SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 21
Descargar para leer sin conexión
15
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI
(GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI
PERDESAAN
Syahyuti
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jl A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT
Institutional development is one of the fundamental component in all devices of
Agriculture, Fishery, and Forestry Revitalization in 2005-2025. Actually, institutional
approach have been a fundamental component in agriculture and rural development
programs. Farmers institutions tend to only positioned as a means of the implementation of
merely project, not as part of efforts for more basic empowerment. In the future,
institutional development should be designed to improve self-support community capacity
with the expectation of their participation role as asset of rural community. Establishment
of farmers group alliance in each village, should also consider local social capital as a base
of local self-support principle, adopted through autonomy and empowerment.
Key words : social institution, farmers group alliance, agriculture revitalization, local
autonomy, empowerment
ABSTRAK
Pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam
keseluruhan rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) tahun
2005-2025. Selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok
dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. Namun, kelembagaan petani cenderung
hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai
upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar. Ke depan, agar dapat berperan sebagai
aset komunitas masyarakat desa yang partisipatif, maka pengembangan kelembagaan harus
dirancang sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas masyarakat itu sendiri sehingga
menjadi mandiri. Pembentukan dan pengembangan Gapoktan yang akan dibentuk di setiap
desa, juga harus menggunakan basis social capital setempat dengan prinsip kemandirian
lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan.
Kata kunci : kelembagaan, gabungan kelompok tani, revitalisasi pertanian, otonomi
daerah, pemberdayaan
PENDAHULUAN
Dari sisi iklim makro, dunia pertanian di Indonesia saat ini berada pada
babak baru dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan yang tergolong memiliki
perspektif mendasar dan luas. Dua di antara kebijakan tersebut adalah
16
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005-2025
dan telah dikeluarkannya Undang Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Undang-Undang ini merupakan
impian lama kalangan penyuluhan yang sudah diwacanakan semenjak awal tahun
1980-an. Kelahiran UU ini dapat pula mempunyai makna sebagai upaya untuk
mewujudkan revitalisasi pertanian arti luas, meliputi pertanian, perikanan dan
kehutanan.
Pada kedua kebijakan tersebut, permasalahan kelembagaan tetap
merupakan bagian yang esensial, baik kelembagaan di tingkat makro maupun di
tingkat mikro. Di tingkat makro, satu kelembagaan baru yang akan lahir adalah
Badan Koordinasi Penyuluhan sebagai lembaga pemerintah non departemen, yang
akan merumuskan secara terperinci tentang metode penyuluhan, strategi
penyuluhan, dan kebijakan penyuluhan.
Di tingkat mikro, akan dibentuk beberapa lembaga baru, misalnya Pos
Penyuluhan Desa dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Departemen
Pertanian menargetkan akan membentuk satu Gapoktan di setiap desa khususnya
yang berbasiskan pertanian. Ini merupakan satu lembaga andalan baru, meskipun
semenjak awal 1990-an Gapoktan telah dikenal. Saat ini, Gapoktan diberi
pemaknaan baru, termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi
lembaga gerbang (gateway institution) yang menjadi penghubung petani satu desa
dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk
fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi,
pemasaran produk pertanian, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang
dibutuhkan petani.
Tulisan ini menjadi penting, karena sampai saat ini, konsep dan strategi
pembentukan dan pengembangan Gapoktan tersebut masih dimatangkan
rumusannya di tingkat Deptan. Dalam konteks tersebut, tulisan ini berupaya
memberikan peringatan dan arahan kepada semua pihak berkenaan dengan
pengembangan kelembagaan petani di perdesaan umumnya dan secara khusus
untuk pengembangan Gapoktan.
Point utama yang ingin disampaikan adalah perlu dihindari pengem-
bangan kelembagaan dengan konsep cetak biru (blue print approach) yang
seragam, karena telah memperlihatkan kegagalan. Pemberdayaan petani dan usaha
kecil di perdesaan oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan
kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah kegagalan pengembangan
kelompok dimaksud, karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang.
Kelompok yang dibentuk terlihat hanya sebagai alat kelengkapan proyek, belum
sebagai wadah untuk pemberdayaan masyarakat secara hakiki. Introduksi
kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan
lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan.
Pendekatan yang top-down planning menyebabkan partisipasi masyarakat tidak
tumbuh. Tulisan ini ingin mengkaji secara kritis kebijakan Deptan untuk
17
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
pengembangan Gapoktan, serta mengidentifikasi berbagai hambatan dan tanta-
ngan yang akan dihadapi.
STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DALAM
RANCANGAN RPPK
Pengembangan kelembagaan perlu memperoleh perhatian khusus, karena
ia merupakan komponen utama dalam strategi revitalisasi secara keseluruhan.
Salah satu ciri RPPK adalah pelibatan banyak pihak sekaligus. RPPK melibatkan
hampir seluruh institusi pemerintahan di tingkat pusat. Selain itu, RPPK juga
menyertakan dunia usaha, kalangan petani dan nelayan, serta akademisi dan
lembaga masyarakat, baik dalam penyusunannya maupun dalam proses
implementasinya. Atas dasar itu, koordinasi dan sinkronisasi di antara berbagai
pihak yang terkait akan menjadi faktor yang sangat menentukan, baik dalam
perumusan RPPK maupun dalam mewujudkannya. Secara teoritis, “koordinasi”
dan “sinkronisasi” merupakan dua perhatian utama dalam bidang kelembagaan.
Khusus untuk sektor pertanian, dibutuhkan berbagai kebijakan dan strategi
mulai dari kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan
pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama
internasional. Serta kebijakan mikro berupa kebijakan pengembangan
infrastruktur, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya
lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, dan pengembangan organisasi
petani). Pada tingkat lokal, pemerintah daerah juga perlu memperhatikan
pengembangan infrastuktur pertanian, pengembangan kelembagaan berupa
pemberdayaan penyuluh pertanian dan pengembangan instansi lingkup pertanian.
Lemahnya kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, lembaga input,
pemasaran, dan penyuluhan; telah menyebabkan belum dapat menciptakan
suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri perdesaan. Selain itu,
lemahnya kelembagaan ini berakibat pada sistem pertanian tidak efisien, dan
keuntungan yang diterima petani relatif rendah.
Dari sisi kelembagaan, akan dijumpai kendala yang bersifat fungsional,
karena pendekatan strategi revitalisasi pertanian yang terkesan sektoral. Apabila
tujuan utama (ends) dari revitalisasi ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
petani, maka peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian,
perkebunan, dan perikanan haruslah dilihat sebagai instrumen saja (means).
Dalam tabel ”Matrik Keterkaitan Dukungan Kelembagaan Dalam
Pembangunan Pertanian” (Badan Litbang Pertanian, 2005), disebutkan ada 11
kebijakan yang dicakup dalam RPPK sektor pertanian. Dalam tabel tersebut
terlihat pembedaan antara ”Kebijakan Pengembangan Kelembagaan” (point nomor
5) dengan ”Kebijakan Pengembangan Organisasi Ekonomi Petani” (point nomor
18
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
7). Tampaknya pembedaan seperti ini mengikuti pembedaan yang dilakukan
banyak kalangan, bahwa ”kelembagaan” dan ”organisasi” adalah berbeda. Dalam
dokumen RPPK, berbagai kelembagaan yang dimaksud dalam ”kebijakan
pengembangan kelembagaan” adalah berupa lembaga keuangan perdesaan, sistem
perbankan di daerah, lembaga keuangan lokal, dan lembaga pengawas mutu
produk-produk. Sementara, dalam ”kebijakan pengembangan organisasi ekonomi
petani” terdapat kelembagaan ketahanan pangan di perdesaan, dan kelembagaan
ekonomi petani di perdesaan.
Pembedaan seperti ini memperlihatkan bahwa “kelembagaan” adalah
sesuatu yang berada di ”atas petani”, sedangkan “organisasi” berada di level
petani, sebagaimana yang dianut kalangan ahli “ekonomi kelembagaan”. Menurut
North (2005), institution adalah “the rules of the game”, sedangkan organizations
adalah “their entrepreneurs are the players”. Pendapat ini diperkuat oleh Robin
(2005), yang berpendapat bahwa “institutions determine social organization”.
Jadi, kelembagaan merupakan wadah tempat organisasi-organisasi hidup.
Memperhatikan dokumen RPPK, maka kelembagaan di RPPK dapat
dipilah menjadi tiga level, yaitu level di pemerintahan daerah, dan level lokal di
tingkat petani. Level pemerintah daerah perlu dibedakan dengan tegas, karena
dengan semangat otonomi daerah, maka kewenangan daerah telah menjadi
relative besar. Kelembagaan di pusat mengaitkan tata hubungan kerja antar
departemen, lembaga, atau stakeholders. Pada tataran ini, kewenangan utama
kelembagaan adalah dalam hal pembuatan kebijakan. Beberapa kebijakan yang
perlu dirumuskan misalnya kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis
produksi berupa kebijakan untuk peningkatan investasi swasta; penataan hak,
kepemilikan dan penggunaan lahan; kebijakan pewilayahan komoditas; dan
kebijakan untuk meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian.
Pada tataran pusat tersebut terdapat banyak kebijakan dan strategi yang
terkait langsung dengan pembangunan pertanian, namun kewenangannya berada
di berbagai instansi lain. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan makro, kebijakan
moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan
perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional, kebijakan pengembangan
infrastruktur khususnya pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan,
kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan,
fungsi penelitian dan pengembangan, pengembangan SDM, dan pengembangan
organisasi petani), kebijakan pendayagunaan dan rehabilitasi sumberdaya alam
dan lingkungan, kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan baru, dan kebijakan
pengembangan ketahanan pangan.
Implementasi kelembagaan dalam revitalisasi pembangunan pertanian
diharapkan tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan dalam pengembangan
kelembagaan yang sudah lalu. Untuk itu, para pelaksana perlu memahami tentang
“analisis kelembagaan”. Dalam World Bank (2005a), institutional analysis adalah
“... helps to identify the constraints within an organization that can undermine
19
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
policy implementation. These constraints may exist at the level of internal
processes, concern relationships among organizations (e.g., between ministries),
or be a product of the way that the system is organized (reporting hierarchies) or
operates (the financial year is not followed in practice and accounts are not
closed)”. Dalam analisis kelembagaan, dipelajari kelembagaan-kelembagaan
formal maupun “soft institutions” seperti tata aturan, maupun struktur kekuasaan
pada berbagai tingkatan.
REVITALISASI KELEMBAGAAN EKONOMI PETANI
Saat ini, meskipun dengan kondisi yang bervariasi, di tingkat desa telah
ada berbagai kelembagaan ekonomi petani, yaitu kelompok tani dan koperasi.
Dalam konteks peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani, Deptan akan
melakukan penguatan kelompok tani dan pengembangan koperasi tani pada 436
kabupaten/kota di 32 propinsi, mengaktifkan forum pertemuan penyuluh
swakarsa, pertemuan kontak tani, serta pendataan dan penumbuhan kelompok tani
dan kelembagaan ekonomi petani.
Secara konseptual, tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat
memainkan peran tunggal atau ganda. Berbagai peran yang dapat dimainkan
sebuah lembaga adalah sebagai lembaga pengelolaan sumberdaya alam (misalnya
P3A), untuk tujuan aktivitas kolektif (kelompok kerja sambat sinambat), untuk
pengembangan usaha (KUA dan koperasi), untuk melayani kebutuhan informasi
(kelompok Pencapir), untuk tujuan representatif politik (HKTI), dan lain-lain.
Khusus untuk kegiatan ekonomi, terdapat banyak lembaga perdesaan yang
diarahkan sebagai lembaga ekonomi, di antaranya adalah kelompok tani, koperasi,
dan Kelompok Usaha Agribisnis. Secara konseptual, masing-masing lembaga
dapat menjalankan peran yang sama (tumpang tindih). Koperasi sebagai contoh,
dapat menjalankan seluruh aktivitas agribisnis, mulai dari hulu sampai ke hilir.
Namun, ada keengganan sebagian pihak untuk menggunakan ”koperasi” sebagai
entry point untuk pengembangan ekonomi petani, yang mungkin karena kesan
negatif yang selama ini disandangnya. Gapoktan pada hakekatnya bukanlah
lembaga dengan fungsi yang baru sama sekali, namun hanyalah lembaga yang
dapat dipilih (opsi) di samping lembaga-lembaga lain yang juga terlibat dalam
aktivitas ekonomi secara langsung.
Pengembangan Gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan
aksesibilitas petani terhadap berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah
terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga
penyedia sarana produksi pertanian, serta terhadap sumber informasi. Pada
prinsipnya, lembaga Gapoktan diarahkan sebagai sebuah kelembagaan ekonomi,
namun diharapkan juga mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Terhadap
pedagang saprotan maupun pedagang hasil-hasil pertanian, Gapoktan diharapkan
20
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
dapat menjalankan fungsi kemitraan dengan adil dan saling menguntungkan.
Namun demikian, jika Gapoktan dinilai lebih mampu menjalankan peranannya
dibandingkan dengan kios saprodi ataupun pedagang pengumpul, maka Gapoktan
dapat menggantikan peranan mereka.
Untuk menjalankan fungsi pemenuhan kebutuhan informasi teknologi
pertanian ataupun informasi pasar, Deptan akan membenahi kelembagaan
penyuluhan. Penataan kelembagaan penyuluhan pertanian mulai dari propinsi
sampai ke desa, yaitu berupa bantuan sewa/kontrak bagi 1698 BPP,
pengembangan 88 BPP Model di 6 Propinsi RPPK, serta penguatan kelompok tani
dan pengembangan koperasi tani (Badan SDM Pertanian, 2006). Selain itu, akan
dilakukan pengangkatan 3.000 tenaga penyuluh pertanian honorer, revisi SK
Menkowasbangpan No. 19/1999 tentang jabatan fungsional penyuluh pertanian
dan angka kreditnya. Selain itu juga ada penyediaan Biaya Operasional Penyuluh
(BOP) bagi 26.820 orang penyuluh pertanian, penyediaan alat komunikasi, dan
penyusunan buku kerja bagi penyuluh pertanian.
Pengembangan kelembagaan saat ini tidak lagi sama dengan era Bimas.
Keberhasilan Program Bimas dahulu didukung secara sistematis dan terstruktur
yaitu didukung oleh political will dan birokrasi yang kuat, sentralistis, penyediaan
subsidi, delivery system yang baik, anggaran yang cukup besar, organisasi
penyuluhan, serta prasarana dan sarana yang memadai. Penyuluh menjadi agen
untuk berbagai fungsi, tidak hanya menghantarkan teknologi, tapi juga pemenuhan
saprotan dan modal usahatani. Dengan skala pekerjaan yang besar tersebut,
penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak mungkin dilaksanakan dengan
pendekatan individu, namun dilakukan melalui pendekatan kelompok. Pendekatan
ini mendorong petani untuk membentuk kelembagaan tani yang kuat agar dapat
membangun sinergi antar petani, baik dalam proses belajar, kerjasama maupun
sebagai unit usaha yang merupakan bagian dari usahataninya.
Menurut laporan Deptan (2006), sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah
kelembagaan petani yang tercatat adalah 293.568 kelompok tani, 1.365 asosiasi
tani, 10.527 koperasi tani, dan 272 P4S. Sekarang ini 375 kabupaten/kota atau 86
persen dari total kabupaten/kota mempunyai kelembagaan penyuluhan pertanian
dalam bentuk Badan/Kantor/Balai/Sub Dinas/Seksi/ UPTD/Kelompok Penyuluh
Pertanian. Sisanya, yaitu 61 kabupaten/kota (14 %) bentuk kelembagaannya tidak
jelas. Sementara itu di Kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian yang
terdepan yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), pada saat ini dari 5.187
Kecamatan baru terbentuk 3.557 unit (69 %).
KONSEP DAN STRATEGI YANG DIANUT DEPTAN DALAM
PENGEMBANGAN GAPOKTAN
Sampai dengan tahun 2006, setidaknya sudah terbentuk 3.000 unit
Gapoktan. Khusus untuk tahun 2007, Deptan menargetkan pembentukan 22 ribu
21
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
unit Gapoktan. Tujuan utama pembentukan dan penguatan Gapoktan adalah untuk
memperkuat kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah
kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Deptan, 2006). Disini
terlihat bahwa, pembentukan Gapoktan bias kepada kepentingan “atas”, yaitu
sebagai “kendaraan” untuk menyalurkan dan menjalankan berbagai kebijakan dari
luar desa. Pembentukan Gapoktan, meskipun nanti dapat saja menjadi lembaga
yang mewakili kebutuhan petani sebagai representative institution, namun awal
terbentuknya bukan dari kebutuhan internal secara mengakar. Ini merupakan
gejala yang berulang sebagaimana dulu sering terjadi, yaitu hanya mementingkan
kuantitas belaka, namun tidak berakar di masyarakat setempat. Target akhir adalah
aktifnya 66.000 Gapoktan hingga tahun 2009. Ini artinya, seluruh desa di
Indonesia akan memiliki sebuah Gapoktan.
Kegiatan di tahun 2006 adalah mengumpulkan data profil kelembagaan
usaha petani di tingkat desa di masing-masing wilayah. Berdasarkan data tersebut,
serta sesuai dengan masalah yang dihadapi kelembagaan usaha petani tingkat desa,
maka pada tahun 2007 lembaga usaha petani/peternak di tingkat desa tersebut
akan dibimbing, dilatih dan didampingi guna memperoleh akses terhadap
informasi pasar, teknologi dan permodalan. Dengan demikian, pada tahun-tahun
mendatang fasilitasi dan pengukuran pembangunan pertanian oleh dinas dan
instansi di daerah maupun oleh propinsi dan pemerintah harus dilakukan melalui
Gapoktan yang ada di masing-masing desa yang beranggotakan seluruh petani,
peternak, dan nelayan di desa tersebut.
Gapoktan tersebut akan senantiasa dibina dan dikawal hingga menjadi
lembaga usaha yang mandiri, profesional dan memiliki jaringan kerja luas.
Lembaga pendamping yang utama adalah Dinas Pertanian setempat, di mana para
penyuluh merupakan ujung tombak di lapangan. Penguatan dari sisi lain adalah
melalui implementasi berbagai kegiatan pemerintah yang didistribusikan ke desa,
dimana Gapoktan selalu dilibatkan dalam setiap kegiatan yang memungkinkan.
Pembentukan Gapoktan didasari oleh visi yang diusung, bahwa pertanian
modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada
organisasi yang dicirikan dengan adanya organisasi ekonomi yang mampu
menyentuh dan menggerakkan perekonomian di perdesaan melalui pertanian, di
antaranya adalah dengan membentuk Gapoktan (Sekjen Deptan, 2006). Unit-unit
usaha dalam Gapoktan dapat menjadi penggerak perekonomian di perdesaan.
Untuk mendukung rencana tersebut, tiap propinsi mulai tahun 2007 diwajibkan
untuk membuat cetak biru (master plan) pengembangan agribisnis di
kabupaten/kota sesuai komoditas unggulan.
Pembangunan pertanian telah mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun
1980 an, komoditas-komoditas yang sebelumnya belum dikenal seperti kakao
mulai diolah dan bernilai tinggi. Akan tetapi sejalan perkembangan pembangunan
pertanian, harus diakui kebijakan makro belum sejalan dengan pengembangan
sektor riil pertanian. Faktor faktor tersebut antara lain, masih tingginya suku bunga
22
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
bank sehingga menyulitkan permodalan petani, infrastruktur yang belum
memadai, sistim alih teknologi yang belum lancar, fluktuasi harga dan lemahnya
posisi tawar petani. Gapoktan dibangun dalam upaya untuk memperkuat posisi
daya tawar petani berhadapan dengan pihak luar (external institutions).
Gapoktan menjadi lembaga gerbang (gateway institution) yang
menjalankan fungsi representatif bagi seluruh petani dan kelembagaan-
kelembagaan lain yang levelnya lebih rendah. Ia diharapkan menjadi gerbang
tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tapi juga pemenuhan modal, kebutuhan
pasar, dan informasi.
KONSEP PERAN GAPOKTAN DALAM PENGEMBANGAN
KELEMBAGAAN PERDESAAN
Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 93/Kpts/OT.210/3/1997
tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani-Nelayan, “kelompok tani-nelayan”
adalah kumpulan petani-nelayan yang tumbuh berdasarkan keakraban dan
keserasian, serta kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya
pertanian untuk bekerjasama meningkatkan produktivitas usaha tani nelayan dan
kesejahteraan anggotanya. Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan
para petani secara horizontal, dan dapat dibentuk beberapa unit dalam satu desa.
Kelompok tani juga dapat dibentuk berdasarkan komoditas, areal pertanian, dan
gender.
Sementara itu, “Gapoktan” adalah gabungan dari beberapa kelompok tani
yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan
sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi
anggotanya dan petani lainnya. Gapoktan merupakan Wadah Kerjasama Antar
Kelompok tani-nelayan (WKAK), yaitu kumpulan dari beberapa kelompok tani-
nelayan yang mempunyai kepentingan yang sama dalam pengembangan
komoditas usaha tani tertentu untuk menggalang kepentingan bersama. Dalam
Kepmen tersebut, dibedakan antara Gapoktan dengan Asosiasi Petani-Nelayan.
Dalam batasan ini, asosiasi adalah kumpulan petani-nelayan yang sudah
mengusahakan satu atau kombinasi beberapa komoditas pertanian secara
komersial.
Untuk meningkatkan skala usaha dan peningkatan usaha kearah
komersial, kelompok tani dapat dikembangkan melalui kerjasama antar kelompok
dengan membentuk Gapoktan. Pada prinsipnya, baik Wadah Kerjasama Antar
Kelompok tani (WKAK) ataupun Asosiasi Kelompok tani, apabila sudah memiliki
tingkat kemampuan yang tinggi dan telah mampu mengelola usaha tani secara
komersial, serta memerlukan bentuk badan hukum untuk mengembangkan
usahanya; maka dapat ditingkatkan menjadi bentuk organisasi yang formal dan
berbadan hukum, sesuai dengan kesepakatan para petani anggotanya. Disini
23
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
terlihat, bahwa pengembangan Gapoktan merupakan suatu proses lanjut dari
lembaga petani yang sudah berjalan baik, misalnya kelompok-kelompok tani.
Dengan kata lain, adalah tidak tepat langsung membuat Gapoktan pada wilayah
yang secara nyata kelompok-kelompok taninya tidak berjalan baik. Ketentuan ini
sesuai dengan pola pengembangan kelembagaan secara umum, karena Gapoktan
diposisikan sebagai institusi yang mengkoordinasi lembaga-lembaga fungsional di
bawahnya, yaitu para kelompok tani.
Pemberdayaan Gapoktan tersebut berada dalam konteks penguatan
kelembagaan. Untuk dapat berkembang sistem dan usaha agribisnis memerlukan
penguatan kelembagaan baik kelembagaan petani, maupun kelembagaan usaha
dengan pemerintah berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing.
Kelembagaan petani dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan
masyarakat dan harus tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri.
Kelembagaan pertanian tersebut meliputi kelembagaan penyuluhan (BPP),
kelompok tani, Gapoktan, koperasi tani (Koptan), penangkar benih, pengusaha
benih, institusi perbenihan lainnya, kios, KUD, pasar desa, pedagang, asosiasi
petani, asosiasi industri olahan, asosiasi benih, P3A, UPJA, dan lain-lain.
Dari berbagai literatur, setidaknya terdapat tiga peran pokok yang
diharapkan dapat dimainkan oleh Gapoktan. Pertama, Gapoktan difungsikan
sebagai lembaga sentral dalam sistem yang terbangun, misalnya terlibat dalam
penyaluran benih bersubsidi yaitu bertugas merekap daftar permintaan benih dan
nama anggota. Demikian pula dalam pencairan anggaran subsidi benih dengan
menerima voucher dari Dinas Pertanian setempat. Gapoktan merupakan lembaga
strategis yang akan merangkum seluruh aktifitas kelembagaan petani di wilayah
tersebut. Gapoktan dijadikan sebagai basis usaha petani peternak di setiap
perdesaan.
Kedua, Gapoktan juga dibebankan untuk peningkatan ketahanan pangan di
tingkat lokal. Mulai tahun 2006 melalui Badan Ketahanan Pangan telah
dilaksanakan “Program Desa Mandiri Pangan” dalam rangka mengatasi
kerawanan dan kemiskinan di perdesaan. Pengentasan kemiskinan dan kerawanan
pangan dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat secara
partisipatif. Untuk tahun 2006 kegiatan ini bejalan di 244 desa di 122 kabupaten
rawan pangan, sedangkan dalam rencana 2007 akan diperluas menjadi 180
kabupaten rawan pangan yang menjangkau sekitar 604 desa rawan pangan.
Dalam hal ini, masyarakat yang tergabung dalam suatu kelompok tani
dibimbing agar mampu menemukenali permasalahan yang dihadapi dan potensi
yang mereka miliki, serta mampu secara mandiri membuat rencana kerja untuk
meningkatkan pendapatannya melalui usahatani dan usaha agribisnis berbasis
perdesaan. Tahapan selanjutnya adalah, bahwa beberapa kelompok tani dalam satu
desa yang telah dibina kemudian difasilitasi untuk membentuk Gapoktan. Dengan
cara ini, petani miskin dan rawan pangan akan meningkat kemampuannya dalam
mengatasi masalah pangan dan kemiskinan di dalam suatu ikatan kelompok dan
24
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
gabungan kelompok yang merupakan wahana untuk memperjuangkan nasib para
anggotanya sesuai dengan aspirasi, kondisi sosial, ekonomi dan budaya setempat.
Masyarakat, melalui gapoktan juga diharapkan mampu mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya lokal untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
bersama.
Ketiga, mulai tahun 2007, Gapoktan dianggap sebagai Lembaga Usaha
Ekonomi Perdesaan (LUEP) sehingga dapat menerima Dana Penguatan Modal
(DPM), yaitu dana pinjaman yang dapat digunakan untuk membeli gabah petani
pada saat panen raya, sehingga harga tidak terlalu jatuh. Kegiatan DPM-LUEP
telah dimulai semenjak tahun 2003, namun baru mulai tahun 2007 Gapoktan dapat
sebagai penerima. Dalam konteks ini, Gapoktan bertindak sebagai “pedagang
gabah”, dimana ia akan membeli gabah dari petani lalu menjualkannya berikut
berbagai fungsi pemasaran lainnya.
Dengan memperhatikan banyaknya fungsi yang akan dijalankan, maka
khusus dari kalangan Deptan, tiap Gapoktan akan didukung dari program
penyuluhan dan penguatan kelompok dari Badan Pengembangan SDM Pertanian,
penguatan akses teknologi tepat guna dari Badan Litbang Pertanian, dukungan
infrastruktur pertanian dari Ditjen. Pengelolaan Lahan dan Air, bantuan dan
pembinaan usaha pengolahan dan pemasaran dari Ditjen Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian, serta dukungan permodalan dari program KKP dan
atau Dana Penjaminan. Selain dari Deptan, Gapoktan juga akan berinteraksi
dengan Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa, Departemen Dalam
Negeri. Agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan, maka koordinasi untuk menata
pelibatan setiap Gapoktan berada di Dinas Pertanian setempat bekerjasama dengan
penyuluh lapangan di wilayah Gapoktan tersebut berada.
BERBAGAI KESALAHAN DALAM PENGEMBANGAN
KELEMBAGAAN SELAMA INI
Dalam program pembangunan pertanian dan pengembangan masyarakat
perdesaan selama ini, hampir tiap program mengintroduksikan satu kelembagaan
baru ke perdesaan. Kelembagaan telah dijadikan alat yang penting untuk
menjalankan program tersebut. Namun demikian, penggunaan strategi
pengembangan kelembagaan banyak mengalami ketidaktepatan dan kekeliruan.
Berikut diuraikan berbagai permasalahan dalam pengembangan kelembagaan,
khususnya bagi kelembagaan yang tergolong ke dalam kelembagaan yang sengaja
diciptakan (enacted institution), agar dapat dihindari (Syahyuti, 2003):
(1) Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat
ikatan-ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan
terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya adalah
agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar
25
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
mereka dapat meningkat. Kelompok tani misalnya adalah kelompok orang-
orang yang selevel, yaitu pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu.
Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas
pemerintah sulit menjangkaunya.
(2) Sebagian besar kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan
dan memudahkan tugas kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk
peningkatan social capital masyarakat secara nyata. Adalah hal yang lazim,
setiap program membuat satu organisasi baru, dengan nama yang khas. Jarang
sekali suatu program dari dinas tertentu menggunakan kelompok-kelompok
yang sudah ada.
(3) Menerapkan pola generalisasi, sehingga struktur keorganisasian yang dibangun
relatif seragam, meniru bentuk kelembagaan usahatani padi sawah irigasi
teknis di Pantura Jawa (Zuraida dan Rizal, 1993). Hal ini karena pengaruh
keberhasilan pilot project Bimas tahun 1964 di Subang. Pembentukan
kelembagaan kurang memperdulikan komplek hal-hal abstrak yang ada di
masyarakat bersangkutan, yaitu berupa harapan, keinginan, tujuan, prioritas,
norma, kebutuhan, dan lain-lain yang sering kali tidak sesuai dengan program
yang diintroduksikan. Karena itulah keberhasilan program Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) pada petani pekebun lada di Lampung Utara tidak
sesukses penerapan program tersebut di Subang Jawa Barat (Agustian et al.,
2003).
(4) Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan
cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada
kontak-kontak tani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak
mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena
tidak ada social learning approach.
(5) Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah
dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktur organisasi dibangun lebih
dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap
berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun
wadahnya sudah tersedia.
(6) Pengembangan kelembagaan diyakini akan terjadi jika dukungan material
cukup. Sebagai contoh, pengembangan UPJA (Unit Pelayanan Jasa Alsintan)
dipahami dengan memberikan bantuan traktor, tresher, pompa air, dan lain-
lain; bukan bagaimana mengelolanya dengan manajemen yang baik.
BERBAGAI PRINSIP YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM
PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERDESAAN TERMASUK
GAPOKTAN
Didasarkan atas perkembangan sosiopolitik yang terjadi, maka pengem-
bangan kelembagaan perlu memperhatikan kecenderungan-kecenderungan yang
26
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
semakin menguat, dan jangan hanya memposisikan “kelembagaan sebagai alat
proyek”. Setidaknya perlu diperhatikan tiga aspek dalam pengembangan
kelembagaan, termasuk Gapoktan, yaitu: (1) konteks otonomi daerah, (2)
pengembangan kelembagaan sebagai sebuah bentuk pemberdayaan, dan (3)
kelembagaan sebagai jalan untuk mencapai kemandirian lokal. Penyelenggaraan
otonomi daerah ditekankan pada dua aspek yang sesungguhnya merupakan prinsip
dasar kemandirian lokal, yaitu menciptakan ruang bagi masyarakat untuk
mengembangkan dirinya, dan mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar
mampu memanfaatkan ruang yang tercipta. Pengembangan Gapoktan sebagai
salah satu komponen kelembagaan perdesaan, saling terkait secara fungsional
dengan konsep otonomi daerah, pemberdayaan, dan kemandirian lokal.
Pengembangan Kelembagaan dalam Konteks Otonomi Daerah
RPPK jangan sampai terjebak kembali pada kekeliruan masa lalu, yang
berpedoman pada perencanaan yang bersifat umum dan diterapkan secara
menyeluruh (grand scenario) di seluruh wilayah. Menyosialisasikan rancangan
atau skenario yang bersifat umum akan sulit dilaksanakan dan lebih banyak
bersifat mekanistik dan lepas dari kespesifikan kondisi lokal, akan mematikan
inisiatif masyarakat setempat sehingga menjadi kontraproduktif. Skenario yang
bersifat umum itu, yang pada umumnya disusun dan dipikirkan oleh sekelompok
orang saja secara terpusat, merupakan pendekatan blue print yang banyak
mengandung kelemahan (Uphoff, 1986).
Perdesaan di Indonesia, di samping bervariasi dalam kemajemukan
sistem, nilai, dan budaya; juga memiliki latar belakang sejarah yang cukup
panjang dan beragam pula. Hal ini perlu dicermati dalam memilih prinsip dasar
pengembangan dan pembangunan perdesaan di Indonesia secara integral.
Kelembagaan, termasuk organisasi, dan perangkat-perangkat aturan dan hukum
memerlukan penyesuaian sehingga peluang bagi setiap warga masyarakat untuk
bertindak sebagai aktor dalam pembangunan yang berintikan gerakan dapat
tumbuh di semua bidang kehidupannya. Pembangunan masyarakat perdesaan
untuk menciptakan kehidupan yang demokratis, baik dalam kegiatan dan aktivitas
ekonomi, serta aktivitas sosial budaya dan politik haruslah berbasis pada beberapa
prinsip dasar yang dikemukakan di atas, juga pada latar belakang sejarah, dan
kemajemukan etnis, sosial, budaya, dan ekonomi yang telah hadir sebelumnya di
setiap desa. Elemen-elemen tatanan, baik yang berupa “elemen lunak” (soft
element) seperti manusia dengan sistem nilai, kelembagaan, dan teknostrukturnya,
maupun yang berupa “elemen keras” (hard element) seperti lingkungan alam dan
sumberdayanya, merupakan entitas yang dinamis yang senantiasa menyesuaikan
diri atau tumbuh dan berkembang.
Dalam bagian “Menimbang” pada UU No. 32 tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah, disebutkan bahwa otonomi daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
27
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kita perlu mempelajari apa sesungguhnya makna filosofis dari prinsip
keotonomian? Pada tingkat terendah, otonomi mengacu pada individu sebagai
perwujudan dari hasrat untuk bebas (free will) yang melekat pada diri-diri manusia
sebagai salah satu anugerah paling berharga dari Sang Pencipta (Basri, 2005).
Free will inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi otonom sehingga
mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya
secara optimal. Individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk
komunitas yang otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul. Jadi,
pada hakekatnya, individu-individu yang otonom menjadi modal dasar bagi
perwujudan otonomi daerah yang hakiki. Dengan dasar ini, maka penguatan
otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi
setiap pelaku, bagi setiap individu.
Satu konsep yang dekat dengan otonomi daerah adalah “local
government”. Menurut Wolman and Goldsmith (1990), Local Government
Administration (LGA) adalah: “…. the government’s ability to have an
independent impact on the welfare of the residents of the local jurisdiction”. Jadi,
disini ditekankan kepada perlunya mencapai kemampuan dan kemandirian
masyarakat. Sedikit lebih luas, Boyne (1996) mendefiniskan menjadi: “… powers
the ability to innovate, experiment, and develop policies that can vary by
jurisdiction”. Selanjutnya, Kirlin (1996) merubah “government” menjadi
“governance”, dan mendefinisikannya sebagai “… capacity as the ability to make
and carry through collective choices for a geographically defined group of
people”. Pada definisi Kirlin terlihat perlunya keterlibatan masyarakat setempat.
Kemampuan pemerintah terbentuk melalui dukungan institusi-institusi lain seperti
aturan yang konstitutional, pemerintah lain yang selevel, lembaga pengadilan, dan
infrastruktur kewarganegaraan, yang digambarkan dengan luas meliputi unsur-
unsur media massa, asosiasi kewarganegaraan, dan kelompok-kelompok komuni-
tas (Chapman, 1999).
Dalam sistem apapun, secara prinsip ada tiga bentuk utama yang dapat
dilakukan negara kepada warganya. Secara berurutan adalah assistance,
cooperation, dan service; tergantung kepada potensi dan kondisi masyarakatnya,
terutama kemampuan untuk pemecahan masalah. Dalam assistance, pemerintah
menjadi pelaksana (executing and implementing role). Pada cooperation, peran
negara dan masyarakat seimbang; sedangkan pada pola service, negara lebih pasif.
Otonomi daerah, atau otonomi lokal, merupakan hal yang penting karena mampu
memainkan setidaknya tiga peran yaitu: (i) untuk memaksimumkan nilai, (ii)
sebagai lembaga yang memberi peluang kepada akses rakyat terhadap pemerintah,
dan (iii) sebagai kompetitor terhadap lembaga lain sehingga kondisi-kondisi
efisiensi dapat dicapai. Karena beragamnya persoalan antarwilayah maka tak ada
28
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
pendekatan yang "one solution fits all" dalam pengembangan kelembagaan.
Secara konseptual, otonomi daerah merupakan wadah yang baik untuk berkem-
bangnya civil society dan menjamin berjalannya mekanisme checks and balances
antara pemerintah dengan warganya.
Pengembangan Kelembagaan sebagai Bentuk Pemberdayaan
Pemberdayaan (empowerment) yang berasal dari kata dasar “empower”
bermakna sebagai “to invest with power, especially legal power or officially
authority”, atau “... taking control over their lives, setting their own agendas,
gaining skill, building self-confidence, solving problems and developing self-
reliance”. Pemberdayaan dapat dilakukan terhadap individual, kelompok sosial,
maupun terhadap komunitas.
Dari sisi paradigma, pemberdayaan lahir sebagai antitesis dari paradigma
developmentalis. Dalam Payne (1997), disebutkan bahwa pada intinya
pemberdayaan adalah “to help clients gain power of decision and action over their
own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing
power, by increasing capacity and self confidence to use power and by
transferring power from the environment to clients”. Pemberdayaan
mengupayakan bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha
mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa
depan sesuai dengan keinginan mereka. Inti utama dari pemberdayaan adalah
tercapainya “kemandirian”.
Bank Dunia selama ini telah memberi perhatian besar kepada tiga hal
untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan, yaitu “empowerment, social
capital, and community driven development (CDD)”. Ketiga konsep ini
menekankan kepada inklusivitas, partisipasi, organisasi, dan kelembagaan.
Empowerment merupakan hasil dari aktifitas pembangunan, social capital dapat
diposisikan sekaligus sebagai proses dan hasil, sedangkan CDD berperan sebagai
alat operasional (World Bank, 2005b).
Konsep empowerment mendapat penekanan yang berbeda-beda di
berbagai negara, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Satu hal yang
esensial dalam pemberdayaan adalah ketika individu atau masyarakat diberikan
kesempatan untuk membicarakan apa yang penting untuk perubahan yang mereka
butuhkan. Ini akan berimplikasi kepada sisi supply dan demand tentang
pembangunan, perubahan lingkungan di mana masyarakat miskin hidup, dan
membantu mereka membangun dan mengembangkan karakter mereka sendiri.
Pemberdayaan bergerak mulai dari masalah pendidikan dan pelayanan kesehatan
kepada persoalan politik dan kebijakan ekonomi. Pemberdayaan berupaya
meningkatkan kesempatan-kesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil
pembangunan, dan memperbaiki kualitas hidup manusia.
29
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
Tidak ada satu bentuk kelembagaan khusus untuk pemberdayaan, namun
ada elemen-elemen tertentu agar upaya pemberdayaan dapat berhasil. Beberapa
kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah: adanya
akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan
pengembangan organisasi lokal.
Terdapat dua prinsip dasar yang seyogyanya dianut di dalam proses
pemberdayaan. Pertama, adalah menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat
untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya
sendiri. Kedua, mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut.
Kebijakan ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa
peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar,
sedangkan di bidang sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan bagi
masyarakat (choice) untuk menyalurkan aspirasinya (voice). Upaya pemberdayaan
masyarakat desa dalam kehidupan politik dan demokrasi, diperlukan cara pandang
atau pendekatan baru, karena perubahan yang terjadi pada beberapa dekade
terakhir telah melahirkan berbagai realitas yang tidak mungkin dimengerti atau
dipahami apalagi dikelola dengan menggunakan paradigma atau cara pandang
lama.
Pengembangan Kelembagaan dalam Upaya Mewujudkan Kemandirian
Lokal
Menurut Taylor dan Mckenzie (1992), inisiatif lokal sangat diperlukan
dalam pembangunan perdesaan, baik dari sisi pemerintah maupun komunitas
setempat. Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan apabila pemerintah
belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara kemampuan
perencanaan pusat juga dalam kondisi lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di
antaranya adalah karena masih banyaknya sumberdaya yang belum termanfaatkan,
yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal.
Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat desa untuk memperkuat diri
dan kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan,
kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis
kebudayaan mereka sendiri.
Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal
mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan harus
dilakukan secara terdesentralisasi. Upaya pemberdayaan dengan prinsip
sentralisasi, deterministik, dan homogen adalah hal yang sangat dihindari. Karena
itu upaya pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan
menumbuhkan kondisi otonom, di mana setiap komponen akan tetap eksis dengan
berbagai keragaman (diversity) yang dikandungnya. Upaya pemberdayaan yang
berciri sentralisitik tidak akan mampu memahami karakteristik spesifik tatanan
30
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
yang ada, dan cenderung akan mengabaikan karakteristik tatanan. Sebaliknya
upaya pemberdayaan yang dilakukan secara terdesentralisasi akan mampu
mengakomodasikan berbagai keragaman tatanan.
Cara pandang “kemandirian lokal” adalah suatu alternatif pendekatan
pembangunan yang dikembangkan dengan berbasis pada pergeseran konsepsi
pembangunan, serta pergeseran paradigma ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
diharapkan dapat diposisikan sebagai pendekatan pembangunan bangsa Indonesia,
atau minimal sebagai masukan bagi perumusan pendekatan dan atau paradigma
pembangunan Indonesia.
Pemberdayaan desa khususnya pemberdayaan politik masyarakat desa,
mengandung dua pendekatan yang seakan-akan saling bertolak belakang atau
merupakan paradox pemberdayaan desa. Pada satu sisi, pemberdayaan desa
seyogyanya diletakkan pada upaya untuk meningkatkan kualitas harmoni
kehidupan seluruh warga desa, akan tetapi pada sisi yang lain pemberdayaan
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas interkoneksitas (fungsional) antara satu
tatanan dengan tatanan yang lainnya yang berada di luar tatanan desa.
Interkoneksitas seperti ini memiliki potensi besar untuk merusak kondisi harmoni
yang dimaksudkan sebelumnya. Berdasarkan kondisi paradoxal ini maka
penyusunan skenario yang berlaku umum (grand scenario) di seluruh wilayah
sangat tidak mungkin. Kebijaksanaan pemberdayaan desa haruslah bersifat
kasuistik, dan kontekstual, yang disusun secara otonom masing-masing daerah.
Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat desa haruslah
berbasis pada prinsip dasar, yaitu bagaimana menciptakan peluang bagi
masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk
memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan
wujud pemberian pilihan (choice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya (voice). Implementasi
prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung pada
kondisi masing-masing masyarakat.
Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila
dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai
serangkaian upaya mekanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun
secara sistematis, Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa organisasi
seharusnya dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog diban-
dingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini
(Amien, 2005).
SIKAP YANG HARUS DIBANGUN UNTUK PENGEMBANGAN
GAPOKTAN
Kegagalan pengembangan kelembagaan petani selama ini dilatarbelakangi
oleh sikap yang keliru. Para perencana menganggap bahwa kelembagaan lokal
31
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
dianggap tidak memiliki “jiwa” ekonomi yang memadai, karena itu harus diganti.
Pola pikir ini datang dari ideologi modernisasi yang dipeluk pemimpin-pemimpin
negara berkembang pada umumnya. Ciri kelembagaan pada masyarakat tradisio-
nal adalah dimana aktivitas ekonomi melekat (embeded) pada kelembagaan
kekerabatan dan komunitas. Pemenuhan ekonomi merupakan tanggung jawab
kelompok-kelompok komunal genealogis. Ciri utama kelembagaan tradisional
adalah sedikit kelembagaan namun banyak fungsi (Saptana et al., 2003). Beda
halnya dengan pada masyarakat modern yang dicirikan oleh munculnya banyak
kelembagaan dengan fungsi-fungsi yang spesifik dan sempit-sempit.
Untuk pengembangan Gapoktan, maka strategi yang diterapkan semesti-
nya tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan masa sebelumnya. Berbagai
strategi yang semestinya ditempuh adalah:
Pertama, kelembagaan adalah sebuah opsi, bukan keharusan. Apapun
kelembagaan yang akan diintroduksikan di perdesaan, mestilah terlebih dahulu
merumuskan apa kegiatan yang akan dijalankan, baru kemudian dipilih apa wadah
yang dibutuhkan. Jadi, rumuskan dulu aktivitasnya, lalu tentukan wadahnya.
Berdasarkan konsep sistem agribisnis, aktivitas pertanian perdesaan tidak
akan keluar dari upaya untuk menyediakan sarana produksi (benih, pupuk, dan
obat-obatan), permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha
tani (on farm), pemenuhan informasi teknologi, serta pengolahan dan pemasaran
hasil pertanian. Sebagaimana sudah dijelaskan di depan, kelembagaan yang
diintroduksikan saat ini sesungguhnya telah tumpang tindih. Untuk satu fungsi
tersedia banyak kelembagaan, sedangkan satu kelembagaan juga dapat
menjalankan berbagai fungsi. Tumpang tindih tersebut dipaparkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Matrik Fungsi-fungsi Agribisnis beserta Opsi Lembaga-lembaga yang dapat Menjalankan
Fungsi Tersebut dalam Kegiatan Pertanian di Perdesaan
Lembaga yang dapat melakukan fungsi tersebut
Fungsi
Kel. tani
Ga-
poktan
P3A KUA
Kope-
rasi
UPJA
Pos
Penyu-
luhan
Desa
Klinik
Agri-
bisnis
Kel.
Penca-
pir
1. penyediaan
saprotan
ü ü - ü ü ü - - -
2. penyediaan modal ü ü - ü ü ü - - -
3. penyediaan air
irigasi
ü - ü - - - - - -
4. kegiatan usahatani ü ü - - - ü - - -
5. pengolahan ü ü - ü ü ü - - -
6. pemasaran ü ü - ü ü - - - -
7. penyediaan infor-
masi teknologi
ü ü - - - ü ü ü ü
8. penyediaan
informasi pasar
ü ü - ü ü ü ü ü ü
32
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
Dari tabel tersebut terlihat, bahwa sebuah kelompok tani yang berjalan
baik misalnya, bahkan dapat menjalankan seluruh fungsi agribisnis tersebut tanpa
bantuan kelembagaan lain. Di sisi lain, dari tabel matrik tersebut juga terlihat
bahwa untuk pemenuhan saprotan dan permodalan dapat menggunakan jasa
kelompok tani, koperasi, dan juga gapoktan. Sementara untuk pemenuhan
informasi teknologi dapat menggunakan wadah kelompok tani, Gapoktan, Pos
Penyuluhan Desa, Klinik Agribisnis, dan Kelompok Pencapir (Pendengar,
Pembaca, dan Pirsawan).
Dengan konfigurasi seperti itu, maka setiap pilihan apa kelembagaan yang
akan digunakan sangat tergantung kepada berbagai hal, di antaranya adalah skala
kegiatan, luas obyek sasaran, metode yang digunakan, efektivitas dan efisiensi.
Satu hal yang harus dipertimbangkan adalah lembaga apa yang paling siap untuk
diajak bekerjasama. Namun pertanyaan yang terus menggelitik adalah: apakah kita
memang membutuhkan seluruh kelembagaan tersebut di satu desa?
Kedua, sediakan waktu yang cukup untuk mengembangkan kelembagaan.
Pihak pelaksana mesti mampu menyesuaikan diri dengan kelembagaan petani
yang akan dikembangkan. Kesalahan selama ini adalah karena menganggap
bahwa permasalahan kelembagaan ada di tingkat petani belaka, bukan pada
superstrukturnya, padahal mungkin permasalahan (dan sumber permasalahan) ada
pada pelaksana. Satu hal yang harus digarisbawahi sebagaimana sudah sering
diingatkan adalah, agar pihak pelaksana menyediakan waktu yang cukup untuk
mengembangkan sampai cukup mandiri. Masa tahun anggaran yang satu tahun
tidak akan cukup untuk menumbuhkan Gapoktan menjadi mandiri.
Ketiga, perlu dihindari sikap yang memandang desa sebagai satu unit
interaksi sosial ekonomi yang otonom dan padu. Meskipun Gapoktan bekerja
dalam satu unit desa, namun perlu dibangun jejaring sosial (social network)
dengan Gapoktan lain. Relasi yang dibangun bukan bersifat hierarkhis-
administratif, namun lebih ke fungsional-ekonomi. Dalam hal peran Gapoktan
sebagai lembaga pemasaran, maka relasi jangan membatasi diri hanya dengan
lembaga formal. Relasi dengan para pelaku tata niaga, yang cenderung
menerapkan suasana nonformal, perlu dibina dengan menerapkan prinsip saling
menguntungkan dan keadilan.
Keempat, Gapoktan lebih banyak berperan di luar aktivitas produksi atau
usahatani, karena kegiatan tersebut telah dijalankan oleh kelompok-kelompok tani
serta petani secara individual. Untuk terlibat dalam mekanisme pasar, maka
Gapoktan harus merancang diri sebagai sebuah kelembagaan ekonomi dengan
beberapa karakteristiknya adalah mengutamakan keuntungan, efisien, kalkulatif,
dan menciptakan relasi-relasi yang personal dengan mitra usaha.
Kelima, Gapoktan hanyalah salah satu komponen dalam pengembangan
kelembagaan masyarakat perdesaan. Lebih khusus lagi, Gapoktan hanya bergerak
di bidang pertanian. Dengan demikian, pengembangan Gapoktan haruslah berada
dalam kerangka strategi yang lebih besar. Gapoktan hanyalah alat atau wadah
33
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Sebagaimana dijelaskan di atas, maka
pembentukan dan pengembangan Gapoktan haruslah berada dalam konteks
semangat otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat dan penumbuhan keman-
dirian lokal.
PENUTUP
Sebagaimana pendekatan pembangunan perdesaan dan pertanian pada
umumnya, pendekatan kelembagaan masih menjadi salah satu strategi penting
dalam RPPK 2005-2025. Permasalahan kelembagaan dalam RPPK relatif lebih
kompleks, karena melibatkan banyak instansi, lembaga, dan stakeholders mulai
dari tingkat pusat sampai daerah. Karena itulah, kemampuan mengenali permasa-
lahan kelembagaan, dan selanjutnya mampu menyusun strategi kelembagaan yang
sesuai, merupakan satu permasalahan yang esensial dalam RPPK tersebut.
Artinya, seluruh pihak yang terlibat dalam RPPK, terutama di sektor pertanian,
perlu menyadari permasalahan ini, sehingga faktor kelembagaan tidak menjadi
salah satu kendala dalam implementasi program nantinya.
Dari berbagai level permasalahan kelembagaan yang dapat dijumpai,
maka pengembangan kelembagaan di tingkat lokal atau di tingkat komunitas perlu
mendapat perhatian yang lebih. Hal ini bertolak dari kecenderungan pemikiran
akhir-akhir ini yang meniscayakan perlunya perhatian kepada penguatan untuk
kemandirian komunitas lokal. Untuk itu, pengembangan kelembagaan dalam
RPPK mesti dijiwai oleh setidaknya tiga prinsip yang satu sama lain saling terkait
erat, yaitu pengembangan kelembagaan dalam konteks otonomi daerah, pember-
dayaan, dan penguatan kemandirian lokal.
Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat desa haruslah
berbasis pada dua prinsip dasar pendekatan. Pertama, bagaimana menciptakan
peluang bagi masyarakat, serta yang kedua adalah meningkatkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat untuk memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks
politik, prinsip ini merupakan wujud pemberian pilihan (choice) kepada
masyarakat dan juga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyuarakan
aspirasinya (voice). Implementasi prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar,
akan tetapi akan tergantung pada kondisi masing-masing masyarakat.
Upaya pemberdayaan desa seyogyanya tidak dilakukan dengan berbasis
pada suatu “grand scenario”, karena hal yang seperti itu tidak pernah mampu
memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Pada saat ini yang diperlukan
dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa adalah membangun prinsip dasar
yang dapat dijadikan sebagai sebuah acuan dalam perumusan kebijakan
pemberdayaan desa, yang disusun sendiri secara otonom oleh masing-masing
daerah. Dua prinsip dasar yang disebutkan sebelumnya (penciptaan peluang dan
peningkatan kemandirian memanfaatkan peluang tersebut) masih perlu dilengkapi
dengan prinsp-prinsip lainnya, yang diharapkan muncul dari forum ini.
34
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
Pembentukan dan penumbuh Gapoktan mestilah ditempatkan dalam
konteks yang lebih luas yaitu konteks pengembangan ekonomi dan kemandirian
masyarakat menuju pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Rural
Development). Gapoktan hanyalah alat, dan merupakan salah satu opsi kelemba-
gaan yang dapat dipilih; bukan tujuan dan juga bukan keharusan. Penggunaan
kelembagaan yang semata-mata hanya untuk mensukseskan kegiatan lain, dan
bukan untuk pengembangan kelembagaan itu sendiri, sebagaimana selama ini;
hanya akan berakhir dengan lembaga-lembaga Gapoktan yang semu, yang tidak
akan pernah eksis secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, A., Supena F., Syahyuti, dan E. Ariningsih. 2003. Studi Baseline Program PHT
Perkebunan Rakyat Lada di Bangka Belitung dan Lampung. Laporan Penelitian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Amien, Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
2005 – 2025. Dalam: http://www.litbang.deptan.go.id/rppk, 25 oktober 2005.
Badan SDM Pertanian. 2006. Rencana Kerja Badan Pengembangan SDM Pertanian tahun
2006. Rangkuman Hasil Rapim Badan SDM Pertanian Februari 2006. badan
SDM Pertanian, Deptan. Jakarta.
Basri, Faisal H. 2005. “Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah”. Universitas Brawijaya,
Malang. (http://128.8.56.108/iris-data/PEG/Bahasa/malang/Malang tantangan.
pdf., 22 Maret 2005).
Boyne, George A. 1996. Competition and Local Government: A Public Choice
Perspective. Urban Studies 33, 4-5: 703-721.
Chapman, J.I. 1999. Local Government, Fiscal Autonomy and Fiscal Stress: The Case of
California. Lincoln Institute of Land Policy Working Paper
(http://www.lincolninst.edu, 6 April 2005).
Deptan. 2006. Bahan Rapat Kerja Deptan dengan DPD-RI, tanggal 19 Juni 2006. Deptan,
Jakarta.
Kirlin, John J. 1996. The Big Questions of Public Administration in a Democracy. Public
Administration Review 56, 5 (September/October): 416-4320.
North, Douglass C. 2005. Institutional Economics. http://nobelprize.org/economics/
laureates/1993/north-lecture.html, 27 April 2005.
Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work Theory. Second Edition. MacMillan Press
Ltd., London. Hal. 266.
Robin, Lionel. 2005. Institutional Economics. http://www.msu.edu/user/schmid/
bromley.htm, 25 Oktober 2005.
35
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti
Saptana; T. Pranadji; Syahyuti; dan Roosganda EM. 2003. Transformasi Kelembagaan
untuk Mendukung Ekonomi Kerakyatan di Perdesaan. Laporan Penelitian. PSE,
Bogor.
Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian. 2006. Sambutan dalam acara Apresiasi
Wartawan di Balai Pendidikan dan Latihan Hortikultura, Lembang, Bandung,
Jawa Barat.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya
dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor
Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge.
Chapter 1 dan 10.
Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With
Cases. Kumarian Press.
Wolman, Harold, and Michael Goldsmith. 1990. “Local Autonomy as a Meaningful
Analytic Concept,” Urban Affairs Quarterly 26, 1 (September): 3-27.
World Bank. 2005a. Institutional Analysis. Dalam: http://lnweb18.worldbank.org/ESSD/
sdvext.nsf/81ByDocName/ToolsandMethodsInstitutionalanalysis, 12 September
2005.
World Bank. 2005b. Social Capital, Empowerment, and Community Driven Development.
(http://info.worldbank.org/etools/bspan/PresentationView.asp?PID=936&EI
D=482, 11 Mei 2005).
Zuraida, Desiree dan J. Rizal (ed). 1993. Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan:
Pokok-pokok Pemikiran Selo Soemardjan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Menyusun materi penyuluhan
Menyusun materi penyuluhanMenyusun materi penyuluhan
Menyusun materi penyuluhanwika_wibowo
 
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsari
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariPeningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsari
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariGilang Putra
 
Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan Pertanian Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan Pertanian Sri Wahyuni
 
5. sumberdaya-dalam-pertanian
5. sumberdaya-dalam-pertanian5. sumberdaya-dalam-pertanian
5. sumberdaya-dalam-pertanianMuhammad Sabrin
 
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN Muhammad Eko
 
SISTEM ADMINISTRASI NEGARA
SISTEM ADMINISTRASI NEGARASISTEM ADMINISTRASI NEGARA
SISTEM ADMINISTRASI NEGARAPLUR
 
Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakatPartisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakatabu hanafie
 
Laporan Identifikasi dan Klasifikasi Kelompok Tani Tahun 2015
Laporan Identifikasi dan Klasifikasi Kelompok Tani Tahun 2015Laporan Identifikasi dan Klasifikasi Kelompok Tani Tahun 2015
Laporan Identifikasi dan Klasifikasi Kelompok Tani Tahun 2015ignasius dh purba
 
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...Nur Anisa Rachmawati
 
Paper manajemen usahatani
Paper manajemen usahataniPaper manajemen usahatani
Paper manajemen usahataniFitri Hamasah
 
W1D3-1.3 Sistem Agribisnis
W1D3-1.3 Sistem AgribisnisW1D3-1.3 Sistem Agribisnis
W1D3-1.3 Sistem Agribisnislatifstpp
 
Dinamika Kelompok
Dinamika KelompokDinamika Kelompok
Dinamika KelompokRiinong
 
Manajemen pada perkebunan kelapa sawit
Manajemen pada perkebunan kelapa sawitManajemen pada perkebunan kelapa sawit
Manajemen pada perkebunan kelapa sawitYoghi Pratama
 
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)Novia Tri Handayani S
 

La actualidad más candente (20)

Menyusun materi penyuluhan
Menyusun materi penyuluhanMenyusun materi penyuluhan
Menyusun materi penyuluhan
 
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsari
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariPeningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsari
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsari
 
Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan Pertanian Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan Pertanian
 
5. sumberdaya-dalam-pertanian
5. sumberdaya-dalam-pertanian5. sumberdaya-dalam-pertanian
5. sumberdaya-dalam-pertanian
 
Kelembagaan
KelembagaanKelembagaan
Kelembagaan
 
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN
 
Sistem sosial budaya indonesia
Sistem sosial budaya indonesiaSistem sosial budaya indonesia
Sistem sosial budaya indonesia
 
SISTEM ADMINISTRASI NEGARA
SISTEM ADMINISTRASI NEGARASISTEM ADMINISTRASI NEGARA
SISTEM ADMINISTRASI NEGARA
 
Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakatPartisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat
 
Makalah organisasi
Makalah organisasiMakalah organisasi
Makalah organisasi
 
Laporan Identifikasi dan Klasifikasi Kelompok Tani Tahun 2015
Laporan Identifikasi dan Klasifikasi Kelompok Tani Tahun 2015Laporan Identifikasi dan Klasifikasi Kelompok Tani Tahun 2015
Laporan Identifikasi dan Klasifikasi Kelompok Tani Tahun 2015
 
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...
Makalah MAKALAH PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP PENINGKA...
 
Tataniaga Pertanian
Tataniaga PertanianTataniaga Pertanian
Tataniaga Pertanian
 
Makalah Kemiskinan
Makalah Kemiskinan Makalah Kemiskinan
Makalah Kemiskinan
 
Organisasi petani (yuti)
Organisasi petani (yuti)Organisasi petani (yuti)
Organisasi petani (yuti)
 
Paper manajemen usahatani
Paper manajemen usahataniPaper manajemen usahatani
Paper manajemen usahatani
 
W1D3-1.3 Sistem Agribisnis
W1D3-1.3 Sistem AgribisnisW1D3-1.3 Sistem Agribisnis
W1D3-1.3 Sistem Agribisnis
 
Dinamika Kelompok
Dinamika KelompokDinamika Kelompok
Dinamika Kelompok
 
Manajemen pada perkebunan kelapa sawit
Manajemen pada perkebunan kelapa sawitManajemen pada perkebunan kelapa sawit
Manajemen pada perkebunan kelapa sawit
 
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
 

Destacado

Komparasi konsep pedesaan pertanian
Komparasi konsep pedesaan pertanianKomparasi konsep pedesaan pertanian
Komparasi konsep pedesaan pertanianSyahyuti Si-Buyuang
 
HSAD Socio-economics and policy research
HSAD Socio-economics and policy researchHSAD Socio-economics and policy research
HSAD Socio-economics and policy researchICARDA
 
Penyuluhan swadaya sangat potensial
Penyuluhan swadaya sangat potensialPenyuluhan swadaya sangat potensial
Penyuluhan swadaya sangat potensialSyahyuti Si-Buyuang
 
Resumen de trabajo de ruido
Resumen de trabajo de ruidoResumen de trabajo de ruido
Resumen de trabajo de ruidoJUAN BASTORI
 
Cukormaz keszitese-titkok
Cukormaz keszitese-titkokCukormaz keszitese-titkok
Cukormaz keszitese-titkokVioletta Nagy
 
Parent night presentation
Parent night presentationParent night presentation
Parent night presentationjharper8
 
Информационно-библиотечный центр первые шаги
Информационно-библиотечный центр первые шагиИнформационно-библиотечный центр первые шаги
Информационно-библиотечный центр первые шагиSergey Kamalov
 
Kinerja koperasi
Kinerja koperasiKinerja koperasi
Kinerja koperasiS MSi
 
Policy of seed development
Policy of seed developmentPolicy of seed development
Policy of seed developmentRavi Singh
 
Karakter pengorganisasian diri petani Indonesia
Karakter pengorganisasian diri petani IndonesiaKarakter pengorganisasian diri petani Indonesia
Karakter pengorganisasian diri petani IndonesiaSyahyuti Si-Buyuang
 
PENGOLAHAN KEUANGAN SEDERHANA DENGAN MICROSOFT EXCEL
PENGOLAHAN KEUANGAN SEDERHANA DENGAN MICROSOFT EXCELPENGOLAHAN KEUANGAN SEDERHANA DENGAN MICROSOFT EXCEL
PENGOLAHAN KEUANGAN SEDERHANA DENGAN MICROSOFT EXCELAmrul Rizal
 
Sistem ekonomi koperasi sebagai solusi masalah perekonomian indonesia
Sistem ekonomi koperasi sebagai solusi masalah perekonomian indonesiaSistem ekonomi koperasi sebagai solusi masalah perekonomian indonesia
Sistem ekonomi koperasi sebagai solusi masalah perekonomian indonesiaNur Azizah
 
Sesi 1 kewenangan desa no.1 2015
Sesi 1 kewenangan desa no.1 2015Sesi 1 kewenangan desa no.1 2015
Sesi 1 kewenangan desa no.1 2015Formasi Org
 
Teknik Menulis Artikel Opini
Teknik Menulis Artikel OpiniTeknik Menulis Artikel Opini
Teknik Menulis Artikel Opiniismailfaruqi
 

Destacado (20)

Komparasi konsep pedesaan pertanian
Komparasi konsep pedesaan pertanianKomparasi konsep pedesaan pertanian
Komparasi konsep pedesaan pertanian
 
HSAD Socio-economics and policy research
HSAD Socio-economics and policy researchHSAD Socio-economics and policy research
HSAD Socio-economics and policy research
 
The seed sector in Thailand- Makasiri Chaowagul and Orachos Napasintuwong
The seed sector in Thailand- Makasiri Chaowagul and Orachos Napasintuwong  The seed sector in Thailand- Makasiri Chaowagul and Orachos Napasintuwong
The seed sector in Thailand- Makasiri Chaowagul and Orachos Napasintuwong
 
Penyuluhan swadaya sangat potensial
Penyuluhan swadaya sangat potensialPenyuluhan swadaya sangat potensial
Penyuluhan swadaya sangat potensial
 
Resumen de trabajo de ruido
Resumen de trabajo de ruidoResumen de trabajo de ruido
Resumen de trabajo de ruido
 
Cukormaz keszitese-titkok
Cukormaz keszitese-titkokCukormaz keszitese-titkok
Cukormaz keszitese-titkok
 
fichas diligenciadas
fichas diligenciadasfichas diligenciadas
fichas diligenciadas
 
Parent night presentation
Parent night presentationParent night presentation
Parent night presentation
 
Virtual 2017 1
Virtual 2017 1Virtual 2017 1
Virtual 2017 1
 
Memorias de los Marcados
Memorias de los MarcadosMemorias de los Marcados
Memorias de los Marcados
 
Информационно-библиотечный центр первые шаги
Информационно-библиотечный центр первые шагиИнформационно-библиотечный центр первые шаги
Информационно-библиотечный центр первые шаги
 
Kinerja koperasi
Kinerja koperasiKinerja koperasi
Kinerja koperasi
 
Policy of seed development
Policy of seed developmentPolicy of seed development
Policy of seed development
 
Dasar tulisan review (yuti)
Dasar tulisan review (yuti)Dasar tulisan review (yuti)
Dasar tulisan review (yuti)
 
Karakter pengorganisasian diri petani Indonesia
Karakter pengorganisasian diri petani IndonesiaKarakter pengorganisasian diri petani Indonesia
Karakter pengorganisasian diri petani Indonesia
 
PENGOLAHAN KEUANGAN SEDERHANA DENGAN MICROSOFT EXCEL
PENGOLAHAN KEUANGAN SEDERHANA DENGAN MICROSOFT EXCELPENGOLAHAN KEUANGAN SEDERHANA DENGAN MICROSOFT EXCEL
PENGOLAHAN KEUANGAN SEDERHANA DENGAN MICROSOFT EXCEL
 
Rice seed policy in Thailand- Nipon Poapongsakorn
Rice seed policy in Thailand- Nipon PoapongsakornRice seed policy in Thailand- Nipon Poapongsakorn
Rice seed policy in Thailand- Nipon Poapongsakorn
 
Sistem ekonomi koperasi sebagai solusi masalah perekonomian indonesia
Sistem ekonomi koperasi sebagai solusi masalah perekonomian indonesiaSistem ekonomi koperasi sebagai solusi masalah perekonomian indonesia
Sistem ekonomi koperasi sebagai solusi masalah perekonomian indonesia
 
Sesi 1 kewenangan desa no.1 2015
Sesi 1 kewenangan desa no.1 2015Sesi 1 kewenangan desa no.1 2015
Sesi 1 kewenangan desa no.1 2015
 
Teknik Menulis Artikel Opini
Teknik Menulis Artikel OpiniTeknik Menulis Artikel Opini
Teknik Menulis Artikel Opini
 

Similar a Gapoktan sebagai aktor ekonomi Petani

7_Materi Tatap Muka_Strategi Pengembangan Koperasi Melalui CSR dan PKBL.ppt
7_Materi Tatap Muka_Strategi Pengembangan Koperasi Melalui CSR dan PKBL.ppt7_Materi Tatap Muka_Strategi Pengembangan Koperasi Melalui CSR dan PKBL.ppt
7_Materi Tatap Muka_Strategi Pengembangan Koperasi Melalui CSR dan PKBL.pptMsSage
 
Pengembangan Agribisnis sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten ...
Pengembangan Agribisnis sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten ...Pengembangan Agribisnis sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten ...
Pengembangan Agribisnis sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten ...Ar Tinambunan
 
KELEMBANGAN PETANI : PERAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITASNYA
KELEMBANGAN PETANI : PERAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITASNYA KELEMBANGAN PETANI : PERAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITASNYA
KELEMBANGAN PETANI : PERAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITASNYA Repository Ipb
 
Rostiawati 11140756 (5 v ma) materi 9
Rostiawati 11140756 (5 v ma) materi 9Rostiawati 11140756 (5 v ma) materi 9
Rostiawati 11140756 (5 v ma) materi 9Rostiawati Hasan
 
Strategi pengembangan bumdes
Strategi pengembangan bumdesStrategi pengembangan bumdes
Strategi pengembangan bumdesTri Cahyono
 
Pembangunan Ekonomi Lokal
Pembangunan Ekonomi LokalPembangunan Ekonomi Lokal
Pembangunan Ekonomi LokalSri Wahyuni
 
1panduan bumdes-111111024427-phpapp02
1panduan bumdes-111111024427-phpapp021panduan bumdes-111111024427-phpapp02
1panduan bumdes-111111024427-phpapp02BPD Ajakkang
 
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)Lia Kristiana
 
Sumber daya alam
Sumber daya alamSumber daya alam
Sumber daya alamRezaSaputa
 
Interlinkage LPPM dengan Kelembagaan Desa dalam ACFTA
Interlinkage LPPM dengan Kelembagaan Desa dalam ACFTAInterlinkage LPPM dengan Kelembagaan Desa dalam ACFTA
Interlinkage LPPM dengan Kelembagaan Desa dalam ACFTATri Cahyono
 
Wajah Koperasi Tani dan Nelayan di Indonesia
Wajah Koperasi Tani dan Nelayan di IndonesiaWajah Koperasi Tani dan Nelayan di Indonesia
Wajah Koperasi Tani dan Nelayan di Indonesiaanditaeka
 
Ekonomi koperasi
Ekonomi koperasiEkonomi koperasi
Ekonomi koperasiDesy Utami
 

Similar a Gapoktan sebagai aktor ekonomi Petani (20)

7_Materi Tatap Muka_Strategi Pengembangan Koperasi Melalui CSR dan PKBL.ppt
7_Materi Tatap Muka_Strategi Pengembangan Koperasi Melalui CSR dan PKBL.ppt7_Materi Tatap Muka_Strategi Pengembangan Koperasi Melalui CSR dan PKBL.ppt
7_Materi Tatap Muka_Strategi Pengembangan Koperasi Melalui CSR dan PKBL.ppt
 
Pengembangan Agribisnis sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten ...
Pengembangan Agribisnis sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten ...Pengembangan Agribisnis sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten ...
Pengembangan Agribisnis sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten ...
 
KELEMBANGAN PETANI : PERAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITASNYA
KELEMBANGAN PETANI : PERAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITASNYA KELEMBANGAN PETANI : PERAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITASNYA
KELEMBANGAN PETANI : PERAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITASNYA
 
Rostiawati 11140756 (5 v ma) materi 9
Rostiawati 11140756 (5 v ma) materi 9Rostiawati 11140756 (5 v ma) materi 9
Rostiawati 11140756 (5 v ma) materi 9
 
Strategi pengembangan bumdes
Strategi pengembangan bumdesStrategi pengembangan bumdes
Strategi pengembangan bumdes
 
Pembangunan Ekonomi Lokal
Pembangunan Ekonomi LokalPembangunan Ekonomi Lokal
Pembangunan Ekonomi Lokal
 
1panduan bumdes-111111024427-phpapp02
1panduan bumdes-111111024427-phpapp021panduan bumdes-111111024427-phpapp02
1panduan bumdes-111111024427-phpapp02
 
Panduan bumdes
Panduan bumdesPanduan bumdes
Panduan bumdes
 
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)
TM 3_Kelembagaan Pertanian (PIP_1)
 
1panduan bumdes
1panduan bumdes1panduan bumdes
1panduan bumdes
 
Panduan BUMDes
Panduan BUMDesPanduan BUMDes
Panduan BUMDes
 
Makalahnya santi, jangan di hapus
Makalahnya santi, jangan di hapusMakalahnya santi, jangan di hapus
Makalahnya santi, jangan di hapus
 
Makalahnya santi, jangan di hapus
Makalahnya santi, jangan di hapusMakalahnya santi, jangan di hapus
Makalahnya santi, jangan di hapus
 
Diskusi kp kep 7 mei (yuti)
Diskusi kp kep 7 mei (yuti)Diskusi kp kep 7 mei (yuti)
Diskusi kp kep 7 mei (yuti)
 
Sumber daya alam
Sumber daya alamSumber daya alam
Sumber daya alam
 
Interlinkage LPPM dengan Kelembagaan Desa dalam ACFTA
Interlinkage LPPM dengan Kelembagaan Desa dalam ACFTAInterlinkage LPPM dengan Kelembagaan Desa dalam ACFTA
Interlinkage LPPM dengan Kelembagaan Desa dalam ACFTA
 
Koperasi 2
Koperasi 2Koperasi 2
Koperasi 2
 
002 desa mandiri
002 desa mandiri002 desa mandiri
002 desa mandiri
 
Wajah Koperasi Tani dan Nelayan di Indonesia
Wajah Koperasi Tani dan Nelayan di IndonesiaWajah Koperasi Tani dan Nelayan di Indonesia
Wajah Koperasi Tani dan Nelayan di Indonesia
 
Ekonomi koperasi
Ekonomi koperasiEkonomi koperasi
Ekonomi koperasi
 

Más de Syahyuti Si-Buyuang

My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat airMy lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat airSyahyuti Si-Buyuang
 
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpointLukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpointSyahyuti Si-Buyuang
 
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...Syahyuti Si-Buyuang
 
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...Syahyuti Si-Buyuang
 
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...Syahyuti Si-Buyuang
 
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdfBuku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdfSyahyuti Si-Buyuang
 
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptxGOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptxPKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptxRancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptxKPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptxMBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptxPendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptxRCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).pptFamily farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).pptSyahyuti Si-Buyuang
 
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptxPoint-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)Syahyuti Si-Buyuang
 
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptxBumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptxKuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptxSyahyuti Si-Buyuang
 

Más de Syahyuti Si-Buyuang (20)

My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat airMy lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
 
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpointLukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
 
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
 
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
 
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
 
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdfBuku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
 
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptxGOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
 
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptxPKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptx
 
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptxRancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
 
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptxKPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
 
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptxMBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
 
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
 
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
 
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptxPendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
 
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptxRCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
 
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).pptFamily farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
 
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptxPoint-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
 
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
 
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptxBumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
 
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptxKuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
 

Último

Dana Setiawan (Paparan terkait Konstruksi Jalan )
Dana Setiawan   (Paparan terkait Konstruksi Jalan )Dana Setiawan   (Paparan terkait Konstruksi Jalan )
Dana Setiawan (Paparan terkait Konstruksi Jalan )RifkiAbrar2
 
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024SDNTANAHTINGGI09
 
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksiAnalisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksiMemenAzmi1
 
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdfSoal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdfArfan Syam
 
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...rofinaputri
 
Uji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis data
Uji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis dataUji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis data
Uji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis databaiqtryz
 
tranformasi energi atau perubahan energi
tranformasi energi atau perubahan energitranformasi energi atau perubahan energi
tranformasi energi atau perubahan energiZulfiWahyudiAsyhaer1
 
bagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampel
bagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampelbagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampel
bagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampelbaiqtryz
 
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non BankRuang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non BankYunitaReykasari
 
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI pptMATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI pptAnggitBetaniaNugraha
 
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...TitinSolikhah2
 
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptxMateri Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptxRizkya19
 

Último (12)

Dana Setiawan (Paparan terkait Konstruksi Jalan )
Dana Setiawan   (Paparan terkait Konstruksi Jalan )Dana Setiawan   (Paparan terkait Konstruksi Jalan )
Dana Setiawan (Paparan terkait Konstruksi Jalan )
 
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
 
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksiAnalisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
 
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdfSoal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
 
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
 
Uji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis data
Uji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis dataUji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis data
Uji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis data
 
tranformasi energi atau perubahan energi
tranformasi energi atau perubahan energitranformasi energi atau perubahan energi
tranformasi energi atau perubahan energi
 
bagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampel
bagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampelbagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampel
bagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampel
 
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non BankRuang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
 
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI pptMATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
 
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
 
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptxMateri Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
 

Gapoktan sebagai aktor ekonomi Petani

  • 1. 15 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT Institutional development is one of the fundamental component in all devices of Agriculture, Fishery, and Forestry Revitalization in 2005-2025. Actually, institutional approach have been a fundamental component in agriculture and rural development programs. Farmers institutions tend to only positioned as a means of the implementation of merely project, not as part of efforts for more basic empowerment. In the future, institutional development should be designed to improve self-support community capacity with the expectation of their participation role as asset of rural community. Establishment of farmers group alliance in each village, should also consider local social capital as a base of local self-support principle, adopted through autonomy and empowerment. Key words : social institution, farmers group alliance, agriculture revitalization, local autonomy, empowerment ABSTRAK Pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam keseluruhan rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005-2025. Selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. Namun, kelembagaan petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar. Ke depan, agar dapat berperan sebagai aset komunitas masyarakat desa yang partisipatif, maka pengembangan kelembagaan harus dirancang sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas masyarakat itu sendiri sehingga menjadi mandiri. Pembentukan dan pengembangan Gapoktan yang akan dibentuk di setiap desa, juga harus menggunakan basis social capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan. Kata kunci : kelembagaan, gabungan kelompok tani, revitalisasi pertanian, otonomi daerah, pemberdayaan PENDAHULUAN Dari sisi iklim makro, dunia pertanian di Indonesia saat ini berada pada babak baru dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan yang tergolong memiliki perspektif mendasar dan luas. Dua di antara kebijakan tersebut adalah
  • 2. 16 Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35 pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005-2025 dan telah dikeluarkannya Undang Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Undang-Undang ini merupakan impian lama kalangan penyuluhan yang sudah diwacanakan semenjak awal tahun 1980-an. Kelahiran UU ini dapat pula mempunyai makna sebagai upaya untuk mewujudkan revitalisasi pertanian arti luas, meliputi pertanian, perikanan dan kehutanan. Pada kedua kebijakan tersebut, permasalahan kelembagaan tetap merupakan bagian yang esensial, baik kelembagaan di tingkat makro maupun di tingkat mikro. Di tingkat makro, satu kelembagaan baru yang akan lahir adalah Badan Koordinasi Penyuluhan sebagai lembaga pemerintah non departemen, yang akan merumuskan secara terperinci tentang metode penyuluhan, strategi penyuluhan, dan kebijakan penyuluhan. Di tingkat mikro, akan dibentuk beberapa lembaga baru, misalnya Pos Penyuluhan Desa dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Departemen Pertanian menargetkan akan membentuk satu Gapoktan di setiap desa khususnya yang berbasiskan pertanian. Ini merupakan satu lembaga andalan baru, meskipun semenjak awal 1990-an Gapoktan telah dikenal. Saat ini, Gapoktan diberi pemaknaan baru, termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi lembaga gerbang (gateway institution) yang menjadi penghubung petani satu desa dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk pertanian, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani. Tulisan ini menjadi penting, karena sampai saat ini, konsep dan strategi pembentukan dan pengembangan Gapoktan tersebut masih dimatangkan rumusannya di tingkat Deptan. Dalam konteks tersebut, tulisan ini berupaya memberikan peringatan dan arahan kepada semua pihak berkenaan dengan pengembangan kelembagaan petani di perdesaan umumnya dan secara khusus untuk pengembangan Gapoktan. Point utama yang ingin disampaikan adalah perlu dihindari pengem- bangan kelembagaan dengan konsep cetak biru (blue print approach) yang seragam, karena telah memperlihatkan kegagalan. Pemberdayaan petani dan usaha kecil di perdesaan oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah kegagalan pengembangan kelompok dimaksud, karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat hanya sebagai alat kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan masyarakat secara hakiki. Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan. Pendekatan yang top-down planning menyebabkan partisipasi masyarakat tidak tumbuh. Tulisan ini ingin mengkaji secara kritis kebijakan Deptan untuk
  • 3. 17 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti pengembangan Gapoktan, serta mengidentifikasi berbagai hambatan dan tanta- ngan yang akan dihadapi. STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DALAM RANCANGAN RPPK Pengembangan kelembagaan perlu memperoleh perhatian khusus, karena ia merupakan komponen utama dalam strategi revitalisasi secara keseluruhan. Salah satu ciri RPPK adalah pelibatan banyak pihak sekaligus. RPPK melibatkan hampir seluruh institusi pemerintahan di tingkat pusat. Selain itu, RPPK juga menyertakan dunia usaha, kalangan petani dan nelayan, serta akademisi dan lembaga masyarakat, baik dalam penyusunannya maupun dalam proses implementasinya. Atas dasar itu, koordinasi dan sinkronisasi di antara berbagai pihak yang terkait akan menjadi faktor yang sangat menentukan, baik dalam perumusan RPPK maupun dalam mewujudkannya. Secara teoritis, “koordinasi” dan “sinkronisasi” merupakan dua perhatian utama dalam bidang kelembagaan. Khusus untuk sektor pertanian, dibutuhkan berbagai kebijakan dan strategi mulai dari kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional. Serta kebijakan mikro berupa kebijakan pengembangan infrastruktur, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, dan pengembangan organisasi petani). Pada tingkat lokal, pemerintah daerah juga perlu memperhatikan pengembangan infrastuktur pertanian, pengembangan kelembagaan berupa pemberdayaan penyuluh pertanian dan pengembangan instansi lingkup pertanian. Lemahnya kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan penyuluhan; telah menyebabkan belum dapat menciptakan suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri perdesaan. Selain itu, lemahnya kelembagaan ini berakibat pada sistem pertanian tidak efisien, dan keuntungan yang diterima petani relatif rendah. Dari sisi kelembagaan, akan dijumpai kendala yang bersifat fungsional, karena pendekatan strategi revitalisasi pertanian yang terkesan sektoral. Apabila tujuan utama (ends) dari revitalisasi ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani, maka peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan haruslah dilihat sebagai instrumen saja (means). Dalam tabel ”Matrik Keterkaitan Dukungan Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian” (Badan Litbang Pertanian, 2005), disebutkan ada 11 kebijakan yang dicakup dalam RPPK sektor pertanian. Dalam tabel tersebut terlihat pembedaan antara ”Kebijakan Pengembangan Kelembagaan” (point nomor 5) dengan ”Kebijakan Pengembangan Organisasi Ekonomi Petani” (point nomor
  • 4. 18 Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35 7). Tampaknya pembedaan seperti ini mengikuti pembedaan yang dilakukan banyak kalangan, bahwa ”kelembagaan” dan ”organisasi” adalah berbeda. Dalam dokumen RPPK, berbagai kelembagaan yang dimaksud dalam ”kebijakan pengembangan kelembagaan” adalah berupa lembaga keuangan perdesaan, sistem perbankan di daerah, lembaga keuangan lokal, dan lembaga pengawas mutu produk-produk. Sementara, dalam ”kebijakan pengembangan organisasi ekonomi petani” terdapat kelembagaan ketahanan pangan di perdesaan, dan kelembagaan ekonomi petani di perdesaan. Pembedaan seperti ini memperlihatkan bahwa “kelembagaan” adalah sesuatu yang berada di ”atas petani”, sedangkan “organisasi” berada di level petani, sebagaimana yang dianut kalangan ahli “ekonomi kelembagaan”. Menurut North (2005), institution adalah “the rules of the game”, sedangkan organizations adalah “their entrepreneurs are the players”. Pendapat ini diperkuat oleh Robin (2005), yang berpendapat bahwa “institutions determine social organization”. Jadi, kelembagaan merupakan wadah tempat organisasi-organisasi hidup. Memperhatikan dokumen RPPK, maka kelembagaan di RPPK dapat dipilah menjadi tiga level, yaitu level di pemerintahan daerah, dan level lokal di tingkat petani. Level pemerintah daerah perlu dibedakan dengan tegas, karena dengan semangat otonomi daerah, maka kewenangan daerah telah menjadi relative besar. Kelembagaan di pusat mengaitkan tata hubungan kerja antar departemen, lembaga, atau stakeholders. Pada tataran ini, kewenangan utama kelembagaan adalah dalam hal pembuatan kebijakan. Beberapa kebijakan yang perlu dirumuskan misalnya kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi berupa kebijakan untuk peningkatan investasi swasta; penataan hak, kepemilikan dan penggunaan lahan; kebijakan pewilayahan komoditas; dan kebijakan untuk meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian. Pada tataran pusat tersebut terdapat banyak kebijakan dan strategi yang terkait langsung dengan pembangunan pertanian, namun kewenangannya berada di berbagai instansi lain. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional, kebijakan pengembangan infrastruktur khususnya pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, fungsi penelitian dan pengembangan, pengembangan SDM, dan pengembangan organisasi petani), kebijakan pendayagunaan dan rehabilitasi sumberdaya alam dan lingkungan, kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan baru, dan kebijakan pengembangan ketahanan pangan. Implementasi kelembagaan dalam revitalisasi pembangunan pertanian diharapkan tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan dalam pengembangan kelembagaan yang sudah lalu. Untuk itu, para pelaksana perlu memahami tentang “analisis kelembagaan”. Dalam World Bank (2005a), institutional analysis adalah “... helps to identify the constraints within an organization that can undermine
  • 5. 19 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti policy implementation. These constraints may exist at the level of internal processes, concern relationships among organizations (e.g., between ministries), or be a product of the way that the system is organized (reporting hierarchies) or operates (the financial year is not followed in practice and accounts are not closed)”. Dalam analisis kelembagaan, dipelajari kelembagaan-kelembagaan formal maupun “soft institutions” seperti tata aturan, maupun struktur kekuasaan pada berbagai tingkatan. REVITALISASI KELEMBAGAAN EKONOMI PETANI Saat ini, meskipun dengan kondisi yang bervariasi, di tingkat desa telah ada berbagai kelembagaan ekonomi petani, yaitu kelompok tani dan koperasi. Dalam konteks peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani, Deptan akan melakukan penguatan kelompok tani dan pengembangan koperasi tani pada 436 kabupaten/kota di 32 propinsi, mengaktifkan forum pertemuan penyuluh swakarsa, pertemuan kontak tani, serta pendataan dan penumbuhan kelompok tani dan kelembagaan ekonomi petani. Secara konseptual, tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat memainkan peran tunggal atau ganda. Berbagai peran yang dapat dimainkan sebuah lembaga adalah sebagai lembaga pengelolaan sumberdaya alam (misalnya P3A), untuk tujuan aktivitas kolektif (kelompok kerja sambat sinambat), untuk pengembangan usaha (KUA dan koperasi), untuk melayani kebutuhan informasi (kelompok Pencapir), untuk tujuan representatif politik (HKTI), dan lain-lain. Khusus untuk kegiatan ekonomi, terdapat banyak lembaga perdesaan yang diarahkan sebagai lembaga ekonomi, di antaranya adalah kelompok tani, koperasi, dan Kelompok Usaha Agribisnis. Secara konseptual, masing-masing lembaga dapat menjalankan peran yang sama (tumpang tindih). Koperasi sebagai contoh, dapat menjalankan seluruh aktivitas agribisnis, mulai dari hulu sampai ke hilir. Namun, ada keengganan sebagian pihak untuk menggunakan ”koperasi” sebagai entry point untuk pengembangan ekonomi petani, yang mungkin karena kesan negatif yang selama ini disandangnya. Gapoktan pada hakekatnya bukanlah lembaga dengan fungsi yang baru sama sekali, namun hanyalah lembaga yang dapat dipilih (opsi) di samping lembaga-lembaga lain yang juga terlibat dalam aktivitas ekonomi secara langsung. Pengembangan Gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan aksesibilitas petani terhadap berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga penyedia sarana produksi pertanian, serta terhadap sumber informasi. Pada prinsipnya, lembaga Gapoktan diarahkan sebagai sebuah kelembagaan ekonomi, namun diharapkan juga mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Terhadap pedagang saprotan maupun pedagang hasil-hasil pertanian, Gapoktan diharapkan
  • 6. 20 Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35 dapat menjalankan fungsi kemitraan dengan adil dan saling menguntungkan. Namun demikian, jika Gapoktan dinilai lebih mampu menjalankan peranannya dibandingkan dengan kios saprodi ataupun pedagang pengumpul, maka Gapoktan dapat menggantikan peranan mereka. Untuk menjalankan fungsi pemenuhan kebutuhan informasi teknologi pertanian ataupun informasi pasar, Deptan akan membenahi kelembagaan penyuluhan. Penataan kelembagaan penyuluhan pertanian mulai dari propinsi sampai ke desa, yaitu berupa bantuan sewa/kontrak bagi 1698 BPP, pengembangan 88 BPP Model di 6 Propinsi RPPK, serta penguatan kelompok tani dan pengembangan koperasi tani (Badan SDM Pertanian, 2006). Selain itu, akan dilakukan pengangkatan 3.000 tenaga penyuluh pertanian honorer, revisi SK Menkowasbangpan No. 19/1999 tentang jabatan fungsional penyuluh pertanian dan angka kreditnya. Selain itu juga ada penyediaan Biaya Operasional Penyuluh (BOP) bagi 26.820 orang penyuluh pertanian, penyediaan alat komunikasi, dan penyusunan buku kerja bagi penyuluh pertanian. Pengembangan kelembagaan saat ini tidak lagi sama dengan era Bimas. Keberhasilan Program Bimas dahulu didukung secara sistematis dan terstruktur yaitu didukung oleh political will dan birokrasi yang kuat, sentralistis, penyediaan subsidi, delivery system yang baik, anggaran yang cukup besar, organisasi penyuluhan, serta prasarana dan sarana yang memadai. Penyuluh menjadi agen untuk berbagai fungsi, tidak hanya menghantarkan teknologi, tapi juga pemenuhan saprotan dan modal usahatani. Dengan skala pekerjaan yang besar tersebut, penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak mungkin dilaksanakan dengan pendekatan individu, namun dilakukan melalui pendekatan kelompok. Pendekatan ini mendorong petani untuk membentuk kelembagaan tani yang kuat agar dapat membangun sinergi antar petani, baik dalam proses belajar, kerjasama maupun sebagai unit usaha yang merupakan bagian dari usahataninya. Menurut laporan Deptan (2006), sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah kelembagaan petani yang tercatat adalah 293.568 kelompok tani, 1.365 asosiasi tani, 10.527 koperasi tani, dan 272 P4S. Sekarang ini 375 kabupaten/kota atau 86 persen dari total kabupaten/kota mempunyai kelembagaan penyuluhan pertanian dalam bentuk Badan/Kantor/Balai/Sub Dinas/Seksi/ UPTD/Kelompok Penyuluh Pertanian. Sisanya, yaitu 61 kabupaten/kota (14 %) bentuk kelembagaannya tidak jelas. Sementara itu di Kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian yang terdepan yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), pada saat ini dari 5.187 Kecamatan baru terbentuk 3.557 unit (69 %). KONSEP DAN STRATEGI YANG DIANUT DEPTAN DALAM PENGEMBANGAN GAPOKTAN Sampai dengan tahun 2006, setidaknya sudah terbentuk 3.000 unit Gapoktan. Khusus untuk tahun 2007, Deptan menargetkan pembentukan 22 ribu
  • 7. 21 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti unit Gapoktan. Tujuan utama pembentukan dan penguatan Gapoktan adalah untuk memperkuat kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Deptan, 2006). Disini terlihat bahwa, pembentukan Gapoktan bias kepada kepentingan “atas”, yaitu sebagai “kendaraan” untuk menyalurkan dan menjalankan berbagai kebijakan dari luar desa. Pembentukan Gapoktan, meskipun nanti dapat saja menjadi lembaga yang mewakili kebutuhan petani sebagai representative institution, namun awal terbentuknya bukan dari kebutuhan internal secara mengakar. Ini merupakan gejala yang berulang sebagaimana dulu sering terjadi, yaitu hanya mementingkan kuantitas belaka, namun tidak berakar di masyarakat setempat. Target akhir adalah aktifnya 66.000 Gapoktan hingga tahun 2009. Ini artinya, seluruh desa di Indonesia akan memiliki sebuah Gapoktan. Kegiatan di tahun 2006 adalah mengumpulkan data profil kelembagaan usaha petani di tingkat desa di masing-masing wilayah. Berdasarkan data tersebut, serta sesuai dengan masalah yang dihadapi kelembagaan usaha petani tingkat desa, maka pada tahun 2007 lembaga usaha petani/peternak di tingkat desa tersebut akan dibimbing, dilatih dan didampingi guna memperoleh akses terhadap informasi pasar, teknologi dan permodalan. Dengan demikian, pada tahun-tahun mendatang fasilitasi dan pengukuran pembangunan pertanian oleh dinas dan instansi di daerah maupun oleh propinsi dan pemerintah harus dilakukan melalui Gapoktan yang ada di masing-masing desa yang beranggotakan seluruh petani, peternak, dan nelayan di desa tersebut. Gapoktan tersebut akan senantiasa dibina dan dikawal hingga menjadi lembaga usaha yang mandiri, profesional dan memiliki jaringan kerja luas. Lembaga pendamping yang utama adalah Dinas Pertanian setempat, di mana para penyuluh merupakan ujung tombak di lapangan. Penguatan dari sisi lain adalah melalui implementasi berbagai kegiatan pemerintah yang didistribusikan ke desa, dimana Gapoktan selalu dilibatkan dalam setiap kegiatan yang memungkinkan. Pembentukan Gapoktan didasari oleh visi yang diusung, bahwa pertanian modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada organisasi yang dicirikan dengan adanya organisasi ekonomi yang mampu menyentuh dan menggerakkan perekonomian di perdesaan melalui pertanian, di antaranya adalah dengan membentuk Gapoktan (Sekjen Deptan, 2006). Unit-unit usaha dalam Gapoktan dapat menjadi penggerak perekonomian di perdesaan. Untuk mendukung rencana tersebut, tiap propinsi mulai tahun 2007 diwajibkan untuk membuat cetak biru (master plan) pengembangan agribisnis di kabupaten/kota sesuai komoditas unggulan. Pembangunan pertanian telah mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun 1980 an, komoditas-komoditas yang sebelumnya belum dikenal seperti kakao mulai diolah dan bernilai tinggi. Akan tetapi sejalan perkembangan pembangunan pertanian, harus diakui kebijakan makro belum sejalan dengan pengembangan sektor riil pertanian. Faktor faktor tersebut antara lain, masih tingginya suku bunga
  • 8. 22 Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35 bank sehingga menyulitkan permodalan petani, infrastruktur yang belum memadai, sistim alih teknologi yang belum lancar, fluktuasi harga dan lemahnya posisi tawar petani. Gapoktan dibangun dalam upaya untuk memperkuat posisi daya tawar petani berhadapan dengan pihak luar (external institutions). Gapoktan menjadi lembaga gerbang (gateway institution) yang menjalankan fungsi representatif bagi seluruh petani dan kelembagaan- kelembagaan lain yang levelnya lebih rendah. Ia diharapkan menjadi gerbang tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tapi juga pemenuhan modal, kebutuhan pasar, dan informasi. KONSEP PERAN GAPOKTAN DALAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERDESAAN Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 93/Kpts/OT.210/3/1997 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani-Nelayan, “kelompok tani-nelayan” adalah kumpulan petani-nelayan yang tumbuh berdasarkan keakraban dan keserasian, serta kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian untuk bekerjasama meningkatkan produktivitas usaha tani nelayan dan kesejahteraan anggotanya. Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan para petani secara horizontal, dan dapat dibentuk beberapa unit dalam satu desa. Kelompok tani juga dapat dibentuk berdasarkan komoditas, areal pertanian, dan gender. Sementara itu, “Gapoktan” adalah gabungan dari beberapa kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi anggotanya dan petani lainnya. Gapoktan merupakan Wadah Kerjasama Antar Kelompok tani-nelayan (WKAK), yaitu kumpulan dari beberapa kelompok tani- nelayan yang mempunyai kepentingan yang sama dalam pengembangan komoditas usaha tani tertentu untuk menggalang kepentingan bersama. Dalam Kepmen tersebut, dibedakan antara Gapoktan dengan Asosiasi Petani-Nelayan. Dalam batasan ini, asosiasi adalah kumpulan petani-nelayan yang sudah mengusahakan satu atau kombinasi beberapa komoditas pertanian secara komersial. Untuk meningkatkan skala usaha dan peningkatan usaha kearah komersial, kelompok tani dapat dikembangkan melalui kerjasama antar kelompok dengan membentuk Gapoktan. Pada prinsipnya, baik Wadah Kerjasama Antar Kelompok tani (WKAK) ataupun Asosiasi Kelompok tani, apabila sudah memiliki tingkat kemampuan yang tinggi dan telah mampu mengelola usaha tani secara komersial, serta memerlukan bentuk badan hukum untuk mengembangkan usahanya; maka dapat ditingkatkan menjadi bentuk organisasi yang formal dan berbadan hukum, sesuai dengan kesepakatan para petani anggotanya. Disini
  • 9. 23 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti terlihat, bahwa pengembangan Gapoktan merupakan suatu proses lanjut dari lembaga petani yang sudah berjalan baik, misalnya kelompok-kelompok tani. Dengan kata lain, adalah tidak tepat langsung membuat Gapoktan pada wilayah yang secara nyata kelompok-kelompok taninya tidak berjalan baik. Ketentuan ini sesuai dengan pola pengembangan kelembagaan secara umum, karena Gapoktan diposisikan sebagai institusi yang mengkoordinasi lembaga-lembaga fungsional di bawahnya, yaitu para kelompok tani. Pemberdayaan Gapoktan tersebut berada dalam konteks penguatan kelembagaan. Untuk dapat berkembang sistem dan usaha agribisnis memerlukan penguatan kelembagaan baik kelembagaan petani, maupun kelembagaan usaha dengan pemerintah berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing. Kelembagaan petani dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan masyarakat dan harus tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri. Kelembagaan pertanian tersebut meliputi kelembagaan penyuluhan (BPP), kelompok tani, Gapoktan, koperasi tani (Koptan), penangkar benih, pengusaha benih, institusi perbenihan lainnya, kios, KUD, pasar desa, pedagang, asosiasi petani, asosiasi industri olahan, asosiasi benih, P3A, UPJA, dan lain-lain. Dari berbagai literatur, setidaknya terdapat tiga peran pokok yang diharapkan dapat dimainkan oleh Gapoktan. Pertama, Gapoktan difungsikan sebagai lembaga sentral dalam sistem yang terbangun, misalnya terlibat dalam penyaluran benih bersubsidi yaitu bertugas merekap daftar permintaan benih dan nama anggota. Demikian pula dalam pencairan anggaran subsidi benih dengan menerima voucher dari Dinas Pertanian setempat. Gapoktan merupakan lembaga strategis yang akan merangkum seluruh aktifitas kelembagaan petani di wilayah tersebut. Gapoktan dijadikan sebagai basis usaha petani peternak di setiap perdesaan. Kedua, Gapoktan juga dibebankan untuk peningkatan ketahanan pangan di tingkat lokal. Mulai tahun 2006 melalui Badan Ketahanan Pangan telah dilaksanakan “Program Desa Mandiri Pangan” dalam rangka mengatasi kerawanan dan kemiskinan di perdesaan. Pengentasan kemiskinan dan kerawanan pangan dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Untuk tahun 2006 kegiatan ini bejalan di 244 desa di 122 kabupaten rawan pangan, sedangkan dalam rencana 2007 akan diperluas menjadi 180 kabupaten rawan pangan yang menjangkau sekitar 604 desa rawan pangan. Dalam hal ini, masyarakat yang tergabung dalam suatu kelompok tani dibimbing agar mampu menemukenali permasalahan yang dihadapi dan potensi yang mereka miliki, serta mampu secara mandiri membuat rencana kerja untuk meningkatkan pendapatannya melalui usahatani dan usaha agribisnis berbasis perdesaan. Tahapan selanjutnya adalah, bahwa beberapa kelompok tani dalam satu desa yang telah dibina kemudian difasilitasi untuk membentuk Gapoktan. Dengan cara ini, petani miskin dan rawan pangan akan meningkat kemampuannya dalam mengatasi masalah pangan dan kemiskinan di dalam suatu ikatan kelompok dan
  • 10. 24 Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35 gabungan kelompok yang merupakan wahana untuk memperjuangkan nasib para anggotanya sesuai dengan aspirasi, kondisi sosial, ekonomi dan budaya setempat. Masyarakat, melalui gapoktan juga diharapkan mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bersama. Ketiga, mulai tahun 2007, Gapoktan dianggap sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) sehingga dapat menerima Dana Penguatan Modal (DPM), yaitu dana pinjaman yang dapat digunakan untuk membeli gabah petani pada saat panen raya, sehingga harga tidak terlalu jatuh. Kegiatan DPM-LUEP telah dimulai semenjak tahun 2003, namun baru mulai tahun 2007 Gapoktan dapat sebagai penerima. Dalam konteks ini, Gapoktan bertindak sebagai “pedagang gabah”, dimana ia akan membeli gabah dari petani lalu menjualkannya berikut berbagai fungsi pemasaran lainnya. Dengan memperhatikan banyaknya fungsi yang akan dijalankan, maka khusus dari kalangan Deptan, tiap Gapoktan akan didukung dari program penyuluhan dan penguatan kelompok dari Badan Pengembangan SDM Pertanian, penguatan akses teknologi tepat guna dari Badan Litbang Pertanian, dukungan infrastruktur pertanian dari Ditjen. Pengelolaan Lahan dan Air, bantuan dan pembinaan usaha pengolahan dan pemasaran dari Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, serta dukungan permodalan dari program KKP dan atau Dana Penjaminan. Selain dari Deptan, Gapoktan juga akan berinteraksi dengan Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa, Departemen Dalam Negeri. Agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan, maka koordinasi untuk menata pelibatan setiap Gapoktan berada di Dinas Pertanian setempat bekerjasama dengan penyuluh lapangan di wilayah Gapoktan tersebut berada. BERBAGAI KESALAHAN DALAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN SELAMA INI Dalam program pembangunan pertanian dan pengembangan masyarakat perdesaan selama ini, hampir tiap program mengintroduksikan satu kelembagaan baru ke perdesaan. Kelembagaan telah dijadikan alat yang penting untuk menjalankan program tersebut. Namun demikian, penggunaan strategi pengembangan kelembagaan banyak mengalami ketidaktepatan dan kekeliruan. Berikut diuraikan berbagai permasalahan dalam pengembangan kelembagaan, khususnya bagi kelembagaan yang tergolong ke dalam kelembagaan yang sengaja diciptakan (enacted institution), agar dapat dihindari (Syahyuti, 2003): (1) Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya adalah agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar
  • 11. 25 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti mereka dapat meningkat. Kelompok tani misalnya adalah kelompok orang- orang yang selevel, yaitu pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya. (2) Sebagian besar kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk peningkatan social capital masyarakat secara nyata. Adalah hal yang lazim, setiap program membuat satu organisasi baru, dengan nama yang khas. Jarang sekali suatu program dari dinas tertentu menggunakan kelompok-kelompok yang sudah ada. (3) Menerapkan pola generalisasi, sehingga struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam, meniru bentuk kelembagaan usahatani padi sawah irigasi teknis di Pantura Jawa (Zuraida dan Rizal, 1993). Hal ini karena pengaruh keberhasilan pilot project Bimas tahun 1964 di Subang. Pembentukan kelembagaan kurang memperdulikan komplek hal-hal abstrak yang ada di masyarakat bersangkutan, yaitu berupa harapan, keinginan, tujuan, prioritas, norma, kebutuhan, dan lain-lain yang sering kali tidak sesuai dengan program yang diintroduksikan. Karena itulah keberhasilan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada petani pekebun lada di Lampung Utara tidak sesukses penerapan program tersebut di Subang Jawa Barat (Agustian et al., 2003). (4) Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontak-kontak tani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada social learning approach. (5) Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktur organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah tersedia. (6) Pengembangan kelembagaan diyakini akan terjadi jika dukungan material cukup. Sebagai contoh, pengembangan UPJA (Unit Pelayanan Jasa Alsintan) dipahami dengan memberikan bantuan traktor, tresher, pompa air, dan lain- lain; bukan bagaimana mengelolanya dengan manajemen yang baik. BERBAGAI PRINSIP YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERDESAAN TERMASUK GAPOKTAN Didasarkan atas perkembangan sosiopolitik yang terjadi, maka pengem- bangan kelembagaan perlu memperhatikan kecenderungan-kecenderungan yang
  • 12. 26 Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35 semakin menguat, dan jangan hanya memposisikan “kelembagaan sebagai alat proyek”. Setidaknya perlu diperhatikan tiga aspek dalam pengembangan kelembagaan, termasuk Gapoktan, yaitu: (1) konteks otonomi daerah, (2) pengembangan kelembagaan sebagai sebuah bentuk pemberdayaan, dan (3) kelembagaan sebagai jalan untuk mencapai kemandirian lokal. Penyelenggaraan otonomi daerah ditekankan pada dua aspek yang sesungguhnya merupakan prinsip dasar kemandirian lokal, yaitu menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya, dan mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang yang tercipta. Pengembangan Gapoktan sebagai salah satu komponen kelembagaan perdesaan, saling terkait secara fungsional dengan konsep otonomi daerah, pemberdayaan, dan kemandirian lokal. Pengembangan Kelembagaan dalam Konteks Otonomi Daerah RPPK jangan sampai terjebak kembali pada kekeliruan masa lalu, yang berpedoman pada perencanaan yang bersifat umum dan diterapkan secara menyeluruh (grand scenario) di seluruh wilayah. Menyosialisasikan rancangan atau skenario yang bersifat umum akan sulit dilaksanakan dan lebih banyak bersifat mekanistik dan lepas dari kespesifikan kondisi lokal, akan mematikan inisiatif masyarakat setempat sehingga menjadi kontraproduktif. Skenario yang bersifat umum itu, yang pada umumnya disusun dan dipikirkan oleh sekelompok orang saja secara terpusat, merupakan pendekatan blue print yang banyak mengandung kelemahan (Uphoff, 1986). Perdesaan di Indonesia, di samping bervariasi dalam kemajemukan sistem, nilai, dan budaya; juga memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang dan beragam pula. Hal ini perlu dicermati dalam memilih prinsip dasar pengembangan dan pembangunan perdesaan di Indonesia secara integral. Kelembagaan, termasuk organisasi, dan perangkat-perangkat aturan dan hukum memerlukan penyesuaian sehingga peluang bagi setiap warga masyarakat untuk bertindak sebagai aktor dalam pembangunan yang berintikan gerakan dapat tumbuh di semua bidang kehidupannya. Pembangunan masyarakat perdesaan untuk menciptakan kehidupan yang demokratis, baik dalam kegiatan dan aktivitas ekonomi, serta aktivitas sosial budaya dan politik haruslah berbasis pada beberapa prinsip dasar yang dikemukakan di atas, juga pada latar belakang sejarah, dan kemajemukan etnis, sosial, budaya, dan ekonomi yang telah hadir sebelumnya di setiap desa. Elemen-elemen tatanan, baik yang berupa “elemen lunak” (soft element) seperti manusia dengan sistem nilai, kelembagaan, dan teknostrukturnya, maupun yang berupa “elemen keras” (hard element) seperti lingkungan alam dan sumberdayanya, merupakan entitas yang dinamis yang senantiasa menyesuaikan diri atau tumbuh dan berkembang. Dalam bagian “Menimbang” pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, disebutkan bahwa otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
  • 13. 27 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita perlu mempelajari apa sesungguhnya makna filosofis dari prinsip keotonomian? Pada tingkat terendah, otonomi mengacu pada individu sebagai perwujudan dari hasrat untuk bebas (free will) yang melekat pada diri-diri manusia sebagai salah satu anugerah paling berharga dari Sang Pencipta (Basri, 2005). Free will inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi otonom sehingga mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya secara optimal. Individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas yang otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul. Jadi, pada hakekatnya, individu-individu yang otonom menjadi modal dasar bagi perwujudan otonomi daerah yang hakiki. Dengan dasar ini, maka penguatan otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku, bagi setiap individu. Satu konsep yang dekat dengan otonomi daerah adalah “local government”. Menurut Wolman and Goldsmith (1990), Local Government Administration (LGA) adalah: “…. the government’s ability to have an independent impact on the welfare of the residents of the local jurisdiction”. Jadi, disini ditekankan kepada perlunya mencapai kemampuan dan kemandirian masyarakat. Sedikit lebih luas, Boyne (1996) mendefiniskan menjadi: “… powers the ability to innovate, experiment, and develop policies that can vary by jurisdiction”. Selanjutnya, Kirlin (1996) merubah “government” menjadi “governance”, dan mendefinisikannya sebagai “… capacity as the ability to make and carry through collective choices for a geographically defined group of people”. Pada definisi Kirlin terlihat perlunya keterlibatan masyarakat setempat. Kemampuan pemerintah terbentuk melalui dukungan institusi-institusi lain seperti aturan yang konstitutional, pemerintah lain yang selevel, lembaga pengadilan, dan infrastruktur kewarganegaraan, yang digambarkan dengan luas meliputi unsur- unsur media massa, asosiasi kewarganegaraan, dan kelompok-kelompok komuni- tas (Chapman, 1999). Dalam sistem apapun, secara prinsip ada tiga bentuk utama yang dapat dilakukan negara kepada warganya. Secara berurutan adalah assistance, cooperation, dan service; tergantung kepada potensi dan kondisi masyarakatnya, terutama kemampuan untuk pemecahan masalah. Dalam assistance, pemerintah menjadi pelaksana (executing and implementing role). Pada cooperation, peran negara dan masyarakat seimbang; sedangkan pada pola service, negara lebih pasif. Otonomi daerah, atau otonomi lokal, merupakan hal yang penting karena mampu memainkan setidaknya tiga peran yaitu: (i) untuk memaksimumkan nilai, (ii) sebagai lembaga yang memberi peluang kepada akses rakyat terhadap pemerintah, dan (iii) sebagai kompetitor terhadap lembaga lain sehingga kondisi-kondisi efisiensi dapat dicapai. Karena beragamnya persoalan antarwilayah maka tak ada
  • 14. 28 Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35 pendekatan yang "one solution fits all" dalam pengembangan kelembagaan. Secara konseptual, otonomi daerah merupakan wadah yang baik untuk berkem- bangnya civil society dan menjamin berjalannya mekanisme checks and balances antara pemerintah dengan warganya. Pengembangan Kelembagaan sebagai Bentuk Pemberdayaan Pemberdayaan (empowerment) yang berasal dari kata dasar “empower” bermakna sebagai “to invest with power, especially legal power or officially authority”, atau “... taking control over their lives, setting their own agendas, gaining skill, building self-confidence, solving problems and developing self- reliance”. Pemberdayaan dapat dilakukan terhadap individual, kelompok sosial, maupun terhadap komunitas. Dari sisi paradigma, pemberdayaan lahir sebagai antitesis dari paradigma developmentalis. Dalam Payne (1997), disebutkan bahwa pada intinya pemberdayaan adalah “to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients”. Pemberdayaan mengupayakan bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Inti utama dari pemberdayaan adalah tercapainya “kemandirian”. Bank Dunia selama ini telah memberi perhatian besar kepada tiga hal untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan, yaitu “empowerment, social capital, and community driven development (CDD)”. Ketiga konsep ini menekankan kepada inklusivitas, partisipasi, organisasi, dan kelembagaan. Empowerment merupakan hasil dari aktifitas pembangunan, social capital dapat diposisikan sekaligus sebagai proses dan hasil, sedangkan CDD berperan sebagai alat operasional (World Bank, 2005b). Konsep empowerment mendapat penekanan yang berbeda-beda di berbagai negara, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Satu hal yang esensial dalam pemberdayaan adalah ketika individu atau masyarakat diberikan kesempatan untuk membicarakan apa yang penting untuk perubahan yang mereka butuhkan. Ini akan berimplikasi kepada sisi supply dan demand tentang pembangunan, perubahan lingkungan di mana masyarakat miskin hidup, dan membantu mereka membangun dan mengembangkan karakter mereka sendiri. Pemberdayaan bergerak mulai dari masalah pendidikan dan pelayanan kesehatan kepada persoalan politik dan kebijakan ekonomi. Pemberdayaan berupaya meningkatkan kesempatan-kesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil pembangunan, dan memperbaiki kualitas hidup manusia.
  • 15. 29 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti Tidak ada satu bentuk kelembagaan khusus untuk pemberdayaan, namun ada elemen-elemen tertentu agar upaya pemberdayaan dapat berhasil. Beberapa kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah: adanya akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal. Terdapat dua prinsip dasar yang seyogyanya dianut di dalam proses pemberdayaan. Pertama, adalah menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri. Kedua, mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut. Kebijakan ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar, sedangkan di bidang sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan bagi masyarakat (choice) untuk menyalurkan aspirasinya (voice). Upaya pemberdayaan masyarakat desa dalam kehidupan politik dan demokrasi, diperlukan cara pandang atau pendekatan baru, karena perubahan yang terjadi pada beberapa dekade terakhir telah melahirkan berbagai realitas yang tidak mungkin dimengerti atau dipahami apalagi dikelola dengan menggunakan paradigma atau cara pandang lama. Pengembangan Kelembagaan dalam Upaya Mewujudkan Kemandirian Lokal Menurut Taylor dan Mckenzie (1992), inisiatif lokal sangat diperlukan dalam pembangunan perdesaan, baik dari sisi pemerintah maupun komunitas setempat. Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan apabila pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara kemampuan perencanaan pusat juga dalam kondisi lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di antaranya adalah karena masih banyaknya sumberdaya yang belum termanfaatkan, yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal. Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat desa untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri. Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan harus dilakukan secara terdesentralisasi. Upaya pemberdayaan dengan prinsip sentralisasi, deterministik, dan homogen adalah hal yang sangat dihindari. Karena itu upaya pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan menumbuhkan kondisi otonom, di mana setiap komponen akan tetap eksis dengan berbagai keragaman (diversity) yang dikandungnya. Upaya pemberdayaan yang berciri sentralisitik tidak akan mampu memahami karakteristik spesifik tatanan
  • 16. 30 Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35 yang ada, dan cenderung akan mengabaikan karakteristik tatanan. Sebaliknya upaya pemberdayaan yang dilakukan secara terdesentralisasi akan mampu mengakomodasikan berbagai keragaman tatanan. Cara pandang “kemandirian lokal” adalah suatu alternatif pendekatan pembangunan yang dikembangkan dengan berbasis pada pergeseran konsepsi pembangunan, serta pergeseran paradigma ilmu pengetahuan. Oleh karena itu diharapkan dapat diposisikan sebagai pendekatan pembangunan bangsa Indonesia, atau minimal sebagai masukan bagi perumusan pendekatan dan atau paradigma pembangunan Indonesia. Pemberdayaan desa khususnya pemberdayaan politik masyarakat desa, mengandung dua pendekatan yang seakan-akan saling bertolak belakang atau merupakan paradox pemberdayaan desa. Pada satu sisi, pemberdayaan desa seyogyanya diletakkan pada upaya untuk meningkatkan kualitas harmoni kehidupan seluruh warga desa, akan tetapi pada sisi yang lain pemberdayaan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas interkoneksitas (fungsional) antara satu tatanan dengan tatanan yang lainnya yang berada di luar tatanan desa. Interkoneksitas seperti ini memiliki potensi besar untuk merusak kondisi harmoni yang dimaksudkan sebelumnya. Berdasarkan kondisi paradoxal ini maka penyusunan skenario yang berlaku umum (grand scenario) di seluruh wilayah sangat tidak mungkin. Kebijaksanaan pemberdayaan desa haruslah bersifat kasuistik, dan kontekstual, yang disusun secara otonom masing-masing daerah. Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat desa haruslah berbasis pada prinsip dasar, yaitu bagaimana menciptakan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan wujud pemberian pilihan (choice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya (voice). Implementasi prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung pada kondisi masing-masing masyarakat. Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai serangkaian upaya mekanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun secara sistematis, Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa organisasi seharusnya dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog diban- dingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005). SIKAP YANG HARUS DIBANGUN UNTUK PENGEMBANGAN GAPOKTAN Kegagalan pengembangan kelembagaan petani selama ini dilatarbelakangi oleh sikap yang keliru. Para perencana menganggap bahwa kelembagaan lokal
  • 17. 31 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti dianggap tidak memiliki “jiwa” ekonomi yang memadai, karena itu harus diganti. Pola pikir ini datang dari ideologi modernisasi yang dipeluk pemimpin-pemimpin negara berkembang pada umumnya. Ciri kelembagaan pada masyarakat tradisio- nal adalah dimana aktivitas ekonomi melekat (embeded) pada kelembagaan kekerabatan dan komunitas. Pemenuhan ekonomi merupakan tanggung jawab kelompok-kelompok komunal genealogis. Ciri utama kelembagaan tradisional adalah sedikit kelembagaan namun banyak fungsi (Saptana et al., 2003). Beda halnya dengan pada masyarakat modern yang dicirikan oleh munculnya banyak kelembagaan dengan fungsi-fungsi yang spesifik dan sempit-sempit. Untuk pengembangan Gapoktan, maka strategi yang diterapkan semesti- nya tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan masa sebelumnya. Berbagai strategi yang semestinya ditempuh adalah: Pertama, kelembagaan adalah sebuah opsi, bukan keharusan. Apapun kelembagaan yang akan diintroduksikan di perdesaan, mestilah terlebih dahulu merumuskan apa kegiatan yang akan dijalankan, baru kemudian dipilih apa wadah yang dibutuhkan. Jadi, rumuskan dulu aktivitasnya, lalu tentukan wadahnya. Berdasarkan konsep sistem agribisnis, aktivitas pertanian perdesaan tidak akan keluar dari upaya untuk menyediakan sarana produksi (benih, pupuk, dan obat-obatan), permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha tani (on farm), pemenuhan informasi teknologi, serta pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Sebagaimana sudah dijelaskan di depan, kelembagaan yang diintroduksikan saat ini sesungguhnya telah tumpang tindih. Untuk satu fungsi tersedia banyak kelembagaan, sedangkan satu kelembagaan juga dapat menjalankan berbagai fungsi. Tumpang tindih tersebut dipaparkan pada Tabel 1. Tabel 1. Matrik Fungsi-fungsi Agribisnis beserta Opsi Lembaga-lembaga yang dapat Menjalankan Fungsi Tersebut dalam Kegiatan Pertanian di Perdesaan Lembaga yang dapat melakukan fungsi tersebut Fungsi Kel. tani Ga- poktan P3A KUA Kope- rasi UPJA Pos Penyu- luhan Desa Klinik Agri- bisnis Kel. Penca- pir 1. penyediaan saprotan ü ü - ü ü ü - - - 2. penyediaan modal ü ü - ü ü ü - - - 3. penyediaan air irigasi ü - ü - - - - - - 4. kegiatan usahatani ü ü - - - ü - - - 5. pengolahan ü ü - ü ü ü - - - 6. pemasaran ü ü - ü ü - - - - 7. penyediaan infor- masi teknologi ü ü - - - ü ü ü ü 8. penyediaan informasi pasar ü ü - ü ü ü ü ü ü
  • 18. 32 Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35 Dari tabel tersebut terlihat, bahwa sebuah kelompok tani yang berjalan baik misalnya, bahkan dapat menjalankan seluruh fungsi agribisnis tersebut tanpa bantuan kelembagaan lain. Di sisi lain, dari tabel matrik tersebut juga terlihat bahwa untuk pemenuhan saprotan dan permodalan dapat menggunakan jasa kelompok tani, koperasi, dan juga gapoktan. Sementara untuk pemenuhan informasi teknologi dapat menggunakan wadah kelompok tani, Gapoktan, Pos Penyuluhan Desa, Klinik Agribisnis, dan Kelompok Pencapir (Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan). Dengan konfigurasi seperti itu, maka setiap pilihan apa kelembagaan yang akan digunakan sangat tergantung kepada berbagai hal, di antaranya adalah skala kegiatan, luas obyek sasaran, metode yang digunakan, efektivitas dan efisiensi. Satu hal yang harus dipertimbangkan adalah lembaga apa yang paling siap untuk diajak bekerjasama. Namun pertanyaan yang terus menggelitik adalah: apakah kita memang membutuhkan seluruh kelembagaan tersebut di satu desa? Kedua, sediakan waktu yang cukup untuk mengembangkan kelembagaan. Pihak pelaksana mesti mampu menyesuaikan diri dengan kelembagaan petani yang akan dikembangkan. Kesalahan selama ini adalah karena menganggap bahwa permasalahan kelembagaan ada di tingkat petani belaka, bukan pada superstrukturnya, padahal mungkin permasalahan (dan sumber permasalahan) ada pada pelaksana. Satu hal yang harus digarisbawahi sebagaimana sudah sering diingatkan adalah, agar pihak pelaksana menyediakan waktu yang cukup untuk mengembangkan sampai cukup mandiri. Masa tahun anggaran yang satu tahun tidak akan cukup untuk menumbuhkan Gapoktan menjadi mandiri. Ketiga, perlu dihindari sikap yang memandang desa sebagai satu unit interaksi sosial ekonomi yang otonom dan padu. Meskipun Gapoktan bekerja dalam satu unit desa, namun perlu dibangun jejaring sosial (social network) dengan Gapoktan lain. Relasi yang dibangun bukan bersifat hierarkhis- administratif, namun lebih ke fungsional-ekonomi. Dalam hal peran Gapoktan sebagai lembaga pemasaran, maka relasi jangan membatasi diri hanya dengan lembaga formal. Relasi dengan para pelaku tata niaga, yang cenderung menerapkan suasana nonformal, perlu dibina dengan menerapkan prinsip saling menguntungkan dan keadilan. Keempat, Gapoktan lebih banyak berperan di luar aktivitas produksi atau usahatani, karena kegiatan tersebut telah dijalankan oleh kelompok-kelompok tani serta petani secara individual. Untuk terlibat dalam mekanisme pasar, maka Gapoktan harus merancang diri sebagai sebuah kelembagaan ekonomi dengan beberapa karakteristiknya adalah mengutamakan keuntungan, efisien, kalkulatif, dan menciptakan relasi-relasi yang personal dengan mitra usaha. Kelima, Gapoktan hanyalah salah satu komponen dalam pengembangan kelembagaan masyarakat perdesaan. Lebih khusus lagi, Gapoktan hanya bergerak di bidang pertanian. Dengan demikian, pengembangan Gapoktan haruslah berada dalam kerangka strategi yang lebih besar. Gapoktan hanyalah alat atau wadah
  • 19. 33 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Sebagaimana dijelaskan di atas, maka pembentukan dan pengembangan Gapoktan haruslah berada dalam konteks semangat otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat dan penumbuhan keman- dirian lokal. PENUTUP Sebagaimana pendekatan pembangunan perdesaan dan pertanian pada umumnya, pendekatan kelembagaan masih menjadi salah satu strategi penting dalam RPPK 2005-2025. Permasalahan kelembagaan dalam RPPK relatif lebih kompleks, karena melibatkan banyak instansi, lembaga, dan stakeholders mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Karena itulah, kemampuan mengenali permasa- lahan kelembagaan, dan selanjutnya mampu menyusun strategi kelembagaan yang sesuai, merupakan satu permasalahan yang esensial dalam RPPK tersebut. Artinya, seluruh pihak yang terlibat dalam RPPK, terutama di sektor pertanian, perlu menyadari permasalahan ini, sehingga faktor kelembagaan tidak menjadi salah satu kendala dalam implementasi program nantinya. Dari berbagai level permasalahan kelembagaan yang dapat dijumpai, maka pengembangan kelembagaan di tingkat lokal atau di tingkat komunitas perlu mendapat perhatian yang lebih. Hal ini bertolak dari kecenderungan pemikiran akhir-akhir ini yang meniscayakan perlunya perhatian kepada penguatan untuk kemandirian komunitas lokal. Untuk itu, pengembangan kelembagaan dalam RPPK mesti dijiwai oleh setidaknya tiga prinsip yang satu sama lain saling terkait erat, yaitu pengembangan kelembagaan dalam konteks otonomi daerah, pember- dayaan, dan penguatan kemandirian lokal. Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat desa haruslah berbasis pada dua prinsip dasar pendekatan. Pertama, bagaimana menciptakan peluang bagi masyarakat, serta yang kedua adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan wujud pemberian pilihan (choice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya (voice). Implementasi prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung pada kondisi masing-masing masyarakat. Upaya pemberdayaan desa seyogyanya tidak dilakukan dengan berbasis pada suatu “grand scenario”, karena hal yang seperti itu tidak pernah mampu memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Pada saat ini yang diperlukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa adalah membangun prinsip dasar yang dapat dijadikan sebagai sebuah acuan dalam perumusan kebijakan pemberdayaan desa, yang disusun sendiri secara otonom oleh masing-masing daerah. Dua prinsip dasar yang disebutkan sebelumnya (penciptaan peluang dan peningkatan kemandirian memanfaatkan peluang tersebut) masih perlu dilengkapi dengan prinsp-prinsip lainnya, yang diharapkan muncul dari forum ini.
  • 20. 34 Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35 Pembentukan dan penumbuh Gapoktan mestilah ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yaitu konteks pengembangan ekonomi dan kemandirian masyarakat menuju pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Rural Development). Gapoktan hanyalah alat, dan merupakan salah satu opsi kelemba- gaan yang dapat dipilih; bukan tujuan dan juga bukan keharusan. Penggunaan kelembagaan yang semata-mata hanya untuk mensukseskan kegiatan lain, dan bukan untuk pengembangan kelembagaan itu sendiri, sebagaimana selama ini; hanya akan berakhir dengan lembaga-lembaga Gapoktan yang semu, yang tidak akan pernah eksis secara nyata. DAFTAR PUSTAKA Agustian, A., Supena F., Syahyuti, dan E. Ariningsih. 2003. Studi Baseline Program PHT Perkebunan Rakyat Lada di Bangka Belitung dan Lampung. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Amien, Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 2005 – 2025. Dalam: http://www.litbang.deptan.go.id/rppk, 25 oktober 2005. Badan SDM Pertanian. 2006. Rencana Kerja Badan Pengembangan SDM Pertanian tahun 2006. Rangkuman Hasil Rapim Badan SDM Pertanian Februari 2006. badan SDM Pertanian, Deptan. Jakarta. Basri, Faisal H. 2005. “Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah”. Universitas Brawijaya, Malang. (http://128.8.56.108/iris-data/PEG/Bahasa/malang/Malang tantangan. pdf., 22 Maret 2005). Boyne, George A. 1996. Competition and Local Government: A Public Choice Perspective. Urban Studies 33, 4-5: 703-721. Chapman, J.I. 1999. Local Government, Fiscal Autonomy and Fiscal Stress: The Case of California. Lincoln Institute of Land Policy Working Paper (http://www.lincolninst.edu, 6 April 2005). Deptan. 2006. Bahan Rapat Kerja Deptan dengan DPD-RI, tanggal 19 Juni 2006. Deptan, Jakarta. Kirlin, John J. 1996. The Big Questions of Public Administration in a Democracy. Public Administration Review 56, 5 (September/October): 416-4320. North, Douglass C. 2005. Institutional Economics. http://nobelprize.org/economics/ laureates/1993/north-lecture.html, 27 April 2005. Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work Theory. Second Edition. MacMillan Press Ltd., London. Hal. 266. Robin, Lionel. 2005. Institutional Economics. http://www.msu.edu/user/schmid/ bromley.htm, 25 Oktober 2005.
  • 21. 35 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI PERDESAAN Syahyuti Saptana; T. Pranadji; Syahyuti; dan Roosganda EM. 2003. Transformasi Kelembagaan untuk Mendukung Ekonomi Kerakyatan di Perdesaan. Laporan Penelitian. PSE, Bogor. Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian. 2006. Sambutan dalam acara Apresiasi Wartawan di Balai Pendidikan dan Latihan Hortikultura, Lembang, Bandung, Jawa Barat. Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge. Chapter 1 dan 10. Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press. Wolman, Harold, and Michael Goldsmith. 1990. “Local Autonomy as a Meaningful Analytic Concept,” Urban Affairs Quarterly 26, 1 (September): 3-27. World Bank. 2005a. Institutional Analysis. Dalam: http://lnweb18.worldbank.org/ESSD/ sdvext.nsf/81ByDocName/ToolsandMethodsInstitutionalanalysis, 12 September 2005. World Bank. 2005b. Social Capital, Empowerment, and Community Driven Development. (http://info.worldbank.org/etools/bspan/PresentationView.asp?PID=936&EI D=482, 11 Mei 2005). Zuraida, Desiree dan J. Rizal (ed). 1993. Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan: Pokok-pokok Pemikiran Selo Soemardjan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.