAN LITURGI DAN KEIKUT-SERTAAN AKTIF
14. Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing
kearah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan
Liturgi. Keikut-sertaan seperti itu dituntut oleh Liturgi sendiri, dan berdasarkan
Babtis merupakan hak serta kewajiban umat kristiani sebagai “bangsa terpilih,
imamat rajawai, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr 2:9; Lih.
2:4-5).
Dalam pembaharuan dan pengembangan Liturgi suci keikut-sertaan segenap
Umat secara penuh dan aktif itu perlu beroleh perhatian yang terbesar. Sebab bagi
kaum beriman merupakan sumber utama yang tidak tergantikan, untuk menimba
semangat kristiani yang sejati. Maka dari itu dalam seluruh kegiatan pastoral
mereka para gemabala jiwa harus mengusahakannya dengan rajin melalui
pendidikan yang seperlunya.
Akan tetapi supaya itu tercapai tiada harapan lain kecuali bahwa lebih dahulu
para gembala jiwa sendiri secara mendalam diresapi semangat dan daya Liturgi,
serta menjadi mahir untuk memberi pendidikan Liturgi. Oleh karena itu sangat
perlulah bahwa pertama-tama pendidikan Liturgi klerus dimantapkan. Maka
Konsili suci memutuskan ketetapan-ketetapan berikut.
15. (Pembinaan para dosen Liturgi)
Para dosen, yang ditugaskan untuk mengajarkan mata kuliah Liturgi di seminari-
seminari, rumah-rumah pendidikan para religius dan fakultas-fakultas teologi,
perlu dididik dengan sungguh-sungguh dilembaga-lembaga yang secara istimewa
diperuntukkan bagi tujuan itu, untuk menunaikan tugas mereka.
29 Lih. Mat 6:6.
30 Lih. 1Tes 5:17.
31 Lih. 2Kor 4:10-11.
32 Doa Persembahan pada hari Senin dalam Pekan Pentekosta.
33. 16. (Pendidikan Liturgi kaum rohaniwan)
Di seminari-seminari dan dirumah-rumah pendidikan para religius mata kuliah
Liturgi harus dipandang sebagai mata kuliah wajib dan penting, sedangkan di
fakultas-fakultas teologi sebagai salah satu mata kuliah utama. Mata kuliah Liturgi
hendaknya diajarkan dari segi teologi dan sejarah maupun dari segi hidup rohani,
pastoral dan hukum. Selain itu hendaklah para dosen mata kuliah lain-lainnya,
terutama teologi dogmatis, Kitab suci, teologi hidup rohani dan pastoral, - dengan
bertolak dari persyaratan instrinsik masing-masing pokok bahasan, - menguraikan
misteri Kristus dan sejarah keselamatan sedemikian rupa, sehingga jelas-jelas
nampak hubungannya dengan Liturgi dan keterpaduan pembinaan iman.
17. Hendaklah para rohaniwan di seminari-seminari maupun di rumah-rumah
religius, mendapat pembinaan liturgis demi hidup rohani mereka, baik melalui
bimbingan yang memadai untuk memahami upacara-upacara suci sendiri, pun
juga melalui ulah kesalehan lainnya yang diresapi oleh semangat Liturgi. Begitu
pula hendaklah mereka belajar mematuhi hukum-hukum Liturgi, sehingga
kehidupan diseminari-seminari dan tarekat-tarekat religius dirasuki semangat
Liturgi secara mendalam.
18. Hendaklah para imam baik diosesan maupun religius, yang sudah berkarya
di kebun anggur Tuhan, dibantu dengan segala upaya yang memadai, supaya
mereka semakin mendalam memahami apa yang mereka laksanakan dalam
pelayanan-pelayanan suci, menghayati hidup liturgis, dan menyalurkannya
kepada Umat beriman yang dipercayakan kepada mereka.
19. (Pembinaan kaum Liturgis beriman)
Hendaklah para gembala jiwa dengan tekun dan sabar mengusahakan pembinaan
Liturgi kaum beriman serta secara aktif, baik lahir maupun batin, sesuai dengan
umur, situasi, corak hidup dan taraf perkembangan religius mereka. Dengan
demikian mereka menunaikan salah satu tugas utama pembagi misteri-misteri
Allah yang setia. Dalam hal ini hendaklah mereka membimbing kawanan mereka
bukan saja dengan kata-kata, melainkan juga dengan teladan.
20. (Sarana-sarana audio-visual dan perayaan Liturgi)
Siaran-siaran upacara suci melaui radio dan televisi, terutama bila meliput
perayaan Ekaristi, hendaklah berlangsung dengan bijak dan penuh hormat,
dibawah bimbingan dan tanggung jawab seorang ahli, yang ditunjuk oleh para
Uskup untuk tugas itu.
III. PEMBAHARUAN LITURGI
21. Supaya lebih terjaminlah bahwa Umat kristiani memperoleh rahmat
berlimpah dalam Liturgi suci, Bunda Gereja yang penuh kasih ingin
mengusahakan dengan seksama pembaharuan umum Liturgi sendiri. Sebab dalam
Liturgi terdapat unsur yang tidak dapat diubah karena ditetapkan oleh Allah,
maupun unsur-unsur yang dapat berubah, yang disepanjang masa dapat atau
bahkan mengalami perubahan, sekiranya mungkin tel;ah disusupi hal-hal yang
kurang serasi dengan inti kakekat Liturgi sendiri, atau sudah menjadi kurang
cocok.
Adapun dalam pembaharuan itu naskah-naskah dan upacara-upacara harus
diatur sedemikian rupa, sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus yang
dilambangkan. Dengan demikian Umat kristiani sedapat mungkin menangkapnya
dengan mudah, dan dapat ikut serta dalam perayaan secara penuh, aktif dan
dengan cara yang khas bagi jemaat.
Maka Konsili suci menetapkan norma-norma berikut yang lebih bersifat umum.
34. A. Kaidah-kaidah umum
22. (Pengaturan Liturgi)
(1) Wewenang untuk mengatur Liturgi semata-mata ada pada pimpinan Gereja,
yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada uskup.
(2) Berdasarkan kuasa yang diberikan hukum, wewenang untuk mengatur
perkara-perkara Liturgi dalam batas-batas tertentu juga ada pada pelbagai
macam Konferensi Uskup sedaerah yang didirikan secara sah.
(3) Maka dari itu tidak seorang lainnya pun, meskipun imam, boleh
menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam Liturgi atas
prakarsa sendiri.
23. (Tradisi dan perkembangan)
Supaya tradisi yang sehat dipertahankan, namun dibuka jalan juga bagi
perkembangan yang wajar, hendaknya selalu diadakan lebih dulu penyeklidikan
teologis, historis, dan pastoral, yang cermat tentang setiap bagian Liturgi yang
perlu ditinjau kembali. Kecuali itu hendaklah dipertimbangkan baik patokan-
patokan umum tentang susunan dan makna Liturgi, maupun pengalaman yang
diperoleh dari pembaharuan Liturgi belakangan ini serta dari izin-izin yang
diberikan di sana-sini. Akhirnya janganlah kiranya diadakan hal-hal baru, kecuali
bila sungguh-sungguh dan pasti dituntut oleh kepentingan Gereja; dan dalam hal
ini hendaknya diusahakan dengan cermat, agar bentuk-bentuk baru itu
bertumbuh secara kurang lebih organis dari bentuk-bentuk yang sudah ada.
Sedapat mungkin hendaknya dicegah juga, jangan sampai ada perbedaan-
perbedaan yang menyolok dalam upacar-upacara di daerah-daerah yang
berdekatan.
24. (Kitab suci dan Liturgi)
Dalam perayaan Liturgi Kitab suci sangat penting. Sebab dari Kitab sucilah dikutib
bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-
mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab sucilah
dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; dari padanya pula
upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk
membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan Liturgi suci perlu dipupuk cinta
yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci, seperti ditunjukkan oleh tradisi luhur
ritus Timur maupun ritus Barat.
25. (Peninjauan kembali buku-buku Liturgi)
Hendaknya buku-buku Liturgi selekas mungkin ditinjau kembali, dengan meminta
bantuan para ahli dan berkonsultasi dengan para Uskup di pelbagai kawasan
dunia.
B. Kaidah-kaidah berdasarkan hakekat Liturgi sebagai tindakan Hirarki dan
jemaat
26. Upacara-upacara Liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan perayaan
Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni Umat kudus yang berhimpun dan diatur
dibawah para Uskup(33).
33 S. SIPRIANUS, Tentang Kesatuan Gereja Katolik, 7: CSEL (HARTEL) III, 1, hlm.215-216. Lih. Surat 66,
n. 8,3: CSEL III, 2, hlm. 732-733
35. Maka upacara-upacara itu menyangkut seluruh Tubuh Gereja dan
menampakkan serta mempengaruhinya; sedangkan masing-masing anggota
disentuhnya secara berlain-lainan, menurut keanekaan tingkatan, tugas serta
keikut-sertaan aktual mereka.
27. (Perayaan bersama)
Setiap kali suatu upacara, menurut hakekatnya yang khas, diselenggarakan
sebagai perayaan bersama, dengan dihadiri banyak Umat yang ikut-serta secara
aktif, hendaknya ditandaskan, agar bentuk itu sedapat mungkin diutamakan
terhadap upacara perorangan yang seolah-olah bersifat pribadi.
Terutama itu berlaku bagi perayaan Misa, tanpa mengurangi kenyataan, bahwa
setiap Misa pada hakekatnya sudah bersifat resmi dan umum, begitu pula bagi
pelayanan Sakramen-sakramen.
28. (Martabat perayaan)
Pada perayaan-perayaan Liturgi setiap anggota, entah pelayan (pemimpin) entah
Umat, hendaknya dalam menunaikan tugas hanya menjalankan, dan melakukan
seutuhnya, apa yang menjadi perannya menurut hakekat perayaan serta kaidah-
kaidah Liturgi.
29. Juga para pelayan Misa (putera altar), para lektor, para komentator dan para
anggota paduan suara benar-benar menjalankan pelayanan liturgis. Maka
hendaknya mereka menunaikan tugas dengan saleh, tulus dan saksama,
sebagaimana layak untuk pelayanan seluhur itu, dan sudah semestinya dituntut
dari mereka oleh Umat Allah.
Maka perlulah mereka secara mendalam diresapi semangat Liturgi, masing-
masing sekadar kemampuannya, dan dibina untuk membawakan peran mereka
dengan tepat dan rapih.
30. (Keikut-sertaan aktif Umat beriman)
Untuk meningkatkan keikut-sertaan aktif, hendaknya aklamasi oleh Umat,
jawaban-jawaban, pendarasan mazmur, antifon-antifon dan lagu-lagu, pun pula
gerak-gerik, peragaan serta sikap badan dikembangkan. Pada saat yang tepat
hendaklah diadakan juga saat hening yang kidmat.
31. Dalam meninjau kembali buku-buku Liturgi hendaklah diperhatikan dengan
saksama, supaya rubrik-rubrik juga mengatur peran Umat beriman.
32. (Liturgi dan kelompok-kelompok sosial)
Kecuali perbedaan berdasarkan tugas Liturgi dan Tahbisan suci, dan selain
penghormatan yang menurut kaidah-kaidah Liturgi harus diberikan kepada para
pemuka-pemuka masayarakat, janganlah diberikan kedudukan istimewa kepada
pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu, baik dalam upacara maupun
dengan penampilan lahiriah.
36. C. Kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral Liturgi
33. Meskipun Liturgi suci terutama merupakan ibadat kepada Keagungan Ilahi,
namun mencakup banyak pengajaran juga bagi Umat beriman(34). Sebab dalam
Liturgi Allah bersabda kepada Umat-Nya; Kristus masih mewartakan Injil.
Sedangkan Umat menanggapi Allah dengan nyanyian-nyanyian dan doa.
Bahkan bila imam, yang selaku wakil Kristus memimpin jemaat, memanjatkan
doa-doa kepada Allah, doa-doa itu diucapkan atas nama segenap Umat suci dan
semua orang yang hadir. Adapun lambang-lambang lahir, yang digunakan dalam
Liturgi suci untuk menandakan hal-hal ilahi yang tidak nampak, dipilih oleh
Kristus atau Gereja. Oleh karena itu bukan hanya bila dibacakan “apa yang telah
ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita” (Rom 15:4), melainkan juga sementara
Gereja berdoa atau bernyanyi atau melakukan sesuatu, dipupuklah iman para
peserta, dan hati mereka diangkat kepada Allah, untuk mempersembahkan
penghormatan yang wajar kepada-Nya, dan menerima rahmat-Nya secara lebih
melimpah.
Maka dari iru dalam mengadakan pembaharuan kaidah-kaidah umum berikut
harus dipatuhi.
34. (Keserasian upacara-upacara)
Hendaklah upacara-upacara bersifat sederhana namun luhur, singkat, jelas, tanpa
pengulangan-pengulangan yang tiada gunanya. Hendaknya disesuaikan dengan
daya tangkap Umat beriman, dan pada umumnya jangan sampai memerlukan
banyak penjelasan.
35. (Kitab suci, pewartaan dan katekese dalam Liturgi)
Supaya nampak dengan jelas bahwa dalam Liturgi upacara dan sabda
berhubungan erat, maka :
(1) Dalam peryaan-perayaan suci hendaknya dimasukkan bacaan Kitab suci yang
lebih banyak, lebih bervariasi dan lebih sesuai.
(2) Dalam rubrik-rubrik hendaknya dicatat juga, sejauh tata upacara mengizinkan,
saat yang lebih tepat untuk kotbah, sebagai bagian perayaan Liturgi. Dan
pelayanan pewartaan hendaknya dilaksanakan dengan amat tekun dan
saksama. Bahannya terutama hendaklah bersumber pada Kitab suci dan
Liturgi, sebab kotbah merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam
sejarah keselamatan atau misteri Kristus, yang selalu hadir dan berkarya
ditengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan Liturgi.
(3) Dengan segala cara hendaknya diusahakan pula katekese yang secara lebih
langsung bersifat liturgis; dan dalam upacar-upacara sendiri bila perlu,
hendaklah disampaikan ajakan-ajakan singkat oleh imam atau pelayan
(petugas) yang berwenang. Tetapi ajakan-ajakan itu hendaknya hanya
disampaikan pada saat-saat yang cocok, menurut teks yang sudah ditentukan
atau dengan kata-kata yang senada.
(4) Hendaknya dikembangkan peryaan Sabda Allah pada malam menjelang hari-
hari raya agung, pada beberapa hari biasa dalam masa Adven dan Prapaska,
begitu pula pada hari-hari minggu dan hari-hari raya, terutama ditempat-
tempat yang tiada imamnya. Dalam hal itu perayaan hendaknya dipimpin oleh
diakon atau orang lain yang diberi wewenang oleh Uskup.
36. (Bahasa Liturgi)
(1) Penggunaan bahasa latin hendaknya dipertahankan dalam ritus-ritus lain,
meskipun ketentuan-ketentuan hukum khusus tetap berlaku.
34 Lih. KONSILI TRENTE, Sidang 22, 17 September 1562, Ajaran tentang Korban Misa, bab 8:
CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutib, VIII, 961.
37. (2) Akan tetapi dalam Misa, dalam pelayanan Sakramen-sakramen maupun
bagian-bagian Liturgi lainnya, tidak jarang penggunaan bahasa pribumi dapat
sangat bermanfaat bagi Umat. Maka seyogyanyalah diberi kelonggaran yang
lebih luas, terutama dalam bacaan-bacaan dan ajakan-ajakan, dan berbagai
doa dan nyanyian, menurut kaidah-kaidah yang mengenai hal itu ditetapkan
secara tersendiri dalam bab-bab berikut.
(3) Sambil mematuhi kaidah-kaidah itu, pimpinan gerejawi setempat yang
berwenang, seperti disebut pada artikel 22: (2), menetapkan apakah dan
bagaimanakah bahasa pribumi digunakan, bila perlu hendaknya ada
konsultasi dengan para Uskup tetangga dikawasan yang menggunakan bahasa
yang sama. Ketetapan itu memerlukan persetujuan atau pengesahan dari
Takhta Apostolik.
(4) Terjemahan teks latin kedalam bahasa pribumi, yang hendak digunakan dalam
Liturgi, harus disetujui oleh pimpinan gerejawi setempat yang berwenang,
seperti tersebut diatas.
D. Kaidah-kaidah untuk menyesuaikan Liturgi dengan tabiat perangai dan
tradisi bangsa-bangsa
37. Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap
jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman
yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang
menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para
bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh
Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya
dengan hakekat semangat Liturgi yang sejati dan asli.
38. Asal saja kesatuan hakiki ritus Romawi dipertahankan, hendaknya diberi
ruang kepada kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai
kelompok, daerah, dan bangsa, terutama didaerah-daerah Misi, juga bila buku-
buku Liturgi ditinjau kembali. Hal itu hendaklah diperhatikan dengan baik dalam
penyusunan upacar-upacara dan penataan rubrik-rubrik.
39. Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik buku-buku
Liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22,
(2), berhak untuk memerinci penyesuaian-penyesuaian, terutama mengenai
pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa Liturgi, musik
Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat
dalam konsultasi ini.
40. Tetapi di pelbagai tempat dan situasi, mendesaklah penyesuaian Liturgi
secara lebih mendalam; karena itu juga menjadi lebih sukar. Maka :
(1) Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti dalam art.
22, (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur
manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang
dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi. Penyesuaian-
penyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang perlu, hendaklah
diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan
dalam Liturgi.
(2) Tetapi supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya,
maka Takhta Apostolik akan memberi wewenang kepada pimpinan gerejawi
setempat, untuk – bila perlu – dalam beberapa kelompok yang cocok untuk
38. itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin
eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan.
(3) Ketetapan-ketetapan tentang Liturgi biasanya menimbulkan kesulitan-
kesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi.
Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini hendaknya tersedia ahli-
ahli untuk bidang yang bersangkutan.
IV. PEMBINAAN KEHIDUPAN LITURGI DALAM KEUSKUPAN DAN PAROKI.
41. (Kehidupan Liturgi dalam keuskupan)
Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Kehidupan Umatnya
yang beriman dalam Kristus bersumber dan tergantung dengan cara tertentu dari
padanya.
Maka dari itu semua orang harus menaruh penghargaan amat besar terhadap
kehidupan Liturgi keuskupan di sekitar Uskup, terutama di gereja katedral.
Hendaknya mereka yakin, bahwa penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam
keikutsertaan penuh dan aktif seluruh Umat kudus Allah dalam perayaan Liturgi
yang sama, terutama dalam satu Ekaristi, dalam satu doa, pada satu altar,
dipimpin oleh Uskup yang dikelilingi oleh para imam serta para pelayan lainnya[35].
42. (Kehidupan Liturgi dalam Paroki)
Dalam Gerejanya Uskup tidak dapat selalu atau dimana-mana memimpin sendiri
segenap kawanannya. Maka haruslah ia membentuk kelompok-kelompok orang
beriman, diantaranya yang terpenting yakni paroki-paroki, yang di setiap tempat
dikelola dibawah seorang pastor yang mewakili Uskup. Sebab dalam arti tertentu
paroki menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan.
Maka dari itu hendaknya kehidupan Liturgi paroki serta hubungannya dengan
Uskup dipupuk dalam hati dan praktik jemaat beriman serta para rohaniwan.
Hendaknya diusahakan, supaya jiwa persekutuan dalam paroki berkembang,
terutama dalam perayaan Misa Umat pada hari Minggu.
V. PENGEMBANGAN PASTORAL LITURGI
43. (Pembaharuan Liturgi, rahmat Roh Kudus)
Usaha mengembangkan dan membaharui Liturgi suci memang tepat dipandang
sebagai tanda penyelenggaraan Allah atas zaman kita, sebagai gerakan Roh Kudus
dalam Gerejanya. Dan usaha itu menandai kehidupan Gereja-Nya. Dan usaha itu
menandai kehidupan Gereja, bahkan seluruh cara berpandangan dan bertindak
relegius zaman kita ini dengan ciri yang khas.
Maka untuk makin mengembangkan kegiatan pastoral liturgis dalam Gereja,
Konsili suci memutuskan:
44. (Komisi Liturgi nasional)
Sebaiknya pemimpin gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art.
22, (2), mendirikan Komisi Liturgi, yang harus didampingi oleh orang-orang ahli
dalam ilmu Liiturgi, Musik serta Kesenian Liturgi, dan di bidang pastoral. Komisi
itu sedapat mungkin hendaknya dibantu oleh suatu Lembaga Liturgi Pastoral,
yang terdiri dari anggota-anggota yang mahir di bidang itu, bila perlu juga awam.
35. Lih. S. IGNATIUS Martir, Surat kepada jemaat di Magnesia 7; kepada jemaat di Filipi 4; kepada
jemaat di Smirna 8: FUNK 1, 236, 266, 281.
39. Di bawah ini bimbingan pimpinan gerejawi setempat, seperti tersebut diatas,
komisi itu bertugas membina kegiatan pastoral liturgis dalam kawasannya, dan
memajukan studi serta eksperimen-eksperimen yang perlu, kapan saja ada
penyesuaian-penyesuaian yang perlu diajukan kepada Takhta Apostolik.
45. (Komisi Liturgi Keuskupan)
Begitu pula di setiap keuskupan hendaknya ada Komisi Liturgi untuk memajukan
kegiatan liturgis di bawah bimbingan Uskup.
Ada kalanya dapat berguna, bila berbagai keuskupan mendirikan satu komisi,
untuk mengembangkan Liturgi melalui musyawarah bersama.
46. (Komisi-komisi lain)
Selain Komisi Liturgi, hendaknya di setiap keuskupan sedapat mungkin didirikan
Komisi Musik Liturgi dan Komisi Kesenian Liturgi.
Penting sekali bahwa ketiga Komisi itu bekerja sama secara terpadu; bahkan
tidak jarang akan lebih cocok bahwa ketiganya berpadu menjadi satu komisi.
BAB DUA
MISTERI EKARISTI SUCI
47. (Ekaristi suci dan misteri Paska)
Pada perjamuan terakhir, pada malam ia diserahkan, Penyelamat kita
mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia
mengabdikan Kprban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja
Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-nya: sakramen
cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih[36], perjamuan Paskah. Dalam
perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan
kemuliaan yang akan datang[37].
48. (Keikut-sertaan aktif kaum beriman)
Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai Umat beriman
menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu,
melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan
baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela
diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur
kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda
bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka
belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari – berkat perantaraan Kristus[38] –
makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga
akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua.
49. Maka dari itu, dengan memperhatikan perayaan Ekaristi yang dihadiri Umat,
terutama pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib, konsili suci menetapkan hal-
hal berikut, supaya korban Misa, pun juga bentuk upacara-upacaranya, mencapai
hasil guna pastoral yang sepenuhnya.
50. (Peninjauan kembali Tata perayaan Ekaristi)
Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga
lebih jelaslah makna masing-masing bagiannya serta hubungannnya satu dengan
36 Lih. S. AGUSTINUS, Tentang Injil Yohanes, Traktat XXVI, VI, 13: PL 35, 1613.
37 Brevir Romawi, pada hari raya Tubuh Kristus yang mahakudus, Ibadat sore II antifon pada Magnificat.
38 Lih. S. SIRILUS dari Iskandaria, Komentar pada Injil Yohanes, Jilid XI, bab XI-XII: PG 74, 557-564.