Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1) Terdapat perbedaan pandangan antara pemerintah dan masyarakat terkait UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengenai otonomi kampus dan akses pendidikan tinggi bagi mahasiswa miskin
2) Pemerintah beranggapan bahwa otonomi kampus dapat meningkatkan mutu pendidikan sedangkan masyarakat menilai UU tersebut sebagai bentuk komersialis
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Public policy
1. PAPER
KONFLIK KEPENTINGAN
MASYARAKAT DENGAN PEMERINTAH DALAM UU OTONOMI KAMPUS
LATAR BELAKANG MASALAH
Pada tanggal 13 Juli 2012, pemerintah mengesahkan sebuah UU yang mengatur pengelolaan
pendidikan tinggi di Indonesia: UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
(selanjutnya disebut UU Dikti). UU yang telah dibahas sejak 2010 (setelah UU Nomor 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum, selanjutnya disebut UU BHP Pendidikan dibatalkan) ini
akhirnya disahkan, walau menghadapi berbagai penolakan publik, terutama dari civitas
perguruan tinggi.
Pemerintah mengklaim bahwa UU Pendidikan Tinggi dibuat untuk memulihkan kondisi
perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi yang telah memiliki otonomi. Dalam naskah
akademik Rancangan UU tersebut, pemerintah menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya
saing dalam interaksi global, perlu adanya perguruan tinggi yang sehat, bermutu, otonom, dan
maju. Untuk itulah, UU Pendidikan Tinggi diperlukan agar pendidikan tinggi dapat
memenuhi keinginan pemerintah sebagai ‘sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan
pengembangan bangsa.
Namun banyak yang menilai bahwa isi dari UU tersebut lebih kepada sebuah tindakan
komersialisasi kampus serta pendiskriminasian terhadap mahasiswa miskin Hal ini terkait isi
dari pasal 65 dan 74. Dimana dalam pasal 65 secara garis besar menjabarkan bahwa
Perguruan Tinggi boleh mendirikan sebuah badan hukum dengan pemberian kewenangan
pengelolaan dana secara mandiri hal ini menimbulkan prespektif bahwa perguruan tinggi
sudah sebanding dengan perusahaan niralaba yang semata-mata hanya mencari keuntungan.
Selain itu dalam pasal 74 ayat (1) yang berbunyi : PTN wajib mencari dan menjaring calon
Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan
calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada
semua Program Studi. Ada sebuah kejanggalan dari Kata-kata “memiliki potensi akademik
tinggi” dimana hal tersebut tidak mudah untuk ditafsirkan indikatornya dan bagaimana pula
akses untuk mahasiswa yang kemampuan akademiknya “biasa saja” namun tidak mampu
secara ekonomi? Apakah pemerintah sedang menerapkan asas yang miskin biarkan tetap
2. miskin, kecuali yang pintar baru bisa kuliah? Jelas ini bertentangan dengan mengenai Hak
Ekonomi Sosial Budaya yang telah diratifikasi pemerintah dengan UU No 11 tahun 2005,
menyebutkan bahwa Pemerintah harus mengupayakan akses pendidikan tinggi secara gratis
bagi setiap warganya. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu aksi dari sejumlah
mahasiswa di berbagai daerah.
Permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ke
Mahkamah Konstitusi (MK) yang disahkan Juli lalu sudah mulai diajukan masyarakat.
Menghadapi ancaman uji materi ke MK ini, pemerintah dan DPR meyakini nasib UU PT
tidak akan seperti UU Badan Hukum Badan Pendidikan yang dibatalkan MK1.
Tujuh pimpinan perguruan tinggi negeri menyampaikan pernyataan sikapnya terkait uji
materi Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 yang diajukan Mahkamah Konstitusi RI. Pernyataan sikap itu
disampaikan terkait penilaian adanya kekeliruan pemahaman konsep sebagian kalangan
masyarakat mengenai substansi undang-undang pendidikan tinggi tersebut.
Pernyataan bersama tujuh pimpinan perguruan tinggi negeri menyebutkan2 bahwa mereka
mencermati perkembangan proses uji materi ("judicial review") UU Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang diajukan ke
Mahkamah Konstitusi RI. Disebutkan bahwa unsur pimpinan Universitas Indonesia,
Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas
Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga, menyatakan
keprihatinannya.
Mereka menyatakan keprihatinan atas adanya kekeliruan pemahaman sebagian kalangan
masyarakat mengenai substansi UU Nomor 12 Tahun 2012 khususnya konsep otonomi
perguruan tinggi yang dianggap sebagai bentuk komersialisasi pendidikan tinggi.
Dikatakan bahwa otonomi perguruan tinggi yang meliputi otonomi akademik dan otonomi
nonakademik bersifat kodrati bagi perguruan tinggi. Otonomi akademik merupakan prasyarat
untuk melaksanakan tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat) dalam rangka membangun sumberdaya manusia yang unggul, bermutu
dan mampu berkontribusi bagi kesejahteraan umat manusia dan peradaban dunia. Selain itu,
1 http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/25/19393329/Gugatan.UU.PT.Diajukan.ke.MK
2 http://antarabogor.com/index.php/detail/4571/pernyataan-sikap-7-ptn-terkait-otonomi -pt#.UVjhNZEaySM
3. otonomi nonakademik merupakan prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan perguruan tinggi
yang baik (good university governance). Ketiadaan otonomi non akademik akan meniadakan
otonomi akademik.
Direktur Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, Prof. Dr. Ir.
Djoko Santoso, M.Sc, menyatakan bahwa3 “Pemberian otonomi kepada kampus akan
meningkatkan mutu pendidikan perguruan tinggi semakin baik, kita ambil contoh dari negara
tetangga bagaimana keberhasilan singapura terkait penerapan sistem otonomi kampus
menempatkan 2 perguruan tingginya berada posisi 5 besar sebagai perguruan tinggi terbaik
se-Asia.
RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang masalah diatas setidaknya ada dua kubu yang memiliki
pandangan yang berbeda dimana pemerintah tetap pada pendirian untuk mempertahankan UU
tersebut mengingat konsep yang ditawarkan mendapatkan banyak persetujuan dari kalangan
akedemisi. Namun disisi lain para mahasiswa beserta masyarakat menilai UU tersebut adalah
sebuah kebijakan yang semata-mata untuk menjatuhkan mahasiswa miskin. Hal ini yang
kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar sebenarnya
Kepentingan siapa yang diutama kan dalam UU tersebut ?
Bentuk Konflik apa yang terjadi dalam kasus tersebut ?
TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang terdapat dalam
rumusan masalah. Selian itu paper ini memberikan kontribusi terhadap penulis dalam
menganalisis permasalahan konflik didalam UU nomor 12 tahun 2012.
KAJIAN TEORI
3 Kompas Cetak, Selasa, 25 Juni 2013, halaman 7
4. TEORI KONFLIK
Konflik merupakan hal yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Istilah konflik
sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Latin con yang berarti bersama dan figure yang
berarti benturan atau tabrakan. Adanya benturan atau tabrakan dari setiap keinginan atau
kebutuhan, pendapat, dan keinginan yang melibatkan dua pihak bahkan lebih. Menurut
Degenova (2008) konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana
dua orang tidak pernah selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam
Lindzey & Hall, 1985) menjelaskan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongan-dorongan
di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya. Menurut
Richard E. Crable (1981) “conflict is a disagreement or a lack of harmony ”. Kalimat tersebut
dapat diartikan dengan konflik merupakan ketidaksepahaman atau ketidakcocokan. Weiten
(2004) mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih mot ivasi atau dorongan
berperilaku yang tidak sejalan harus diekspresikan secara bersamaan.
Hal ini sejalan dengan defenisi yang diuraikan oleh Plotnik (2005) bahwa konflik sebagai
perasaan yang dialami ketika individu harus memilih antara dua atau lebih pilihan yang tidak
sejalan. Lewis A. Coser ingin membangun suatu teori yang didasarkan pada
pemikiranGeorge Simmel. Menurut pendapatnya dinyatakan bahwa konflik adalah
perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa
dan sumber -sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Konflik dapat terjadi
antarindividu, antarkelompok dan antarindividu dengan kelompok. Berdasarkan beberapa
defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu keadaan yang terjadi
karena seseorang berada di bawah tekanan untuk merespon stimulus-stimulus yang muncul
akibat adanya dua motif yang saling bertentangan dimana antara motif yang satu akan
menimbulkan frustasi pada motif yang lain. Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam
konflik, Stonerdan Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi 6 (enam) macam, yaitu:
1) Konflik dalam diri individu (conflict within the individual),
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals)
3) Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups)
4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the
same organiz ation)
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations)
5. 6) Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in
different organizations).
Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadihanya satu pihak yang sadar dan
memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya
pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif(Robbins, 1993). Konflik
merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan
kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya
perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace &
Faules, 1994:249).
TEORI AKTOR DALAM KEBIJAKAN PUBLIK
Menurut Howlet dan Ramesh, aktor-aktor dalam kebijakan terdiri atas lima kategori, yaitu
sebagai berikut:
1) Aparatur yang dipilih (elected official) yaitu berupa eksekutif dan legislative;
2) Aparatur yang ditunjuk (appointed official), sebagai asisten birokrat,biasanya
menjadi kunci dasar dan sentral figure dalam proses kebijakan atau subsistem
kebijakan;
3) Kelompok-kelompok kepentingan (interest group), Pemerintah dan politikus
seringkali membutuhkan informasi yang disajikan oleh kelompok-kelompok
kepentingan guna efektifitas pembuatan kebijakan atau untuk menyerang oposisi
mereka;
4) Organisasi-organisasi penelitian (research organization), berupa Universitas,
kelompok ahli atau konsultan kebijakan;
5) Media massa (mass media), sebagai jaringan hubungan yang krusial diantara
Negara dan masyarakat sebagai media sosialisasi dan komunikasi melaporkan
permasalahan yang dikombinasikan antara peran reporter dengan peran analis
aktiv sebagai advokasi solusi.
Long & Long (1992) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa perumusan kebijakan publik
yang partisipatif, interaksi aktor harus berlangsung secara setara, intersif dan interface. Model
inilah yang oleh kedua penulis disebut sebagai model orientasi aktor. Sementara de Zeeuw
(2001), seorang psikolog menyimpulkan bahwa perumus kebijakan publik seharusnya
memperhatikan potensi dan kemampuan masyarakat anggota kolektivitas secara keseluruhan
6. sehingga kebijakan yang ditentukan tidak memihak dan dapat diakses oleh seluruh aktor
yang terlibat dalam kolektivitas tersebut.
Harmon (1969) meneliti tentang kepentingan publik yang merupakan konsekuensi yang
muncul dalam proses formulasi kebijakan publik yang ditentukan oleh orientasi dan
kepentingan aktor yang terlibat di dalamnya, baik aktor pemerintah (administrator) maupun
aktor masyarakat yang terdiferensiasi berdasar kelompok-kelompok kepentingan yang ada di
dalam komunitas masyarakat. Dari berbagai sifat kepentingan publik yang diuraikan tersebut,
Harmon membuat model gaya atau karakter kebijakan publik yang mempertemukan antara
tingkat responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) dengan tingkatdukungan kebijakan
(policy advocacy) dalam proses formulasi kebijakannya. Almond & Verba (1985) meneliti
perbandingan orientasi aktor yang disebut sebagai budaya politik di berbagai negara
menyimpulkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara penampilan rezim politik yang
tergambar dalam model-model dan sifat kebijakan yang dibuatnya dengan tipologi budaya
politik masyarakatnya.
Sinclair (2002) dalam penelitiannya di Brazilia menekankan pentingnya peran dan
keterlibatan masyarakat dalam segala proses pembangunan. Dalam model yang disebut
“Manitoba Approach”ini disimpulkan bahwa, konsultasi masyarakat merupakan bagian
integral yang harus dilakukan dalam setiap tahapan pembangunan, baik proses perencanaan,
pelaksanaan maupun pelestarian keberlangsungan hasil pembangunan (Sustainable
development). Analisis kebijakan publik dengan menggunakan pendekatan orientasi aktor ini
memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:
(1) logika yang mendasarinya adalah setiap individu memperoleh kemampuan dan
kesempatan berperan dalam proses kemasyarakatan dan kehidupan. Dalam konteks
pembangunan ini bermakna sebagai pembangunan yang partisipatif
(2) dalam model ini, pembangunan berarti untuk semua (semua kelompok sasaran seperti
wanita, anak-anak, penduduk miskin dan lainnya) dan pembangunan bermakna
pemerataan
(3) pembangunan didasarkan pada logika keseimbangan ekologi lingkungan,yang berarti
tidak hanya mementingkan generasi sekarang, tetapi juga generasi mendatang; dalam
konteks ini berarti bermakna pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development).
7. Pendekatan ini memberikan makna bahwa persoalan bersama termasuk di dalamnya adalah
persoalan perencanaan, pelaksanaan dan pelestarianpembangunan harus merupakan hasil
orientasi masing-masing aktor, karena tidak bisa aktortertentu seperti negara sebagai
misalnya dengan begitu saja mengatas namakan masyarakat sebagai pihak yang pasti
memahami dan menerima perencanaan pembangunan yang dilaksanakan.
MODEL-MODEL PERUMUSAN PUBLIK
MODEL INSTITUSIONAL (kebijakan adalah hasil dari lembaga)
Yaitu hubungan antara kebijakan (policy) dengan institusi pemerintah sangat dekat. Suatu
kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik kecuali jika diformulasikan, serta
diimplementasi oleh lembaga pemerintah. Menurut Thomas dye: dalam kebijakan publik
lembaga pemerintahan memiliki tiga hal, yaitu :
a) Legitimasi
b) Universalitas
c) Paksaan.
Lembaga pemerintah yang melakukan tugas kebijakan-kebijakan adalah: lembaga legislatif,
eksekutif dan judikatif. Termasuk juga didalamnya adalah lembaga pemerintah daerah dan
yang ada dibawahnya.
Masyarakat harus patuh karena adanya legitimasi politik yang berhak untuk memaksakan
kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut kemudian diputuskan dan dilaksanakan oleh institusi
pemerintah. Undang-undanglah yang menetapkan kelembagaan negara dalam pembuatan
kebijkaan. Oleh karenanya pembagaian kekuasanaan melakukan checks dan balances.
Otonomi daerah juga memberikan nuansa kepada kebijakan publik.
KERANGKA BERFIKIR
PEMERINTAH INGIN
MEMBUAT SEBUAH UU
PENINGKATAN KUALITAS
PERGURUAN TINGGI
8. MELIBAT SEBAGIAN AKTOR
ANTARA LAIN REKTOR
4 APRIL 2012 DRAFT UU
SUDAH TERSEBAR DI
MASYARAKAT
SUDAH ADA PENOLAKAN
DARI SEBAGIAN KALANGAN
TERUTAMA MAHASISWA
FINAL, 12 JULI PRESIDEN
MENGESAHKAN UU NOMOR
12 TAHUN 2012 (UU DIKTI)
SEBELUMNYA DIBUAT
UU BHP
NAMUN DI TOLAK MK
KEINGINAN PARA REKTOR
TENTANG OTONOMI
KAMPUS
ADANYA PERTENTANGAN
PENDAPAT KELOMPOK PRO
DAN KONTRA
ANALISIS SESUAI KAJIAN
TEORI
MAHASISWA, LSM, SERTA
AKTIVIS LAINNYA MENUNTUT
PENCABUTAN UU TERSEBUT
9. ANALISIS
AKTOR-AKTOR YANG TERLIBAT DI DALAM UU NOMOR 12 TAHUN 2012
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam setiap kebijakan yang dirumuskan tidak lepas dari
kepentingan para aktor yang ingin mendapat keuntungan dengan menumpang pada setiap
kebijakan yang dibuat. Menumpangnya para aktor ini dalam setiap kebijakan akan
menyebabkan sulitnya dalam mengimplementasikan kebijakan yang ingin dijalankan. Hal ini
berlaku sama terhadap setiap kebijakan, jugakepada kebijakan Rancangan Undang Undang
Pertembakauan. Kebijakan ini sudah menuai pro dan kontra bahkan sebelum dia ada.
Ketika Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (UU PT) disahkan
oleh Presiden 12 Agustus 2012 muncul penolakan dari berbagai pihak, mulai dari kalangan
pengamat pendidikan, mahasiswa, Perguruan Tinggi Swasta, hingga Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Penolakan itu merupakan rentetan keberatan sejak UU PT itu masih
dalam bentuk Draft, 4 April 2012. Beberapa keberatan itu antara lain indikasi bahwa UU PT
merupakan hasil “kloning” dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP),
indikasi Liberalisasi Pendidikan Tinggi dan “sengketa” kewenangan dalam otonomi
pendidikan tinggi.
Dengan ini, dapat dilihat bahwa hampir seluruh elemen masyarakat memiliki perhatian yang
besar terhadap proses pembuatan kebijakan ini. Merunut kepada teori Howlet dan Ramesh
mengenai aktor-aktor dalam kebijakan, maka dalam perumusan kebijakan UU nomor 12
tahun 2012 terdiri lima kategori aktor, yaitu sebagai berikut:
1. Aparatur yang dipilih (elected official). Aparatur terpilih dalam kasus ini adalah
DPR RI dengan perwakilan Badan Legislasi DPR RI. Selain itu adanya masukan
dari kalangan akademisi terhadap penetapan UU tersebut.
2. Aparatur yang ditunjuk (appointed official), dalam hal ini UU nomor 12 tahun 2012
dirumuskan bersama dengan Kementeria Pendidikan dan kebudayaan
(KEMENDIKBUD).
3. Kelompok-kelompok kepentingan (interest group), Mahasiswa menginginkan
peratuaran tersebut diganti. Mereka berharap agar tidak ada pendiskriminasian
terhadap suatu golongan. Sementara banyak kalangan akademisi universitas
menganggap kebijakan tersebut adalah tetap. Oleh karena itu ada 2 kepentingan
didalam formulasi kebijakan publik.
10. 4. Organisasi-organisasi penelitian (research organization), berupa Universitas,
kelompok ahli atau konsultan kebijakan. Dalam kasus ini, terdapat berbagai Badan
Eksekutif Mahasiswa yang juga memberikan masukan dan pandangan terhadap
kasus ini.
5. Media massa (mass media), sebagai jaringan hubungan yang krusial diantara Negara
dan masyarakat sebagai media sosialisasi dan komunikasi melaporkan permasalahan
yang dikombinasikan antara peran reporter dengan peran analis aktif sebagai
advokasi solusi. Terdapat berbagai media yang memberitakan mengenai kasus ini,
mulai dari berita di televisi nasional hingga di mediaonline.
KONFLIK KEPENTINGAN
Berdasarkan kepada pendapat Stoner dan Freeman (1989:393), pihak-pihak yang terlibat di
dalam konflik terbagi menjadi 6 (enam) macam, yaitu: Konflik dalam diri individu (conflict
within the individual), Konflik antar-individu (conflict among individuals), Konflik antara
individu dan kelompok (conflict among individuals and groups), Konflik antar kelompok
dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization), Konflik antar
organisasi (conflict among organizations), Konflik antar individu dalam organisasi yang
berbeda (conflict amongindividuals in different organizations). Berdasarkan hasil temuan dari
Badan Legislasi, muncul beberapa bentuk permasalahan atau konflik yang harus dikaji
kembali demi tercapainya UU nomor 12 tahun 2012, yaitu:
Konflik antar organisasi (conflict among organizations), Jika ditinjau dari
permasalahan maka saya menggolongkan konflik tersebut terbagi atas dua kubu yang
berlawanan. Dimana Pemerintah serta para Akademisi Universitas menyambut baik
adanya UU tersebut. Sementara kubu lain yaitu Mahasiswa serta Sebagian
Masyarakat menunjukan sikap penolakan terhadap permasalahan tersebut.
11. KESIMPULAN
Pemerintah berniat untuk meningkatkan kualitas pendidikan oleh karena itu Pemerintah
membuat sebuah UU tentang pemberian otonomi kepada kampus, otonomi tersebut diyakini
akan membuat keluluasaan terhadap kampus dalam mengatur tentang hak serta kewajiban
universita yang nantinya akan mencapai tujuan dari pemerintah.
Namun disisi lain banyak sebagian kalangan terutama mahasiswa menilai UU tersebut
hanyalah sebuah kedok terhadap sebuah pencarian profit semata didalam kampus. Selain itu
mereka menilai UU tersebut membuat adanya pendiskriminasian terhadap calon mahasiswa.
Oleh karena itu kebijakan tersebut semula memihak pada kepentingan pihak Universitas.
SARAN
Untuk kemudian hari tidak terjadi konflik yang berkepanjangan maka ada sebaiknya
pemerintah melakukan sebuah penyelesaian dengan menggunakan metode penyelesaian
Stoner dan Freeman (1989) dimana pemirintah melakukan sebuah diplomasi kepada pihak
yang tidak sependapat lalu membujuk agar meminimalisir ketidaksesuaian pemahaman. Lalu
pemerintah harus membuktikan bahwa keputusan tersebut tepat dengan peningkatan mutu
pendidikan.
Selain itu untuk menjawab segala tuduhan dari pihak kontra maka pemerintah kedepannya
perlu melakukan sebuah pengawasan di beberapa kampus. Pengawasan tersebut melibatkan
seluruh elemen masyarakat terutama mahasiswa terkait implementasi dari UU tesebut.
12. DAFTAR PUSTAKA
WEBITE
http://hukum.kompasiana.com/2013/08/31/mk-menolak-pengujian-uu-no12-tahun-2012-tentang-pemilu-
489895.html
http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU12-2012/Sikap7PTN.html
KORAN
Kompas Cetak, Selasa, 25 Juni 2013, halaman 7
BUKU
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Jakarta : Alfabeta.
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. Jakarta : Kompas Gramedia
Kusumanegara, Solahudin. 2010. Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik.
Yogyakarta : Gava Media